Minggu pagi yang sejuk, persis seperti pagi pada hari-hari sebelumnya. Menenangkan. Terutama karena udara jauh lebih segar setelah hujan turun semalaman. Hujan yang benar-benar deras sampai-sampai suasana dalam rumah terasa ganjil. Suara-suara hujan berjeratuhan di atas atap seng rumah terdengar seperti suara latar film horror di bioskop-bioskop. Celakanya tidak ada suara lain yang bisa didengar selain itu.
Agak sedikit membungkuk, kuperbaiki ikatan tali sepatuku, lalu pelan-pelan menghirup udara pagi yang bersih. Dingin serta-merta menelusup melewati lubang hidung, melewati tenggorokan dan menyebar memenuhi paru-paru.
Ada sepotong luka yang tetiba meringis.
Sepagi ini..
Bahkan sebelum matahari mengintip malu-malu.
***
Luka itu terlalu mengiris untuk diabaikan, tetapi bagian lain di hatiku yang sejak lama ingin bebas, tidak mengizinkan aku untuk melewatkan suasana sejuk menjelang matahari terbit dengan lari-lari pagi. Bagaimanapun, hidup harus dijalani.
Di lapangan sepakbola kota kami yang terletak persis di depan rumahku, kalian bisa melihat satu dua kambing digembalakan dengan bebas memakani tunas-tunas hijau rumput muda, kelihatannya terasa manis akibat titik air yang disisakan hujan semalam. Ada patung jenderal bercat putih di sudut kiri lapangan bola, keberadaannya dibatasi oleh pagar beton berterali besi dicat biru muda.
Entah sejak kapan patung jenderal putih itu ada di sana, perkiraanku sudah lama sekali karena kakekku mengaku sudah melihatnya di sana sejak masa kecilnya. Berdiri patuh, agak serong ke kanan dengan posisi menghormat ke rumah adat kota kami, jaraknya hanya sepelemparan batu. Dipisahkan oleh satu-satunya jalan poros besar kota kami.
Sering kudengar desas-desus dari penduduk kota perihal patung jenderal putih itu. Konon, setiap malam ketika jarum jam paling panjang bertindihan dengan jarum jam terpendek tepat di angka 12, patung jenderal putih secara misterius akan berdiri di tengah lapangan dengan posisi masih menghormat ke arah rumah adat kota kami. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu alasan jenderal putih berpindah posisi.
Aku sepenuhnya tidak percaya pada desas-desus ini, sulit untuk dicerna secara rasional. Sebuah patung batu bisa bergerak sendiri. Aku curiga, jangan-jangan desas-desus itu hanya akal-akalan dewan kota agar lebih banyak orang tertarik untuk datang berkunjung ke kota kami. Kecurigaanku beralasan, setiap hari kulihat semakin banyak saja orang-orang yang mengantri berfoto di depan patung jenderal. Strategi yang cerdik memang. Tetapi toh kedatangan orang-orang itu justru memberikan keuntungan bagi kota kami.
Sekian menit berlalu, aku masih berdiri takzim di depan pagar kayu rumahku. Menunggu beberapa saat lagi sampai matahari mengintip sedikit, agar aku dapat melihat jelas jalan yang akan kulalui. Tidak lucu kan kalau aku sedang asyik lari, lalu tiba-tiba kakiku tersandung.
Satu dua tetangga terlihat sedang berjalan-jalan di sekitar jalan kecil beraspal yang mengelilingi lapangan bola. Ibu-ibu gendut penjual kue juga sudah melintas sembari berteriak-teriak nyaring berirama.
Kue! Kueeee!
Kalian juga bisa melihat pemuda-pemuda tanggung yang kemungkinan sedang berlatih fisik untuk mempersiapkan diri mendaftar di akademi militer, mereka semua berbaur. Penduduk kota ini selalu membaur di lapangan bola dengan kegiatan masing-masing. Setiap pagi selalu begitu.
Sepasang muda-mudi, yang perempuan memakai jaket oranye menyala, senada dengan sepatuyang dia kenakan, dan yang laki-laki dengan jaket hitam-abu-abu tampak menepi. Istirahat sambil menyelonjorkan kaki di atas rumput yang masih basah, dengan punggung masing-masing bersandar pada batang pohon akasia yang tumbuh di pojok
lain lapangan bola. Dari saku jaketnya, perempuan berjaket oranye mengeluarkan handuk kecil. Disodorkannya kepada si laki-laki. Sikap itu cukup sudah untuk menjelaskan betapa mesranya mereka.
Di puncak topi sang jenderal, sebaris cahaya jingga menerobos. Beberapa detik kemudian batang-batang cahaya menelisik di sela-sela daun-daun akasia, warnanya bersaing dengan semburat warna oranye dari jaket perempuan tadi. Tetapi betapa aku terkesima begitu menyaksikan kilapan-kilapan kecil di ujung-ujung rumput. Seluruh permukaan lapangan bola seolah disulap menjadi pertunjukan kelap-kelip jernih serupa berlian.
Tidak ingin terlena dengan pertunjukan kelip di hadapanku, aku memutuskan untuk mengayunkan langkah pertama. Dengan ritme lari perlahan, pelan-pelan kutinggalkan halaman rumah, menyisir pinggiran lapangan. Rambutku yang kuikat ekor kuda melambai-lambai mengikuti irama lariku. Pasangan muda-mudi di bawah pohon akasia tadi sudah kulewati.
Jalan poros besar kota kami sepagi ini masih sepi dari kendaraan bermotor, apalagi hari minggu begini. Orang-orang jaman sekarang lebih suka mengayuh sepeda, berlari-lari kecil atau hanya berjalan-jalan ringan untuk menikmati pagi di hari libur.
Agar tubuh lebih sehat, katanya.
Omong kosong! Bagaimana mungkin tubuh akan sehat bila enam hari dalam seminggu dihabiskan untuk duduk berjam-jam di kantor, makan makanan cepat saji, tidur larut malam tanpa olahraga, dan kebiasaan-kebiasaan tidak sehat lainnya bisa ditutupi dengan satu hari jalan-jalan ringan di sekitaran rumah. Enam hari banding satu hari. Anak SD juga tahu mana yang jauh lebih dominan.
Ah, terlalu banyak paradoks di dunia ini.
***
Lima belas menit berlari aku sudah sampai di pintu masuk dermaga yang menjadi landmark kota kami, selain patung jenderal putih. Jalan masuknya selebar ukuran jalan poros besar kota kami, bedanya di sini tidak beraspal, melainkan terdiri dari susunan bata paving blok. Di sisi kanan jalan berderetanlah rumah-rumah panggung warga setempat, dengan halaman rumah disulap menjadi tempat berbisnis. Mulai dari warung makan, tempat cuci-cetak foto, toko alat-alat memancing hingga fotokopian segala. Dermaga ini menumbuhkan perekonomian kota.
Seluruh wilayah dermaga ditutupi pagar besi putih dengan alas paving di bagian luar, tetapi dermaga ini tetap terbuka bagi siapa saja. Entah itu untuk para pemancing atau untuk orang-orang yang sengaja datang sekedar berjalan-jalan dan mengambil gambar. Sebagaimana tempat rekreasi lain, tetapi yang berbeda adalah tidak ada pungutan biaya apapun untuk memasuki dermaga kota kami.
Selain gratis, yang membuat dermaga kota kami berbeda adalah tidak ada kegiatan bongkar muat perahu nelayan di sini−dermaga kami bukan tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Dermaga ini sepertinya sengaja dibangun sebagai tempat wisata. Itulah mungkin yang membuat orang-orang merasa nyaman menghabiskan waktunya di dermaga ini.
Dermaga kota kami tidak pernah tertutup. Hebatnya lagi tempat ini tetap aman tanpa penjaga keamanan.
Setiap subuh menjelang matahari terbit, satu dua orang sudah terlihat dari mulut jalan sedang berlari-lari kecil sambil sesekali berhenti untuk mengatur napas atau meregangkan badan. Dermaga ini selalu menjadi tempat tujuan utama bagi para pelari pagi.
Aku berhenti sejenak mengatur napas. Dua pasang muda-mudi berlari bersama melewatiku. Dari pelataran dermaga, aku menjatuhkan pandang ke ujung dermaga yang dari jauh tampak mengecil. Butuh sekitar satu kilometer lagi untuk mencapai ujungnya.
Tempat ini menyenangkan. Menjadi jogging track yang lapang dan lancar. Tempat menyaksikan banyak orang lalu-lalang. Bau laut yang khas−asin tapi menyegarkan. Juga kesempatan untuk berapapasan dengan sekelompok gadis-gadis remaja yang masih mengenakan mukena sehabis subuh. Mereka berjalan sambil cekikikan tanpa
menghiraukan tatapan tidak suka dari pasangan suami-istri tua yang berjalan berlawanan arah. Masa muda memang selalu indah, ada saja bahan tertawaan.
Tempat ini juga terkenal dengan sunsetnya yang mengagumkan. Saban sore selepas ashar, laki-laki, perempuan, tua-muda, yang sendirian atau yang berpasangan seolah sepakat memenuhi halaman dermaga. Kerumunan orang-orang berseliweran hanya demi menyaksikan matahari turun dari langit, tenggelam ke bawah laut yang mendadak jingga. Lebih dari itu, tempat ini sangat berarti bagiku. Menyimpan banyak potongan cerita.
“Diandra, kan?” Seorang lelaki tanggung dengan jaket parasut merah, ragu-ragu menegurku. Takut salah mengenali, apa aku Diandra yang dia kenal atau bukan.
Aku mengangguk, “ya, saya Diandra.” Sahutku sambil mendongakkan kepala sekilas untuk melihat siapa gerangan lelaki itu. Hanya sekilas, tak cukup untuk membuatku ingat di bagian kenangan mana lelaki itu pernah ada. Tali sepatuku lagi-lagi terlepas−kebiasaan buruk yang selalu terulang meskipun sudah menggunakan simpul mati dan menyelipkan ujung tali sepatu ke dalam tumit.
Aku berdecak kesal.
Tanpa peringatan, lelaki itu tiba-tiba berlutut di depanku, tangannya cekatan menyimpulkan tali sepatuku yang terlepas. Sementara aku terlalu terpana menyaksikan sikap spontan dan sedikit ‘kurang ajar’ dari lelaki ini, sampai lupa harus berbuat apa.
“Udah segede ini tapi masih saja bermasalah dengan tali sepatu.” Gumamnya, seolah-olah menuduhku tidak becus.
Hey! Siapa cowok ini? Selain bahwa dia tahu namaku, apa haknya mengeluhkan kebiasaan burukku. Seolah
dia ini dulunya punya tempat istimewa sehingga berhak menegurku.
Lelaki itu kemudian menyejajarkan wajahnya denganku. Mungkin merasa aneh karena dari tadi aku diam saja. Matanya menatapku, dan aku balas menatapnya sengit. Sejenis tatapan−siapa kau! Berani-beraninya!
Dia punya mata hitam yang tegas dan bulu mata lentik. Sebuah perpaduan yang aneh.
“Kamu natap aku seolah-olah aku ini terdakwa, tahu nggak.” Dengan nada sedikit menggoda lelaki itu protes kutatap sengit sedemikian rupa.
Dalam hati aku dongkol berat. Ternyata cowok berbulu mata lentik ini sama sekali tidak sadar pada sikap kurang ajarnya barusan. Dasar laki-laki!
“Kamu siapa sih?!” Semburku jengkel, lalu berdiri dengan gerakan cepat. Aku tidak terima dia datang tiba-tiba mengusik suasana pagiku yang damai. Apa dia tidak tahu, butuh berbulan-bulan yang melelahkan sampai aku bisa datang ke tempat ini tanpa menghidupkan alarm kenangan yang membuat dadaku sesak.
Dia juga berdiri. Kami sekarang berhadapan.
“Datang-datang nyelonong ngikat tali sepatu aku. Kurang ajar banget.” Lanjutku menceracau dengan tatapan makin sengit.
Dia tampak terpana mendengar tuduhanku, ada sekelabat sirat terluka di manik mata hitamnya.
Dengan gugup dia mengalihkan tatapannya dariku. Menatap berkeliling untuk menyembunyikan kegugupan yang tergambar jelas dari air mukanya, sambil berkata lirih, “maaf, aku nggak bermaksud kurang ajar. Aku.. aku hanya nggak mau liat kamu jatuh lagi gara-gara nginjak tali sepatu sendiri.”
Lagi, katanya?
Selama hidupku, sejak aku mengenal sepatu kets yang dihadiahkan Ayah saat aku kelas tiga SD hingga usia sembilan belas, aku selalu bermasalah dengan tali sepatu yang selalu lepas. Tetapi jatuh gara-gara menginjak tali sepatu hanya pernah terjadi sekali.
Aku kelas dua SMP. Waktu itu aku terpaksa datang terlambat ke lapangan sekolah untuk kelas olahraga, gara-gara sebelumnya harus menjalani hukuman membersihkan seluruh kelas karena tidak ikut upacara bendera.
Napasku satu-dua begitu sampai di lapangan. Belum lagi sempat mengatur napas, Pak Robert−guru olahragaku−tanpa perikemanusiaan langsung menyebut namaku untuk melakukan lari sprint.
Aku mengomel, tapi tidak bisa membantah karena namaku memang berada di urutan atas daftar hadir.
Tidak ada waktu untuk mengecek tali sepatu.
Begitu Pak Robert meniupkan sumpritannya, kakiku langsung lepas landas. Kuayunkan kaki panjang-panjang, biar secepatnya mencapai garis finish sebelum dua orang lawan tandingku.
Namun, kadang-kadang ketika yang menjadi tujuan sudah di depan mata, kita jadi terlalu terburu-buru. Aku menjadi tidak sabar ketika melihat garis merah tinggal beberapa meter lagi. Langkahku menjadi pendek-pendek dengan tempo lari makin cepat. Tiba-tiba saja kaki kiriku seperti menjajak sesuatu yang salah, sedang yang kanan mandektak bisa terangkat. Badanku terdorong melayang ke depan, hilang keseimbangan.
Aku memejamkan mata, tidak berteriak. Versi jatuh terhorror mulai dari dagu berdarah, siku patah, sampai kepala terbentur, berkelabat bergantian di kepalaku. Aku takut. Jantungku serasa berhenti.
Adegan itu seperti diputar dengan tayangan lambat, membuat aku semakin gugup menanti pertemuanku dengan lantai beton lapangan sambil membayangkan sederet kemungkinan terburuk.
Aku sudah siap menunggu suara berdebam atau bunyi tulang patah. Tetapi sepersekian detik sebelum aku benar-benar jatuh, tubuhku melenting menimpa sesuatu. Tanganku refleks mencengkeram kuat-kuat sesuatu itu, sesuatu yang kuyakini dapat menyelamatkanku dari sederet kemungkinan terburuk.
Setelah yakin tidak ada suara berdebam dan bunyi tulang patah, aku membuka mata pelan-pelan. Membuang napas lega.
Koor ‘Uuu..’ dan siutan ‘Ciiee..’ panjang tumpang tindih tetiba menyeruak dari arah kerumunan, mataku gelagapan mencari-cari penyebab koor berirama itu. Dan betapa terkejutnya aku begitu menyaksikan kedua tanganku
masih mencengkeram erat sesuatu, yang ternyata adalah sepasang bahu tegap milik seseorang. Wangi cologne mengusik hidungku. Aku terkesiap, menyadari sepasang tangan pemilik bahu itu sedari tadi memegang lenganku, menahan agar aku tidak jatuh.
Aku membuang muka, menepis jauh-jauh kenangan memalukan itu.
Tetapi buru-buru aku menatapnya lagi, memandang lamat-lamat wajah diamnya yang menunduk. Tangannya tersembunyi di saku jaket. Mataku bergerak naik pada bahunya.
Astaga..
Dia mengangkat wajah, seolah tahu sedang kuperhatikan. Mata kami sejajar.
Apakah.. aku ragu melanjutkan.
Apakah dia pemilik bahu itu?
Lelaki itu menggerakkan bibirnya perlahan, “ini aku, Awan.” Suaranya lembut dengan sedikit nada ragu ketika menyebut namanya sendiri.
Awan dulu adalah teman SMP-ku. Terakhir kali kami bertemu saat pengumuman kelulusan. Kami bersekolah di SMA yang berbeda. Aku pindah rumah dan kami tidak pernah bertemu lagi.
Jadi takdir akhirnya memutuskan mempertemukan kami kembali setelah lima tahun berlalu. Waktu yang cukup lama, sampai aku sendiri nyaris lupa.
Kami terdiam cukup lama. Aku sama sekali tidak punya ide untuk memulai percakapan, itu bukan bakatku. Sepupuku Dani dulu bilang, aku punya bakat membuat orang-orang tidak nyaman berada di dekatku terlalu lama. Kurasa pendapatnya benar. Lagipula aku ke sini bukan untuk bertemu teman lama.
Untuk ukuran dua orang teman yang dipertemukan setelah cukup lama, kami berdua benar-benar payah. Kebanyakan orang mungkin akan saling menyapa, tersenyum sumringah, saling berpelukan hangat, lalu menanyakan kabar masing-masing. Tetapi lihatlah kami. Dua-duanya diam. Aku sibuk mendaftar berbagai macam sapaan ringan, dan dia kelihatannya juga begitu. Payah sekali bukan?
Menit-menit terbuang percuma. Tidak ada komunikasi yang terbangun, yang ada malah suasana canggung.
Aku mengedarkan pandang ke seluruh sisi dermaga, mengusir jauh-jauh kecanggunganku. Matahari sudah separuhnya menyinari laut. Langit berwarna biru bersih, mengaburkan batas antara dirinya dan laut. Dari arah ujung dermaga, dua pasang muda-mudi yang tadi berlari bersisian melewatiku, kini sudah kembali. Mungkin mereka akan langsung pulang, atau singgah sebentar di salah satu kios yang berderet rapi sepanjang jalan masuk dermaga, mencicipi kue-kue jajan pasar atau memesan nasi kuning untuk sarapan.
Aku menghela napas lagi. Ayolah.. kapan semua kesunyian ini berakhir?
“Lima tahun nggak ketemu, ternyata kamu nggak berubah,” sahutnya, entah dia sedang menyindirku atau bukan. Meskipun aku merasa lucu pada pilihan kalimat pembukanya. Tetapi apapun itu, aku menghargai usahanya menyudahi kecanggungan di antara kami.
“Oh ya?” Tanyaku tertarik.
Dia mengangguk.
“Buktinya?” Aku penasaran. Masa iya sih, aku yang sekarang dengan aku lima tahun lalu nggak ada perubahan sama sekali.
“Kamu masih curigaan sama cowok, bahkan yang berniat menolong sekalipun. Kamu juga masih betah diam-diaman lama. Belajar basa-basi dikit kenapa sih?” Jawabnya lancar, diiringi keluhan di ujung kalimat.
Aku mengajaknya berjalan sambil mengobrol, biar kami tetap santai berbicara apa saja. Sejak awal aku sadar, pertemuan ini sedikit banyak akan menyinggung masalah pribadi, karena ada beberapa hal yang tidak pernah terselesaikan di antara kami, dan aku selalu khawatir mengenainya.
“Kamu berubah banyak, sampai nggak ngenalin tadi.” Giliran aku yang berinisiatif memulai.
“Oh ya? Buktinya?” Dia meniru pertanyaanku.
Aku mengendikkan bahu, tidak terlalu yakin pada pernyataanku barusan, “ya.. kamu kelihatan lebih dewasa aja. Juga tambah tinggi.”
“Oh, jadi dulu aku kelihatan kayak anak-anak gitu?!” Dia protes.
“Ya nggak gitu juga! Maksud aku, kamu kelihatan beda dibanding lima tahun lalu.” Ralatku.
Dia menyengir.
Percakapan kami berlanjut. Dia bertanya banyak hal. Apa kegiatanku sekarang, apa aku masih suka membaca buku sampai tertidur, apa aku dulu masuk organisasi pecinta alam lagi di sekolah baruku, apa aku punya banyak teman, dia juga bertanya kabar sepupuku Dani. Awan adalah sahabat baik Dani, mungkin karena alasan itulah kami dulu menjadi teman.
Aku senang-senang saja menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Setiap aku selesai menjawab pertanyaannya, aku balas bertanya dengan pertanyaan yang sama. Awan protes, menyuruhku agar tidak meniru pertanyaannya. Tapi aku cuek saja, toh dia tetap menjawab.
Dari percakapan kami aku tahu dia sekarang sudah jadi tentara. Membuat aku iri. Berkarir di dunia militer adalah impian sejak aku masih SMA. Tetapi sepertinya impian itu harus aku buang jauh-jauh.
“Kenapa?”
“Aku nggak bisa berenang.”
“Kan bisa belajar.” Sahutnya, dia tidak terima aku membuang impianku gara-gara masalah yang bisa diusahakan penyelesaiannya.
Aku menggeleng. Berenang bukan perkara sepele buatku. Perempuan-perempuan di keluargaku sama sekali tidak ada yang pandai berenang, jadi tak ada yang bisa mengajariku. Kan, ada tempat khusus untuk belajar berenang, dengan pelatih pula. Tetap saja bukan masalah sederhana. Aku amat sangat risih memakai pakaian renang yang super ketat itu, apalagi harus mengenakannya di depan banyak orang yang tidak kukenal. Aku juga geli tubuhku disentuh orang lain, bahkan dengan alasan ingin melatihku berenang sekalipun.
Awan hanya tertawa mendengar alasanku. Mau belajar renang kok, tapi nggak mau disentuh-sentuh. Bagaimana bisa?
Aku mengendikkan bahu, ikut tertawa.
Sepertinya kami menikmati obrolan ringan ini hingga tidak sadar telah sampai di ujung dermaga. Pulau di seberang sana terlihat lebih dekat. Ada sebatang pohon kelapa yang mencuat di tengah-tengah pulau, satu-satunya yang paling tinggi dibanding pohon-pohon di sekitarnya.
Berada jauh di tengah-tengah laut begini, membuat rambutku berantakan dipermainkan angin.
Berdiri memandang laut di ujung dermaga, dengan matahari sudah sepenuhnya terang, angin menyibak-nyibak rambut, membuatku teringat sepotong kenangan tentang seseorang. Lukaku menjadi jeri.
“Pulang yuk.” Ajakku. Buru-buru aku membalikkan badan, berjalan lebih dulu. Mataku tiba-tiba perih.
Aku sama sekali tidak berniat menoleh ke belakang. Tidak peduli Awan mengikutiku atau tidak, yang jelas aku tidak ingin orang lain melihat mataku yang mulai merah. Aku mempercepat langkah.
“Kenapa buru-buru?” Awan sudah berjalan menjajariku, bertanya bingung. Mungkin melihatku aneh, memutuskan sesuatu tiba-tiba.
“Aku lapar.” Jawabku asal.
Kami berakhir di salah satu warung makan di sisi jalan masuk dermaga. Masing-masing melahap satu bungkus nasi kuning. Di kota kami, nasi kuning menjadi menu paling populer untuk sarapan, tidak perlu menunggu perayaan atau hari-hari spesial untuk menikmatinya. Cukup dengan menunggu di teras rumah saban pagi, menajamkan telinga hingga muncul suara mbak-mbak melengking di ujung jalan.
Nasi kuning! Nasi kuning!
Atau kalau tidak ingin menunggu, cukup datangi saja setiap toko kelontong di kota kami, mereka semua buka pagi-pagi, di sana akan ada berbungkus-bungkus nasi kuning titipan mbak-mbak pembuat nasi kuning.
Nasi bagianku cepat sekali tandas. Awan hanya tersenyum tipis melihat piringku sudah bersih sementara piringnya baru habis setengahnya. Aku cuek saja, sambil mencaplok satu gelas air mineral yang tersusun rapi di atas meja kami, enggan mempermasalahkan maksud senyum tipisnya tadi. Aku sadar diri, nafsu makanku memang naik dua kali lipat saat suasana hatiku sedang terganggu. Padahal menurut artikel kesehatan yang pernah kubaca, makan banyak saat sedang stress itu tidak sehat. Tapi toh, kebiasaan itu tidak pernah berubah. Peduli amat.
Kami berpisah di pertigaan jalan utama kota kami, rumah kami berbeda arah. Dua orang yang beberapa saat lalu bertemu, berjalan bersama-sama, kini saling berbalik membelakangi, masing-masing menjauh ke arah berbeda.
Sebelum kami benar-benar berpisah, Awan sempat mengungkapkan sesuatu.
Sebenarnya ada juga sih yang berubah dari kamu.
Apa?
“Kamu makin cantik.” Lesung pipinya tercetak jelas. Dia lalu benar-benar berbalik pergi. Sama sekali tak bertanggung jawab pada rasa bersalah yang muncul kembali setelah lima tahun berhasil kulupakan.
Aku tahu aku cantik. Dua sepupuku terang-terangan mengatakan wajahku mirip artis remaja Febi Febiola. Badanku proporsional, dengan kulit kuning langsat dan rambut panjang hitam legam. Kata seseorang yang bertanggungjawab atas luka yang kuemban : Kamu punya mata cemerlang dan wajah yang meyakinkan untuk mempengaruhi lawan bicaramu.
Senyumku mengembang mendengar pujiannya hari itu, tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan yang tiba-tiba buncah. Bahagia karena dia memujiku, padahal aku tahu dia tak sembarang memuji orang lain. Pujian itu membuatku berjanji. Aku tak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaannya.
Sayang sekali, bertahun-tahun setelah diucapkannya pujian itu. Aku menyesal memiliki wajah meyakinkan seperti yang dia maksud.
Mungkin wajah meyakinkan yang kupunyai itulah yang dulu juga mempengaruhi Awan. Waktu itu kami masih kelas tiga SMP. Sisa jam istirahat dihabiskan di dalam kelas, setiap baris bangku membentuk kelompok mengobrol masing-masing. Aku, Dani, dan Awan membentuk kelompok mengobrol sendiri. Awan sedari tadi bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya, saling melempar kode mata dengan Dani.
Aku yang merasa terabaikan dengan gusar bertanya ada apa.
“Awan mau ngumumin sesuatu di depan kelas. Penting.” Jawab Dani cepat, suaranya sengaja dibesar-besarkan biar seisi kelas mendengar.
Dari raut mukanya, Awan sepertinya keberatan. Tapi apa boleh buat, anak-anak sekelas
sudah penasaran bahkan cenderung menuntut. Awan tidak bisa menolak.
Jalannya rikuh, gugup memandang wajah-wajah kami yang menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Dia berdehem membasahi tenggorokan, “Ehm, gue mau ngaku.” Sebuah prolog yang menegangkan, menghadirkan kasak-kusuk.
Gue suka lo Diandra.
Aku terperangah. Kalimatnya jelas terarah padaku. Akau tidak menyangka Awan bisa bertingkah sekonyol itu.
Bangkuku berada di barisan tengah bersama Dani. Barisan bangku di sebelah kananku yang isinya perempuan semua, beramai-ramai menyerukan ‘Ciee..’. baris bangku sebelah kiri, yang isinya laki-laki semua tak mau kalah suara. Mereka bersuit-suit panjang, bersambung-sambung. Suara-suara gaduh itu terdengar seperti ejekan buatku.
Aku lari keluar kelas, berderai air mata.
Bukan tidak mungkin aku akan menjadi bulan-bulanan seluruh sekolah sepanjang sisa waktu sekolah kami. Kabar konyol seperti ini mudah sekali tersebar, apalagi ada banyak mata yang menyaksikan.
Dengan mata yang bengkak dan merah, aku tidak mau masuk kelas lagi. Aku tidak mau guru bahasa Indonesiaku yang baik hati menanyai sebab kedua mataku bengkak. Aku malu. Akhirnya Dani bersedia mengantarku pulang.
Sama seperti kalian para lelaki sering bilang kalauperempuan adalah makhluk paling sulit dimengerti. Aku pun menganggap Awan demikian. Sulit dimengerti. Betapa dangkalnya dia, hendak menukar hubungan pertemanan kami yang terjalin baik dan nyaman, dengan tingkah konyol yang nantinya bakal merentang jarak dan menciptakan kecanggungan di antara kami. Bukankah itu pertukaran yang merugikan?
Lagipula apa tidak cukup aku berkali-kali menolak pengakuannya dengan halus. Entah itu disampaikan lewat Dani atau dia tulis sendiri lewat surat. Tidak bisakah dia mengerti bahwa aku tidak suka tingkah kekanak-kanakannya.
Setelah insiden pengakuan itu aku selalu berusaha menghindar darinya. Aku tidak lagi hadir setiap hari sabtu di rumah Dani untuk belajar bersama. Hal-hal yang dulu biasa kami lakukan bertiga tak lagi kuikuti. Bahkan seandainya aku bisa pindah kelas, aku tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Agar tidak perlu bertemu dengan Awan setiap hari.
Selama sisa studi sampai hari pengumuman kelulusan, hubungan kami tidak pernah membaik. Aku yang selalu menghindar, dan dia yang mungkin terlanjur putus asa menghadapi serangan perang dinginku tak pernah berani menatapku lagi, apalagi berinisiatif mulai menyapa duluan.
Dani kehabisan cara untuk mendamaikan kami kembali. Dia menyerah sambil bersungut-sungut.
“Diamnya lo itu nyesekin tau, Ndra”. Keluhnya.
Dan seperti itulah kiranya hubungan pertemanan kami berakhir. Aku menganggapnya selesai ditandai dengan insiden pengakuan itu. Namun sepertinya masalah di antara kami belum benar-benar selesai.
Seperti siklus terbit dan tenggelamnya matahari. Setiap pagi di waktu-waktu tertentu dia akan datang, menyelesaikan beberapa hal yang belum sempat terselesaikan kemarin ketika dengan terpaksa ia harus tenggelam. Dia juga datang pagi ini, mungkin hendak menyelesaikan beberapa hal yang belum sempat terselesaikan di masa lalu.
*mohon kritik dan sarannya demi perkembangan karya author ya :)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!