Episode 5 MEngucapkan Terimakasih, Mengapa Begitu Sulit?

Bagiku, jatuh cinta adalah persoalan paling rumit. Tidak mudah. Tidak ada itu cintapada pandangan pertama di kehidupan nyata. Love at the first sight hanyalah bagian dari kalimat kiasan untuk menguatkancerita di film-film picisan.

Sebelum-sebelumnya aku sudah sering bertemu Kak Andra. Meski dia lebih senior dariku dan kelas kami berbeda, kegiatan organisasi membuat kami seringkali berada di tempat yang sama. Tetapi hidup kami tidak pernah benar-benar bersinggungan. Dia dengan teman-temannya, aku dengan teman-temanku. Sampai insiden ****** menggonggong malam itu, kukira itulah kali pertama aku dan dia ‘berkomunikasi’−permulaan komunikasi yang ganjil. Satu hal yang dapat kupastikan, malam itu Demi Tuhan! Aku belum merasakan gejala jatuh cinta.

Aku juga tidak sepaham dengan perasaan cinta yang tiba-tiba hadir di antara laki-laki dan perempuan yang awalnya adalah teman. Pertemanan bagiku adalah sebuah hubungan persaudaraan. Tempat berbagi apa saja tanpa pretensi, kamu bisa membicarakan hal-hal konyol, bisa nangis di depannya tanpa beban atau tertawa terbahak-bahak tanpa merasa jaim. Seseorang yang sudah kuanggap teman adalah sama seperti saudaraku.

Jadi ketika dulu Awan menyatakan perasaan sukanya padaku, aku menghindar, dia tak ubahnya seorang pengkhianat. Bisa-bisanya dia mengotori pertemanan baik kami yang diawali niat baik, dengan perasaan sukanya yang tidak bertanggung jawab.

Bukan tidak menghargai kejujurannya atau menyalahkan perasaannya. Tetapi aku sungguh kecewa pada Awan. Mengingat perbuatan-perbuatan baiknya, perhatiannya, yang dulu kukira tulus, ternyata selama ini menyimpan maksud tertentu.

Bagaimana perasaanmu seandainya orang-orang yang selama ini kamu anggap baik, ternyata tidak tulus. Kecewa pasti. Bahkan tidak ada kata yang dapat menggambarkan bagaimana kecewamu. Seperti itulah rasanya ketika Awan menyatakan rasa sukanya terang-terangan.

***

Baik. Lupakan sejenak soal Awan.

Setelah Kak Andra berhasil mengusir ******-****** itu jauh-jauh, Tuhan yang tahu betapa aku sangat berterimakasih padanya. Celakanya berkat bahasa isyaratku yang payah, terimakasih tak sempat diucapkan. Akhirnya jadilah beban hutang budi.

Dalam sebuah rapat keesokan harinya aku berniat menghampiri dan mengucapkan terimakasih, tapi urung tiba-tiba. Bagaimana kalau dia mengira kalau semua itu hanya akal-akalan untuk mendekatinya? Bagaimana kalau dia mengira aku sama dengan anak-anak perempuan yang modus padanya? Aku benci mengakuinya. Tetapi aku tidak suka bila orang-orang salah mengartikan maksudku.

Niatku batal. Ucapan terimakasih itu tinggal jadi beban.

Pada suatu siang waktu istirahat pertama, kuceritakan kesulitanku pada Anggun. Dia teman sebangkuku, satu satunya orang yang bisa kupercaya. Hanya ada kami berdua di kelas saat itu. Masing-masing dengan satu buku di tangan, sementara yang lain sudah keluar menuju kantin.

“Kamu sih, gengsinya selangit. Suka negatif thinking lagi.” Tuduh Anggun. Bukunya diletakkan dalam laci setelah

menandai halaman terakhir yang dibacanya. Fokus pada ceritaku.

“Ya, mungkin aja kan, Kak Andra berpikiran yang enggak-enggak tentang aku,” belaku tak mau kalah, “kalau misalnya aku tiba-tiba nyamperin Kak Andra nih, terus bilang ‘Kak Andra, soal yang kemarin malam itu. Makasih banyak yah, sudah menolong” aku mengatakannya dengan nada centil yang dilebih-lebihkan, “ish! Ntar Kak Andra ngira itu cuma akal-akalan aku aja supaya bisa ngobrol sama dia. Lagiapulan kejadian itu udah lama juga.” Aku menggerutu, dipersulit oleh pikiranku sendiri. Padahal tidak ada bagian yang terdengar aneh.

Anggun menggeleng pelan, sorot matanya terlihat prihatin. Kelihatan seperti aku adalah orang yang patut dikasihani. “Kamu tuh terlalu khawatir sama hal-hal yang belum tentu terjadi, tahu nggak. Kamu bisa kan lakuin apa yang kamu anggap perlu tanpa mikirin pendapat orang lain Ra?”

Aku terdiam. Anggun benar, aku terlalu memikirkan pendapat orang lain setiap akan melakukan sesuatu. Apalagi berhubungan dengan lawan jenis. Aku nggak mau kejadian yang sama terhadap Awan terulang, karena salah mengartikan maksud baikku.

“Kamu bilang aja ke Kak Andra, Ra. Nggak usah mikir macem-macem,” bujuknya lagi, “lagipula kamu nggak mau kan ngerasa berhutang budi terus sama dia?”

Kalimat terakhir Anggun membangkitkan kembali minatku. Yah, aku paling tidak suka merasa berhutang pada orang lain. Jadi kuputuskan bila bertemu Kak Andra lagi, aku akan segera mengucapkan terimakasih.

Sepuluh menit sebelum bel istirahat berakhir, kami menyempatkan diri ke kantin untuk segelas teh manis hangat. Haus setelah mengobrol lama.

Kesempatan itu datang di kantin sekolah. Aku dan Anggun masing-masing sudah memegang gelas kertas berisi teh manis hangat, bersiap-siap menuju kelas, ketika Kak Andra dan teman-temannya memasuki kantin. Rombongannya berpapasan dengan kami berdua.

Anggun sibuk menyikutku, menyuruh agar aku segera menghampiri Kak Andra dan menjalankan misi ucapan terimakasih yang tertunda. Tekadku sudah bulat, beban ini harus segera diselesaikan. Tetapi bisikan-bisikan sialan itu sangat mengganggu. Kamu nggak risih bilang begitu di depan teman-temannya? Gimana kalau mereka godain kamu?

Akhirnya aku berlalu begitu saja di depan rombongan Kak Andra. Lagi-lagi aku gagal.

“Kamu tuh bikin gemess tahu, Ra!” teriak Anggun di balik bahuku saat kami sudah jauh dari area kantin.

“Aku nggak bisa, ada banyak orang di sampingnya.” Kilahku. Aku tak peduli pada ringisan kesal Anggun.

Ternyata mengucapkan terimakasih bisa jadi lebih rumit daripada urusan cinta.

***

Memendam perasaan yang hendak diutarakan ternyata dapat membuatmu sesak. Sulit sekali bernapas, apalagi jika subjeknya berada radius beberapa meter darimu.

Dalam sekejap, rapat-rapat berubah menjadi sedemikian canggung, apalagi bila aku harus beradu argumen dengannya. Dan seakan semua keadaan tidak berpihak padaku, pada suatu rapat rutin di awal desember, aku dengan begitu mudah mengajukan diri sebagai sekretaris panitia pada kegiatan akhir tahun yang akan kami laksanakan bertepatan dengan malam tahun baru. Sebuah kegiatan amal, menyumbangkan buku-buku bacaan untuk sebuah rumah baca di perkampungan pesisir.

“Kita juga bisa melakukan penanaman mangrove di sana keesokan harinya. Bukankah itu menarik?” seseorang dengan mata berbinar mengajukan usul. Dia adalah Liana, teman sekelasku, kebetulan tempat duduknya berada di depan tempat dudukku dan Anggun. Selain sebagai teman satu organisasi, dia juga salah satu teman dekatku.

Usul Liana diterima dengan baik oleh seluruh peserta rapat.

Seorang laki-laki yang duduk di samping Kak Andra tiba-tiba menyahut. “Ide yang bagus, sementara orang lain merayakan pergantian tahun dengan membakar kembang api. Kita memanam pohon secara serentak untuk merayakannya.” Ada senyum kecil dan lirikan mata yang terasa ganjil ditujukan pada Liana. Dan Liana memberikan

respon serupa.

Aku tidak pernah meragukan instingku. Sikap mereka berdua menyiratkan sesuatu. Aku curiga pada temanku yang satu itu.

Ide Liana diterima, ia dimandat sebagai bendahara, aku sekretaris, laki-laki yang tiba-tiba menyahut tadi sebagai wakil ketua. Dan inilah yang membuatku merasaa keadaan sedang tidak berpihak padaku, ketua panitianya adalah Kak Andra.

Betapa menjengkelkannya. Jika kau sedang ingin menghindari pertemuan dengan seseorang, tetapi keadaan seolah-olah berkonspirasi mempertemukan kalian di setiap kesempatan. Aku tidak tahu harus kesal pada siapa.

 

 

Terpopuler

Comments

Nur Hayati

Nur Hayati

ga ada visual kah Thor??

2020-12-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!