Episode 2 Bertemu Awan

Selama hidupku, sejak aku mengenal sepatu kets yang dihadiahkan Ayah saat aku kelas tiga SD hingga usia sembilan belas, aku selalu bermasalah dengan tali sepatu yang selalu lepas. Tetapi jatuh gara-gara menginjak tali sepatu hanya pernah terjadi sekali.

Aku kelas dua SMP. Waktu itu aku terpaksa datang terlambat ke lapangan sekolah untuk kelas olahraga, gara-gara sebelumnya harus menjalani hukuman membersihkan seluruh kelas karena tidak ikut upacara bendera.

Napasku satu-dua begitu sampai di lapangan. Belum lagi sempat mengatur napas, Pak Robert−guru olahragaku−tanpa perikemanusiaan langsung menyebut namaku untuk melakukan lari sprint.

Aku mengomel, tapi tidak bisa membantah karena namaku memang berada di urutan atas daftar hadir.

Tidak ada waktu untuk mengecek tali sepatu.

Begitu Pak Robert meniupkan sumpritannya, kakiku langsung lepas landas. Kuayunkan kaki panjang-panjang, biar secepatnya mencapai garis finish sebelum dua orang lawan tandingku.

Namun, kadang-kadang ketika yang menjadi tujuan sudah di depan mata, kita jadi terlalu terburu-buru. Aku menjadi tidak sabar ketika melihat garis merah tinggal beberapa meter lagi. Langkahku menjadi pendek-pendek dengan tempo lari makin cepat. Tiba-tiba saja kaki kiriku seperti menjajak sesuatu yang salah, sedang yang kanan mandektak bisa terangkat. Badanku terdorong melayang ke depan, hilang keseimbangan.

Aku memejamkan mata, tidak berteriak. Versi jatuh terhorror mulai dari dagu berdarah, siku patah, sampai kepala terbentur, berkelabat bergantian di kepalaku. Aku takut. Jantungku serasa berhenti.

Adegan itu seperti diputar dengan tayangan lambat, membuat aku semakin gugup menanti pertemuanku dengan lantai beton lapangan sambil membayangkan sederet kemungkinan terburuk.

Aku sudah siap menunggu suara berdebam atau bunyi tulang patah. Tetapi sepersekian detik sebelum aku benar-benar jatuh, tubuhku melenting menimpa sesuatu. Tanganku refleks mencengkeram kuat-kuat sesuatu itu, sesuatu yang kuyakini dapat menyelamatkanku dari sederet kemungkinan terburuk.

Setelah yakin tidak ada suara berdebam dan bunyi tulang patah, aku membuka mata pelan-pelan. Membuang napas lega.

Koor ‘Uuu..’ dan siutan ‘Ciiee..’ panjang tumpang tindih tetiba menyeruak dari arah kerumunan, mataku gelagapan mencari-cari penyebab koor berirama itu. Dan betapa terkejutnya aku begitu menyaksikan kedua tanganku

masih mencengkeram erat sesuatu, yang ternyata adalah sepasang bahu tegap milik seseorang. Wangi cologne mengusik hidungku. Aku terkesiap, menyadari sepasang tangan pemilik bahu itu sedari tadi memegang lenganku, menahan agar aku tidak jatuh.

 

 

Aku membuang muka, menepis jauh-jauh kenangan memalukan itu.

Tetapi buru-buru aku menatapnya lagi, memandang lamat-lamat wajah diamnya yang menunduk. Tangannya tersembunyi di saku jaket. Mataku bergerak naik pada bahunya.

Astaga..

Dia mengangkat wajah, seolah tahu sedang kuperhatikan. Mata kami sejajar.

Apakah.. aku ragu melanjutkan.

Apakah dia pemilik bahu itu?

Lelaki itu menggerakkan bibirnya perlahan, “ini aku, Awan.” Suaranya lembut dengan sedikit nada ragu ketika menyebut namanya sendiri.

Awan dulu adalah teman SMP-ku. Terakhir kali kami bertemu saat pengumuman kelulusan. Kami bersekolah di SMA yang berbeda. Aku pindah rumah dan kami tidak pernah bertemu lagi.

Jadi takdir akhirnya memutuskan mempertemukan kami kembali setelah lima tahun berlalu. Waktu yang cukup lama, sampai aku sendiri nyaris lupa.

Kami terdiam cukup lama. Aku sama sekali tidak punya ide untuk memulai percakapan, itu bukan bakatku. Sepupuku Dani dulu bilang, aku punya bakat membuat orang-orang tidak nyaman berada di dekatku terlalu lama. Kurasa pendapatnya benar. Lagipula aku ke sini bukan untuk bertemu teman lama.

Untuk ukuran dua orang teman yang dipertemukan setelah cukup lama, kami berdua benar-benar payah. Kebanyakan orang mungkin akan saling menyapa, tersenyum sumringah, saling berpelukan hangat, lalu menanyakan kabar masing-masing. Tetapi lihatlah kami. Dua-duanya diam. Aku sibuk mendaftar berbagai macam sapaan ringan, dan dia kelihatannya juga begitu. Payah sekali bukan?

Menit-menit terbuang percuma. Tidak ada komunikasi yang terbangun, yang ada malah suasana canggung.

Aku mengedarkan pandang ke seluruh sisi dermaga, mengusir jauh-jauh kecanggunganku. Matahari sudah separuhnya menyinari laut. Langit berwarna biru bersih, mengaburkan batas antara dirinya dan laut. Dari arah ujung dermaga, dua pasang muda-mudi yang tadi berlari bersisian melewatiku, kini sudah kembali. Mungkin mereka akan langsung pulang, atau singgah sebentar di salah satu kios yang berderet rapi sepanjang jalan masuk dermaga, mencicipi kue-kue jajan pasar atau memesan nasi kuning untuk sarapan.

Aku menghela napas lagi. Ayolah.. kapan semua kesunyian ini berakhir?

“Lima tahun nggak ketemu, ternyata kamu nggak berubah,” sahutnya, entah dia sedang menyindirku atau bukan. Meskipun aku merasa lucu pada pilihan kalimat pembukanya. Tetapi apapun itu, aku menghargai usahanya menyudahi kecanggungan di antara kami.

“Oh ya?” Tanyaku tertarik.

Dia mengangguk.

“Buktinya?” Aku penasaran. Masa iya sih, aku yang sekarang dengan aku lima tahun lalu nggak ada perubahan sama sekali.

“Kamu masih curigaan sama cowok, bahkan yang berniat menolong sekalipun. Kamu juga masih betah diam-diaman lama. Belajar basa-basi dikit kenapa sih?” Jawabnya lancar, diiringi keluhan di ujung kalimat.

Aku mengajaknya berjalan sambil mengobrol, biar kami tetap santai berbicara apa saja. Sejak awal aku sadar, pertemuan ini sedikit banyak akan menyinggung masalah pribadi, karena ada beberapa hal yang tidak pernah terselesaikan di antara kami, dan aku selalu khawatir mengenainya.

“Kamu berubah banyak, sampai nggak ngenalin tadi.” Giliran aku yang berinisiatif memulai.

“Oh ya? Buktinya?” Dia meniru pertanyaanku.

Aku mengendikkan bahu, tidak terlalu yakin pada pernyataanku barusan, “ya.. kamu kelihatan lebih dewasa aja. Juga tambah tinggi.”

“Oh, jadi dulu aku kelihatan kayak anak-anak gitu?!” Dia protes.

“Ya nggak gitu juga! Maksud aku, kamu kelihatan beda dibanding lima tahun lalu.” Ralatku.

Dia menyengir.

Percakapan kami berlanjut. Dia bertanya banyak hal. Apa kegiatanku sekarang, apa aku masih suka membaca buku sampai tertidur, apa aku dulu masuk organisasi pecinta alam lagi di sekolah baruku, apa aku punya banyak teman, dia juga bertanya kabar sepupuku Dani. Awan adalah sahabat baik Dani, mungkin karena alasan itulah kami dulu menjadi teman.

Aku senang-senang saja menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Setiap aku selesai menjawab pertanyaannya, aku balas bertanya dengan pertanyaan yang sama. Awan protes, menyuruhku agar tidak meniru pertanyaannya. Tapi aku cuek saja, toh dia tetap menjawab.

Dari percakapan kami aku tahu dia sekarang sudah jadi tentara. Membuat aku iri. Berkarir di dunia militer adalah impian sejak aku masih SMA. Tetapi sepertinya impian itu harus aku buang jauh-jauh.

“Kenapa?”

“Aku nggak bisa berenang.”

“Kan bisa belajar.” Sahutnya, dia tidak terima aku membuang impianku gara-gara masalah yang bisa diusahakan penyelesaiannya.

Aku menggeleng. Berenang bukan perkara sepele buatku. Perempuan-perempuan di keluargaku sama sekali tidak ada yang pandai berenang, jadi tak ada yang bisa mengajariku. Kan, ada tempat khusus untuk belajar berenang, dengan pelatih pula. Tetap saja bukan masalah sederhana. Aku amat sangat risih memakai pakaian renang yang super ketat itu, apalagi harus mengenakannya di depan banyak orang yang tidak kukenal. Aku juga geli tubuhku disentuh orang lain, bahkan dengan alasan ingin melatihku berenang sekalipun.

Awan hanya tertawa mendengar alasanku. Mau belajar renang kok, tapi nggak mau disentuh-sentuh. Bagaimana bisa?

Aku mengendikkan bahu, ikut tertawa.

Sepertinya kami menikmati obrolan ringan ini hingga tidak sadar telah sampai di ujung dermaga. Pulau di seberang sana terlihat lebih dekat. Ada sebatang pohon kelapa yang mencuat di tengah-tengah pulau, satu-satunya yang paling tinggi dibanding pohon-pohon di sekitarnya.

Berada jauh di tengah-tengah laut begini, membuat rambutku berantakan dipermainkan angin.

Berdiri memandang laut di ujung dermaga, dengan matahari sudah sepenuhnya terang, angin menyibak-nyibak rambut, membuatku teringat sepotong kenangan tentang seseorang. Lukaku menjadi jeri.

“Pulang yuk.” Ajakku. Buru-buru aku membalikkan badan, berjalan lebih dulu. Mataku tiba-tiba perih.

Aku sama sekali tidak berniat menoleh ke belakang. Tidak peduli Awan mengikutiku atau tidak, yang jelas aku tidak ingin orang lain melihat mataku yang mulai merah. Aku mempercepat langkah.

“Kenapa buru-buru?” Awan sudah berjalan menjajariku, bertanya bingung. Mungkin melihatku aneh, memutuskan sesuatu tiba-tiba.

“Aku lapar.” Jawabku asal.

Kami berakhir di salah satu warung makan di sisi jalan masuk dermaga. Masing-masing melahap satu bungkus nasi kuning. Di kota kami, nasi kuning menjadi menu paling populer untuk sarapan, tidak perlu menunggu perayaan atau hari-hari spesial untuk menikmatinya. Cukup dengan menunggu di teras rumah saban pagi, menajamkan telinga hingga muncul suara mbak-mbak melengking di ujung jalan.

Nasi kuning! Nasi kuning!

Atau kalau tidak ingin menunggu, cukup datangi saja setiap toko kelontong di kota kami, mereka semua buka pagi-pagi, di sana akan ada berbungkus-bungkus nasi kuning titipan mbak-mbak pembuat nasi kuning.

Nasi bagianku cepat sekali tandas. Awan hanya tersenyum tipis melihat piringku sudah bersih sementara piringnya baru habis setengahnya. Aku cuek saja, sambil mencaplok satu gelas air mineral yang tersusun rapi di atas meja kami, enggan mempermasalahkan maksud senyum tipisnya tadi. Aku sadar diri, nafsu makanku memang naik dua kali lipat saat suasana hatiku sedang terganggu. Padahal menurut artikel kesehatan yang pernah kubaca, makan banyak saat sedang stress itu tidak sehat. Tapi toh, kebiasaan itu tidak pernah berubah. Peduli amat.

Kami berpisah di pertigaan jalan utama kota kami, rumah kami berbeda arah. Dua orang yang beberapa saat lalu bertemu, berjalan bersama-sama, kini saling berbalik membelakangi, masing-masing menjauh ke arah berbeda.

Sebelum kami benar-benar berpisah, Awan sempat mengungkapkan sesuatu.

Sebenarnya ada juga sih yang berubah dari kamu.

Apa?

“Kamu makin cantik.” Lesung pipinya tercetak jelas. Dia lalu benar-benar berbalik pergi. Sama sekali tak bertanggung jawab pada rasa bersalah yang muncul kembali setelah lima tahun berhasil kulupakan.

Terpopuler

Comments

smithswift

smithswift

like meluncur untukmu thor😉

2020-12-09

1

off

off

bahasa yang ringan banget tapi apik dan manis thor.

2020-12-08

1

off

off

sumpah diksi, narasi dn deskripsimu keren... 👍👍👍👍

2020-12-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!