“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Keputusan Pindah
Di dapur, aroma bawang dan minyak panas sudah menyebar. Seorang perempuan paruh baya, ART keluarga, sibuk menyiapkan bahan. Tubuhnya agak bungkuk, gerakannya cekatan.
Ardi melangkah masuk bersama Kevia. “Selamat pagi, Bu,” sapanya sopan.
Perempuan itu menoleh, menunduk hormat. “Pagi, Pak Ardi. Ada yang Anda butuhkan?”
Ardi mengangguk, lalu menatap Kevia sebentar. “Begini, Bu… saya ingin Kevia yang menyiapkan makanan untuk ibunya. Dia sudah terbiasa melakukannya. Jadi kalau boleh, biarkan dia ikut di dapur.”
ART itu menatap Kevia, lalu kembali pada Ardi. “Oh, tentu, Pak. Tidak masalah. Tapi biar saya bantu—”
“Tidak,” potong Ardi lembut, tapi tegas. “Biarkan dia yang urus. Dia tahu betul apa yang boleh dan tidak boleh dimakan ibunya. Anggap saja… ini tugas penting yang hanya bisa dia lakukan.”
Kevia menunduk, menahan senyum kecil di wajahnya. Ada rasa lega dan bangga, akhirnya, ia tahu apa yang harus ia kerjakan di rumah baru ini.
ART itu mengangguk, lalu bergeser memberi ruang di meja dapur. “Baiklah. Kalau begitu, mari, Non. Saya siapkan peralatannya, Nona yang masak.”
Kevia mengangguk, menarik napas dalam, lalu mengikat rambutnya. Tangannya kecil, tapi gerakannya mantap. Ada cahaya di matanya pagi ini, untuk pertama kali sejak pernikahan ayahnya, ia merasa berguna lagi.
Di dapur yang sederhana, aroma bawang goreng mulai menyeruak. Kevia berdiri di depan kompor, wajahnya serius tapi lembut. Tangannya cekatan menakar sayur bayam ke dalam mangkuk kecil. Ia tidak asal mengambil, melainkan benar-benar memerhatikan porsinya.
“Wah, Non pintar masak, ya,” ujar wanita paruh baya yang sejak tadi memasak di dapur.
“Cuma sedikit…” Kevia tampak ragu, bingung harus memanggil apa.
Wanita itu tersenyum tipis, mengerti. “Iyem. Panggil saja Bi Iyem.”
Kevia ikut tersenyum. “Aku Kevia, Bi.”
Obrolan kecil itu membuat dapur hangat. Mereka melanjutkan pekerjaan masing-masing, sementara Ardi berdiri tak jauh dari sana. Ia tidak menyela, hanya memerhatikan dengan tatapan yang dalam. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar, perempuan kecil ini, putrinya, tumbuh dengan hati penuh kasih.
Di kamar lain, Rima membuka mata. Tangannya meraba sisi ranjang yang dingin, kosong. Ardi tidak ada di sana. Dadanya seketika panas, seolah sesuatu yang susah payah ia genggam terlepas begitu saja. Wajahnya mengeras, tatapannya tajam menusuk gelap kamar.
“Jangan bilang dia… tidur di kamar itu,” gumamnya dengan tangan terkepal.
Dengan langkah terburu-buru, ia turun dari ranjang, menuju kamar Kemala. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu cukup keras hingga membuat Kemala tersentak.
Kemala yang tengah duduk bersandar di tepi ranjang mendongak, kaget sejenak. Namun tatapannya segera kembali tenang, seperti samudra yang menelan ombak.
Rima memindai ruangan itu cepat. Tidak ada Ardi. Matanya menyipit, ia bahkan melangkah masuk, membuka pintu kamar mandi kecil di pojok ruangan. Kosong.
“Apa yang kau cari?” tanya Kemala tenang, suaranya datar namun mengandung ketajaman samar. Ia tahu betul siapa yang dicari Rima.
Sejenak wajah Rima menegang, tapi ia buru-buru menyembunyikan amarahnya. Bibirnya melengkung tipis. “Seingatku ada barangku yang tertinggal di sini. Tapi… sepertinya aku salah ingat.”
“Ohh…” sahut Kemala, mengangguk pelan. Pura-pura percaya.
Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut mereka. Tegang, tapi senyap. Rima berbalik keluar, menutup pintu dengan cepat.
Kemala menarik napas panjang, menunduk. Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia tahu, pertarungan mereka bukan soal barang yang tertinggal. Melainkan tentang hati Ardi.
Sementara itu, Rima masih melangkah resah menyusuri lorong rumah. Pandangannya berkeliling, mencari sosok Ardi yang tak kunjung terlihat sejak tadi. Hingga telinganya menangkap suara bersin seorang pria dari arah dapur.
“Dia di sana?” gumamnya lirih, matanya menyipit penuh curiga.
Langkahnya menuntun ke dapur. Dan benar, sosok itu terlihat jelas. Ardi berdiri di sudut ruangan, memerhatikan putrinya yang sibuk di depan kompor bersama Bi Iyem. Tatapan lelaki itu teduh, penuh kebanggaan.
Hati Rima mencelos. Ada sesuatu di pemandangan itu yang menusuknya, seakan ia orang asing di rumah yang seharusnya menjadi miliknya.
“Ardi sayang…” Suaranya melengking manja, penuh nada menggoda. “Ngapain kamu di sini?”
Seketika suasana dapur berubah. Kevia menoleh cepat, tubuhnya menegang. Ada sentakan kecil di hatinya, seperti dicubit. Suara itu… suara wanita lain memanggil ayahnya dengan penuh manja. Rasanya aneh, asing, sekaligus menyakitkan.
Bi Iyem segera menunduk, pura-pura sibuk mengaduk sayur di wajan. Ia paham, itu bukan percakapan yang pantas ia saksikan.
Ardi tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak menoleh pada Rima, tidak juga menjawab dengan kehangatan seperti yang diharapkan perempuan itu. Suaranya tenang, bahkan dingin.
“Aku hanya menemani putriku menyiapkan sarapan untuk istriku. Kemala tidak bisa sembarangan makan… dan Kevia tahu betul apa yang boleh dan tidak boleh. Ia sudah terbiasa menyiapkan makanan untuk ibunya.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu. Tegas, sederhana, tapi jelas sekali siapa yang ada di hatinya saat ini.
Kevia menunduk, mengangguk kecil. Lalu, tanpa bicara lagi, ia kembali melanjutkan masakannya. Namun telinganya bergetar, hatinya masih perih mendengar suara manja Rima.
“Oh begitu…” Rima tersenyum tipis, tapi matanya tajam. “Baguslah. Aku memang tidak punya ART spesial yang bisa memasak untuk Kemala.” Ia menekankan nama itu, seolah sebuah sindiran.
Lalu dengan cepat ia meraih lengan Ardi, menariknya. “Ayo, kita kembali ke kamar kita. Biarkan urusan di sini mereka yang mengurus.”
Ardi diam, tapi tidak melawan. Ia membiarkan tubuhnya ditarik, meninggalkan dapur.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara sayur yang mendidih di panci, bercampur napas berat Kevia. Gadis itu menggenggam sendok sayur lebih erat.
Dalam.hati bergumam, "Ayah… aku harap kasih sayang Ayah padaku dan Ibu tak akan pudar."
Dadanya perih. Ada risau yang menekan, ada takut kehilangan yang memburu. Tapi tangannya tetap bergerak, menyelesaikan masakan untuk ibunya. Karena itu satu-satunya cara ia merasa berguna, dan satu-satunya cara ia melawan ketakutannya.
Saat pintu kamar menutup, Rima langsung mengulurkan tangannya, hendak memeluk Ardi. Namun lelaki itu segera mundur setengah langkah, wajahnya kaku.
“Kita bahas soal usaha yang harus aku urus,” ucapnya datar.
Rima mendesah panjang, mencoba mengubah nada suaranya jadi manja. “Ardi sayang, kita bisa bahas itu besok… atau lusa. Hari masih pagi. Tidur lagi yuk…” Tangannya meraih lengan Ardi, jemarinya berusaha mengikat.
Namun sekali lagi, Ardi menghindar. “Aku tak terbiasa tidur di jam segini. Dan aku juga tak biasa menganggur.” Tatapannya menusuk. “Kita langsung bahas saja. Usaha mana yang harus aku tangani.”
Senyum Rima retak sekejap. Ada panas yang merambat di dadanya, rasa ditolak, lagi dan lagi. Tapi ia menelan semua itu dengan desahan lembut, pura-pura pasrah. “Baiklah… kalau begitu kita bahas sekarang.”
Mereka pun terjebak dalam percakapan tentang bisnis, bukan keintiman. Kata-kata Ardi datar, tegas, seakan semua yang keluar hanya kewajiban. Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta.
Saat sarapan, suasana meja makan terasa berbeda. Kevia dan Riri sudah duduk rapi dengan seragam sekolah. Rima dan Ardi pun telah berganti pakaian, seolah pagi ini adalah panggung pertunjukan keluarga sempurna.
Kevia berdiri, hendak mengambil nasi untuk ibunya. Tapi Ardi segera menahan.
“Biar Ayah yang ambilkan makanan untuk Ibu. Kamu sarapanlah, jangan sampai terlambat sekolah.”
Kevia menunduk, tersenyum tipis. Ada lega kecil, sekaligus hangat yang menjalari dadanya. Kemala mengusap kepala putrinya penuh sayang, matanya berkaca-kaca menahan haru.
Namun di seberang meja, Riri hanya melirik dengan wajah datar, seolah menonton sesuatu yang tak menarik. Sedangkan Rima tersenyum tipis, senyum yang berhenti di bibir, dingin di mata. Ada bara yang ia sembunyikan.
Ardi kemudian melanjutkan, “Setelah sarapan, Ayah akan mengantarmu sekolah.”
“Iya, Yah,” jawab Kevia singkat, suaranya lembut.
Rima tiba-tiba berdehem, memecah keheningan. “Kevia ini kelas berapa, sih?” Nada suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu di balik tatapan itu, tajam, menilai.
“Kelas tujuh,” jawab Ardi cepat, datar.
“Oh…” Rima melirik bet sekolah di lengan Kevia. “Sepertinya sekolahnya berbeda dengan sekolah Riri, ya?” Bibirnya melengkung kecil. “Lebih baik Kevia dipindahkan saja ke sekolah Riri. Biar sekalian berangkat diantar supir. Praktis.”
Seketika udara di meja itu menegang. Kevia menunduk dalam, jantungnya mencelos. Kemala ikut menunduk, bibirnya terkatup rapat. Ada perasaan direbut, bahkan ruang kecil tempat putrinya bertumbuh pun hendak dikendalikan.
Ardi melirik bet sekolah di lengan Riri, lalu menimbang sebentar. “Sekolah Riri memang lebih dekat dengan rumah ini…” ucapnya pelan, tapi tegas. “Hari ini akan aku urus.”
Jawabannya datar, tanpa emosi.
Kevia menggenggam sendoknya erat. Ia tidak berani menatap siapa pun. Hatinya perih, seperti ada yang dirampas diam-diam.
Kemala menghela napas panjang, menunduk lebih dalam, mencoba menelan getir.
Dan Riri, di balik wajah datarnya, samar-samar menyembunyikan senyum.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Kenapa kau mengunci pintu?” tanya Ardi, alisnya berkerut.
Rima tersenyum manis, senyum yang justru terasa menusuk. “Agar suamiku tak keluyuran tengah malam.”
“Apa maksudmu?” Tatapan Ardi tajam, dingin.
To be continued