Berbeda dengan non-fiksi atau biografi, inti dari fiksi/novel adalah tidak nyata. Atau lebih tepatnya, ketidaknyataan ini dibangun berdasarkan kenyataan, dengan maksud untuk menerangi realita hidup. Seperti yang dikatakan Picasso: seni adalah kebohongan yang menyadarkan kita akan kebenaran.
Saat membaca novel, pembaca tahu bahwa segala sesuatunya adalah palsu. Tapi mereka juga paham bahwa penulis akan melakukan yang terbaik untuk menyakinkan mereka bahwa itu benar terjadi.
Inilah resep rahasia untuk fiksi/novel, yang merupakan kunci utama. Tanpa keyakinan akan kebenaran ini, keseluruhan cerita akan berantakan. Apabila pembaca tidak mempercayainya, maka ceritanya akan mati/hancur. Untungnya, para pembaca dengan senang hati menerima 'kepalsuan' ini. Mereka sepenuhnya siap untuk melepaskan ketidakpercayaan mereka untuk sementara waktu ketika mulai membaca.
Berikut ini 5 masalah yang perlu kamu perhatikan dengan baik.
1：Kesalahan pemahaman
Fiksi dan fakta sering dianggap berlawanan. Namun kenyataannya, mereka lebih seperti hubungan simbiosis.
Tanpa landasan fakta yang kokoh, maka fiksi akan menjadi karangan asal-asalan. Pembaca itu cerdas. Mungkin kamu tidak tahu tentang mekanika kuantum, atau apa yang dimakan koala, atau tahun berapa Napoleon dilahirkan, tapi beberapa dari mereka pasti ada yang tahu. Jadi, apabila kamu meliput pengetahuan umum tertentu, pastikan kamu tidak membuat pembaca menertawakanmu karena penuh dengan kesalahan.
2. Reaksi karakter yang tidak realistis
Psikologi manusia adalah akar dari semua fiksi.
Kepribadian, psikologi, pilihan, dan reaksi para tokohnya menggerakkan alur cerita.
Jika para tokoh tidak mencapai simulasi realisme yang dapat dipercaya, maka pembaca tidak akan mau. Realisme ini lebih nyata daripada reaksi para tokoh terhadap peristiwa yang mereka hadapi. Reaksi mereka mungkin reaktif, proaktif, konyol atau emosional. Tidak ada aturan tentang bagaimana mereka harus bereaksi, hanya saja reaksi mereka harus sesuai dengan kepribadian, motivasi, dan keadaan emosi mereka.
Reaksi tidak realistis yang paling umum dalam fiksi adalah adegan menangis. Air mata yang dipaksakan akan membuat pembaca merasa palsu. Jika emosi karakter (yaitu, emosi pembaca) tidak mencapai titik puncak emosi dan seharusnya dia tidak menangis, maka jangan membuatnya menangis.
3. Kurangnya respons karakter.
Hal yang lebih buruk dari reaksi karakter yang salah adalah tidak ada reaksi.
Karakter yang tidak pernah bereaksi tidak akan bisa dipercaya. Bukan hanya akan merasa tidak menarik, tapi pembaca juga akan sepenuhnya menebak tindakannya.
Ketika sesuatu yang penting terjadi, luangkan waktu untuk membuatnya bereaksi. Jangan hanya ditulis sekilas saja. Buat pembaca melihat apa yang terjadi dalam pikiran sang tokoh. Implisit memang bagus, tetapi pembaca harus sepenuhnya paham tentang apa yang terjadi, di mana dan mengapa.
4. Klise
Klise adalah masalah umum dalam banyak novel, karena merupakan ide yang paling mudah untuk dibuat. Tapi klise-klise ini sudah basi dan pembaca bahkan tidak akan meliriknya. Jangan coba memberikan klise dengan kesan orisinalitas, karena kamu akan menjadi bahan tertawaan. Pembaca sudah membaca adegan semacam ini berkali-kali, dan tidak peduli seberapa banyak kamu mengubahnya, mereka tetap akan mengenali ide itu.
5. Kesalahan plot
Semakin kompleks plotnya, maka semakin sulit untuk menyatukan semua bagiannya. Dengan membiarkan celah seperti ini di tempat terbuka, maka pembaca akan terpaku pada celah tersebut.
Segala sesuatu yang terjadi dalam sebuah cerita membutuhkan sumber keberadaan yang masuk akal dan penjelasan yang logis. Dengan kata lain, dalam cerita, ada janji yang harus ditepati, dan apa yang disebutkan sebelumnya harus diberikan sebagai imbalannya nanti.
Fiksi didasarkan pada ketidakpercayaan. Jika orang-orang dalam cerita bertindak tidak masuk akal atau tanpa alasan, maka kamu harus sangat berhati-hati untuk mengakhiri situasi ini. Detail kecil dari ketidakpercayaan bisa saja membuat pembaca langsung tidak fokus dan sulit untuk kembali menghayati cerita.
