BTS Guardians of Dawn
POV: Kapten Kim Namjoon
Hari ini, langit di perbatasan berwarna abu-abu baja, sama seperti hampir setiap hari lainnya. Aroma debu, mesin, dan ketegangan yang selalu menggantung sudah menjadi napas kedua bagiku. Dari jendela kantorku yang sempit, aku melihat para anak buahku—anak-anak buahku, Unit 7—sedang melakukan pemeriksaan rutin pada kendaraan lapis baja. Yoongi, dengan ekspresinya yang selalu masam seolah dunia ini personally owes him money, mengawasi dengan mata tajam. Hoseok, di sampingnya, bercerita tentang sesuatu dengan gerakan tangan yang berlebihan, pasti mencoba membuat Yoongi tersenyum. Usaha yang sia-sia, tapi dia tak pernah menyerah.
Kedatangan mereka sudah ku tetapkan di kalender dengan tinta merah dan tiga tanda tanya besar. Tim Medis & Rekonstruksi Perbatasan. Seven civilians. Di sini. Di tempat dimana suara keras bisa berarti kematian.
Aku mendengar suara truk sebelum melihatnya. Suara mesin yang tidak familier, terlalu...sipil untuk lokasi ini. Semua aktivitas di lapangan berhenti. Yoongi mengangkat alisnya, Hoseok berhenti berbicara, dan Jungkook yang sedang membersihkan senjatanya di atas jip, mengarahkan pandangan waspadanya ke gerbang. Itu adalah insting yang terlatih. Setiap sesuatu yang baru adalah potensi ancaman, sampai terbukti sebaliknya.
Truk itu masuk, dan dari dalamnya, mereka turun.
Satu persatu. Tujuh wanita. Mereka terlihat... out of place. Seperti sekumpulan bunga berwarna-warni yang tidak sengaja tertiup angin ke tengah lapangan yang gersang. Beberapa terlihat gugup, memandang sekeliling dengan mata berbinar penuh keheranan. Yang lain, terutama yang berjalan paling depan, terlihat lebih tenang. Dia yang kuyakin sebagai pemimpinnya, Dr. Arisya Dewi, berdasarkan file yang kubaca. Matanya tidak menunjukkan ketakutan, tetapi sebuah keteguhan yang membuatku sedikit... tertarik.
"Captain," sapa Yoongi yang sudah mendekat, suaranya rendah. "Mereka kah 'bantuan' yang dikatakan Command itu? Mereka terlihat seperti bisa terbang ditiup angin."
"Stand down, Sersan," kataku, tanpa melepaskan pandangan. "Mereka adalah tamu kita. Atau lebih tepatnya, tanggung jawab kita sekarang."
Aku menyambut mereka dengan formalitas militer yang kaku. Upacara penyambutan singkat. Aku menyampaikan peraturan keamanan dengan suara datar, mencoba menanamkan rasa urgensi dan bahaya yang mengintai di sini. Larangan untuk keluar area tanpa pengawalan, jam malam, prosedur jika terjadi insiden.
Dr. Dewi mendengarkan dengan saksama, lalu menjawab, "Kami memahami risikonya, Kapten. Tapi kami juga punya misi. Ada anak-anak di desa sebelah yang membutuhkan vaksin dan seorang ibu yang akan melahirkan minggu depan. Risiko kami hitung, dan kami memilih untuk datang."
Suaranya lembut tapi berisi. Aku melihat api di matanya. Sebuah idealisme yang menurutku naif, tapi juga... memberiku secercah harapan yang sudah lama kupendam dalam-dalam. Apakah mungkin hal-hal baik masih bisa tumbuh di tanah yang sekarat ini?
Hari-hari berikutnya adalah sebuah adjustment period yang chaotic. Mereka adalah badai energi yang menyentuh setiap sudut pangkalan. Jimin dan Taehyung, yang biasanya adalah sumber keonaran, tiba-tiba menjadi relawan paling rajin membantu mengangkat kotak-kotak perlengkapan medis. Aku melihat cara Jimin tersipu-sipu ketika salah satu perawat, Sofi, tersandung dan ditolongnya. Aku juga melihat bagaimana Jin tiba-tiba sering "kebetulan" lewat di dekat dapur darurat mereka hanya untuk mencoba kue yang dipanggang oleh Mia, ahli gizi mereka.
Tapi tidak semua momen indah.
Suatu siang, alarm berbunyi. Insiden. Tembakan dari arah perbatasan. Insting kami langsung bekerja. Otakku langsung membagi tugas, mengkoordinir anak buah untuk siaga.
"Masuk ke dalam! Semuanya ke bunker! Now!" teriakku kepada tim dokter yang sedang berada di halaman.
Panik. Mereka berhamburan. Tapi salah satu dari mereka, Clara, ahli logistik mereka, membeku di tempat, wajahnya pucat pasi, tidak bisa bergerak. Dia terpaku, ditelan oleh teror yang tiba-tiba.
Sebelum aku bisa bergerak, Hoseok sudah ada di sampingnya. "Hey,hey, look at me," katanya, suaranya tidak seperti biasanya. Lembut, menenangkan. Dia tidak menyentuhnya, hanya menempatkan dirinya antara Clara dan arah suara tembakan. "Clara, right? Itu cuma suara. Mereka sedang latihan. Kencang sekali, ya? Aku juga kaget tadi. Ayo, ikut aku. Kita lihat bunkernya, katanya sih ada persediaan coklat di dalam. Percaya, aku."
Dia tidak membohonginya tentang latihan. Itu bukan latihan. Tapi dia memberinya sesuatu untuk dipikirkan, sebuah anchor untuk menariknya keluar dari panik. Perlahan, Clara mengangguk, dan Hoseok membawanya pergi dengan selamat, sambil terus bercerita tentang "coklat bunker" yang legendaris.
Itu adalah pertama kalinya aku melihat langsung bagaimana bahaya di tempat ini bisa menghancurkan jiwa mereka yang tidak terlatih. Dan juga pertama kalinya aku melihat bagaimana salah satu anak buahku menanganinya bukan dengan prosedur, tapi dengan kemanusiaan.
Malam itu, setelah situasi reda, aku menemukan Dr. Dewi duduk sendirian di tangga belakang, memandang bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di langit perbatasan yang gelap.
"Masih hidup, Dokter?" kataku, mencoba untuk tidak terdengar terlalu kasar.
Dia menoleh, dan untuk pertama kalinya, aku melihat retakan kecil di benteng keteguhannya. Ada kelelahan di matanya. "Kami hampir tidak berguna tadi,ya, Kapten?" ujarnya. "Kalian langsung bertindak. Kami... membeku."
"Kalian tidak terlatik untuk itu," jawabku, duduk di sampingnya dengan menjaga jarak. "Kami yang terlatih untuk melindungi kalian yang tidak. Itu sebabnya kalian ada di sini. Untuk menyembuhkan. Dan kami di sini untuk memastikan kalian bisa melakukannya dengan aman."
Dia terdiam sejenak. "Tadi, Sersan Jung... dia sangat baik."
"Hoseok punya bakat untuk itu. Dia percaya senyuman adalah bentuk pertahanan diri yang terabaikan."
Dia akhirnya tersenyum kecil. "Mungkin kami bisa belajar satu dua hal dari kalian. Dan mungkin... kalian juga bisa belajar dari kami."
Saat itu, di bawah langit yang sama yang menyaksikan begitu banyak konflik, aku mulai menyadari sesuatu. Kedatangan mereka bukan hanya sebuah gangguan. Ini adalah sebuah ujian. Ujian bagi kami untuk mengingat apa yang kami perjuangkan. Bukan hanya perbatasan di peta, tetapi kemungkinan untuk perdamaian yang diwakili oleh orang-orang seperti mereka.
Dan ini baru babak pertama. Masih ada banyak malam sunyi, banyak ketegangan, dan banyak tawa yang akan datang. Aku menarik napas dalam. Ini akan menjadi penugasan yang paling menantang dan mungkin, yang paling berarti.
TBC
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments