POV: Kapten Kim Namjoon
Hari ini, langit di perbatasan berwarna abu-abu baja, sama seperti hampir setiap hari lainnya. Aroma debu, mesin, dan ketegangan yang selalu menggantung sudah menjadi napas kedua bagiku. Dari jendela kantorku yang sempit, aku melihat para anak buahku—anak-anak buahku, Unit 7—sedang melakukan pemeriksaan rutin pada kendaraan lapis baja. Yoongi, dengan ekspresinya yang selalu masam seolah dunia ini personally owes him money, mengawasi dengan mata tajam. Hoseok, di sampingnya, bercerita tentang sesuatu dengan gerakan tangan yang berlebihan, pasti mencoba membuat Yoongi tersenyum. Usaha yang sia-sia, tapi dia tak pernah menyerah.
Kedatangan mereka sudah ku tetapkan di kalender dengan tinta merah dan tiga tanda tanya besar. Tim Medis & Rekonstruksi Perbatasan. Seven civilians. Di sini. Di tempat dimana suara keras bisa berarti kematian.
Aku mendengar suara truk sebelum melihatnya. Suara mesin yang tidak familier, terlalu...sipil untuk lokasi ini. Semua aktivitas di lapangan berhenti. Yoongi mengangkat alisnya, Hoseok berhenti berbicara, dan Jungkook yang sedang membersihkan senjatanya di atas jip, mengarahkan pandangan waspadanya ke gerbang. Itu adalah insting yang terlatih. Setiap sesuatu yang baru adalah potensi ancaman, sampai terbukti sebaliknya.
Truk itu masuk, dan dari dalamnya, mereka turun.
Satu persatu. Tujuh wanita. Mereka terlihat... out of place. Seperti sekumpulan bunga berwarna-warni yang tidak sengaja tertiup angin ke tengah lapangan yang gersang. Beberapa terlihat gugup, memandang sekeliling dengan mata berbinar penuh keheranan. Yang lain, terutama yang berjalan paling depan, terlihat lebih tenang. Dia yang kuyakin sebagai pemimpinnya, Dr. Arisya Dewi, berdasarkan file yang kubaca. Matanya tidak menunjukkan ketakutan, tetapi sebuah keteguhan yang membuatku sedikit... tertarik.
"Captain," sapa Yoongi yang sudah mendekat, suaranya rendah. "Mereka kah 'bantuan' yang dikatakan Command itu? Mereka terlihat seperti bisa terbang ditiup angin."
"Stand down, Sersan," kataku, tanpa melepaskan pandangan. "Mereka adalah tamu kita. Atau lebih tepatnya, tanggung jawab kita sekarang."
Aku menyambut mereka dengan formalitas militer yang kaku. Upacara penyambutan singkat. Aku menyampaikan peraturan keamanan dengan suara datar, mencoba menanamkan rasa urgensi dan bahaya yang mengintai di sini. Larangan untuk keluar area tanpa pengawalan, jam malam, prosedur jika terjadi insiden.
Dr. Dewi mendengarkan dengan saksama, lalu menjawab, "Kami memahami risikonya, Kapten. Tapi kami juga punya misi. Ada anak-anak di desa sebelah yang membutuhkan vaksin dan seorang ibu yang akan melahirkan minggu depan. Risiko kami hitung, dan kami memilih untuk datang."
Suaranya lembut tapi berisi. Aku melihat api di matanya. Sebuah idealisme yang menurutku naif, tapi juga... memberiku secercah harapan yang sudah lama kupendam dalam-dalam. Apakah mungkin hal-hal baik masih bisa tumbuh di tanah yang sekarat ini?
Hari-hari berikutnya adalah sebuah adjustment period yang chaotic. Mereka adalah badai energi yang menyentuh setiap sudut pangkalan. Jimin dan Taehyung, yang biasanya adalah sumber keonaran, tiba-tiba menjadi relawan paling rajin membantu mengangkat kotak-kotak perlengkapan medis. Aku melihat cara Jimin tersipu-sipu ketika salah satu perawat, Sofi, tersandung dan ditolongnya. Aku juga melihat bagaimana Jin tiba-tiba sering "kebetulan" lewat di dekat dapur darurat mereka hanya untuk mencoba kue yang dipanggang oleh Mia, ahli gizi mereka.
Tapi tidak semua momen indah.
Suatu siang, alarm berbunyi. Insiden. Tembakan dari arah perbatasan. Insting kami langsung bekerja. Otakku langsung membagi tugas, mengkoordinir anak buah untuk siaga.
"Masuk ke dalam! Semuanya ke bunker! Now!" teriakku kepada tim dokter yang sedang berada di halaman.
Panik. Mereka berhamburan. Tapi salah satu dari mereka, Clara, ahli logistik mereka, membeku di tempat, wajahnya pucat pasi, tidak bisa bergerak. Dia terpaku, ditelan oleh teror yang tiba-tiba.
Sebelum aku bisa bergerak, Hoseok sudah ada di sampingnya. "Hey,hey, look at me," katanya, suaranya tidak seperti biasanya. Lembut, menenangkan. Dia tidak menyentuhnya, hanya menempatkan dirinya antara Clara dan arah suara tembakan. "Clara, right? Itu cuma suara. Mereka sedang latihan. Kencang sekali, ya? Aku juga kaget tadi. Ayo, ikut aku. Kita lihat bunkernya, katanya sih ada persediaan coklat di dalam. Percaya, aku."
Dia tidak membohonginya tentang latihan. Itu bukan latihan. Tapi dia memberinya sesuatu untuk dipikirkan, sebuah anchor untuk menariknya keluar dari panik. Perlahan, Clara mengangguk, dan Hoseok membawanya pergi dengan selamat, sambil terus bercerita tentang "coklat bunker" yang legendaris.
Itu adalah pertama kalinya aku melihat langsung bagaimana bahaya di tempat ini bisa menghancurkan jiwa mereka yang tidak terlatih. Dan juga pertama kalinya aku melihat bagaimana salah satu anak buahku menanganinya bukan dengan prosedur, tapi dengan kemanusiaan.
Malam itu, setelah situasi reda, aku menemukan Dr. Dewi duduk sendirian di tangga belakang, memandang bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di langit perbatasan yang gelap.
"Masih hidup, Dokter?" kataku, mencoba untuk tidak terdengar terlalu kasar.
Dia menoleh, dan untuk pertama kalinya, aku melihat retakan kecil di benteng keteguhannya. Ada kelelahan di matanya. "Kami hampir tidak berguna tadi,ya, Kapten?" ujarnya. "Kalian langsung bertindak. Kami... membeku."
"Kalian tidak terlatik untuk itu," jawabku, duduk di sampingnya dengan menjaga jarak. "Kami yang terlatih untuk melindungi kalian yang tidak. Itu sebabnya kalian ada di sini. Untuk menyembuhkan. Dan kami di sini untuk memastikan kalian bisa melakukannya dengan aman."
Dia terdiam sejenak. "Tadi, Sersan Jung... dia sangat baik."
"Hoseok punya bakat untuk itu. Dia percaya senyuman adalah bentuk pertahanan diri yang terabaikan."
Dia akhirnya tersenyum kecil. "Mungkin kami bisa belajar satu dua hal dari kalian. Dan mungkin... kalian juga bisa belajar dari kami."
Saat itu, di bawah langit yang sama yang menyaksikan begitu banyak konflik, aku mulai menyadari sesuatu. Kedatangan mereka bukan hanya sebuah gangguan. Ini adalah sebuah ujian. Ujian bagi kami untuk mengingat apa yang kami perjuangkan. Bukan hanya perbatasan di peta, tetapi kemungkinan untuk perdamaian yang diwakili oleh orang-orang seperti mereka.
Dan ini baru babak pertama. Masih ada banyak malam sunyi, banyak ketegangan, dan banyak tawa yang akan datang. Aku menarik napas dalam. Ini akan menjadi penugasan yang paling menantang dan mungkin, yang paling berarti.
TBC
Beberapa Minggu Kemudian
Kedatangan mereka telah mengubah DNA pangkalan ini. Rasanya seperti seseorang menyalakan lampu berwarna-warni di ruangan yang selama ini hanya diterangi lampu neon putih. Ada kekacauan, ya. Kotak-kotak berisi perlengkapan medis dan buku-buku pelajaran berserakan di samping kotak amunisi yang tertata rapi. Suara tertawa dan obrolan ceria seringkali memecah kesunyian siaga yang biasa kami jalani.
Aku harus terus mengingatkan diri sendiri untuk tidak tersenyum saat berjalan melewati mereka. Sebagai komandan, image harus dijaga. Tapi itu sulit.
Seperti pagi ini, misalnya. Aku menemukan Jungkook dengan serius mengajari Nina, seorang fisioterapis, cara memegang pistol yang benar di lapangan latihan. Wajahnya sangat serius, seolah sedang mengajarkan materi paling penting di dunia.
"Jempol di sini, Noona. Bukan di sana. Nanti malah melukai diri sendiri," kata Jungkook dengan suara rendah yang penuh wibawa, sangat berbeda dari anak muda ceplas-ceplos yang biasa kami kenal.
Nina mengangguk, berkonsentrasi penuh, lidahnya terjulut sedikit di sudut mulutnya. Aku melihat bagaimana ujung telinga Jungkook memerah setiap kali tangannya tidak sengaja menyentuh tangan Nina untuk membetulkan posisinya.
Di sudut lain, Jin terlihat sedang "memeriksa" stok logistik dapur—kegiatan yang menjadi jauh lebih sering sejak Mia, si ahli gizi, bergabung. Aku mendengar potongan percakapan mereka.
"...jadi dengan tepung yang lebih sedikit dan sedikit lebih banyak baking soda, kuenya akan lebih ringan," kata Mia, wajahnya bersemu merah karena panas oven darurat.
Jin mengangguk-angguk dengan sungguh-sungguh, seolah Mia sedang membongkar rahasia intelijen musuh. "Fascinating. Sungguh ilmu yang dalam. Apakah Noona sudah pernah mencoba membuat kimchi jeon? Aku punya resep turun-temurun..."
Aku menggeleng dan berjalan pergi. Biarkan saja. Setidaknya kami makan lebih enak akhir-akhir ini.
Tapi, tidak semua momen adalah tentang percikan romance yang canggung. Inti dari keberadaan mereka di sini adalah misi, dan itu berarti keluar dari relatif amannya pagar pangkalan.
Patroli pertama mereka ke desa terdekat adalah ujian nyata. Aku memimpin sendiri, dengan Yoongi dan Hoseok sebagai pendamping. Dr. Dewi membawa dua anggota timnya, Clara yang kemarin sempat panik, dan Sofi, perawat yang cekatan.
Perjalanan dengan jip melalui jalan berbatu terasa tegang. Yoongi, yang duduk di depan, matanya terus mengawasi setiap bukit dan semak belukar, tangannya tidak pernah jauh dari senjatanya. Hoseok, duduk di belakangku, biasanya cerewet, kali ini diam. Aku bisa merasakan betapa dia memantau Clara dari sudut matanya, siap bereaksi jika dia kembali panik.
Desa itu menyedihkan. Sebuah permukiman sederhana yang terjepit di antara dua kekuatan besar, hidup dalam ketakutan dan kekurangan. Wajah-warga desa awalnya penuh kehati-hatian saat melihat seragam kami. Tapi kemudian mereka melihat tim medis, dan perlahan-lahan, ketakutan itu berganti dengan harapan yang hati-hati.
Aku menyaksikan perubahan itu. Dr. Dewi langsung mengambil alih, membuka klinik darurat di sebuah bangunan yang rusak. Sofi dengan lembut menggendong seorang bayi yang demam. Clara, yang kukira akan gugup, justru menemukan jalannya. Dia ternyata jago dengan anak-anak. Dengan suara lembut dan trik sulap sederhana dari kantongnya, dia berhasil membuat beberapa anak tertawa, suara yang mungkin jarang terdengar di tempat ini.
Aku dan Yoongi berjaga di luar, mata kami terus mengawasi sekeliling. Tapi sebentar-sebentar, mataku tertarik ke dalam. Melihat cara mereka bekerja. Melihat senyum kecil Dr. Dewi saat berhasil menenangkan seorang ibu tua. Melihat bagaimana ketakutan Clara menghilang digantikan oleh fokus yang tajam saat dia menyadari dia bisa membantu.
"Captain," gerutu Yoongi, tanpa menoleh. "Kamu melongo. Kalau ada sniper, kamu sudah mati sepuluh kali."
Aku segera menoleh, merasa tertangkap basah. "Aku sedang mengawasi situasi, Sersan."
Yoongi mendengus. "Situasi di dalam pasti sangat 'mengancam'. Dokter itu tersenyum, dunia berhenti berputar."
Aku mengabaikan komentarnya, tapi merasakan telingaku panas. Dia tidak sepenuhnya salah.
Perjalanan pulang lebih tenang. Kelelahan tapi puas. Bahkan Yoongi terlihat sedikit lebih relaks. Sampai kami mendengar suara—deru mesin kendaraan yang tidak dikenal mendekat dengan cepat dari arah berlawanan.
Semua ketegangan kembali dalam sekejap.
"Jung Hoseok, jaga mereka!" perintahku singkat sebelum melompat turun dari jip, dengan Yoongi tepat di belakangku. Kami membentuk posisi bertahan di belakang jip, senjata terhunus.
Sebuah truk pickup tua yang penuh dengan orang-orang bersenjata—bukan seragam militer, tapi penyelundup atau milisi tidak resmi—berhenti beberapa meter dari kami. Pemimpinnya, seorang pria dengan wajah penuh parut, turun dengan senapan casual digendong di punggung.
"Hey, tentara!" teriaknya dalam bahasa yang kasar. "Apa yang kalian bawa dari desa itu? Barang bagus untuk dibagi?"
Jantungku berdebar kencang. Ini situasi yang buruk. Mereka outnumber kami, dan ada warga sipil di belakang kami.
Sebelum aku bisa menjawab, suara Dr. Dewi terdengar dari jip, tenang tapi jelas. "Kami membawa obat-obatan dan vaksin.Untuk anak-anak. Apakah Anda membutuhkannya? Kami punya cukup untuk berbagi."
Pria itu terlihat terkejut. Dia melirik ke arah suara, melihat Dr. Dewi yang sudah turun dan berdiri dengan tegak, tanpa menunjukkan ketakutan.
"Obat?" dia menggerutu, tampak bingung dengan respons yang tidak terduga ini.
"Ya," sambung Dr. Dewi, masih dengan suara yang sama. "Dan perban. Juga vitamin. Beberapa anak Anda mungkin membutuhkannya. Silahkan ambil, jika itu yang Anda inginkan."
Dia memberikan tawaran yang tidak bisa mereka tolak, tetapi juga melucuti niat permusuhan mereka. Mereka datang mengharapkan barang selundupan atau sesuatu yang berharga, bukan kotak-kotak antibiotik dan vitamin.
Pria itu memandanginya untuk sesaat, lalu memandangi kami, para prajurit yang masih dalam posisi siaga. Aku melihat perhitungan di matanya. Berperang dengan tentara untuk sekotak obat batuk? Itu bukan bisnis yang bagus.
Dia akhirnya meludah ke tanah. "Keep your medicine," geramnya. Dia memberi isyarat pada anak buahnya, dan mereka naik kembali ke truknya, lalu pergi dengan deru mesin yang sama kerasnya.
Aku menarik napas lega yang dalam. Aku menoleh ke Dr. Dewi. Dia berdiri di sana, tangannya sedikit gemetar tetapi matanya mantap.
"Langkah yang sangat berisiko, Dokter," kataku, mencoba menyembunyikan kekaguman yang mendadak membuncah di dadaku.
"Lebih berisiko jika kalian mulai menembak, Kapten," jawabnya, akhirnya membiarkan sedikit kelegaan terlihat di wajahnya. "Mereka terlihat seperti ayah dan suami yang putus asa, bukan pembunuh psikopat. Kadang-kadang, yang mereka butuhkan hanyalah diingatkan akan hal itu."
Dalam perjalanan kembali ke pangkalan, sunyi. Yoongi, yang duduk di depanku, tiba-tiba berkata tanpa menoleh, "Dia punya titik terang, Captain. Bodoh, tapi berani. Aku akan memberinya itu."
Itu adalah pujian tertinggi dari Min Yoongi.
Malam itu, saat aku berjalan memeriksa pos jaga, aku menemukan Dr. Dewi duduk sendirian di tangga yang sama, memandang bintang-bintang. Kali ini, ada secangkir teh di tangannya.
"Dokter," sapaku.
Dia menoleh dan, untuk pertama kalinya, tersenyum kecil padaku. Senyum yang sampai ke matanya. "Kapten. Masih memeriksa apakah saya masih hidup?"
"Kebiasaan," jawabku, duduk di sampingnya. Jarak antara kami sedikit lebih dekat dari上次 kali. "Tadi... itu adalah langkah yang sangat bodoh."
Dia menghela napas. "Saya tahu."
"Tapi juga sangat berani."
Dia menoleh kepadaku, terkejut.
"Terima kasih," kataku, menatapnya langsung. "Anda mungkin menyelamatkan nyawa orang hari ini. Termasuk nyawa kami."
Dia hanya mengangguk, tapi ada cahaya di matanya yang membuat sesuatu di dadaku berdesir. Kami duduk dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat, ditemani oleh jutaan bintang dan rasa saling pengertian yang baru lahir.
Aku mulai menyadari bahwa ancaman terbesar di perbatasan ini mungkin bukan peluru musuh, melainkan cara Dr. Kang Seol-ah dan timnya secara perlahan meluluhkan tembok yang selama bertahun-tahun kubangun di sekeliling hatiku. Dan yang lebih menakutkan, aku tidak yakin ingin menghentikannya.
TBC
POV: Sersan Mayor Min Yoongi
Dunia ini sudah gila. Itu satu-satunya kesimpulan yang bisa kuambil setelah minggu-minggu ini.
Pangkalan ini dulu adalah tempat yang bisa diprediksi. Berbahaya, ya. Tapi setidaknya tertib. Kami tahu peraturan. Kami tahu prosedur. Kami tahu bahwa hal paling tidak masuk akal yang akan kami lihat adalah Jungkook mencoba melakukan backflip dari atap jip atau Hoseok yang menyanyikan lagu Disney saat membersihkan senjatanya.
Sekarang? Sekarang ada wanita di mana-mana.
Mereka seperti kawanan burung eksotis yang terjatuh di tengah padang pasir. Berwarna-warni, berisik, dan sama sekali tidak aware dengan betapa berbahayanya tempat ini. Aku memergoki Jimin menyanyikan lagu untuk salah satu dari mereka—Sofi, kalau tidak salah—sementara dia menjahit seragam yang sobek. Menyanyi! Di zona perang! Apa berikutnya? Dance routine di ladang ranjau?
Dan Jin hyung. Oh, jangan bicara tentang Jin hyung. Dia tiba-tiba menjadi ahli masak paling bersemangat yang pernah ada, selalu "kebetulan" lewat saat Mia si ahli gizi sedang memasak. Aku mendengar mereka berdebat tentang perbandingan antara doenjang dan miso pagi tadi. Aku hampir meminta mereka untuk diam, tapi lalu aku mencicipi sup yang mereka buat bersama. Rasanya... sangat enak. Aku memutuskan untuk membiarkan krisis identitas kuliner mereka berlanjut.
Tapi yang paling membuatku gila adalah Kapten kita. Kim Namjoon. Si otak besi yang biasanya hanya memikirkan strategi dan linguistik, sekarang sering terlihat melamun. Melamun! Aku hampir saja mengirimnya ke bunker karena aku mengira dia mengalami gegar otak ringan. Ternyata dia hanya sedang memikirkan cara untuk "memfasilitasi integrasi yang lebih harmonis antara misi militer dan kemanusiaan". Bullshit. Dia hanya terpana pada Dokter Pemimpin mereka, Dewi. Itu jelas.
Aku adalah satu-satunya orang yang masih waras di sini. Aku adalah penjaga realitas. Penjaga dari kekacauan yang dipenuhi bunga dan nyanyian ini.
Itulah sebabnya aku sangat tidak setuju ketika Namjoon memutuskan untuk membawa mereka ke desa. Itu ide yang bodoh. Mereka adalah liabilitas. Titik.
Patroli itu adalah mimpi buruk yang berjalan lambat. Aku duduk di jip, mataku menyapu setiap batu, setiap semak, setiap bayangan. Setiap suara adalah potensi ancaman. Setiap keheningan adalah pertanda penyergapan.
Dan mereka? Mereka di belakang, tertawa kecil, mengobrol tentang... aku tidak tahu, tentang cuaca? Tentang betapa "eksotik"-nya pemandangannya? Mereka tidak mengerti. Mereka tidak mengerti bahwa keindahan di tempat ini adalah jebakan. Itu adalah kamuflase untuk kekejaman.
Sampai kami sampai di desa. Dan aku melihat sesuatu yang membuatku terdiam.
Aku melihat ketakutan di mata para penduduk. Itu adalah bahasa yang aku mengerti. Itu adalah bahasa yang lebih jujur daripada kata-kata apa pun. Dan kemudian aku melihat tim medis itu mulai bekerja.
Bukan Dokter Dewi. Bukan. Tapi Clara. Wanita yang waktu itu membeku seperti deer in the headlights. Dia duduk di tanah, kotor, dikelilingi oleh anak-anak kecil yang mata besarnya penuh dengan rasa ingin tahu dan mungkin kutu. Dan dia... dia tersenyum. Senyum kecil yang tidak pasti, tapi asli. Dia mengeluarkan selembar kertas dan mulai melipatnya, membuat origami burung yang jelek. Dan anak-anak itu, mereka terpana. Seolah-olah dia baru saja melakukan sulap terhebat di dunia.
Itu tidak masuk akal. Di tengah semua kekurangan ini, selembar kertas lipat bisa membuat mereka lupa sejenak.
Lalu ada insiden dengan para penyelundup bersenjata itu. Jantungku berdetak kencang. Ini dia. Ini saatnya kekacauan yang sebenarnya. Aku sudah membayangkan skenario terburuk. Aku sudah menghitung peluru yang kubawa.
Lalu Dokter Dewi berbicara. Dia menawarkan mereka obat-obatan.
Aku hampir saja menggerutu. Itu adalah langkah paling bodoh yang pernah kudengar. Ini bukan negosiasi di pasar. Ini adalah urusan dengan pria bersenjata yang putus asa.
Tapi sesuatu yang aneh terjadi. Itu berhasil. Mereka pergi. Aku berdiri di sana, jari masih di pelatuk, bingung. Apakah tadi benar-benar terjadi? Apakah ancaman itu baru saja dilucuti oleh tawaran pil vitamin C?
Dalam perjalanan pulang, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku terbiasa dengan solusi yang sederhana: ancam, blokir, atau hancurkan. Tapi dia... dia menggunakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada dalam buku pedoman militer manapun.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Aku pergi ke dapur, berharap menemukan kopi sisa, atau mungkin sisa sup enak tadi.
Dia ada di sana. Clara. Duduk sendirian di meja panjang, kepalanya tertunduk. Di tangannya ada origami burung yang jelek itu.
Dia mendengar langkahku dan mengangkat kepala. Matanya merah.
"Sersan Min," katanya, terkejut, dengan cepat mengusap matanya.
Aku mengangguk singkat, berjalan langsung ke termos kopi. Kosong. Aku menghela napas.
"Apakah Anda tidak bisa tidur?" tanyanya, suaranya kecil.
"Kebiasaan," jawabku pendek. Aku berbalik, bersandar di meja dapur, menyilangkan tangan. Aku melihat burung kertas itu. "Itu jelek."
Dia terkejut, lalu melihat ke origaminya dan tiba-tiba tersenyum kecil. "Ya. Sayapnya tidak seimbang."
"Kenapa kau melakukannya?" tanyaku. Itu adalah pertanyaan yang tulus. Aku benar-benar tidak mengerti.
Dia mengangkat bahu. "Karena itu mudah. Karena itu tidak menyakitkan. Dan karena... untuk sesaat, itu membuat mereka tersenyum. Seperti Sersan Jung tadi... dia membuat saya tersenyum saat saya ketakutan."
Hoseok. Si idiot yang cerah itu. Ternyata dia berguna juga.
Diam untuk sesaat. Aku memandanginya. Dia tidak lagi terlihat seperti burung yang ketakutan. Dia terlihat lelah, tapi... lebih kuat.
"Kau tadi tidak membeku," kataku tiba-tiba, dan segera menyesal karena itu terdengar seperti sebuah accusation.
Tapi dia mengangguk. "Saya tahu. Saya terkejut juga. Mungkin... mungkin karena kali ini saya punya sesuatu untuk dilakukan. Sesuatu yang saya kuasai. Meskipun hanya melipat kertas."
Aku mengangguk perlahan. Itu... masuk akal. Fokus. Misi. Itu yang membuat kami tetap waras di tengah kekacauan.
"Lain kali," kataku, suaraku masih datar, "lipatlah anjing. Lebih mudah daripada burung."
Matanya membesar, lalu dia tersenyum—senyum yang lebih lebar, lebih nyata. "Anda bisa melipat origami, Sersan?"
"Tidak," jawabku cepat, berbalik untuk pergi. "Aku hanya tahu teori. Tidurlah. Besok pagi ada latihan evakuasi. Jangan sampai tertidur."
Aku pergi, meninggalkannya sendirian di dapur. Tapi sebelum aku pergi, aku melihatnya mengambil selembar kertas lain dari notasinya, mungkin akan mencoba melipat anjing.
Gila. Semuanya gila.
Tapi mungkin, hanya mungkin, jenis kekacauan ini tidak sepenuhnya buruk. Asal tidak ada yang mengharapkanku untuk mulai menyanyi.
POV: Sersan Jung Hoseok
Matahari. Itu nama sandiku. Ya, tidak resmi, tapi seharusnya begitu. Tugasku, yang sebenarnya di luar menjadi seorang medic, adalah menjadi sinar matahari di tempat yang suram dan berdebu ini. Jika Yoongi hyung adalah bayangan yang mengawasi bahaya, aku adalah cahaya yang mengingatkan semua orang tentang apa yang kami lindungi.
Dan percayalah, sinar matahari ini telah bekerja lembur sejak mereka tiba.
Rasanya seperti seseorang menumpahkan seember glitter ke dunia abu-hijau kami. Tiba-tiba, ada aroma sesuatu yang dipanggang, bukan hanya bubuk mesiu dan solar. Ada suara tawa yang bercampur dengan statik radio. Jiminie, yang biasanya hanya melatih tendangan tinggi di waktu senggang, sekarang terlihat sedang membantu Sofi menjemur perban dengan wajah yang bersemu merah. Aku melihatnya. Dia bahkan menyanyikan lagu untuknya! Jimin! Yang biasanya malu jika menyanyi di luar latihan!
Tapi yang paling mengubah segalanya adalah Clara.
Wanita yang membeku seperti patung saat alarm berbunyi itu. Aku melihat ketakutan di matanya waktu itu. Itu adalah ketakutan yang dalam, jenis yang bisa melumpuhkan. Jadi aku mendekatinya dengan caraku. Bukan dengan perintah, tapi dengan omongan nonsense tentang coklat bunker. Itu berhasil. Dia mengikuti aku, dan untuk sesaat, aku melihat sedikit ketakutan itu pudar.
Sejak saat itu, itu seperti misi rahasia bagiku. Mission: Make Clara Smile.
Ini tidak seperti misi biasanya. Tidak ada rencana operasi, tidak ada koordinat. Hanya insting. Aku meninggalkan sebatang coklat di atas mejanya. Aku menyelipkan bunga liar yang kupetik saat patroli ke dalam bukunya. Hal-hal kecil. Konyol, mungkin. Yoongi hyung pasti akan menggerutu dan bilang aku membuang-buang waktu.
Tapi kemudian, saat patroli ke desa, aku menyaksikannya. Clara, yang ketakutan, berubah. Dia duduk di tanah, dikelilingi anak-anak, dan dia tersenyum. Senyum yang sebenarnya, yang sampai membuat matanya menyipit. Dia melipat kertas menjadi bentuk-bentuk aneh, dan anak-anak itu tertawa. Aku berdiri di sana, berjaga, dan hatiku merasa begitu penuh. Itu lebih membanggakan daripada menembak target sempurna dari jarak seratus meter.
Lalu ada insiden dengan para penyelundup bersenjata. Nadiku berdetak kencang. Ini situasi yang buruk. Aku melangkah mendekati Clara, siap untuk menyeretnya ke balik jip jika sesuatu terjadi. Tapi kemudian Dr. Dewi berbicara. Dan cara dia melakukannya... begitu tenang, begitu kuat. Dia tidak mengacungkan senjata; dia menawarkan bantuan. Itu adalah jenis keberanian yang berbeda. Jenis yang tidak kami ajarkan di pelatihan.
Dan itu berhasil. Aku hampir tidak percaya.
Dalam perjalanan pulang, suasana di jip berbeda. Rasa takut telah digantikan oleh rasa hormat. Aku menangkap Clara memandangku, dan dia memberikan senyum kecil yang membuatku merasa seperti baru saja memenangkan medali.
Malamnya, setelah semua orang tidur, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Aku berjalan ke dapur untuk mencari air, dan siapa yang kudapati di sana? Yoongi hyung dan Clara. Mereka sedang berbicara! Yoongi hyung, yang biasanya lebih banyak bicara dengan senjatanya daripada dengan manusia!
Aku bersembunyi di balik pintu, tidak mau mengganggu. Aku mendengar hyung bilang origami burungnya jelek, dan Clara tertawa. Tertawa! Dengan Min Yoongi! Aku harus menggosok mataku untuk memastikan aku tidak bermimpi.
Ini... ini ajaib. Kehadiran mereka tidak hanya membawa warna dan tawa; itu juga membawa sisi lain dari kami yang mungkin terlupakan. Sisi Jin hyung yang suka masak. Sisi Namjoon hyung yang pemikir. Sisi Yoongi hyung yang... well, yang sebenarnya punya hati di balik semua gerutunya.
Aku kembali ke barak, perasaan hangat di dada. Maybe, just maybe, kami bukan hanya melindungi mereka. Maybe mereka juga menyembuhkan kami, dengan cara mereka sendiri.
Dan besok, aku punya ide. Aku akan mengajak Clara membantu aku membagikan vitamin kepada tim. Dengan alasan bahwa senyumnya bisa membuat para prajurit lebih bersemangat. Itu alasan yang bagus, kan?
Mission: Make Clara Smile is still go. Dan ini adalah misi terfavoritku sejauh ini.
Download NovelToon APP on App Store and Google Play