Beberapa Minggu Kemudian
Kedatangan mereka telah mengubah DNA pangkalan ini. Rasanya seperti seseorang menyalakan lampu berwarna-warni di ruangan yang selama ini hanya diterangi lampu neon putih. Ada kekacauan, ya. Kotak-kotak berisi perlengkapan medis dan buku-buku pelajaran berserakan di samping kotak amunisi yang tertata rapi. Suara tertawa dan obrolan ceria seringkali memecah kesunyian siaga yang biasa kami jalani.
Aku harus terus mengingatkan diri sendiri untuk tidak tersenyum saat berjalan melewati mereka. Sebagai komandan, image harus dijaga. Tapi itu sulit.
Seperti pagi ini, misalnya. Aku menemukan Jungkook dengan serius mengajari Nina, seorang fisioterapis, cara memegang pistol yang benar di lapangan latihan. Wajahnya sangat serius, seolah sedang mengajarkan materi paling penting di dunia.
"Jempol di sini, Noona. Bukan di sana. Nanti malah melukai diri sendiri," kata Jungkook dengan suara rendah yang penuh wibawa, sangat berbeda dari anak muda ceplas-ceplos yang biasa kami kenal.
Nina mengangguk, berkonsentrasi penuh, lidahnya terjulut sedikit di sudut mulutnya. Aku melihat bagaimana ujung telinga Jungkook memerah setiap kali tangannya tidak sengaja menyentuh tangan Nina untuk membetulkan posisinya.
Di sudut lain, Jin terlihat sedang "memeriksa" stok logistik dapur—kegiatan yang menjadi jauh lebih sering sejak Mia, si ahli gizi, bergabung. Aku mendengar potongan percakapan mereka.
"...jadi dengan tepung yang lebih sedikit dan sedikit lebih banyak baking soda, kuenya akan lebih ringan," kata Mia, wajahnya bersemu merah karena panas oven darurat.
Jin mengangguk-angguk dengan sungguh-sungguh, seolah Mia sedang membongkar rahasia intelijen musuh. "Fascinating. Sungguh ilmu yang dalam. Apakah Noona sudah pernah mencoba membuat kimchi jeon? Aku punya resep turun-temurun..."
Aku menggeleng dan berjalan pergi. Biarkan saja. Setidaknya kami makan lebih enak akhir-akhir ini.
Tapi, tidak semua momen adalah tentang percikan romance yang canggung. Inti dari keberadaan mereka di sini adalah misi, dan itu berarti keluar dari relatif amannya pagar pangkalan.
Patroli pertama mereka ke desa terdekat adalah ujian nyata. Aku memimpin sendiri, dengan Yoongi dan Hoseok sebagai pendamping. Dr. Dewi membawa dua anggota timnya, Clara yang kemarin sempat panik, dan Sofi, perawat yang cekatan.
Perjalanan dengan jip melalui jalan berbatu terasa tegang. Yoongi, yang duduk di depan, matanya terus mengawasi setiap bukit dan semak belukar, tangannya tidak pernah jauh dari senjatanya. Hoseok, duduk di belakangku, biasanya cerewet, kali ini diam. Aku bisa merasakan betapa dia memantau Clara dari sudut matanya, siap bereaksi jika dia kembali panik.
Desa itu menyedihkan. Sebuah permukiman sederhana yang terjepit di antara dua kekuatan besar, hidup dalam ketakutan dan kekurangan. Wajah-warga desa awalnya penuh kehati-hatian saat melihat seragam kami. Tapi kemudian mereka melihat tim medis, dan perlahan-lahan, ketakutan itu berganti dengan harapan yang hati-hati.
Aku menyaksikan perubahan itu. Dr. Dewi langsung mengambil alih, membuka klinik darurat di sebuah bangunan yang rusak. Sofi dengan lembut menggendong seorang bayi yang demam. Clara, yang kukira akan gugup, justru menemukan jalannya. Dia ternyata jago dengan anak-anak. Dengan suara lembut dan trik sulap sederhana dari kantongnya, dia berhasil membuat beberapa anak tertawa, suara yang mungkin jarang terdengar di tempat ini.
Aku dan Yoongi berjaga di luar, mata kami terus mengawasi sekeliling. Tapi sebentar-sebentar, mataku tertarik ke dalam. Melihat cara mereka bekerja. Melihat senyum kecil Dr. Dewi saat berhasil menenangkan seorang ibu tua. Melihat bagaimana ketakutan Clara menghilang digantikan oleh fokus yang tajam saat dia menyadari dia bisa membantu.
"Captain," gerutu Yoongi, tanpa menoleh. "Kamu melongo. Kalau ada sniper, kamu sudah mati sepuluh kali."
Aku segera menoleh, merasa tertangkap basah. "Aku sedang mengawasi situasi, Sersan."
Yoongi mendengus. "Situasi di dalam pasti sangat 'mengancam'. Dokter itu tersenyum, dunia berhenti berputar."
Aku mengabaikan komentarnya, tapi merasakan telingaku panas. Dia tidak sepenuhnya salah.
Perjalanan pulang lebih tenang. Kelelahan tapi puas. Bahkan Yoongi terlihat sedikit lebih relaks. Sampai kami mendengar suara—deru mesin kendaraan yang tidak dikenal mendekat dengan cepat dari arah berlawanan.
Semua ketegangan kembali dalam sekejap.
"Jung Hoseok, jaga mereka!" perintahku singkat sebelum melompat turun dari jip, dengan Yoongi tepat di belakangku. Kami membentuk posisi bertahan di belakang jip, senjata terhunus.
Sebuah truk pickup tua yang penuh dengan orang-orang bersenjata—bukan seragam militer, tapi penyelundup atau milisi tidak resmi—berhenti beberapa meter dari kami. Pemimpinnya, seorang pria dengan wajah penuh parut, turun dengan senapan casual digendong di punggung.
"Hey, tentara!" teriaknya dalam bahasa yang kasar. "Apa yang kalian bawa dari desa itu? Barang bagus untuk dibagi?"
Jantungku berdebar kencang. Ini situasi yang buruk. Mereka outnumber kami, dan ada warga sipil di belakang kami.
Sebelum aku bisa menjawab, suara Dr. Dewi terdengar dari jip, tenang tapi jelas. "Kami membawa obat-obatan dan vaksin.Untuk anak-anak. Apakah Anda membutuhkannya? Kami punya cukup untuk berbagi."
Pria itu terlihat terkejut. Dia melirik ke arah suara, melihat Dr. Dewi yang sudah turun dan berdiri dengan tegak, tanpa menunjukkan ketakutan.
"Obat?" dia menggerutu, tampak bingung dengan respons yang tidak terduga ini.
"Ya," sambung Dr. Dewi, masih dengan suara yang sama. "Dan perban. Juga vitamin. Beberapa anak Anda mungkin membutuhkannya. Silahkan ambil, jika itu yang Anda inginkan."
Dia memberikan tawaran yang tidak bisa mereka tolak, tetapi juga melucuti niat permusuhan mereka. Mereka datang mengharapkan barang selundupan atau sesuatu yang berharga, bukan kotak-kotak antibiotik dan vitamin.
Pria itu memandanginya untuk sesaat, lalu memandangi kami, para prajurit yang masih dalam posisi siaga. Aku melihat perhitungan di matanya. Berperang dengan tentara untuk sekotak obat batuk? Itu bukan bisnis yang bagus.
Dia akhirnya meludah ke tanah. "Keep your medicine," geramnya. Dia memberi isyarat pada anak buahnya, dan mereka naik kembali ke truknya, lalu pergi dengan deru mesin yang sama kerasnya.
Aku menarik napas lega yang dalam. Aku menoleh ke Dr. Dewi. Dia berdiri di sana, tangannya sedikit gemetar tetapi matanya mantap.
"Langkah yang sangat berisiko, Dokter," kataku, mencoba menyembunyikan kekaguman yang mendadak membuncah di dadaku.
"Lebih berisiko jika kalian mulai menembak, Kapten," jawabnya, akhirnya membiarkan sedikit kelegaan terlihat di wajahnya. "Mereka terlihat seperti ayah dan suami yang putus asa, bukan pembunuh psikopat. Kadang-kadang, yang mereka butuhkan hanyalah diingatkan akan hal itu."
Dalam perjalanan kembali ke pangkalan, sunyi. Yoongi, yang duduk di depanku, tiba-tiba berkata tanpa menoleh, "Dia punya titik terang, Captain. Bodoh, tapi berani. Aku akan memberinya itu."
Itu adalah pujian tertinggi dari Min Yoongi.
Malam itu, saat aku berjalan memeriksa pos jaga, aku menemukan Dr. Dewi duduk sendirian di tangga yang sama, memandang bintang-bintang. Kali ini, ada secangkir teh di tangannya.
"Dokter," sapaku.
Dia menoleh dan, untuk pertama kalinya, tersenyum kecil padaku. Senyum yang sampai ke matanya. "Kapten. Masih memeriksa apakah saya masih hidup?"
"Kebiasaan," jawabku, duduk di sampingnya. Jarak antara kami sedikit lebih dekat dari上次 kali. "Tadi... itu adalah langkah yang sangat bodoh."
Dia menghela napas. "Saya tahu."
"Tapi juga sangat berani."
Dia menoleh kepadaku, terkejut.
"Terima kasih," kataku, menatapnya langsung. "Anda mungkin menyelamatkan nyawa orang hari ini. Termasuk nyawa kami."
Dia hanya mengangguk, tapi ada cahaya di matanya yang membuat sesuatu di dadaku berdesir. Kami duduk dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat, ditemani oleh jutaan bintang dan rasa saling pengertian yang baru lahir.
Aku mulai menyadari bahwa ancaman terbesar di perbatasan ini mungkin bukan peluru musuh, melainkan cara Dr. Kang Seol-ah dan timnya secara perlahan meluluhkan tembok yang selama bertahun-tahun kubangun di sekeliling hatiku. Dan yang lebih menakutkan, aku tidak yakin ingin menghentikannya.
TBC
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments