POV: Kim Taehyung
Dunia ini penuh dengan pola. Itu yang selalu kulihat. Pola di dedaunan yang bisa menunjukkan jejak. Pola di langit yang bisa memprediksi cuaca. Pola dalam kode musuh yang bisa dipecahkan. Tapi pola yang dibawa oleh Tim Artemis... ini berbeda. Ini adalah pola yang indah.
Mereka seperti tujuh nada yang berbeda yang tiba-tiba memasuki lagu kami yang hanya memiliki satu melodi. Awalnya terdengar kacau, tapi sekarang... sekarang aku mulai mendengar harmoninya.
Aku suka mengamati mereka. Bukan dalam cara yang menyeramkan, tapi seperti aku mengamati sekumpulan burung langka yang baru saja aku temukan. Setiap orang memiliki polanya sendiri-sendiri.
Dr. Dewi, sang pemimpin, polanya seperti pohon oak yang kuat—tegak, tidak goyah, melindungi yang lain di bawahnya.
Mia, si ahli gizi, polanya seperti api kompor—hangat, menenangkan, dan menjadi pusat yang menarik semua orang berkumpul.
Sofi, polanya seperti aliran air—lembut dan menenangkan, terlihat dari cara dia merawat pasien dan cara Jimin hyung menjadi lebih kalem di dekatnya.
Clara... polanya seperti kertas origami—rapi, terlipat rapat, tetapi bisa dibentuk menjadi sesuatu yang menakjubkan ketika dibuka dengan hati-hati. Aku melihat bagaimana Hoseok hyung mencoba membuka lipatan-lipatan itu dengan lelucon dan cokelat.
Tapi yang paling menarik perhatianku adalah Yoo-mi.
Ahli geologi itu. Polanya seperti bebatuan yang dia pelajari—kuat tapi penuh kejutan. Di permukaan, dia terlihat paling gugup, paling mudah terkejut. Matanya selalu membesar seperti anak rusa yang waspada. Tapi aku melihat sesuatu yang lain.
Aku melihatnya menyelipkan batu-batu kecil ke dalam saku jas labnya saat dia pikir tidak ada yang melihat. Aku melihat caranya memandang formasi batuan di sekitar pangkalan dengan rasa ingin tahu yang dalam, bukan ketakutan.
Hari ini, saat patroli rutin di perimeter timur, aku menemukan sesuatu. Sebuah batu dengan pola kristal yang tidak biasa. Itu berkilau di bawah sinar matahari dengan warna pelangi. Langsung, aku tahu ini untuk Yoo-mi.
Saat kembali ke pangkalan, aku mendekatinya. Dia sedang duduk sendirian, menganalisis sampel tanah di meja sementara.
"Noona," sapaku, membuatnya sedikit terkejut. Dia hampir menjatuhkan mikroskop portabelnya.
"Taehyung-ssi! Jangan lakukan itu!" dia memprotes, tangan di dadanya.
"Maaf," kataku dengan senyum. Aku mengulurkan tangan, membuka telapak tangannya untuk menunjukkan batu itu. "Aku menemukan ini. Itu... mengingatkanku pada Noona."
Dia memandangku dengan curiga, lalu matanya tertarik pada batu itu. Ahli geologi dalamnya mengambil alih. Dia mengambilnya dengan hati-hati, matanya membesar.
"Ini... ini kuarsa dengan inklusi rutil! Jarang ditemukan di wilayah ini!" serunya, lupa sepenuhnya untuk takut. "Di mana kamu menemukannya?"
"Dekat tebing tempat matahari terbit," jawabku. "Ada lebih banyak di sana. Tapi..." Aku menurunkan suara. "Itu dekat dengan pagar perbatasan. Area yang sedikit... sensitif."
Aku melihat konflik di matanya. Keinginan besar untuk melihat formasi batuan itu berperang dengan ketakutannya.
"Itu pasti formasi yang tidak biasa," gumannya, hampir pada dirinya sendiri. "Keberadaan kuarsa rutil seperti ini bisa menunjukkan..."
"Aku bisa mengawal Noona besok pagi," kataku dengan santai, seolah menawarkan untuk berjalan ke taman, bukan ke zona berbahaya. "Sebelum matahari benar-benar terbit. Saat itu masih sepi. Aku tahu jalannya."
Dia memandangku, lalu ke batu di tangannya, lalu kembali padaku. "Apakah itu... diizinkan?"
Aku mengangkat bahu. "Kapten Namjoon mengatakan kita harus membantu tim penelitian selama aman. Aku akan menjagamu tetap aman." Aku memberikan senyum persegi yang biasanya membuat orang lain tersenyum kembali.
Yoo-mi menatapku untuk beberapa saat, lalu napasnya sedikit tersedat—bukan karena takut, tapi karena kegembiraan.
"Baiklah," katanya, suara berbisik. "Tapi... jangan beri tahu siapa pun? Aku tidak ingin membuat khawatir yang lain."
Keesokan paginya, saat fajar masih berwarna jingga muda, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilewati. Aku berjalan di depan, mengawasi setiap sudut, setiap bayangan. Yoo-mi mengikutiku, tapi kali ini langkahnya tidak goyah. Dia membawa palu geologinya dan tas sampel dengan keyakinan baru.
"Lihat!" dia berbisik tiba-tiba, berjongkok di dekat tebing. "Ini luar biasa! Lapisan tuff vulkanik dengan intrusi kuarsa! Ini menceritakan seluruh sejarah geologi wilayah ini!"
Aku tersenyum, berdiri berjaga sementara dia dengan bersemangat mengambil sampel, mengukur, dan memotret. Untuk sesaat, dia bukan lagi wanita pemalu yang mudah ketakutan. Dia adalah ahli geologi yang bersemangat, benar-benar tenggelam dalam elemennya.
Tiba-tiba, suara mesin yang familiar terdengar. Jeep patroli. Aku menarik Yoo-mi ke balik batu besar tepat saat jeep yang dikemudikan Yoongi hyung melewati jalan utama di bawah kami.
Yoongi hyung memperlambat kendaraan, matanya yang tajam menyapu area. Aku menahan napas. Jika dia melihat kami, kami akan mendapat masalah besar.
Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Matanya bertemu dengan mataku untuk sepersekian detik. Aku melihat alisnya terangkat sedikit. Lalu, dengan sangat halus, dia mengangguk—hanya sekali—sebelum mempercepat lagi dan pergi.
Aku menghela napas lega. Yoongi hyung tahu. Dan dia membiarkan kami melanjutkan.
"Siapa itu?" bisik Yoo-mi, wajahnya pucat.
"Hanya angin," jawabku sambil tersenyum. "Angin yang bertiup ke arah yang benar."
Kami kembali ke pangkalan tepat sebelum latihan pagi dimulai. Yoo-mi wajahnya bersinar, tasnya penuh dengan sampel batu.
"Terima kasih, Taehyung-ssi," katanya, dan untuk pertama kalinya, dia tersenyum padaku—senyum lebar dan tulus yang membuat matanya bersinar. "Ini... ini adalah hari terbaik saya sejak tiba di sini."
Aku mengangguk, perasaan hangat menyebar di dadaku. "Pola Noona hari ini sangat cerah," kataku.
Dia memandangku bingung. "Pola?"
Aku hanya tersenyum dan berbalik untuk pergi, meninggalkannya dengan batu-batunya dan senyum yang masih terukir di wajahnya.
Dari kejauhan, aku melihat Yoongi hyung berdiri di dekat barak, menatapku. Aku berjalan mendekat, siap untuk dimarahi.
Dia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya meminum kopinya.
"Batu-batunya," akhirnya dia berkata dengan suara datar.
"Hyung?"
"Jika dia menemukan sesuatu yang berharga, pastikan Kapten yang pertama tahu. Bukan orang lain."
Aku mengerti. Dia tidak marah. Dia hanya... mengawasi. Dengan caranya sendiri.
"Ya, hyung," jawabku.
Dia mengangguk dan berbalik pergi, tapi tidak sebelum menggerutu, "Dan lain kali, jangan pergi tanpa memberitahuku. Aku tidak ingin harus menyelamatkan kalian hanya karena tertimpa batu jatuh."
Itu adalah cara Yoongi hyung mengatakan 'hati-hati'.
Aku tersenyum. Pola-pola itu semakin jelas. Dan semakin indah.
POV: Park Jimin
Aku selalu percaya bahwa ada ritme dalam segala hal. Ritme dalam langkah saat berbaris. Ritme dalam tarikan napas sebelum menembak. Bahkan ritme dalam debu yang berputar diterbangkan oleh helikopter yang mendarat. Tapi sejak mereka datang, ritme di pangkalan ini berubah. Dan untukku, itu perubahan yang paling indah.
Ritme barunya bernama Sofi.
Dia seperti melodi yang tidak pernah terduga dalam lagu yang sudah hafal kulakukan. Gerakannya saat menangani pasien begitu halus dan pasti, seperti tarian. Suaranya saat berbicara kepada orang-orang desa yang ketakutan lembut namun jelas, seperti nyanyian penghibur.
Aku menemukan diriku mencari-cari ritmenya sepanjang hari. Di ruang medis darurat saat dia menyortir perlengkapan, di dapur saat dia membuat teh untuk timnya, di bawah pohon yang sudah setengah mati di sudut pangkalan tempat dia kadang duduk membaca buku catatan medisnya.
Hari ini, ritme itu terganggu.
Kami baru kembali dari patroli singkat. Saat melewati klinik darurat, aku melihatnya. Sofi berdiri membelakangi pintu, bahunya naik turun seperti baru saja berlari. Aku bisa merasakan ketegangan dari sini.
"Everything okay?" tanyaku, mendekatinya dengan hati-hati, seperti mendekati burung yang terluka.
Dia berbalik, dan wajahnya yang biasanya tenang sekarang pucat. "Jimin-ssi. I... It's nothing."
Tapi matanya berkata lain. Ada sesuatu yang mengganggu ritme tenangnya.
"Aku punya waktu," kataku dengan suara lembut. "Dan telinga yang baik untuk didengar."
Dia menarik napas dalam-dalam. "Seorang ibu dari desa sebelah datang tadi. Anak perempuannya yang berusia delapan tahun... dia sakit. Parah. Demam tinggi, sesak napas. Tapi mereka tidak bisa membawanya ke sini. Suaminya melarang. Dia takut dengan seragam militer. Takut kami akan menculik anaknya atau sesuatu yang sama absurdnya."
Tangannya menggenggam erat buku catatannya sampai buku itu terlipat. "Saya menjelaskan bahwa saya hanya seorang perawat, bahwa saya hanya ingin membantu. Tapi dia tidak mau mendengar. Dia pergi begitu saja."
Air mata sekarang menggenang di matanya, bukan karena takut, tapi karena frustrasi. "Anak itu mungkin pneumonia, Jimin-ssi. Itu bisa... itu bisa berakibat fatal jika tidak diobati."
Ritme di dalam diriku berubah. Dari ritme tenang menjadi ritme yang menentukan. Ini bukan lagi tentang perasaan. Ini tentang misi.
"Kita harus pergi ke sana," kataku.
Dia mengangkat wajahnya, terkejut. "Apa? Tapi suaminya—"
"Kita tidak akan memakai seragam," kataku, sudah memikirkan rencana. "Kita akan pergi dengan sipil. Aku tahu jalannya. Kita bisa sampai di sana dalam satu jam jika kita berjalan cepat."
"Tapi aturannya... Kapten Namjoon—"
"Aku akan berbicara dengan Kapten," potongku. "Dia akan mengerti. Ini menyangkut nyawa seorang anak."
Aku menemukan Namjoon hyung di kantornya, melihat peta. Aku menjelaskan situasinya dengan cepat. Dia mendengarkan dengan serius, wajahnya berkerut konsentrasi.
"It's risky, Jimin. Pergi tanpa seragam, tanpa dukungan langsung..." dia menghela napas. "Tapi kau benar. Nyawa seorang anak." Dia menatapku. "Kau yakin bisa membawanya dengan aman ke sana dan kembali?"
"Aku yakin, hyung."
Dia mengangguh. "Pergi. Bawa radio darurat. Laporkan setiap tiga puluh menit. Jika kau tidak melapor, aku akan mengirim seluruh tim setelahmu."
"Terima kasih, hyung."
"Jimin," panggilnya saat aku berbalik. "Jaga dia. Dan jaga dirimu."
Aku mengangguk, lalu pergi untuk bersiap.
Tidak lama kemudian, aku dan Sofi berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilewati di perbatasan. Aku memakai jeans dan jaket biasa, pistol diselipkan di pinggang di balik jaket. Sofi membawa tas medis yang diisi dengan antibiotik, antipiretik, dan peralatan infus.
Awalnya, kami berjalan dalam diam. Ketegangan terasa jelas di antara kami.
"Kau tidak harus melakukan ini, Jimin-ssi," bisik Sofi akhirnya. "Ini sangat berbahaya."
"Aku ingin melakukannya," jawabku. "Dan panggil saja Jimin. Kita melewati perbatasan bersama, sepertinya kita sudah cukup akrab untuk tidak menggunakan panggilan formal."
Dia tersenyum kecil. "Jimin, then."
Setelah berjalan sekitar empat puluh menit, kami sampai di sebuah gubuk kecil di tepi hutan. Asap tipis mengepul dari cerobongnya.
Aku menghentikan Sofi dengan tangan. "Biarkan aku yang bicara dulu."
Aku mendekat perlahan, tangan terangkat untuk menunjukkan bahwa aku tidak membawa senjata. Seorang pria dengan wajah keras keluar, mata penuh curiga.
"Siapa kau? Apa yang kau inginkan?" geramnya.
"Nama saya Jimin. Ini Sofi, seorang perawat. Istrimu mengatakan anakmu sakit. Kami di sini untuk membantu."
Matanya menyipit. "Aku tidak meminta bantuan tentara."
"Aku bukan tentara hari ini," kataku dengan suara tenang. "Hari ini aku hanya seorang pria yang ingin membantu anak yang sakit. Sofi adalah perawat yang sangat baik. Dia bisa membantu putrimu."
Dari dalam, kami mendengar batuk keras—batuk yang terdengar menyakitkan dan dalam.
Wajah pria itu berkerut. Aku bisa melihat pertarungan dalam dirinya antara kebanggaan dan ketakutan, antara kecurigaan dan cinta untuk anaknya.
Sofi melangkah maju. "Tuan," katanya dengan suara yang begitu lembut namun meyakinkan. "Saya tidak peduli dengan politik atau perang. Saya hanya peduli pada anak Anda. Biarkan saya membantunya. Silakan."
Something broke in his expression. Dengan menghela napas berat, dia melangkah menjauh dari pintu.
Di dalam, gadis kecil itu terbaring di atas kasur tipis, wajahnya memerah oleh demam, napasnya berbunyi seperti peluit kecil yang menyedihkan. Sofi segera berlutut di sampingnya, membuka tas medisnya dengan gerakan cepat dan efisien.
Aku tetap di dekat pintu, mengawasi sekeliling sementara Sofi bekerja. Aku menyaksikan bagaimana dia berubah. Semua keraguan dan ketakutannya menghilang, digantikan oleh keyakinan dan profesionalisme yang memancar. Dia berbicara dengan lembut kepada gadis kecil itu, menyuntikkan antibiotik, memasang infus dengan tangan yang stabil.
Setelah sekitar satu jam, napas gadis kecil itu mulai teratur. Wajahnya masih pucat, tapi ekspresi kesakitannya sudah berkurang. Dia tertidur lelap.
Sofi berbicara dengan orang tuanya, memberikan instruksi tentang obat-obatan dan perawatan. Wanita itu, ibu si gadis, memegang tangan Sofi dan mengucapkan terima kasih berulang kali dengan mata berlinang air mata.
Pria itu mendekatiku. "Terima kasih," katanya dengan suara serak, tidak lagi bermusuhan. "Aku... aku minta maaf."
Aku mengangguk. "Tidak perlu. Kami senang bisa membantu."
Dalam perjalanan pulang, matahari已经开始 terbenam, mengecat langit dengan warna jingga dan ungu. Sofi berjalan di sampingku, wajahnya lelah tapi puas.
"Tadi... kau sangat hebat," kataku.
Dia tersenyum, senyum yang mencapai matanya untuk pertama kalinya hari itu. "Kau juga. Cara kau berbicara dengannya... itu sempurna."
Aku mengangkat bahu. "Aku hanya jujur."
Dia berhenti berjalan dan menatapku. "Thank you, Jimin. For today. For everything."
Saat dia menatapku, dengan cahaya matahari terbenam menerpa wajahnya, aku merasakan sesuatu bergeser di dalam diriku. Ritme hatiku berdetak tidak beraturan untuk pertama kalinya.
"Anytime, Sofi," bisikku. "Anytime."
Kami berjalan kembali ke pangkalan dalam diam, tetapi kali ini diamnya nyaman, diisi dengan pemahaman baru yang menggantung di antara kami. Saat kami melewati gerbang, aku melihat Namjoon hyung berdiri di sana, mengangkat alisnya. Aku mengangguk padanya, dan dia membalas dengan anggukan kecil, senyum tipis menghiasi bibirnya.
Misi berhasil. Tapi lebih dari itu, sesuatu yang baru telah dimulai. Sebuah ritme baru, lebih dalam dan lebih berarti dari yang pernah kubayangkan.
TBC
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments