(3)

POV: Sersan Mayor Min Yoongi

Dunia ini sudah gila. Itu satu-satunya kesimpulan yang bisa kuambil setelah minggu-minggu ini.

Pangkalan ini dulu adalah tempat yang bisa diprediksi. Berbahaya, ya. Tapi setidaknya tertib. Kami tahu peraturan. Kami tahu prosedur. Kami tahu bahwa hal paling tidak masuk akal yang akan kami lihat adalah Jungkook mencoba melakukan backflip dari atap jip atau Hoseok yang menyanyikan lagu Disney saat membersihkan senjatanya.

Sekarang? Sekarang ada wanita di mana-mana.

Mereka seperti kawanan burung eksotis yang terjatuh di tengah padang pasir. Berwarna-warni, berisik, dan sama sekali tidak aware dengan betapa berbahayanya tempat ini. Aku memergoki Jimin menyanyikan lagu untuk salah satu dari mereka—Sofi, kalau tidak salah—sementara dia menjahit seragam yang sobek. Menyanyi! Di zona perang! Apa berikutnya? Dance routine di ladang ranjau?

Dan Jin hyung. Oh, jangan bicara tentang Jin hyung. Dia tiba-tiba menjadi ahli masak paling bersemangat yang pernah ada, selalu "kebetulan" lewat saat Mia si ahli gizi sedang memasak. Aku mendengar mereka berdebat tentang perbandingan antara doenjang dan miso pagi tadi. Aku hampir meminta mereka untuk diam, tapi lalu aku mencicipi sup yang mereka buat bersama. Rasanya... sangat enak. Aku memutuskan untuk membiarkan krisis identitas kuliner mereka berlanjut.

Tapi yang paling membuatku gila adalah Kapten kita. Kim Namjoon. Si otak besi yang biasanya hanya memikirkan strategi dan linguistik, sekarang sering terlihat melamun. Melamun! Aku hampir saja mengirimnya ke bunker karena aku mengira dia mengalami gegar otak ringan. Ternyata dia hanya sedang memikirkan cara untuk "memfasilitasi integrasi yang lebih harmonis antara misi militer dan kemanusiaan". Bullshit. Dia hanya terpana pada Dokter Pemimpin mereka, Dewi. Itu jelas.

Aku adalah satu-satunya orang yang masih waras di sini. Aku adalah penjaga realitas. Penjaga dari kekacauan yang dipenuhi bunga dan nyanyian ini.

Itulah sebabnya aku sangat tidak setuju ketika Namjoon memutuskan untuk membawa mereka ke desa. Itu ide yang bodoh. Mereka adalah liabilitas. Titik.

Patroli itu adalah mimpi buruk yang berjalan lambat. Aku duduk di jip, mataku menyapu setiap batu, setiap semak, setiap bayangan. Setiap suara adalah potensi ancaman. Setiap keheningan adalah pertanda penyergapan.

Dan mereka? Mereka di belakang, tertawa kecil, mengobrol tentang... aku tidak tahu, tentang cuaca? Tentang betapa "eksotik"-nya pemandangannya? Mereka tidak mengerti. Mereka tidak mengerti bahwa keindahan di tempat ini adalah jebakan. Itu adalah kamuflase untuk kekejaman.

Sampai kami sampai di desa. Dan aku melihat sesuatu yang membuatku terdiam.

Aku melihat ketakutan di mata para penduduk. Itu adalah bahasa yang aku mengerti. Itu adalah bahasa yang lebih jujur daripada kata-kata apa pun. Dan kemudian aku melihat tim medis itu mulai bekerja.

Bukan Dokter Dewi. Bukan. Tapi Clara. Wanita yang waktu itu membeku seperti deer in the headlights. Dia duduk di tanah, kotor, dikelilingi oleh anak-anak kecil yang mata besarnya penuh dengan rasa ingin tahu dan mungkin kutu. Dan dia... dia tersenyum. Senyum kecil yang tidak pasti, tapi asli. Dia mengeluarkan selembar kertas dan mulai melipatnya, membuat origami burung yang jelek. Dan anak-anak itu, mereka terpana. Seolah-olah dia baru saja melakukan sulap terhebat di dunia.

Itu tidak masuk akal. Di tengah semua kekurangan ini, selembar kertas lipat bisa membuat mereka lupa sejenak.

Lalu ada insiden dengan para penyelundup bersenjata itu. Jantungku berdetak kencang. Ini dia. Ini saatnya kekacauan yang sebenarnya. Aku sudah membayangkan skenario terburuk. Aku sudah menghitung peluru yang kubawa.

Lalu Dokter Dewi berbicara. Dia menawarkan mereka obat-obatan.

Aku hampir saja menggerutu. Itu adalah langkah paling bodoh yang pernah kudengar. Ini bukan negosiasi di pasar. Ini adalah urusan dengan pria bersenjata yang putus asa.

Tapi sesuatu yang aneh terjadi. Itu berhasil. Mereka pergi. Aku berdiri di sana, jari masih di pelatuk, bingung. Apakah tadi benar-benar terjadi? Apakah ancaman itu baru saja dilucuti oleh tawaran pil vitamin C?

Dalam perjalanan pulang, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku terbiasa dengan solusi yang sederhana: ancam, blokir, atau hancurkan. Tapi dia... dia menggunakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada dalam buku pedoman militer manapun.

Malamnya, aku tidak bisa tidur. Aku pergi ke dapur, berharap menemukan kopi sisa, atau mungkin sisa sup enak tadi.

Dia ada di sana. Clara. Duduk sendirian di meja panjang, kepalanya tertunduk. Di tangannya ada origami burung yang jelek itu.

Dia mendengar langkahku dan mengangkat kepala. Matanya merah.

"Sersan Min," katanya, terkejut, dengan cepat mengusap matanya.

Aku mengangguk singkat, berjalan langsung ke termos kopi. Kosong. Aku menghela napas.

"Apakah Anda tidak bisa tidur?" tanyanya, suaranya kecil.

"Kebiasaan," jawabku pendek. Aku berbalik, bersandar di meja dapur, menyilangkan tangan. Aku melihat burung kertas itu. "Itu jelek."

Dia terkejut, lalu melihat ke origaminya dan tiba-tiba tersenyum kecil. "Ya. Sayapnya tidak seimbang."

"Kenapa kau melakukannya?" tanyaku. Itu adalah pertanyaan yang tulus. Aku benar-benar tidak mengerti.

Dia mengangkat bahu. "Karena itu mudah. Karena itu tidak menyakitkan. Dan karena... untuk sesaat, itu membuat mereka tersenyum. Seperti Sersan Jung tadi... dia membuat saya tersenyum saat saya ketakutan."

Hoseok. Si idiot yang cerah itu. Ternyata dia berguna juga.

Diam untuk sesaat. Aku memandanginya. Dia tidak lagi terlihat seperti burung yang ketakutan. Dia terlihat lelah, tapi... lebih kuat.

"Kau tadi tidak membeku," kataku tiba-tiba, dan segera menyesal karena itu terdengar seperti sebuah accusation.

Tapi dia mengangguk. "Saya tahu. Saya terkejut juga. Mungkin... mungkin karena kali ini saya punya sesuatu untuk dilakukan. Sesuatu yang saya kuasai. Meskipun hanya melipat kertas."

Aku mengangguk perlahan. Itu... masuk akal. Fokus. Misi. Itu yang membuat kami tetap waras di tengah kekacauan.

"Lain kali," kataku, suaraku masih datar, "lipatlah anjing. Lebih mudah daripada burung."

Matanya membesar, lalu dia tersenyum—senyum yang lebih lebar, lebih nyata. "Anda bisa melipat origami, Sersan?"

"Tidak," jawabku cepat, berbalik untuk pergi. "Aku hanya tahu teori. Tidurlah. Besok pagi ada latihan evakuasi. Jangan sampai tertidur."

Aku pergi, meninggalkannya sendirian di dapur. Tapi sebelum aku pergi, aku melihatnya mengambil selembar kertas lain dari notasinya, mungkin akan mencoba melipat anjing.

Gila. Semuanya gila.

Tapi mungkin, hanya mungkin, jenis kekacauan ini tidak sepenuhnya buruk. Asal tidak ada yang mengharapkanku untuk mulai menyanyi.

POV: Sersan Jung Hoseok

Matahari. Itu nama sandiku. Ya, tidak resmi, tapi seharusnya begitu. Tugasku, yang sebenarnya di luar menjadi seorang medic, adalah menjadi sinar matahari di tempat yang suram dan berdebu ini. Jika Yoongi hyung adalah bayangan yang mengawasi bahaya, aku adalah cahaya yang mengingatkan semua orang tentang apa yang kami lindungi.

Dan percayalah, sinar matahari ini telah bekerja lembur sejak mereka tiba.

Rasanya seperti seseorang menumpahkan seember glitter ke dunia abu-hijau kami. Tiba-tiba, ada aroma sesuatu yang dipanggang, bukan hanya bubuk mesiu dan solar. Ada suara tawa yang bercampur dengan statik radio. Jiminie, yang biasanya hanya melatih tendangan tinggi di waktu senggang, sekarang terlihat sedang membantu Sofi menjemur perban dengan wajah yang bersemu merah. Aku melihatnya. Dia bahkan menyanyikan lagu untuknya! Jimin! Yang biasanya malu jika menyanyi di luar latihan!

Tapi yang paling mengubah segalanya adalah Clara.

Wanita yang membeku seperti patung saat alarm berbunyi itu. Aku melihat ketakutan di matanya waktu itu. Itu adalah ketakutan yang dalam, jenis yang bisa melumpuhkan. Jadi aku mendekatinya dengan caraku. Bukan dengan perintah, tapi dengan omongan nonsense tentang coklat bunker. Itu berhasil. Dia mengikuti aku, dan untuk sesaat, aku melihat sedikit ketakutan itu pudar.

Sejak saat itu, itu seperti misi rahasia bagiku. Mission: Make Clara Smile.

Ini tidak seperti misi biasanya. Tidak ada rencana operasi, tidak ada koordinat. Hanya insting. Aku meninggalkan sebatang coklat di atas mejanya. Aku menyelipkan bunga liar yang kupetik saat patroli ke dalam bukunya. Hal-hal kecil. Konyol, mungkin. Yoongi hyung pasti akan menggerutu dan bilang aku membuang-buang waktu.

Tapi kemudian, saat patroli ke desa, aku menyaksikannya. Clara, yang ketakutan, berubah. Dia duduk di tanah, dikelilingi anak-anak, dan dia tersenyum. Senyum yang sebenarnya, yang sampai membuat matanya menyipit. Dia melipat kertas menjadi bentuk-bentuk aneh, dan anak-anak itu tertawa. Aku berdiri di sana, berjaga, dan hatiku merasa begitu penuh. Itu lebih membanggakan daripada menembak target sempurna dari jarak seratus meter.

Lalu ada insiden dengan para penyelundup bersenjata. Nadiku berdetak kencang. Ini situasi yang buruk. Aku melangkah mendekati Clara, siap untuk menyeretnya ke balik jip jika sesuatu terjadi. Tapi kemudian Dr. Dewi berbicara. Dan cara dia melakukannya... begitu tenang, begitu kuat. Dia tidak mengacungkan senjata; dia menawarkan bantuan. Itu adalah jenis keberanian yang berbeda. Jenis yang tidak kami ajarkan di pelatihan.

Dan itu berhasil. Aku hampir tidak percaya.

Dalam perjalanan pulang, suasana di jip berbeda. Rasa takut telah digantikan oleh rasa hormat. Aku menangkap Clara memandangku, dan dia memberikan senyum kecil yang membuatku merasa seperti baru saja memenangkan medali.

Malamnya, setelah semua orang tidur, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Aku berjalan ke dapur untuk mencari air, dan siapa yang kudapati di sana? Yoongi hyung dan Clara. Mereka sedang berbicara! Yoongi hyung, yang biasanya lebih banyak bicara dengan senjatanya daripada dengan manusia!

Aku bersembunyi di balik pintu, tidak mau mengganggu. Aku mendengar hyung bilang origami burungnya jelek, dan Clara tertawa. Tertawa! Dengan Min Yoongi! Aku harus menggosok mataku untuk memastikan aku tidak bermimpi.

Ini... ini ajaib. Kehadiran mereka tidak hanya membawa warna dan tawa; itu juga membawa sisi lain dari kami yang mungkin terlupakan. Sisi Jin hyung yang suka masak. Sisi Namjoon hyung yang pemikir. Sisi Yoongi hyung yang... well, yang sebenarnya punya hati di balik semua gerutunya.

Aku kembali ke barak, perasaan hangat di dada. Maybe, just maybe, kami bukan hanya melindungi mereka. Maybe mereka juga menyembuhkan kami, dengan cara mereka sendiri.

Dan besok, aku punya ide. Aku akan mengajak Clara membantu aku membagikan vitamin kepada tim. Dengan alasan bahwa senyumnya bisa membuat para prajurit lebih bersemangat. Itu alasan yang bagus, kan?

Mission: Make Clara Smile is still go. Dan ini adalah misi terfavoritku sejauh ini.

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play