(5)

POV: Jeon Jungkook

Latihan. Misi. Patroli. Makan. Tidur. Itu pola hidupku. Aku bagus dalam pola. Aku tahu persis apa yang diharapkan dariku dan bagaimana melakukannya dengan sempurna. Aku adalah mesin yang dioptimalkan untuk bertahan dan melindungi.

Tapi mereka... mereka tidak masuk dalam pola mana pun.

Awalnya, aku menganggap mereka sebagai gangguan. Suara yang tidak perlu. Gerakan yang tidak efisien. Bahaya potensial yang harus kami korbankan sumber daya untuk melindungi. Aku tidak mengerti mengapa Command mengizinkan ini.

Tapi kemudian aku melihat hal-hal yang tidak masuk akal.

Aku melihat Jin hyung, yang biasanya menghabiskan waktu luangnya bercermin atau mengeluh, sekarang dengan tulus membantu Mia di dapur, wajahnya berseri-seri saat dia belajar resep baru. Aku melihat Taehyung hyung, yang biasanya berbicara dalam teka-teki yang hanya dipahaminya sendiri, sekarang dengan sabar menjelaskan pola-pola anehnya kepada Yoo-mi, yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Dan aku melihatnya. Nina.

Ahli fisioterapi. Dia tidak seperti yang lain. Dia tidak terlalu banyak bicara. Dia tidak tersenyum mudah seperti Hoseok hyung atau Dr. Dewi. Dia pendiam. Terkonsentrasi. Matanya mengamati segala sesuatu, seperti caraku mengamati lingkungan untuk ancaman. Tapi alih-alih mencari bahaya, dia sepertinya mencari... ketidakseimbangan.

Aku pertama kali benar-benar memperhatikannya seminggu yang lalu. Dia sedang membantu salah satu prajurit yang mengalami keseleo pergelangan kaki. Aku memperhatikannya dari seberang lapangan, bagaimana tangannya bergerak. Itu bukan seperti gerakan biasa. Itu tepat. Ekonomis. Efisien. Seperti gerakan yang kugunakan saat membersihkan senjataku.

Hari ini, aku melihatnya kesulitan. Dia mencoba memindahkan kotak besar berisi perlengkapan medis sendirian. Kotak itu jelas terlalu berat untuknya. Dia mendorongnya, wajahnya berkerut konsentrasi, tetapi kotak itu nyaris tidak bergerak.

Instingku menyuruhku untuk membantu. Itu logis. Membantu akan mempercepat proses, membuatnya lebih efisien.

Aku mendekat. "Biarkan aku."

Dia terkejut, lalu mengangguk, wajahnya sedikit memerah. "Terima kasih. Ini... lebih berat dari yang kukira."

Aku dengan mudah mengangkat kotak itu dan menaruhnya di tempat yang dia tunjuk. Dia memandangku, sedikit terkesan.

"Kau membuatnya terlihat mudah," katanya.

"Itu mudah," jawabku. Itu fakta. Bukan kesombongan.

Dia tersenyum kecil. "Bagi kau mungkin. Bagi manusia normal, tidak begitu."

Aku mengangguk, tidak yakin bagaimana harus merespons. Lalu, sesuatu terlintas di pikiranku. "Kau... kau terlihat seperti tahu cara bergerak. Efisien."

Dia mengangkat alis, terkejut. "Oh. Ya. Fisioterapi juga tentang memahami biomekanika tubuh. Gerakan yang paling efektif dengan energi paling sedikit."

Itu masuk akal. Sangat masuk akal. "Bisakah kau... menunjukkan padaku?" tanyaku. Itu adalah pertanyaan yang tidak terduga, bahkan bagiku.

Dia terlihat bingung. "Menunjukkan apa?"

"Gerakan. Yang efisien. Untuk... untuk situasi berbeda. Bukan hanya untuk cedera."

Matanya berbinar, memahami. "Oh! Kau maksud seperti... optimalisasi gerakan? Tentu! Itu sebenarnya bidang yang sangat menarik. Bagaimana tubuh beradaptasi terhadap beban yang berbeda, menjaga keseimbangan di permukaan yang tidak stabil..."

Dia terus berbicara, dan aku mendengarkan. Dia menggunakan kata-kata yang tidak semuanya kupahami, tetapi konsepnya jelas. Efisiensi. Itu adalah bahasa yang kupahami.

Sejak saat itu, kami menemukan ritme kami sendiri. Di sela-sela tugas, kami berlatih. Dia menunjukkan padaku cara mengatur pernapasan untuk daya tahan yang lebih baik, cara menggeser berat badan untuk mengangkat beban yang lebih efektif, cara jatuh dengan dampak minimal.

Aku menunjukkan padanya beberapa gerakan dasar bela diri, bagaimana menggunakan momentum lawan, bagaimana melindungi titik-titik vital.

Itu adalah pertukaran yang sempurna. Dia adalah ahli dalam teori di balik gerakan. Aku adalah ahli dalam penerapannya di dunia nyata.

Hari ini, kami berlatih di gudang yang kosong. Dia mencoba menunjukkan padaku sebuah teknik untuk menjaga keseimbangan di permukaan yang tidak stabil.

"Tubuhmu terlalu tegang, Jungkook-ssi," katanya, menyentuh punggungku dengan ringan. Sentuhannya membuatku sedikit kaget, tapi tidak tidak nyaman. "Kau mencoba mengendalikan dengan kekuatan, bukan dengan fluiditas. Coba rileks. Rasakan pergeseran berat badannya, dan sesuaikan, jangan dilawan."

Aku mencoba. Itu sulit. Kekuatan adalah respon defaultku.

"Seperti ini," katanya, berdiri di depanku dan memegang tanganku. "Tutup matamu. Rasakan. Aku akan menarikmu, dan kau hanya perlu mengikuti, oke?"

Aku mengangguk, menutup mataku. Dunia menyempit menjadi sentuhan tangannya yang hangat dan suaranya yang tenang.

Dia menarik tanganku dengan lembut. Awalnya, instingku adalah menarik kembali, mempertahankan posisi. Tapi aku ingat katanya. Aku mengikuti gerakannya, membiarkan tubuhku bergerak dengan alami.

"Bagus!" pujinya. "Itu bagus. Sekarang, coba buka matamu."

Aku membuka mataku. Dia tersenyum padaku, dan untuk pertama kalinya, senyum itu sampai ke matanya, membuatnya terlihat sangat berbeda. Lebih... cerah.

"Kau murid yang cepat," katanya.

"Kau guru yang baik," jawabku, dan aku sangat memaksudkannya.

Saat itu, Yoongi hyung lewat di depan gudang. Dia melirik kami, melihat tangan kami yang masih terhubung, dan mengangkat satu alis. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa, hanya melanjutkan jalan dengan gerutu yang tidak terdengar.

Aku merasa telingaku memanas. Aku melepaskan tangan Nina.

"Kita... kita lanjut lagi besok?" tanyanya, juga tampak sedikit malu.

Aku mengangguk. "Ya. Besok."

Dia pergi, meninggalkanku sendirian di gudang. Aku melihat tanganku, masih merasakan kehangatannya. Polaku berantakan. Jadwalku berantakan. Tapi anehnya, aku tidak keberatan.

Aku berjalan keluar, dan melihat Nina berbicara dengan Dr. Dewi. Dia tertawa pada sesuatu, dan tatapannya berpindah ke arahku untuk sesaat, memberikan senyum kecil yang cepat sebelum kembali ke percakapan.

Jantungku berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. Itu tidak efisien. Itu tidak logis. Tapi itu... terjadi.

Mungkin, pikirku, sambil berjalan untuk bergabung dengan latihan tembak, tidak semua pola perlu dipahami. Mungkin beberapa pola hanya perlu dirasakan.

Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa perlu mengoptimalkan perasaan itu.

POV: Kim Seokjin

Kehidupan di perbatasan ini, harus kuakui, sangat tidak sesuai dengan standarku. Debu itu mengerikan untuk pori-pori, makanan kering itu penghinaan bagi lidah, dan kurangnya cermin yang layak adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Aku adalah seorang pecinta dunia, seorang penghibur, seorang pria yang menghargai keindahan dan kenyamanan. Bukan... ini.

Tapi seseorang harus menjaga moral tim. Jika wajah tampan ini bisa membuat mereka tersenyum di tengah semua kekelaman ini, maka itu adalah pengorbanan yang harus kulakukan.

Lalu mereka tiba.

Dan tiba-tiba, ada orang yang benar-benar menghargai keahlian kulinerku! Mia, si ahli gizi, dia tidak hanya menerima bantuanku—dia menghargainya! Dia benar-benar meminta pendapatku tentang bumbu dan teknik marinasi. Seorang wanita dengan selera yang luar biasa!

Hari ini, kami menghadapi krisis terbesar sejak kedatangan mereka: persediaan saus gochujang hampir habis. Ini adalah situasi tingkat bencana.

"Mia-ssi," kataku dengan suara dramatis, memasuki dapur darurat yang sekarang menjadi tempat suci kami. "Kita menghadapi ujian terbesar kita."

Dia berbalik dari kompor, wajahnya menunjukkan kepanikan yang sama. "Aku tahu! Tanpa gochujang, kimchi jjigae malam ini akan menjadi... hambar! Sebuah tragedi!"

Kami berdiri berhadapan di antara panci dan wajan, seperti dua jenderal merencanakan pertempuran.

"Ada satu jalan," kataku, menurunkan suara. "Aku ingat melihat beberapa cabai kering di gudang penyimpanan lama. Dan ada beras ketan... kita bisa membuat versi darurat."

Matanya bersinar. "Jin-ssi, itu genius!"

"Panggil saja Jin," kataku dengan gelombang tangan. "Kita sudah melewati terlalu banyak krisis bersama untuk formalitas."

Dia tersipu. Itu lucu.

Jadi, kami mulai misi rahasia kami. Aku mengirim Jungkook—yang tidak bisa mengatakan tidak padaku—untuk mengambil cabai dan beras ketan dari gudang, sementara aku dan Mia menyiapkan lesung dan ulekan besar.

Selama berjam-jam berikutnya, dapur dipenuhi dengan aroma pedas yang menggugah selera. Kami bergantian menumbuk dan mengaduk, percikan cabai mengenai apron kami. Pada satu titik, sebuah percikan mengenai mataku, dan aku berteriak kesakitan.

"Jin-ssi!" Mia berteriak, mengambil handuk basah dan dengan lembut menyekanya. "Sudah, jangan digosok."

Dia sangat dekat. Aku bisa melihat bintik-bintik kecil di hidungnya dan bagaimana matanya berkerut karena khawatir.

"Rasanya seperti disiram lava," keluhku, dengan sangat dramatis tentu saja.

Dia terkikik. "Itu harga yang harus dibayar untuk seni, Jin-ssi."

Akhirnya, setelah usaha kami, sebuah pasta merah tua dan harum terbentuk di dalam mangkuk.

"Kita... kita berhasil," bisik Mia, heran.

Dengan penuh hormat, kami mencicipinya. Rasanya... tidak sempurna. Tidak seperti buatan pabrik. Tapi ada sesuatu yang lain. Rasanya... seperti kemenangan.

"Mia," kataku, serius. "Ini adalah gochujang terbaik yang pernah kucicipi."

Dia tersenyum, senyum lebar dan tulus yang membuat sesuatu di dadaku berdesir aneh. "Ini karena kita membuatnya bersama."

Malam itu, saat kami menyajikan kimchi jjigae dengan saus gochujang buatan kami sendiri, pujian berdatangan dari semua orang. Bahkan Yoongi, yang biasanya hanya mengangguk singkat, menghabiskan mangkoknya dan dengan enggan mengakui, "Tidak buruk."

Tapi yang paling membuatku puas adalah melihat Mia memandangku dari seberang ruangan, matanya berbinar bangga, dan memberikan anggukan kecil yang hanya kami berdua yang mengerti.

Aku duduk di samping Namjoon, yang sedang menikmati makanannya dengan lahap. "Jin hyung," katanya di antara suapan. "Aku tidak pernah mengira akan mengatakan ini, tapi... kau menemukan panggilanmu yang sebenarnya di sini."

Aku mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Seseorang harus memastikan standar tidak jatuh, bukan? World Wide Handsome tidak hanya tentang wajah, Namjoon-ah. Ini tentang memberikan yang terbaik dalam segala hal, bahkan dalam kondisi yang paling... tidak ideal sekalipun."

Dia tersenyum, memahami. "Mereka beruntung memilikimu, hyung. Kami semua beruntung."

Saat malam tiba dan aku akhirnya memiliki waktu sendirian (setelah dengan enggan berbagi tips perawatan kulit dengan Sofi), aku berdiri di luar, melihat bintang-bintang. Udara masih berbau cabai dan bawang putih.

Untuk pertama kalinya sejak tiba di tempat yang mengerikan ini, aku merasa... tidak sedang berakting. Aku merasa berguna, dengan caraku sendiri. Bukan sebagai prajurit, tapi sebagai Kim Seokjin, ahli masak dan pemelihara moral.

Aku menarik napas dalam-dalam. Mungkin, pikirku, keindahan tidak hanya ditemukan di tempat-tempat yang indah. Mungkin keindahan juga bisa diciptakan—dengan tangan yang tepat, dan dengan seseorang yang bersedia untuk menumbuk cabai bersamamu.

Dan itu, pikirku sambil tersenyum pada diriku sendiri, adalah sebuah epiphany yang cukup layak untuk World Wide Handsome.

TBC

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play