Shadow Protocol
Gemuruh itu adalah sebuah entitas hidup, sebuah makhluk raksasa yang bernapas dengan irama yang sama dengannya. Kim Namjoon merasakan getarannya bukan hanya melalui telapak kakinya di atas panggung kayu yang kokoh, tetapi merasuk hingga ke tulang-tulangnya. Lima puluh ribu suara menyatu menjadi satu teriakan yang bergema, "BTS! BTS! BTS!" Lautan Army Bomb berkedip-kedip seperti bintang-bintang yang dijatuhkan begitu saja ke atas bumi, menyinkronkan diri dalam pola yang memukau, menciptakan galaksi yang hanya ada untuk mereka tujuh.
Ini adalah puncak konser "Yet to Come" di Stadion Piala Dunia Seoul. Udara musim panas terasa lembap, dipotong oleh sorotan lampu yang tajam dan laser yang menari-nari. Aroma keringat, antusiasme, dan cinta yang murni adalah parfum yang paling mahal di dunia.
Dan di atas panggung, mereka bukanlah agen rahasia. Mereka adalah BTS. Mereka adalah cahaya.
Jeon Jungkook, tubuhnya berkilau oleh keringat dan gemerlap lampu, melesat melintasi panggung seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Senyumannya, terang dan tanpa beban, diarahkan ke setiap sudut stadion, membuat puluhan ribu orang merasa dilihat, disayangi. Setiap gerakan dalam dance break "Dynamite" diakhiri dengan presisi mutlak, sebuah demonstrasi dari tahun-tahun latihan dan bakat alam yang nyaris tidak manusiawi.
"Wah, Jungkook-ah, hari ini energinya level setan!" seru Jung Hoseok melalui mikrofon internal yang tersembunyi di headset-nya. Suaranya, meski terdengar ngos-ngosan, penuh dengan kekaguman dan kebanggaan. Sebagai J-Hope, dia adalah matahari di atas panggung, energinya memancar dan menginfeksi setiap penonton, setiap crew, bahkan anggota lain. Senyumannya begitu lebar hingga matanya hampir menghilang, menyembunyikan pikiran tajam yang terus memindai lingkungannya, sebuah kebiasaan yang tidak bisa dihilangkannya bahkan di atas panggung.
Park Jimin berputar di dekatnya, gerakannya fluid seperti air, suara vokalnya yang halus namun penuh kekuatan melayang di atas keriuhan. Tatapannya, yang biasanya penuh dengan kehangatan, malam ini sedikit lebih waspada. Dia adalah sensor hidup dari kelompok ini, mampu merasakan pergeseran energi paling kecil.
Di sisi lain, Min Yoongi—Suga—bergerak dengan efisiensi yang santai. Gerakan tariannya tepat, tidak lebih, tidak kurang. Ekspresinya cool, hampir acuh tak acuh, tetapi siapa pun yang mengenalnya dengan baik bisa melihat konsentrasi yang tajam di matanya. "Aku berjanji pada kakiku yang malang ini untuk tidak menari terlalu keras setelah umur 25," gumamnya ke mic internalnya, hanya untuk didengar keenam anggota lainnya. "Tapi lagu ini terlalu enak untuk tidak."
Kim Taehyung, V, melontarkan verse-nya dengan suara baritonnya yang khas dan ekspresi menggoda yang membuat fans menjerit histeris. Dia menyipitkan matanya ke arah kerumunan, tetapi bukan untuk mencari kamera. Pikirannya membagi kerumunan menjadi sektor-sektor, secara tidak sadar menandai titik-titik potensial ancaman, pintu keluar, dan wajah-wajah yang terlihat tidak pada tempatnya. Itu adalah naluri yang sudah terlatih.
Dan Kim Seokjin, sang visual dunia, melambai ke arah fans di sisi timur stadion sambil melontarkan sebuah dad joke ke dalam mic internalnya. "Yah, jika aku terjatuh di sini karena lampu ini menyilaukanku, pasti akan trending lagi #WorldwideHandsomeFalling. Army sangat cepat jarinya."
Suara desahan kolektif dan cekikan terdengar di telinga mereka.
"Hyung,tolong, aku sedang serius nge-rap di sini," protes Namjoon, tanpa kehilangan satu ketukan pun dalam verse "Ddaeng" yang rumit. Sebagai RM, pemimpin di atas panggung, suaranya berwibawa dan penuh percaya diri. Tapi sebagai Kim Namjoon, dia merasakan detak jantungnya yang mulai tidak teratur. Bukan karena gugup tampil, tapi karena firasat.
Firasat itu terbukti tepat.
Di telinga kanan mereka, tersembunyi rapi oleh custom-molded earpieces yang didesain menyerupai perangkat monitor audio, bukan hanya ada suara manajer dan tim produksi. Ada saluran lain. Saluran yang sunyi sejak konser dimulai tiga jam yang lalu. Saluran dengan enkripsi militer level tertinggi.
Lalu, sebuah suara yang datar, dingin, dan otoritatif memecah kesunyian di saluran itu.
"Eagle One, ini Nest. Kode Merah. I repeat, Kode Merah. Stand by untuk briefing. Otentikasi: Tango, Charlie, Sierra, 7-4-0."
Suara Direktur Park dari Badan Intelijen Nasional (NIS). Kode itu nyata. Protokol yang mereka latih selama berbulan-bulan, yang mereka harap tidak pernah perlu digunakan, telah diaktifkan.
Tujuh pasang mata, hampir secara tidak kasat mata, berkedip sepersekian detik. Ekspresi mereka tidak goyah. Senyuman Jungkook tidak meleset. Langkah dance Yoongi tetap sempurna. Tapi di balik topeng idola, setiap orang telah berubah. Adrenalin yang tadinya untuk pertunjukan, sekarang dialihkan untuk bertahan hidup. Napas Hoseok sedikit lebih pendek. Jimin menggeser posisinya setengah langkah, secara tidak sadar menempatkan dirinya antara anggota lain dan sudut gelap panggung yang dia tidak sukai. Jari Taehyung bergetar sekali, lalu mengepal.
"Mereka memilih waktu yang benar-benar dramatis," gumam Yoongi, suaranya rendah dan datar, sangat berbeda dengan persona Suga-nya. "Aku hampir saja melakukan point dance favorinku di bridge berikutnya."
"Sudah kubilang, kita harus pakai kode 'Kim Seokjin adalah yang tercantik' sebagai konfirmasi," balas Jin, masih melambai dan menyunggingkan senyum mematikan ke arah kamera yang mengikuti setiap gerakannya. "Lebih mudah diingat."
"Semuanya, diam dan pertahankan ekspresi," perintah Namjoon, suaranya berwibawa dan berbeda dari RM yang sedang menyelesaikan rap-nya. Itu adalah suara Komandan Kim Namjoon. "Konfirmasi penerimaan. Nest, kita di tengah final menteri. ETA untuk ekstraksi?"
"Tim ekstraksi sudah standby di titik Charlie. Konser berakhir, kalian menghilang dari afterparty. Protokol 'Sick Idol' diaktifkan. Nest, keluar."
Komunikasi terputus. Lagu mereka yang terakhir, "Yet to Come", mengisi stadion. Ini biasanya adalah momen yang paling emosional, di mana mereka merenung, berterima kasih, dan menyerap semua cinta dari Army. Malam ini, setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk dada mereka. Mereka menyanyikan tentang masa depan yang belum datang, sementara misi yang bisa mengakhiri masa depan mereka—dan mungkin masa depan negaranya—sudah menunggu di belakang panggung.
Mereka membungkuk dalam-dalam, berulang kali, berterima kasih, mata mereka berkaca-kaca—sebuah campuran otentik antara rasa haru yang luar biasa dan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Mereka berjalan mundur meninggalkan panggung, masih melambai, seolah-olah tidak ingin berpisah, padahal pikiran mereka sudah melesat jauh ke depan.
Pintu belakang panggung yang tebal tertutup dengan bunyi 'decit', memotong suara gemuruh fans menjadi desisan yang redup. Suasana berubah drastis. Keriuhan crew yang mengucapkan selamat, manajer yang menyodorkan handuk dan air mineral, dan stylist yang berusaha memperbaiki makeup mereka yang luntur oleh keringat—semuanya terasa seperti berada di ujung terowongan yang panjang.
"Namjoon-ah, performa yang luar biasa! CEO-nim bilang—" Manajer Sejin mendekat, wajahnya berseri-seri.
Namjoon memotong dengan halus namun tegas, meletakkan tangan di bahu Sejin. "Hyung, Jin hyung tidak enak badan. Sangat parah. Mungkin keracunan makanan dari katering tadi. Kita harus segera ke mobil."
Wajah Sejin berubah dari bangga menjadi khawatir dalam sekejap. Dia melirik ke arah Jin, yang dengan sempurna langsung memainkan perannya. Jin membungkuk, meletakkan tangannya di perut, wajahnya memerah dan berkeringat (yang dengan mudah bisa dikira sebagai efek panggung), dan mengeluarkan erangan yang sangat meyakinkan.
"Aigoo... perutku..." keluhnya, memeluk perutnya.
Sejin mengangguk cepat, wajahnya serius. Protokol 'Sick Idol' adalah hal yang sudah mereka latih untuk keadaan darurat. "Aku akan urus konferensi pers dan yang lain. Pergi. Jang Yoona-ssi," dia menoleh ke asistennya, "bawakan selimut untuk Jin-ssi dan pastikan tidak ada fotografer di parking lot timur."
Mereka berjalan cepat, hampir berlari, melalui labirin koridor beton di belakang panggung. Senyuman mereka menghilang, digantikan oleh ketegangan yang membeku. Jungkook, yang biasanya melompat-lompat dan bercanda setelah konser, berjalan dengan punggung tegak dan mata yang terus bergerak, memindai setiap pintu, setiap sudut. Jimin berjalan di samping Jin, seolah-olah mendukungnya, tetapi posisinya sempurna untuk melindungi sisi lemah Jin. Hoseok dan Taehyung berjalan di belakang, menutup formasi.
Meninggalkan gemuruh fans yang masih terdengar samar-samar, seperti suara ombak dari kejauhan, terasa seperti meninggalkan sebuah dunia. Dunia cahaya.
Di parking lot timur, yang sudah dikosongkan, bukan mobil van biasa mereka yang menunggu. Sebuah SUV Mercedes-Benz G-Class hitam legam, tanpa plat nomor, dengan kaca film yang sangat gelap, sudah menyala mesinnya. Seorang pria dengan setelan hitam-rapih dan postur militer berdiri di sampingnya. Dia mengangguk singkat tanpa bicara saat mereka mendekat.
Pintu geser terbuka. Mereka masuk dengan cepat dan efisien, tanpa perlu berkomunikasi. Yoongi dan Namjoon langsung duduk di baris kedua, dekat dengan console tengah yang penuh dengan peralatan. Mobil melesat sebelum pintu tertutup rapat, meninggalkan stadion dan kehidupan mereka sebagai idola.
Di dalam, suasana berubah total. Lampu overhead yang redup menyala, menerangi interior yang mewah namun dipenuhi dengan layar datar dan peralatan komunikasi yang bukan bagian dari paket mobil mewah biasa. Suara AC begitu senyap.
Dari speaker mobil, suara Direktur Park kembali terdengar, sekarang lebih jelas dan lebih keras.
"Selamat datang kembali, Unit Bangtan. Libur kalian resmi berakhir."
"Ancaman apa, Sir?" tanya Yoongi langsung, sudah membuka sebuah tablet yang tersimpan di rak dan jarinya sudah mulai menari di atas layar, mengotentikasi dirinya ke sistem.
"Tiga jam empat puluh tujuh menit yang lalu, sistem komando, kontrol, komunikasi, dan komputer (C4) militer kita lumpuh total selama tujuh menit empat puluh detik," lapor Direktur Park, suaranya seperti es. "Seven minutes and forty seconds of total blindness, Namjoon-ssi. Seseorang tidak hanya menyusupkan code yang sangat canggih, tetapi mereka memainkan kita. Mereka membuat sistem kita percaya bahwa kita sedang melakukan latihan gabungan dengan AS, sementara di layer lain, mereka mengunci semua sistem pertahanan aktif kita. Jika ini adalah serangan nyata... kita sudah dalam perang. Seoul bisa rata."
Suasana di dalam mobil menjadi sangat dingin. Jungkook mengepal tangannya hingga knuckle-nya memutih. Jimin menarik napas dalam dan perlahan, sebuah teknik menenangkan diri yang diajarkannya kepada orang lain, tetapi sekarang dia sendiri yang kesulitan melakukannya.
"Kenapa kita? Ini jelas-jelas ranah Cyber Command dan Defense Security Command," tanya Hoseok, matanya yang biasanya berbentuk bulan sabit sekarang tajam seperti pedang.
"Karena dua alasan," jawab Direktur, tajam. "Pertama, sinyal serangan tidak berasal dari luar. Itu berasal dari dalam. Dari jantung ibukota. Ini adalah pekerjaan orang dalam yang sangat terlatih. Kedua... dan inilah yang membuat Presiden sendiri mengaktifkan Shadow Protocol... mereka meninggalkan pesan."
Sebuah gambar muncul di layar utama di antara jok baris pertama dan kedua. Itu adalah simbol grafis yang familiar bagi mereka bertujuh: logo BTS yang sederhana dan elegan. Namun, ada yang salah. Di tengah logo itu terdapat sebuah retakan, seperti kaca yang pecah. Dan dari retakan itu mengalir sesuatu yang mirip dengan darah digital, tetesan yang perlahan-lahan membentuk sebuah kata dalam huruf Hangul yang runcing dan mengerikan: 배신 (Bae-sin).
Pengkhianatan.
Semua mata tertuju pada logo itu. Logo mereka sendiri yang dicemari, digunakan sebagai alat untuk menteror.
"Ada... ada yang tahu?" desis Taehyung, suaranya untuk pertama kalinya malam ini kehilangan nada baritonnya yang dalam, terdengar lebih muda dan rentan.
"Tidak," jawab Direktur dengan tegas. "Ini adalah pesan internal. Untuk kita. Untuk NIS. Seseorang tidak hanya tahu identitas rahasia kalian... mereka menantang kita. Mereka mengatakan bahwa pengkhianat ada di antara kita sendiri."
Dia berhenti sejenak, memberikan waktu pada kata-kata itu untuk meresap.
"Shadow Protocol aktif. Misi kalian: temukan sumber serangan, identifikasi pengkhianat, dan netralisir ancaman tersebut sebelum konflik ini meledak menjadi perang terbuka. Seluruh sumber daya NIS ada di belakang kalian. Dan ingat... dunia masih melihat kalian sebagai BTS. Topeng itu adalah senjata terbaik dan kelemahan terbesar kalian. Jaga."
Komunikasi kembali terputus. Hanya terdengar deru mesin SUV yang melesat melalui jalanan Seoul yang masih ramai oleh fans yang pulang konser.
Mereka saling memandangi. Di wajah mereka, terdapat sisa-sisa foundation dan glitter dari panggung. Di mata mereka, ada bayangan dari agen rahasia yang terpaksa bangun dari tidurnya.
Kim Namjoon menarik napas dalam-dalam.
"Oke,"katanya, suaranya rendah namun jelas memotong ketegangan. "Pertama, kita ganti baju dan hapus makeup ini. Kita terlihat seperti badut yang baru lolos dari pembantaian."
Jin mendengus. "Dunia membayar miliaran untuk melihat wajah badut ini, Kim Namjoon."
"Dan malam ini," balas Namjoon, matanya berbinar dengan kecerdasan dan tekad yang biasa tidak terlihat oleh kamera, "dunia tidak akan tahu bahwa badut-badut ini adalah satu-satunya hal yang berdiri antara mereka dan kekacauan. Welcome back, Bangtan. Ayo kita kerja."
TBC
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 13 Episodes
Comments