Gemuruh itu adalah sebuah entitas hidup, sebuah makhluk raksasa yang bernapas dengan irama yang sama dengannya. Kim Namjoon merasakan getarannya bukan hanya melalui telapak kakinya di atas panggung kayu yang kokoh, tetapi merasuk hingga ke tulang-tulangnya. Lima puluh ribu suara menyatu menjadi satu teriakan yang bergema, "BTS! BTS! BTS!" Lautan Army Bomb berkedip-kedip seperti bintang-bintang yang dijatuhkan begitu saja ke atas bumi, menyinkronkan diri dalam pola yang memukau, menciptakan galaksi yang hanya ada untuk mereka tujuh.
Ini adalah puncak konser "Yet to Come" di Stadion Piala Dunia Seoul. Udara musim panas terasa lembap, dipotong oleh sorotan lampu yang tajam dan laser yang menari-nari. Aroma keringat, antusiasme, dan cinta yang murni adalah parfum yang paling mahal di dunia.
Dan di atas panggung, mereka bukanlah agen rahasia. Mereka adalah BTS. Mereka adalah cahaya.
Jeon Jungkook, tubuhnya berkilau oleh keringat dan gemerlap lampu, melesat melintasi panggung seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Senyumannya, terang dan tanpa beban, diarahkan ke setiap sudut stadion, membuat puluhan ribu orang merasa dilihat, disayangi. Setiap gerakan dalam dance break "Dynamite" diakhiri dengan presisi mutlak, sebuah demonstrasi dari tahun-tahun latihan dan bakat alam yang nyaris tidak manusiawi.
"Wah, Jungkook-ah, hari ini energinya level setan!" seru Jung Hoseok melalui mikrofon internal yang tersembunyi di headset-nya. Suaranya, meski terdengar ngos-ngosan, penuh dengan kekaguman dan kebanggaan. Sebagai J-Hope, dia adalah matahari di atas panggung, energinya memancar dan menginfeksi setiap penonton, setiap crew, bahkan anggota lain. Senyumannya begitu lebar hingga matanya hampir menghilang, menyembunyikan pikiran tajam yang terus memindai lingkungannya, sebuah kebiasaan yang tidak bisa dihilangkannya bahkan di atas panggung.
Park Jimin berputar di dekatnya, gerakannya fluid seperti air, suara vokalnya yang halus namun penuh kekuatan melayang di atas keriuhan. Tatapannya, yang biasanya penuh dengan kehangatan, malam ini sedikit lebih waspada. Dia adalah sensor hidup dari kelompok ini, mampu merasakan pergeseran energi paling kecil.
Di sisi lain, Min Yoongi—Suga—bergerak dengan efisiensi yang santai. Gerakan tariannya tepat, tidak lebih, tidak kurang. Ekspresinya cool, hampir acuh tak acuh, tetapi siapa pun yang mengenalnya dengan baik bisa melihat konsentrasi yang tajam di matanya. "Aku berjanji pada kakiku yang malang ini untuk tidak menari terlalu keras setelah umur 25," gumamnya ke mic internalnya, hanya untuk didengar keenam anggota lainnya. "Tapi lagu ini terlalu enak untuk tidak."
Kim Taehyung, V, melontarkan verse-nya dengan suara baritonnya yang khas dan ekspresi menggoda yang membuat fans menjerit histeris. Dia menyipitkan matanya ke arah kerumunan, tetapi bukan untuk mencari kamera. Pikirannya membagi kerumunan menjadi sektor-sektor, secara tidak sadar menandai titik-titik potensial ancaman, pintu keluar, dan wajah-wajah yang terlihat tidak pada tempatnya. Itu adalah naluri yang sudah terlatih.
Dan Kim Seokjin, sang visual dunia, melambai ke arah fans di sisi timur stadion sambil melontarkan sebuah dad joke ke dalam mic internalnya. "Yah, jika aku terjatuh di sini karena lampu ini menyilaukanku, pasti akan trending lagi #WorldwideHandsomeFalling. Army sangat cepat jarinya."
Suara desahan kolektif dan cekikan terdengar di telinga mereka.
"Hyung,tolong, aku sedang serius nge-rap di sini," protes Namjoon, tanpa kehilangan satu ketukan pun dalam verse "Ddaeng" yang rumit. Sebagai RM, pemimpin di atas panggung, suaranya berwibawa dan penuh percaya diri. Tapi sebagai Kim Namjoon, dia merasakan detak jantungnya yang mulai tidak teratur. Bukan karena gugup tampil, tapi karena firasat.
Firasat itu terbukti tepat.
Di telinga kanan mereka, tersembunyi rapi oleh custom-molded earpieces yang didesain menyerupai perangkat monitor audio, bukan hanya ada suara manajer dan tim produksi. Ada saluran lain. Saluran yang sunyi sejak konser dimulai tiga jam yang lalu. Saluran dengan enkripsi militer level tertinggi.
Lalu, sebuah suara yang datar, dingin, dan otoritatif memecah kesunyian di saluran itu.
"Eagle One, ini Nest. Kode Merah. I repeat, Kode Merah. Stand by untuk briefing. Otentikasi: Tango, Charlie, Sierra, 7-4-0."
Suara Direktur Park dari Badan Intelijen Nasional (NIS). Kode itu nyata. Protokol yang mereka latih selama berbulan-bulan, yang mereka harap tidak pernah perlu digunakan, telah diaktifkan.
Tujuh pasang mata, hampir secara tidak kasat mata, berkedip sepersekian detik. Ekspresi mereka tidak goyah. Senyuman Jungkook tidak meleset. Langkah dance Yoongi tetap sempurna. Tapi di balik topeng idola, setiap orang telah berubah. Adrenalin yang tadinya untuk pertunjukan, sekarang dialihkan untuk bertahan hidup. Napas Hoseok sedikit lebih pendek. Jimin menggeser posisinya setengah langkah, secara tidak sadar menempatkan dirinya antara anggota lain dan sudut gelap panggung yang dia tidak sukai. Jari Taehyung bergetar sekali, lalu mengepal.
"Mereka memilih waktu yang benar-benar dramatis," gumam Yoongi, suaranya rendah dan datar, sangat berbeda dengan persona Suga-nya. "Aku hampir saja melakukan point dance favorinku di bridge berikutnya."
"Sudah kubilang, kita harus pakai kode 'Kim Seokjin adalah yang tercantik' sebagai konfirmasi," balas Jin, masih melambai dan menyunggingkan senyum mematikan ke arah kamera yang mengikuti setiap gerakannya. "Lebih mudah diingat."
"Semuanya, diam dan pertahankan ekspresi," perintah Namjoon, suaranya berwibawa dan berbeda dari RM yang sedang menyelesaikan rap-nya. Itu adalah suara Komandan Kim Namjoon. "Konfirmasi penerimaan. Nest, kita di tengah final menteri. ETA untuk ekstraksi?"
"Tim ekstraksi sudah standby di titik Charlie. Konser berakhir, kalian menghilang dari afterparty. Protokol 'Sick Idol' diaktifkan. Nest, keluar."
Komunikasi terputus. Lagu mereka yang terakhir, "Yet to Come", mengisi stadion. Ini biasanya adalah momen yang paling emosional, di mana mereka merenung, berterima kasih, dan menyerap semua cinta dari Army. Malam ini, setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk dada mereka. Mereka menyanyikan tentang masa depan yang belum datang, sementara misi yang bisa mengakhiri masa depan mereka—dan mungkin masa depan negaranya—sudah menunggu di belakang panggung.
Mereka membungkuk dalam-dalam, berulang kali, berterima kasih, mata mereka berkaca-kaca—sebuah campuran otentik antara rasa haru yang luar biasa dan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Mereka berjalan mundur meninggalkan panggung, masih melambai, seolah-olah tidak ingin berpisah, padahal pikiran mereka sudah melesat jauh ke depan.
Pintu belakang panggung yang tebal tertutup dengan bunyi 'decit', memotong suara gemuruh fans menjadi desisan yang redup. Suasana berubah drastis. Keriuhan crew yang mengucapkan selamat, manajer yang menyodorkan handuk dan air mineral, dan stylist yang berusaha memperbaiki makeup mereka yang luntur oleh keringat—semuanya terasa seperti berada di ujung terowongan yang panjang.
"Namjoon-ah, performa yang luar biasa! CEO-nim bilang—" Manajer Sejin mendekat, wajahnya berseri-seri.
Namjoon memotong dengan halus namun tegas, meletakkan tangan di bahu Sejin. "Hyung, Jin hyung tidak enak badan. Sangat parah. Mungkin keracunan makanan dari katering tadi. Kita harus segera ke mobil."
Wajah Sejin berubah dari bangga menjadi khawatir dalam sekejap. Dia melirik ke arah Jin, yang dengan sempurna langsung memainkan perannya. Jin membungkuk, meletakkan tangannya di perut, wajahnya memerah dan berkeringat (yang dengan mudah bisa dikira sebagai efek panggung), dan mengeluarkan erangan yang sangat meyakinkan.
"Aigoo... perutku..." keluhnya, memeluk perutnya.
Sejin mengangguk cepat, wajahnya serius. Protokol 'Sick Idol' adalah hal yang sudah mereka latih untuk keadaan darurat. "Aku akan urus konferensi pers dan yang lain. Pergi. Jang Yoona-ssi," dia menoleh ke asistennya, "bawakan selimut untuk Jin-ssi dan pastikan tidak ada fotografer di parking lot timur."
Mereka berjalan cepat, hampir berlari, melalui labirin koridor beton di belakang panggung. Senyuman mereka menghilang, digantikan oleh ketegangan yang membeku. Jungkook, yang biasanya melompat-lompat dan bercanda setelah konser, berjalan dengan punggung tegak dan mata yang terus bergerak, memindai setiap pintu, setiap sudut. Jimin berjalan di samping Jin, seolah-olah mendukungnya, tetapi posisinya sempurna untuk melindungi sisi lemah Jin. Hoseok dan Taehyung berjalan di belakang, menutup formasi.
Meninggalkan gemuruh fans yang masih terdengar samar-samar, seperti suara ombak dari kejauhan, terasa seperti meninggalkan sebuah dunia. Dunia cahaya.
Di parking lot timur, yang sudah dikosongkan, bukan mobil van biasa mereka yang menunggu. Sebuah SUV Mercedes-Benz G-Class hitam legam, tanpa plat nomor, dengan kaca film yang sangat gelap, sudah menyala mesinnya. Seorang pria dengan setelan hitam-rapih dan postur militer berdiri di sampingnya. Dia mengangguk singkat tanpa bicara saat mereka mendekat.
Pintu geser terbuka. Mereka masuk dengan cepat dan efisien, tanpa perlu berkomunikasi. Yoongi dan Namjoon langsung duduk di baris kedua, dekat dengan console tengah yang penuh dengan peralatan. Mobil melesat sebelum pintu tertutup rapat, meninggalkan stadion dan kehidupan mereka sebagai idola.
Di dalam, suasana berubah total. Lampu overhead yang redup menyala, menerangi interior yang mewah namun dipenuhi dengan layar datar dan peralatan komunikasi yang bukan bagian dari paket mobil mewah biasa. Suara AC begitu senyap.
Dari speaker mobil, suara Direktur Park kembali terdengar, sekarang lebih jelas dan lebih keras.
"Selamat datang kembali, Unit Bangtan. Libur kalian resmi berakhir."
"Ancaman apa, Sir?" tanya Yoongi langsung, sudah membuka sebuah tablet yang tersimpan di rak dan jarinya sudah mulai menari di atas layar, mengotentikasi dirinya ke sistem.
"Tiga jam empat puluh tujuh menit yang lalu, sistem komando, kontrol, komunikasi, dan komputer (C4) militer kita lumpuh total selama tujuh menit empat puluh detik," lapor Direktur Park, suaranya seperti es. "Seven minutes and forty seconds of total blindness, Namjoon-ssi. Seseorang tidak hanya menyusupkan code yang sangat canggih, tetapi mereka memainkan kita. Mereka membuat sistem kita percaya bahwa kita sedang melakukan latihan gabungan dengan AS, sementara di layer lain, mereka mengunci semua sistem pertahanan aktif kita. Jika ini adalah serangan nyata... kita sudah dalam perang. Seoul bisa rata."
Suasana di dalam mobil menjadi sangat dingin. Jungkook mengepal tangannya hingga knuckle-nya memutih. Jimin menarik napas dalam dan perlahan, sebuah teknik menenangkan diri yang diajarkannya kepada orang lain, tetapi sekarang dia sendiri yang kesulitan melakukannya.
"Kenapa kita? Ini jelas-jelas ranah Cyber Command dan Defense Security Command," tanya Hoseok, matanya yang biasanya berbentuk bulan sabit sekarang tajam seperti pedang.
"Karena dua alasan," jawab Direktur, tajam. "Pertama, sinyal serangan tidak berasal dari luar. Itu berasal dari dalam. Dari jantung ibukota. Ini adalah pekerjaan orang dalam yang sangat terlatih. Kedua... dan inilah yang membuat Presiden sendiri mengaktifkan Shadow Protocol... mereka meninggalkan pesan."
Sebuah gambar muncul di layar utama di antara jok baris pertama dan kedua. Itu adalah simbol grafis yang familiar bagi mereka bertujuh: logo BTS yang sederhana dan elegan. Namun, ada yang salah. Di tengah logo itu terdapat sebuah retakan, seperti kaca yang pecah. Dan dari retakan itu mengalir sesuatu yang mirip dengan darah digital, tetesan yang perlahan-lahan membentuk sebuah kata dalam huruf Hangul yang runcing dan mengerikan: 배신 (Bae-sin).
Pengkhianatan.
Semua mata tertuju pada logo itu. Logo mereka sendiri yang dicemari, digunakan sebagai alat untuk menteror.
"Ada... ada yang tahu?" desis Taehyung, suaranya untuk pertama kalinya malam ini kehilangan nada baritonnya yang dalam, terdengar lebih muda dan rentan.
"Tidak," jawab Direktur dengan tegas. "Ini adalah pesan internal. Untuk kita. Untuk NIS. Seseorang tidak hanya tahu identitas rahasia kalian... mereka menantang kita. Mereka mengatakan bahwa pengkhianat ada di antara kita sendiri."
Dia berhenti sejenak, memberikan waktu pada kata-kata itu untuk meresap.
"Shadow Protocol aktif. Misi kalian: temukan sumber serangan, identifikasi pengkhianat, dan netralisir ancaman tersebut sebelum konflik ini meledak menjadi perang terbuka. Seluruh sumber daya NIS ada di belakang kalian. Dan ingat... dunia masih melihat kalian sebagai BTS. Topeng itu adalah senjata terbaik dan kelemahan terbesar kalian. Jaga."
Komunikasi kembali terputus. Hanya terdengar deru mesin SUV yang melesat melalui jalanan Seoul yang masih ramai oleh fans yang pulang konser.
Mereka saling memandangi. Di wajah mereka, terdapat sisa-sisa foundation dan glitter dari panggung. Di mata mereka, ada bayangan dari agen rahasia yang terpaksa bangun dari tidurnya.
Kim Namjoon menarik napas dalam-dalam.
"Oke,"katanya, suaranya rendah namun jelas memotong ketegangan. "Pertama, kita ganti baju dan hapus makeup ini. Kita terlihat seperti badut yang baru lolos dari pembantaian."
Jin mendengus. "Dunia membayar miliaran untuk melihat wajah badut ini, Kim Namjoon."
"Dan malam ini," balas Namjoon, matanya berbinar dengan kecerdasan dan tekad yang biasa tidak terlihat oleh kamera, "dunia tidak akan tahu bahwa badut-badut ini adalah satu-satunya hal yang berdiri antara mereka dan kekacauan. Welcome back, Bangtan. Ayo kita kerja."
TBC
SUV hitam itu melesat seperti hantu, menyusuri jalanan bawah tanah Seoul yang sepi, jauh dari keramaian dan sorotan lampu kota. Ketenangan di dalam mobil itu kontras dengan badai yang mengamuk di hati setiap penghuninya. Pesan Direktur Park masih bergema di telinga mereka, dingin dan mengancam seperti pisau belati.
"Pengkhianatan."
Kata itu menggantung di udara ber-AC, lebih menusuk daripada ancaman dari luar mana pun. Seseorang tahu identitas mereka. Seseorang menggunakan logo mereka sebagai tanda peringatan. Itu bukan lagi sekadar serangan siber; itu adalah pelecehan yang sangat pribadi, sebuah tantangan yang melemparkan sarung tangan langsung ke wajah mereka.
Setelah beberapa menit dalam keheningan yang tegang, Namjoon memecahnya. Suaranya tenang, namun berwibawa, memimpin seperti biasa. "Oke, evaluasi situasi. Suga, apa yang bisa kamu lihat dari data serangan itu?"
Yoongi, yang sudah tenggelam dalam tabletnya, tidak langsung menjawab. Jari-jarinya menari di atas layar, membuka beberapa jendela sekaligus. "Aku sudah mengunduh paket data dari Nest. Kodenya... elegan. Sangat elegan. Bukan kerja script kiddie atau negara nakal yang terburu-buru. Ini seperti karya seni digital yang jahat." Dia menggeser satu diagram alur ke layar utama. "Lihat. Mereka tidak memaksa masuk. Mereka menggunakan backdoor yang sudah ada di dalam sistem C4 kita. Seperti punya kunci sampingnya."
"Backdoor? Di sistem militer?" tanya Hoseok, tidak percaya.
"Lebih buruk lagi," sahut Yoongi, matanya tetap tertuju pada layar. "Mereka menggunakan protokol autentikasi level tertinggi. Hanya segelintir orang di NIS dan militer yang memiliki akses ini."
"Artinya, pengkhianatnya memang dari dalam. Level tinggi," simpul Jimin, suaranya berbisik. Dia memandang keluar jendela yang gelap, seolah-olah bisa melihat wajah musuh di balik bayang-bayang kota.
"Atau akses mereka dicuri," tambah Jin, mencoba mencari sisi positif. Meski wajahnya masih pucat dari akting 'sakit' tadi, pikirannya sudah bekerja dengan cepat.
"Kemungkinannya kecil, Hyung," bantah Yoongi. "Protokol ini menggunakan verifikasi biometrik dua faktor. Jadi, bukan hanya kartu dan password, tapi juga sidik jari dan pemindaian retina. Sangat sulit dicuri tanpa... mencuri orangnya juga."
Suasana kembali muram. Kemungkinan bahwa seorang rekan, seseorang yang mereka kenal, bisa menjadi dalang di balik ini semua, terasa seperti pengkhianatan kedua.
Taehyung, yang selama ini diam, tiba-tiba berbicara. "Pesan itu... 배신 (Bae-sin). Itu bukan hanya 'pengkhianatan'. Dalam konteks sastra klasik, itu bisa berarti 'mengingkari kepercayaan'. Seseorang merasa dikhianati?"
Semua mata tertuju padanya. Taehyung sering kali memiliki perspektif yang unik, mampu melihat makna di balik makna.
"Atau itu adalah proyeksi," timpal Jimin, kembali menggunakan keahlian psikologisnya. "Mereka yang merasa dikhianati sering kali menjadi pengkhianat terbesar. Mungkin ini motivasinya. Balas dendam."
Namjoon mengangguk, mengolah informasi itu. "Poin yang bagus, Taehyung-ah, Jimin-ah. Itu memberi kita dimensi lain. Kita tidak hanya mencari mata-mata, kita mungkin mencari seseorang yang punya dendam pribadi terhadap NIS, atau bahkan terhadap negara." Dia menoleh ke Jungkook, yang duduk paling diam di sudut. "Jungkook-ah, kamu terlalu sunyi. Apa yang kamu lihat?"
Jungkook mengangkat kepalanya. Mata yang biasanya penuh dengan kegembiraan dan kekaguman sekarang tajam dan fokus. "Aku memikirkan timing-nya, Hyung. Serangan terjadi tiga jam sebelum konser kita berakhir. Pesan datang tepat saat kita di panggung. Itu bukan kebetulan. Mereka ingin kita tahu, saat kita paling tidak bisa berbuat apa-apa. Saat kita terjebak dalam peran sebagai idola. Itu adalah bentuk penghinaan."
"He's right," desis Hoseok. "Ini permainan pikiran. Mereka ingin kita merasa tidak berdaya."
"Tapi kita tidak," kata Namjoon dengan tegas. "Kita justru berada dalam posisi terbaik. Siapa yang akan menduga tujuh idola pop sebagai agen intelijen? Topeng kita adalah keuntungan terbesar kita." Dia berhenti sejenak, memandangi satu per satu anggota timnya. "Tapi ini mengubah segalanya. Protokol standar tidak berlaku. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun di NIS, kecuali mungkin Direktur Park sendiri. Dari sekarang, kita adalah unit yang berdiri sendiri. Komunikasi hanya melalui saluran enkripsi level Shadow yang Suga buat. Kita mengandalkan sumber daya kita sendiri."
"Markas?" tanya Jin.
"Kita tidak bisa menggunakan markas NIS utama. Terlalu riskan," jawab Namjoon. "Kita akan menggunakan 'The Nest' kedua. Studio latihan kita di Hannam-dong."
Semua mengangguk. Studio latihan mereka yang mewah itu memiliki ruang bawah tanah rahasia yang diperlengkapi dengan peralatan canggih, dijadikan markas darurat untuk latihan simulasi. Tidak ada yang akan mencurigai tempat itu.
SUV akhirnya berhenti di basement parkir sebuah gedung apartemen mewah di Hannam-dong. Pengemudi mereka, agen NIS yang bisu, mengangguk sekali sebelum mobil itu melesat pergi, meninggalkan mereka di tempat yang seolah-olah biasa saja.
Dengan cepat, mereka memasuki lift menuju lantai studio. Begitu pintu studio tertutup, mereka berubah. Bahu yang tadinya lelah setelah konser sekarang tegak. Langkah mereka menjadi gesit dan penuh tujuan.
Jimin langsung menuju panel kontrol tersembunyi di balik cermin latihan. Dengan menekan urutan kode tertentu, sebuah bagian lantai berbisik dan terbuka, memperlihatkan tangga yang menurun ke bawah.
Ruangan di bawah tanah itu tidak seperti ruang latihan yang cerah di atas. Cahayanya redup, didominasi oleh cahaya biru dari banyak layar komputer. Dindingnya dipenuhi senjata yang tersimpan rapi, pakaian taktis, dan peralatan komunikasi khusus. Di tengah ruangan terdapat meja besar dengan peta digital Korea Selatan.
"Home, sweet home," gumam Yoongi, langsung mendarat di kursi di depan stasiun komputer utama dan mulai menyalakan semua sistem. Dengung hard drive dan server mulai memenuhi ruangan.
"Oke, kita punya waktu terbatas sebelum media mulai memburu kita karena 'sakit' tadi," kata Namjoon, berdiri di depan meja digital. "Suga, fokus pada backdoor dan siapa saja yang memiliki akses ke protokol autentikasi itu. Buat filter untuk memantau komunikasi internal NIS yang mencurigakan."
"Sudah dikerjakan," balas Yoongi, tanpa menoleh.
"Jin, kamu tugasnya mengumpulkan intel dari lingkaran sosial tingkat tinggi. Ada acara amal galanya besok malam, kan? Cari tahu apa yang sedang dibicarakan di kalangan elite. Terkadang, informasi paling berharga datang dari obrolan sampingan saat minum anggur."
Jin mengangguk, sudah membuka lemari yang berisi setelan-setan tailor-made yang cocok untuk acara seperti itu. "Aku akan membuat mereka berbicara."
"J-Hope, V," lanjut Namjoon. "Kamu berdua melakukan pengintaian fisik. Markas Cyber Command, rumah-rumah pejabat tinggi yang terlibat... lihat apakah ada aktivitas yang tidak biasa. Kamu adalah mata dan telinga kita di jalanan."
Hoseok dan Taehyung saling pandang dan mengangguk kompak. Mereka adalah duo yang tangguh di lapangan.
"Jimin," Namjoon menatap Jimin. "Aku butuh profil psikologis dari setiap orang dalam daftar tersangka yang akan Suga berikan. Cari celah, motif, tekanan... apapun yang bisa membuat seseorang berkhianat."
Jimin mengangguk, matanya sudah analitis. "Aku akan menyelaminya."
"Dan aku?" tanya Jungkook, bersiap untuk tugas apapun.
Namjoon menatapnya dalam-dalam. "Jungkook-ah, aku butuh kamu sebagai wildcard. Kamu akan mempelajari segala sesuatu tentang serangan ini dari sudut pandang taktis. Simulasi skenario terburuk. Jika mereka bisa melumpuhkan sistem kita selama tujuh menit, apa target berikutnya? Pembangkit listrik? Jaringan air? Kamu yang akan mengantisipasinya."
Jungkook mengangguk, wajahnya serius. Dia memahami betapa beratnya tanggung jawab itu.
"Dan..." Namjoon menambahkan, suaranya lebih rendah. "...kita semua harus ekstra waspada. Terhadap siapa pun. Bahkan terhadap diri sendiri. Jika ada yang merasa ada yang aneh, atau diikuti, laporkan segera. Kepercayaan kita hanya ada di antara kita tujuh saja. Itu yang paling penting."
Dia memandang keenam pria di depannya. Mereka bukan lagi anak-anak muda yang bernyanyi di atas panggung. Mereka adalah Unit Bangtan. Sebuah tim yang terpaksa keluar dari bayangan untuk menghadapi bayangan yang lebih gelap.
"Unit Bangtan diaktifkan," deklarasi Namjoon, suaranya mengisi ruangan bawah tanah yang sunyi. "Mari kita temukan pengkhianat ini, dan lindungi rumah kita."
Layar-layar di dinding menyala, memancarkan aliran data yang tak ada habisnya. Pertempuran diam-diam mereka telah dimulai. Dan di luar, fans mereka bermimpi tentang konser yang baru saja mereka saksikan, tidak menyadari bahwa pahlawan sejati mereka sedang berperang di dalam kegelapan.
TBC
Suasana di ruang bawah tanah markas Hannam-dong bagai ruang kontrol misi NASA yang sedang mengalami krisis tingkat satu. Udara terasa padat oleh aroma kopi kuat yang diseduh Jungkook dan ketegangan yang hampir bisa diraba. Cahaya biru dari belasan layar memantul di wajah-wajah lelah yang masih menyisakan sisa glitter dari panggung konser.
"Tim Eagle-Two dalam posisi," lapor Hoseok melalui kom, suaranya rendah namun jelas terdengar di antara gemericik air mancur dan lalu lintas Seoul. Dia dan Taehyung sedang duduk di balkon lantai tiga sebuah kafe mewah yang persis berseberangan dengan gedung NIS yang megah. Dari sana, mereka bisa mengamati setiap keluar-masuk kendaraan. "Pintu utama bersih. Para pegawai pulang dengan wajah lelah yang sangat normal. Terlalu normal. Seperti ada yang sedang berakting sangat keras untuk terlihat biasa saja."
"Atau mungkin mereka memang benar-benar lelah karena harus berurusan dengan berkas-berkas yang sebanyak ini," gumam Taehyung, mengamati seorang pegawai yang nyaris tersandung membawa setumpuk dokumen. "Aku hampir merasa kasihan. Tapi tidak." Dia menyipitkan matanya, mengaktifkan kameranya yang tersembunyi di kancing jas untuk memperbesar gambar wajah-wajah yang lewat. "Tidak ada micro-expression yang mencurigakan. Semua hanya ingin cepat pulang ke keluarga mereka. Manusiawi."
Di markas, Yoongi mendengus. "Kemanusiaan adalah kemewahan yang tidak bisa kita miliki saat ini, V. Fokus." Jari-jemarinya tidak berhenti menari di atas tiga keyboard sekaligus, memilah ribuan baris kode. "Aku sedang menyusup ke log aktivitas server NIS. Ini seperti mencari jarum di tumpukan jarum lainnya, dan semua jarumnya adalah jarum jam yang berdetak menuju sesuatu."
Jimin mendekati layar besar yang menampilkan puluhan foto dan profil. "Psikologi para tersangka ini tidak menunjukkan tanda-tanda ekstrem, RM. Wakil Direktur Kang dikenal sebagai workaholic yang perfeksionis. Dr. Lee si ilmuwan adalah tipikal introvert yang lebih nyaman dengan mesin daripada manusia. Jenderal Choi... karirnya bersih, keluarga harmonis." Dia menghela napas. "Jika salah satu dari mereka adalah pengkhianat, mereka adalah psikopat level tinggi yang telah menyembunyikan jati diri mereka selama puluhan tahun."
"Atau," seloroh Jin yang sedang berdiri di depan cermin dua arah, mengenakan tuksedo Armani yang dibuat khusus, "mereka hanya sangat, sangat bosan dengan kehidupan mereka yang sempurna dan butuh sedikit sensasi. Seperti di drama-drama yang aku bintangini. Bedanya, ini tidak ada naskahnya dan nyawa kita taruhannya." Dia merapikan dasinya. "Kurasa aku akan memilih anggur Merlot untuk acara nanti. Lebih mudah membuat orang berbicara setelah segelas anggur merah yang mahal."
"Pilih anggur apa saja yang kamu mau, Hyung," kata Namjoon tanpa menoleh dari peta digital, "asal kamu kembali dengan informasi, bukan hanya dengan hangover." Sebagai pemimpin, dia berdiri di tengah ruangan, matanya bergerak cepat antara layar yang berbeda, mencoba menghubungkan titik-titik yang belum jelas. Kecerdasannya yang terkenal itu bekerja pada kapasitas maksimal, tetapi musuhnya adalah kabut ketidakpastian.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, salah satu monitor yang memantau lalu lintas data internal NIS menyala dengan warna merah darah. Sebuah peringatan berbunyi bip bernada tinggi, memekakkan telinga di ruangan yang sunyi.
"Tidak," desis Yoongi, tubuhnya menegang. "Aktivitas data besar-besaran! Bukan dari luar... ini berasal dari server inti NIS sendiri! Mereka berani menyerang dari dalam rumah kita!" Tangannya menjadi blur, membuka jendela demi jendela dengan kecepatan yang menakutkan.
"Jenis serangan?" tanya Namjoon, langkahnya sudah berada di belakang Yoongi dalam dua langkah besar.
Yoongi diam selama tiga detik yang terasa seperti tiga abad, matanya menyapu baris kode yang bergulir cepat. Wajahnya yang biasanya datar berkerut dalam kekhawatiran yang dalam. "Ini... ini gila. Mereka tidak mencoba melumpuhkan. Mereka mengaktifkan sistem peringatan dini missile defense! Mereka memicu alarm misil!"
Sebuah peta digital Korea Selatan meledak di layar utama. Di Laut Timur, sebuah simbol merah berbentuk rudal berkedip-kedip dengan ganas, bergerak cepat di sepanjang jalur yang diproyeksikan langsung menuju jantung ibu kota.
\[SYSTEM ALERT: BALLISTIC MISSILE DETECTED. ORIGIN: INTERNATIONAL WATERS. ESTIMATED IMPACT: SEOUL. TIME TO IMPACT: 2 MINUTES 30 SECONDS.\]
\[PERINGATAN SISTEM: MISIL BALISTIK TERDETEKSI. ASAL: PERAIRAN INTERNASIONAL. PERKIRAAN DAMPAK: SEOUL. WAKTU MENUJU DAMPAK: 2 MENIT 30 DETIK.\]
Jungkook yang sedang memegang cangkir kopi menjatuhkannya. Cangkir itu pecah berantakan di lantai beton, tapi tidak ada yang peduli. Semua mata tertuju pada simbol kematian yang berkedip di layar.
"Konfirmasi!" teriak Namjoon, suaranya untuk pertama kalinya meninggi karena panik yang tertahan. "Hubungi Angkatan Udara langsung! Suga, cek semua radar sekunder, satelit, apapun!"
Jungkook sudah melompat ke konsolnya sendiri, jarinya mengetik seperti orang kesurupan. "Aku di sistem radar AU sekunder! Tidak ada apa-apa! Langit bersih! Itu ghost! Sistem kita sedang dibohongi!"
Realisasi itu menghantam mereka seperti pukulan di solar plexus. Ini lebih kejam dari sekadar serangan. Ini adalah provokasi. Jika sistem pertahanan otomatis aktif atau jika seorang jenderal yang panik memerintahkan pembalasan terhadap serangan yang tidak ada itu, Perang Korea Kedua bisa dimulai karena sebuah ilusi digital.
"Durasi serangan pertama tujuh menit empat puluh detik!" teriak Jimin, wajahnya pucat pasi. "Itu adalah waktu yang mereka butuhkan untuk melihat apakah kita lumpuh! Sekarang mereka menguji seberapa cepat kita panik!"
"Saya tidak bisa mematikan sistem dari sini!" jerit Yoongi, meninju meja dalam frustrasi. "Mereka telah mengunci saya keluar dengan kode yang tidak pernah saya lihat sebelumnya! Mereka belajar dan beradaptasi!"
"Kalau begitu kita harus mematikannya secara manual! Dari dalam!" kata Namjoon, mengambil keputusan dalam sepersekian detik. "Suga, jalur pemeliharaan rahasia ke server room—apakah masih aktif?"
"Ya, tapi—"
"Tidak ada 'tapi'! Eagle-Two!" Namjoon membentak ke komunikator. "Ubah misi! Masuk ke gedung NIS, jalur Delta. Suga akan mengirimkan blueprint ke perangkat kalian. Tujuannya: server room. Kalian harus melakukan hard reset manual sebelum waktu habis!"
Di kafe seberang jalan, Hoseok dan Taehyung saling memandang. Semua kepura-puraan sebagai pengunjung kafe yang santai lenyap, digantikan oleh fokus mematikan dari agen lapangan.
"Dimengerti, Eagle One. Bergerak," jawab Hoseok, suaranya tiba-tiba menjadi dingin dan datar.
Di layar monitor keamanan markas, mereka melihat dua bayangan meluncur dari balkon kafe, turun dengan cepat menggunakan tali yang tersembunyi ke gang gelap di bawah, dan menghilang ke dalam kegelapan seperti asap.
"Jin, batalkan kepergianmu," perintah Namjoon. "Kita butuh setiap orang di sini. Jika ini adalah pengalihan, serangan utama bisa datang dari mana saja."
Jin mengangguk, dengan cepat melepas jas tuksedonya. "Bagus juga. Aku selalu merasa dasi ini agak terlalu ketat." Humornya jatuh datar, tapi tidak ada yang menghiraukan.
Yoongi membagi layar utamanya. Di satu sisi, dua titik hijau—Hoseok dan Taehyung—bergerak seperti ikan di melalui blueprint gedung NIS yang rumit. Di sisi lain, hitungan mundur yang mengerikan terus berdetak: 01:45... 01:44... 01:43...
"Eagle-Two, belok kiri setelah pintu pemadam kebakaran. Ada panel kontrol tersembunyi di balik lukisan reproduksi abad ke-19—lukisan kapal," pandu Yoongi, suaranya tegang namun terkendali.
"Ada di sini," lapor Taehyung melalui kom, suara napasnya sedikit terengah. "Tapi ada kunci biometrik tambahan. Sidik jari dan retina."
"Gunakan kartu bypass darurat saya. Nomor seri Delta-Zero-Niner. Tempelkan, dan aku akan mencoba memalsukan sidik jari dari sini dengan data cadangan lama," kata Yoongi.
01:15...
Mereka mendengar suara kartu gesek, diikuti oleh bunyi bip yang menolak.
"Ditolak!"lapor Taehyung, suaranya mulai panik.
"Tenang," desis Hoseok. "Suga, coba lagi."
Yoongi mengutuk dalam bahasa Korea. "Mereka sudah menghapus otorisasi daruratku! Mereka tahu kita akan menggunakan jalur ini!"
01:00...
"Oke, cara kasar," kata Hoseok. Dari kom terdengar suara gesekan logam kecil. "Aku pakai pemutus frekuensi portabel. Ini akan mematikan kunci elektroniknya selama 15 detik, tapi juga akan memicu alarm lokal."
"Lakukan!" perintah Namjoon.
00:55...
Suara dengungan pendek dan keras terdengar, diikuti oleh bunyi 'klik' yang melegakan. "Terbuka!" seru Taehyung.
Tapi tiba-tiba, dari kom terdengar suara orang terkejut. "Hei! Kalian siapa?!"
"Penjaga keamanan internal!" lapor Hoseok. Suara tarung singkat dan efisien terdengar—sebuah tendangan rendah, pukulan pada titik tekanan, dan sebuah erangan—diakhiri dengan suara tubuh yang jatuh ke lantai. "Dinonaktifkan. Non-lethal."
00:40...
"Server room ada di ujung koridor ini! Cepat!" teriak Yoongi.
Langkah kaki berlari yang teredam menggema melalui kom. Di markas, Jungkook berdiri, tangannya mengepal erat. Jimin memejamkan mata, bibirnya komat-kamit berdoa. Jin menggigit bibirnya hingga hampir berdarah.
00:25...
"Ada di sini! Pintu baja! Kode numerik!" teriak Taehyung.
"Kodenya 7-4-0-8-1-3!" jawab Yoongi, membaca dari catatan rahasia. "Cepat!"
00:20...
Suara tombol ditekan berderet. Bunyi 'bip' panjang, dan pintu berat itu terbuka dengan desis.
00:15...
"Rack server utama, dengan lampu merah berkedip!" lapor Taehyung, terengah-engah.
"Colokkan perangkat daruratku ke port merah di bagian bawah! Yang bertanda 'Emergency System Override'!" teriak Yoongi.
00:10...
"Port-nya... ada! Mencolokkannya sekarang!"
Yoongi menatap layar di depannya. Jarinya melayang di atas tombol 'Enter'. Di layar besar, simbol misil hantu itu begitu dekat dengan Seoul.
00:05...
"SEKARANG, YOONGI!" teriak Namjoon.
Yoongi menekan tombol itu.
Seluruh layar utama tiba-tiba menjadi hitam. Ruangan bawah tanah itu diselimuti keheningan yang begitu pekat sehingga mereka bisa mendengar detak jantung mereka sendiri.
Lalu, dengan tenang, kata-kata biru muncul di layar.
\[SYSTEM REBOOT INITIATED. ALL DEFENSE SYSTEMS OFFLINE. RE-ESTABLISHING CONNECTION...\]
\[REBOOT SISTEM DIMULAI. SEMUA SISTEM PERTAHANAN NON-AKTIF. MEMBANGUN KONEKSI ULANG...\]
Hitungan mundur telah berhenti di 00:02.
Dari kom, terdengar suara Hoseok yang terengah-engah, diikuti oleh bunyi alarm internal di gedung NIS yang perlahan-lahan mereda. "Alarm... berhenti. Kami aman untuk saat ini."
Tidak ada sorak-sorai. Tidak ada pelukan. Hanya desahan lega yang keluar dari tujuh pasang paru-paru secara bersamaan. Jungkook nyaris terjatuh, bersandar di mejanya. Jimin membuka matanya, dengan linangan air mata yang tidak jatuh. Jin mengambil kembali tuksedonya dan menggantungnya dengan tangan yang gemetar.
Namjoon menutup matanya sejenak, mengumpulkan dirinya. Ketika dia membukanya kembali, ada api kemarahan yang dingin di dalamnya.
"Eagle-Two, keluar dari sana. Sekarang. Jangan tinggalkan jejak." Dia menarik napas dalam-dalam. "Semua orang, dengar. Pertempuran ini bukan lagi tentang mencegah serangan. Ini tentang bertahan dari provokasi yang bisa memicu kepunahan."
Dia menatap simbol BTS yang retak di dinding, dengan kata "PENGKHIANAT" di bawahnya.
"Mereka tidak hanya tahu identitas kita. Mereka tahu psikologi kita. Mereka tahu kita akan bereaksi seperti ini. Mereka sedang memainkan kita seperti biola, dan kita bahkan belum melihat pemainnya."
Kemenangan mereka terasa pahit. Mereka telah menyelamatkan Seoul dari sebuah phantom, tetapi phantom itu telah meninggalkan ketakutan yang sangat nyata. Dan di suatu tempat di luar sana, sang dalang pasti sedang tersenyum, mengetahui bahwa langkah pertama dalam rencananya yang lebih besar telah bekerja dengan sempurna.
TBC
Download NovelToon APP on App Store and Google Play