Detak Yang Tersisa

Detak Yang Tersisa

Bab 1: Simfoni Sunyi

Pukul 02.17. Dunia telah lama terlelap, tetapi ruang operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Seoul masih menyala bagai panggung utama sebuah drama tak berkesudahan. Di sanalah Min Yoongi, seorang maestro berusia 32 tahun, memimpin orkestranya yang sunyi. Scalpel di tangannya bagai tongkat konduktor, menari dengan presisi mutlak di antara urat-urat dan otot, menyelaraskan kembali detak jantung yang nyaris patah. Bunyi monitor yang stabil—beep, beep, beep—adalah satu-satunya musik yang setia menemani ritualnya.

Namun, di balik setiap gerakan sempurna itu, ada sebuah kehampaan yang hanya dirasakannya sendiri. Setiap kali ia berhasil memulihkan detak jantung orang lain, ia merasa sepotong kecil jiwanya ikut terkikis. Ia adalah seorang penyelamat nyawa yang justru merasa hidupnya perlahan mengering.

Pukul 04.03. Ia membuka pintu apartemen mewahnya di lantai tertinggi sebuah menara di Gangnam. Begitu masuk, kesunyian langsung menyambutnya bagai selimut basah. Lampu dapur masih menyala, memancarkan cahaya lembut ke ruang keluarga yang luas dan terlalu rapi. Di atas meja makan marmer, secangkir teh chamomile—minuman favorat istrinya—tergeletak tak tersentuh, sudah dingin sama sekali. Yoongi menyentuh permukaan cangkirnya yang halus, dan rasanya seperti menyentuh kuburan dari sebuah niat baik yang tak pernah sampai.

Jieun belum pulang.

Ia mengambil ponselnya. Tidak ada notifikasi, tidak ada pesan yang terlewat. Hanya satu pesan dari jam tujuh lebih sore sebelumnya, singkat dan fungsional, seperti catatan kaki dalam berkas kasusnya: "Ada mediasi darurat. Jangan tunggu." Ia membalasnya dengan satu kata: "Oke." Percakapan yang sudah mati sebelum sempat hidup.

Ia melemparkan ponselnya ke sofa dan membuka kulkas. Dinginnya udara dari dalam kulkas tak semembeku hawa di apartemennya sendiri. Ia mengambil air mineral dan meminumnya langsung dari botol, sesuatu yang tak pernah dilakukannya jika Jieun ada di rumah. Matanya lalu tertuju pada album foto pernikahan mereka di meja tengah. Our Beginning. Sampulnya sudah mulai pudar.

Dengan jari-jari yang masih beraroma antiseptik, ia membuka halaman pertama. Di sana, tertawa lepaslah Lee Jieun dengan gaun pengantinnya, mata yang dulu selalu berbinar kini terpampang membeku dalam foto. Dan dirinya sendiri, memeluknya dari belakang, dengan pandangan penuh kebanggaan dan kepastian bahwa inilah wanita untuk selamanya. Kini, ia hanya bisa berbisik lirih pada foto itu, "Di manakah kamu sekarang, Ji? Apakah kamu masih ada di sini, bersamaku?"

Tidak ada jawaban. Hanya detak jam dinding yang berdebar seperti detak jantung orang asing.

---

Pukul 23.45 malam sebelumnya, di sebuah lounge hotel elegan milik Namjoon di Itaewon, Lee Jieun duduk sendiri di booth yang paling tersembunyi. Blazer hitamnya tergantung rapi, meninggalkan ia dengan blus satin biru tua yang menyala lembut di bawah lampu tembaga. Di depannya, segelas wine merah hampir penuh, tak tersentuh. Ia baru saja menyelesaikan mediasi perceraian yang berantakan, dan setiap teriakan, setiap tuduhan, setiap isak tangis kliennya masih bergema di kepalanya.

"Wine-nya tidak sesuai ekspektasi?"

Suara itu lembut, tidak memaksa. Jieun mengangkat kepalanya. Park Jimin berdiri di samping mejanya, dengan senyum kecil yang tidak menggurui. Sorot matanya jernih, seolah bisa melihat melalui lapisan armor pengacara tangguh yang ia kenakan setiap hari.

"Tidak," jawab Jieun, suaranya lebih serak dari yang ia duga. "Hanya belum siap."

Jimin mengangguk, seolah memahami semua yang tidak terucapkan. "Kadang, orang datang ke bar bukan untuk minum, tapi untuk berhenti sejenak. Berhenti berpikir."

Jieun tertegun. Kebijaksanaan sederhana itu menusup langsung ke bagian dirinya yang paling lelah. "Kamu selalu berkata begitu pada pelanggan yang terlihat seperti bencana berjalan?"

Senyum Jimin melebar, membuat matanya menyipit. "Hanya pada yang terlihat membawa seluruh langit di pundaknya." Ia berbalik. "Teh chamomile dengan madu. Biar saya yang buatkan."

Saat Jimin berbalik, Jieun memandangnya. Gerakannya di balik bar begitu lancar dan penuh perhatian. Ia bukan hanya menuang air panas; ia menyiapkannya dengan sengaja, seolah setiap gerakan adalah bagian dari ritual menenangkan. Aroma chamomile yang hangat mulai memenuhi udara, dan untuk pertama kalinya sepanjang malam, Jieun merasa bisa bernapas lega.

"Ini," ucap Jimin saat kembali, meletakkan teko dan cangkir keramik di hadapannya. "Untuk mengingatkan bahwa tidak semua hal di dunia ini terasa berat."

Kalimat itu menyentuh sesuatu yang sangat dalam dalam diri Jieun, sesuatu yang ia kunci rapat-rapat selama berbulan-bulan. Ia membungkuk, mencium aroma tehnya, dan membiarkan kehangatan itu menjalar pelan di telapak tangannya.

---

Pukul 05.30. Yoongi terbangun di sofa. Lehernya kaku, mulutnya terasa pahit. Ia tertidur menunggu. Matanya langsung menuju pintu. Masih terkunci. Sunyi.

Ia membuat kopi hitam pekat. Sambil menunggu mesin kopnya selesai mendesis, ia mengambil jurnal medisnya. Biasanya ia menulis catatan observasi medis, tapi pagi ini, ia membalik ke halaman belakang yang masih kosong dan mulai mencoretkan kata-kata yang hanya untuknya sendiri.

Hari ini aku menyelamatkan seorang kakek. Keluarganya menangis bahagia di ruang tunggu. Mereka berpelukan, sebuah kesatuan. Aku pulang. Tidak ada yang menunggu. Tidak ada pelukan. Istriku tidak pulang. Lagi.

Diagnosis: Hampa. Prognosis: Tidak diketahui.

Ia menutup jurnalnya dengan keras. Tangannya gemetar. Di depan matanya, bayangan dirinya dalam kopi hitamnya terdistorsi—seorang pria yang tersesat di istananya sendiri.

---

Pukul 08.15. Matahari pagi mulai menyibak kabut di balik jendela apartemen. Yoongi masih duduk, kopinya sudah dingin. Lalu, ia mendengarnya. Suara kunci di pintu berputar.

Jantungnya berdetak kencang, sebuah reaksi naluriah yang memalukan.

Pintu terbuka. Jieun masuk, masih dengan blazer dan blusnya, wajahnya pucat tapi masih cantik. Ia terkejut melihat Yoongi masih di sana.

"Kamu belum berangkat?"

"Aku menunggu,"jawab Yoongi, suaranya datar, hampa.

Jieun membeku sesaat. "Aku... kasusnya berlarut. Aku tidur di guest room kantor. HP-ku mati. Maaf."

Itu adalah penjelasan. Mungkin bahkan benar. Tapi ada sesuatu dalam nadanya, dalam cara matanya menghindari pandangannya, yang terasa... salah.

Yoongi mengangguk pelan. Ia menelan semua pertanyaan, semua ketakutan, semua amarah yang bergolak di dadanya. Ia hanya bisa memandangnya, wanita yang ia cintai, yang kini terasa seperti orang asing yang ia temui di ruang tunggu.

"Aku harus pergi," katanya, berdiri. "Ada operasi jam sembilan."

Ia berjalan melewatinya, tidak menyentuh, tidak mencium. Saat pintu tertutup perlahan, ia melihat bayangan Jieun masih terdiam di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh semua kemewahan dan kesunyian yang mereka bangun bersama.

Pintu terkunci dengan bunyi klik yang sunyi. Sebuah akhir. Atau mungkin, justru awal dari segala yang akan remuk.

TBC

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play