Bab 4: Pelarian Menuju Pelabuhan yang Salah

Pukul 00.47. Elevator turun dengan lambat, setiap lantai yang dilewati terasa seperti penghitungan mundur menuju sebuah pengkhianatan. Jieun berdiri di dalamnya, memandangi pantulan dirinya yang buram di pintu logam mengilap. Wanita di dalam pantulan itu memiliki mata yang bengkak, garis-garis kelelahan yang dalam, dan suatu kerapuhan yang tak pernah ia izinkan terlihat di pengadilan atau bahkan di depan Yoongi. Tas kecilnya tergenggam erat, berisi dompet, kunci, dan beban pengertian bahwa langkah ini mungkin mengubah segalanya selamanya.

Dinginnya malam menyambutnya begitu pintu lobby hotel terbuka. Angin musim gugur yang berembus menusuk jaket tipisnya, membuatnya menggigil. Dia memeluk diri, merasa sangat kecil di bawah langit Seoul yang gelap namun dipenuhi oleh jutaan cahaya buatan. Setiap lampu dari jendela apartemen-apartemen tinggi seolah adalah mata yang menyaksikan pengkhianatannya.

Dari kejauhan, ia melihat siluet seseorang berjalan mendekat. Jimin, tanpa seragam bartendernya, hanya mengenakan jaket jeans dan syal sederhana. Wajahnya tampak waspada, concerned, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat jantung Jieun berdebar tidak karuan.

"Jieun-ssi," ucapnya begitu dekat, suaranya lembut seperti embun malam. "Kamu baik-baik saja? Kamu terlihat..."

"Dingin," potong Jieun, suaranya gemetar. "Aku sangat dingin."

Tanpa ragu, Jimin melepas syalnya dan melilitkannya di leher Jieun. Wolnya masih hangat dari tubuhnya, dan wangiannya—seperti sabun kayu pinus dengan sedikit citrus—membuat Jieun merasa sedikit lebih aman, sedikit lebih dilihat.

"Mari kita tidak berdiri di sini," bisik Jimin, matanya menyapu sekeliling dengan waspada. "Aku tahu tempat yang tenang."

Dia menuntunnya bukan ke dalam hotel, tapi menyusuri trotoar kecil di samping bangunan, menuju sebuah taman mini yang tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi. Sebuah bangku kayu menghadap ke kolam kecil dengan air mancur yang sudah dimatikan untuk malam hari. Di sini, hanya ada mereka dan gemerisik daun-daun kering yang ditiup angin.

Mereka duduk dalam diam beberapa saat. Jieun menatap air yang statis di kolam, merasa seperti itulah keadaannya—terjebak, tidak bisa mengalir, tidak bisa bergerak.

"Kami bertengkar," ucap Jieun akhirnya, suaranya hampa. "Yoongi... dia tahu tentang kamu. Bahwa aku datang ke lounge dan berbicara denganmu."

Jimin menghela napas, tidak terkejut. "Aku tahu ini akan terjadi. Seoul terlalu kecil untuk rahasia." Dia memandangnya, matanya penuh empati yang dalam. "Apa yang dia katakan?"

"Dia marah. Tapi yang lebih menyakitkan... dia lebih terdengar lelah daripada marah." Jieun memeluk dirinya sendiri. "Seperti dia sudah menyerah sebelum pertempuran dimulai."

"Mungkin dia memang lelah," kata Jimin dengan lembut. "Seperti kamu."

Jieun menutup mata, dua butir air mata panas menetes di pipanya. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Jimin-ssi. Setiap kata yang kami ucapkan seperti pisau. Setiap diam adalah jurang. Kami saling menyakiti hanya dengan berada dalam ruangan yang sama."

Jimin diam untuk beberapa saat, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Pernikahan itu seperti tanaman," ujarnya pelan. "Butuh disiram setiap hari. Butuh cahaya. Butuh diperhatikan. Jika dibiarkan terlalu lama, dia akan layu dan mati."

"Dan jika sudah mati?" bisik Jieun, membuka matanya yang basah.

"Kadang kita harus berani memotong daun yang mati agar yang hidup bisa tumbuh," jawab Jimin. "Tapi kadang... kadang tanamannya sudah mati seluruhnya, dan kita harus berani mencabutnya dan menanam yang baru."

Jieun memandang Jimin, melihat kedewasaan yang tidak sesuai dengan usianya. "Kamu bijaksana sekali untuk seumuranmu."

Jimin tersenyum getir. "Bekerja di bar memberimu banyak pelajaran tentang manusia dan hubungan mereka. Aku melihat lebih banyak perceraian daripada pernikahan di sini."

Mereka kembali diam. Keheningan di antara mereka nyaman, tidak seperti keheningan di apartemennya yang terasa seperti tekanan udara sebelum badai.

"Kenapa kamu menolongku?" tanya Jieun akhirnya. "Kamu hampir tidak mengenalku. Aku bisa jadi orang yang gila atau pengacara yang ingin menuntut hotelmu."

Jimin terkekeh kecil. "Karena aku mengenali rasa kesepian itu. Di matamu. Aku melihatnya setiap kali di cermin." Dia menjawab, suaranya rendah. "Dan karena... ada sesuatu tentang kamu yang membuatku ingin melindungi. Seperti kamu adalah lukisan cantik yang retak dan butuh ditangani dengan hati-hati."

Perkataan itu mengguncang Jieun. Yoongi melihatnya sebagai patung marmer yang kuat dan dingin. Jimin melihat retak-retaknya.

Tanpa disengaja, tangan Jimin bergerak menyentuh tangan Jieun yang dingin. Sentuhan itu hangat, solid, dan penuh dengan niat baik. Jieun tidak menariknya. Di tengah kekacauan ini, sentuhan manusia yang sederhana terasa seperti penawar racun.

Tapi kemudian, dari kejauhan, sebuah lampu mobil menyorot mereka sesaat. Jieun secara refleks menarik tangannya, jantungnya berdebar kencang. Rasa bersalah yang tumpul kembali menghantamnya.

"Ini salah," bisiknya, berdiri tiba-tiba. "Aku tidak seharusnya di sini. Bersamamu. Mengeluh tentang suamiku."

Jimin juga berdiri, wajahnya menunjukkan understanding. "Aku tidak bermaksud..."

"Aku tahu," potong Jieun. "Kamu baik. Terlalu baik. Dan itu yang membuatnya lebih berbahaya." Dia menarik napas dalam-dalam. "Aku harus pulang."

Jimin mengangguk, meski matanya menunjukkan kekecewaan samar. "Aku mengerti. Biar aku antar kamu ke lobby."

"Tidak!" jawab Jieun terlalu cepat. "Tidak. Aku... aku perlu berjalan sendiri. Untuk berpikir."

Dia melepas syal Jimin dan mengembalikannya, wolnya masih menyimpan kehangatan mereka berdua. "Terima kasih. Untuk... mendengarkan."

Sebelum Jimin bisa berkata apapun, Jieun sudah berbalik dan berjalan cepat meninggalkan taman, jaket tipisnya berkibar ditiup angin malam. Dia tidak menoleh, takut bahwa jika menoleh, dia akan kembali. Dan malam ini, dia sudah hampir melakukan terlalu banyak hal yang tidak bisa dia tarik kembali.

Jimin tetap berdiri di sana, memandangi kepergiannya, syal tergantung di tangannya. Di kejauhan, lampu sebuah apartemen di lantai tinggi menyala lalu padam lagi, seperti sebuah kode Morse yang hanya dia yang mengerti.

---

Pukul 01.23. Jieun berjalan tanpa arah, kakinya sakit tapi hatinya lebih sakit. Setiap langkahnya adalah pertempuran antara kewajiban dan keinginan, antara apa yang benar dan apa yang dirasakan.

Dia melewati sebuah kafe yang masih terbuka, di mana sepasang kekasih muda tertawa berbagi semangkuk es krim. Dia melewati sebuah konvenience store, di mana seorang suami membelikan popok untuk bayannya yang baru lahir. Setiap pemandangan seolah menuduhnya, mengingatkannya pada apa yang pernah dia miliki dan mungkin telah dia hancurkan.

Dia akhirnya berhenti di sebuah taman kecil, tidak jauh dari apartemennya. Dari sini, dia bisa melihat jendela apartemennya di lantai 27. Gelap. Yoongi sudah tidur. Atau pura-pura tidur.

Duduk di bangku taman, dia membuka ponselnya. Galeri foto lagi. Kali ini, dia membuka video pendek dari ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Yoongi, dengan kue ulang tahun yang belepotan di wajahnya, tertawa lepas—sungguh-sungguh tertawa, bukan senyum formal untuk foto. Dia sendiri sedang mencoba membersihkannya sambil terkikik. "Aku mencintaimu, Min Yoongi," teriaknya dalam video itu. "Selamanya dan seterusnya!"

Air mata kembali mengalir. Kapan "selamanya" mereka berakhir? Kapan "seterusnya" menjadi beban而不是 berkah?

Dia menutup ponselnya, menatap langit yang gelap. Sebuah bintang jatuh melintas, tapi dia tidak memiliki keinginan lagi untuk dipanjatkan.

Dengan langkah berat, dia akhirnya berjalan menuju apartemen. Saat elevator naik, dia mempersiapkan diri untuk kembali pada kesunyian, pada kenyataan bahwa malam ini mungkin telah mengubah segalanya.

Tapi ketika pintu apartemen terbuka, dia terkejut.

Lampu kecil di dapur menyala. Di meja makan, semangkuk ramyun masih mengepul panas. Dan di sampingnya, secangkir teh chamomile—masih hangat.

Dan di sofa, Yoongi tertidur dengan posisi duduk, sebuah selimut terlipat rapi di sampingnya seperti dia berusaha menunggu tapi tidak berhasil.

Jieun berdiri di sana, terpaku. Perasaan bersalah, harapan, dan kebingungan bertempur dalam dirinya.

Dia meletakkan tasnya, mendekati meja. Ada secarik notes kecil di samping mangkuk ramyun, tulisan Yoongi yang rapi:

"Aku ingat kamu suka ini setelah hari yang panjang. - Y"

Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan air mata kepahitan. Ini air mata untuk semua yang telah hilang, untuk semua yang mungkin masih bisa diselamatkan, untuk semua yang tidak mereka ucapkan.

Dia memandangi Yoongi yang tertidur di sofa. Wajahnya yang biasanya tegang dalam tidur sekarang terlihat lebih muda, lebih rapuh. Seperti pria yang dia jatuhi cinta dulu.

Dengan hati yang berdebar, Jieun mengambil selimut dan menyelimutkannya perlahan pada Yoongi. Dia berjongjit, hampir—hampir—mencium keningnya, tapi berhenti.

Dia mematikan lampu, meninggalkan hanya cahaya dari kota Seoul yang menerangi ruangan. Di ambang pintu, dia menoleh sekali lagi pada Yoongi yang tertidur, pada mangkuk ramyun yang masih mengepul, pada secangkir teh yang masih hangat.

Mungkin, hanya mungkin, masih ada harapan. Mungkin masih ada detak yang tersisa.

Tapi di saku jaketnya, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan baru dari Jimin:

"Sudah sampai dengan selamat? Aku masih di taman jika kamu butuh bicara."

Jieun mematikan ponselnya, hati terbelah antara masa lalu yang berusaha diperbaiki dan masa depan yang tidak pasti yang memanggil dengan suara lembut.

Malam itu, dia tidur di kamar guest, terombang-ambing antara dua pilihan, dua pria, dua kehidupan yang mungkin.

Dan di ruang tamu, Yoongi terbangun saat pintu kamar guest tertutup. Dia memandangi mangkuk ramyun yang sudah dingin dan tidak tersentuh, dan tahu bahwa sesuatu telah berubah selamanya malam ini.

TBC

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play