Pukul 01.58. Jieun berdiri terpaku di ambang pintu kamar guest, tubuhnya masih menggigil oleh dinginnya malam dan gejolak emosi yang tak karuan. Ponsel di sakunya terasa seperti bara api, pesan Jimin yang terkirim membakar kesadarannya. "Aku masih di taman jika kamu butuh bicara." Kalimat itu berdenyut-denyut dalam pikirannya, sebuah undangan yang terasa seperti pelarian sekaligus pengkhianatan.
Dia menatap Yoongi yang tertidur di sofa. Dalam cahaya redup dari jendela, garis-garis kelelahan di wajahnya tampak lebih dalam. Tangannya yang biasanya begitu stabil di ruang operasi sekarang tergolek lemas di samping tubuhnya, jari-jarinya sedikit tertekuk seolah masih memegang scalpel imajiner. Dadanya naik turun perlahan, tapi alisnya berkerut bahkan dalam tidur—seolah pemikirannya tidak pernah benar-benar beristirahat.
Jieun menarik napas dalam-dalam. Bau ramyun yang masih samar-samar tercium memenuhi ruangan, membangkitkan memori yang begitu menyakitkan sekaligus mengharukan. Dia masih ingat malam-malam awal pernikahan mereka, ketika Yoongi baru saja memulai residensinya dan sering pulang dengan tubuh nyaris rubuh. Dia selalu menyiapkan ramyun, dan mereka akan makan bersama di lantai, berbagi cerita tentang hari mereka sambil tangan mereka saling bersentuhan di antara mangkuk.
Kini, mangkuk ramyun itu ditinggalkan, tidak tersentuh, seperti pernikahan mereka.
Dia hampir menyerah pada godaan untuk membangunkan Yoongi, untuk mencoba berbicara, untuk memperbaiki segalanya. Tapi kemudian, ponselnya bergetar lagi. Bukan suara dering, tapi getaran yang persistent, seperti jantung berdebar yang tak sabaran.
Dia mengeluarkan ponselnya. Bukan pesan teks kali ini. Jimin sedang menelepon.
Jieun membeku. Mata nya terbuka lebar, jantungnya berdebar kencang. Dia menatap layar yang menyala, nama "Park Jimin" berkedip-kedip seperti peringatan. Di sebelahnya, Yoongi bergerak dalam tidurnya, mengeluarkan suara geraman kecil.
Dengan panik, Jieun menekan tombol tolak panggilan dan mematikan suara ponsel. Tangannya gemetar begitu hebat sampai ponselnya hampir terjatuh.
Dia mundur pelan-pelan ke kamar guest, menutup pintu dengan hampir tidak bersuara. Begitu pintu tertutup, dia bersandar di sana, napasnya terengah-engah. Kenapa Jimin menelepon? Apa yang dia inginkan? Apakah dia masih menunggu di taman?
Pikiran-pikiran itu berputar-putar di kepalanya. Dia merasakan dorongan yang hampir tak tertahankan untuk melihat keluar jendela, untuk memastikan apakah Jimin masih ada di taman. Tapi itu berarti harus melewati ruang tamu dimana Yoongi tidur.
Sementara itu, di sofa, begitu pintu kamar guest tertutup, mata Yoongi terbuka.
Dia tidak tertidur. Tidak benar-benar.
Dia telah terbangun saat Jieun memasukkan kunci ke pintu apartemen. Dia telah pura-pura tertidur, ingin melihat apa yang akan Jieun lakukan. Dan yang dia lihat telah membuat hancur hatinya: Jieun yang terlihat guilty, Jieun yang tidak menyentuh ramyun yang dia buat, Jieun yang buru-buru masuk ke kamar guest.
Lalu dia mendengar getaran ponsel. Dan meski Jieun telah mematikan suaranya, dalam kesunyian malam yang pekat, getaran itu masih bisa didengar. Dan Yoongi tahu—tahu dengan naluri yang dalam—bahwa itu adalah panggilan dari pria itu.
Dengan hati yang berat, Yoongi bangkit dari sofa. Dia berjalan ke dapur, melihat mangkuk ramyun yang sudah dingin dan tidak tersentuh. Rasa mual menyerangnya. Dia mengambil mangkuk itu dan menuangkannya ke tempat sampah dengan gerakan kasar, suara keramik yang pecah di dasar tempat sampah seperti suara hatinya yang retak.
Dia berdiri di sana beberapa saat, menatap tempat sampah, lalu menoleh ke arah jendela. Dari ketinggian lantai 27, dia bisa melihat taman kecil di bawah. Dan di sana, seperti yang dia duga, ada seorang pria berdiri sendirian di bawah lampu jalan, menatap ke arah apartemen mereka.
Jimin.
Yoongi mengepalkan tangannya. Darahnya mendidih. Dorongan untuk turun, untuk menghadapi pria itu, hampir tak tertahankan. Tapi apa gunanya? Memukul Jimin tidak akan memperbaiki pernikahannya. Itu hanya akan membuat segalanya lebih buruk.
Tapi kemudian, sesuatu yang lain menarik perhatiannya. Dari sudut matanya, dia melihat tirai di jendela kamar guest bergerak. Hanya sedikit, hampir tidak terlihat. Tapi cukup untuk membuatnya tahu—Jieun sedang melihat ke bawah. Melihat Jimin.
Nyeri yang menusuk menusuk dadanya. Dia berbalik dari jendela, tidak tahan untuk melihat lebih lama.
Di kamar guest, Jieun memang sedang mengintip dari balik tirai. Jantungnya berdebar kencang saat melihat Jimin masih berdiri di sana, seperti patung yang setia menunggu. Dia melihat Jimin mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu, lalu menatap ke atas lagi.
Beberapa detik kemudian, ponsel Jieun bergetar lagi. Sebuah pesan teks.
"Aku melihat cahaya di jendela kamarmu. Aku tahu kamu masih terbangun. Tolong, Jieun-ssi. Biarkan aku tahu kamu baik-baik saja."
Jieun menjatuhkan diri ke lantai, bersandar di dinding di bawah jendela. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ini gila. Semuanya sudah menjadi gila.
Dia harus mengakhiri ini. Sekarang.
Dengan tangan yang masih gemetar, dia membalas pesan: "Aku baik-baik saja. Pulanglah. Ini tidak benar."
Dia menekan kirim, lalu mematikan ponselnya sepenuhnya. Tidak ada lagi getaran, tidak ada lagi godaan.
Tapi ketenangan hanya bertahan beberapa detik.
Tiba-tiba, ada suara ketukan pelan di pintu kamarnya.
Jieun membeku. "Siapa?" bisiknya, suaranya serak.
"Yoongi," suara dari balik pintu datar, tidak terbaca. "Bisa kita bicara?"
Jieun merasakan panik melanda. Apa Yoongi melihatnya mengintip? Apa dia tahu tentang pesan-pesan itu?
Dia berdiri, merapikan bajunya, sebelum membuka pintu. Yoongi berdiri di sana, wajahnya pucat tapi tenang. Terlalu tenang.
"Apa kamu lapar?" tanya Yoongi, mengejutkan Jieun. "Aku bisa membuatkan sesuatu."
Jieun menggeleng, terlalu bingung untuk merespons. "Tidak, aku... tidak lapar."
Yoongi mengangguk, matanya menyapu sekeliling kamar sebelum kembali ke Jieun. "Aku tidak bisa tidur. Pikirkan mungkin kita bisa... bicara."
Tapi sebelum Jieun bisa menjawab, tiba-tiba suara dering telepon rumah yang keras memecah kesunyian.
Kedua mereka melompat, terkejut. Telepon rumah itu hampir tidak pernah berbunyi, terutama di jam-jam seperti ini.
Yoongi mengerutkan kening, berjalan ke ruang tamu untuk mengangkatnya. "Halo?"
Jieun mengikutinya dengan hati berdebar, perasaan tidak enak yang kuat menyergapnya.
Yoongi terdiam beberapa saat, wajahnya berubah drastis dari bingung menjadi gelap. "Siapa ini?" suaranya tajam. "Bagaimana kamu mendapatkan nomor ini?"
Jieun merasa darahnya membeku. Itu pasti Jimin. Tapi bagaimana dia mendapatkan nomor telepon rumah mereka?
Yoongi mendengarkan lagi, tangannya mengepal begitu erat sampai buku-bukunya memutih. "Jangan pernah menelepon ke sini lagi," desisnya dengan suara yang begitu dingin sampai Jieun menggigil. "Apapun yang ingin kamu katakan, katakan langsung padaku. Jangan melalui telepon."
Dia meletakkan telepon dengan kasar, hampir menghancurkannya. Lalu dia berbalik ke Jieun, matanya membara dengan kemarahan dan rasa sakit yang tak terkatakan.
"Itu bartender-mu," ucapnya, setiap kata diucapkan dengan presisi yang menyakitkan. "Dia menelepon untuk memastikan kamu 'baik-baik saja'. Karena kamu tidak membalas pesannya."
Jieun merasa lututnya lemah. "Yoongi, aku tidak—"
"Tidak apa-apa," potong Yoongi, tapi suaranya sama sekali tidak baik-baik saja. "Aku mengerti. Dia peduli padamu. Lebih peduli daripada aku, mungkin."
Dia berjalan mendekati jendela, menatap ke bawah. "Dia masih di sana. Masih menunggu." Yoongi menoleh ke Jieun, matanya kosong. "Kamu ingin aku memanggilnya? Mengizinkannya naik? Mungkin kita bisa minum bersama, berdiskusi tentang betapa sialnya aku sebagai suami."
"Yoongi, tolong," tangis Jieun, air mata mengalir deras. "Aku tidak menginginkan ini. Aku hanya—"
"Apa? Hanya apa, Jieun?" suara Yoongi meninggi untuk pertama kali malam itu. "Hanya butuh perhatian? Hanya butuh didengarkan? Lalu kenapa tidak datang padaku? Kenapa harus pada pria lain? Pada bartender yang hampir tidak kamu kenal?"
Jieun tidak bisa menjawab. Dia terisak, tubuhnya gemetar tak terkendali.
Yoongi melihatnya, dan sesuatu dalam dirinya seperti patah. Kemarahannya menguap, digantikan oleh keputusasaan yang dalam. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Jieun," bisiknya, suaranya tiba-tiba lemah dan rapuh. "Aku tidak tahu bagaimana memperbaiki ini. Katakan padaku apa yang harus aku lakukan."
Mereka saling memandang, kedua-duanya hancur, tersesat, dan terluka.
Tiba-tiba, interkom dari lobby berbunyi. Suara penjaga keamanan terdengar: "Nyonya Min? Ada tamu untuk kamu. Seorang Park Jimin-ssi. Dia meminta untuk menemui mu."
Jieun membeku. Yoongi tertawa getir, sebuah suara yang penuh kepahitan.
"Tampaknya dia tidak sabar menunggu," ucap Yoongi dengan dingin. Dia berjalan ke panel interkom, jarinya melayang di atas tombol untuk membuka pintu lobby.
Jieun bereaksi tanpa berpikir. Dia menerjang ke depan, menangkap tangan Yoongi. "Jangan! Tolong, jangan!"
Mata mereka bertemu, pertempuran diam-diam terjadi di antara mereka. Yoongi ingin konfrontasi, ingin mengakhiri semuanya malam ini. Jieun ingin waktu, ingin ruang, ingin menyembunyikan aib mereka.
Interkom berbunyi lagi. "Nyonya Min?"
Yoongi menatap Jieun, melihat ketakutan dan kepanikan di matanya. Perlahan, dia mengangkat tangannya ke interkom, dan menekan tombol bicara.
"Tolong katakan pada Park Jimin-ssi bahwa Nyonya Min sedang tidak menerima tamu," ucap Yoongi dengan suara yang tegas tapi hampa. "Dan agar dia tidak kembali lagi."
Dia melepaskan tombol, lalu mematikan seluruh sistem interkom.
Kesunyian kembali menyelimuti apartemen. Lebih pekat, lebih berat dari sebelumnya.
Yoongi memandangi Jieun yang masih menggenggam lengannya. "Kamu punya lima menit," ucapnya dengan suara yang tiba-tiba sangat lelah. "Lima menit untuk memutuskan. Turun ke dia, atau tetap di sini."
Dia melepaskan genggamannya dan berjalan ke kamar tidur, meninggalkan Jieun sendirian di ruang tamu.
Jieun terduduk di lantai, tubuhnya gemetar tak terkendali. Di luar, di bawah, ada Jimin yang menawarkan pelarian dan kenyamanan. Di kamar tidur, ada Yoongi yang menuntut pilihan dan komitmen.
Dia menatap jam dinding. Jarum detik berdetak begitu keras, seperti bom waktu yang akan segera meledak.
Setiap detik adalah siksaan. Setiap detik adalah pilihan.
Dan di luar, hujan mulai turun, membasahi Seoul dan pria yang masih setia menunggu di taman.
TBC
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments