Pukul 02.17. Dunia telah lama terlelap, tetapi ruang operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Seoul masih menyala bagai panggung utama sebuah drama tak berkesudahan. Di sanalah Min Yoongi, seorang maestro berusia 32 tahun, memimpin orkestranya yang sunyi. Scalpel di tangannya bagai tongkat konduktor, menari dengan presisi mutlak di antara urat-urat dan otot, menyelaraskan kembali detak jantung yang nyaris patah. Bunyi monitor yang stabil—beep, beep, beep—adalah satu-satunya musik yang setia menemani ritualnya.
Namun, di balik setiap gerakan sempurna itu, ada sebuah kehampaan yang hanya dirasakannya sendiri. Setiap kali ia berhasil memulihkan detak jantung orang lain, ia merasa sepotong kecil jiwanya ikut terkikis. Ia adalah seorang penyelamat nyawa yang justru merasa hidupnya perlahan mengering.
Pukul 04.03. Ia membuka pintu apartemen mewahnya di lantai tertinggi sebuah menara di Gangnam. Begitu masuk, kesunyian langsung menyambutnya bagai selimut basah. Lampu dapur masih menyala, memancarkan cahaya lembut ke ruang keluarga yang luas dan terlalu rapi. Di atas meja makan marmer, secangkir teh chamomile—minuman favorat istrinya—tergeletak tak tersentuh, sudah dingin sama sekali. Yoongi menyentuh permukaan cangkirnya yang halus, dan rasanya seperti menyentuh kuburan dari sebuah niat baik yang tak pernah sampai.
Jieun belum pulang.
Ia mengambil ponselnya. Tidak ada notifikasi, tidak ada pesan yang terlewat. Hanya satu pesan dari jam tujuh lebih sore sebelumnya, singkat dan fungsional, seperti catatan kaki dalam berkas kasusnya: "Ada mediasi darurat. Jangan tunggu." Ia membalasnya dengan satu kata: "Oke." Percakapan yang sudah mati sebelum sempat hidup.
Ia melemparkan ponselnya ke sofa dan membuka kulkas. Dinginnya udara dari dalam kulkas tak semembeku hawa di apartemennya sendiri. Ia mengambil air mineral dan meminumnya langsung dari botol, sesuatu yang tak pernah dilakukannya jika Jieun ada di rumah. Matanya lalu tertuju pada album foto pernikahan mereka di meja tengah. Our Beginning. Sampulnya sudah mulai pudar.
Dengan jari-jari yang masih beraroma antiseptik, ia membuka halaman pertama. Di sana, tertawa lepaslah Lee Jieun dengan gaun pengantinnya, mata yang dulu selalu berbinar kini terpampang membeku dalam foto. Dan dirinya sendiri, memeluknya dari belakang, dengan pandangan penuh kebanggaan dan kepastian bahwa inilah wanita untuk selamanya. Kini, ia hanya bisa berbisik lirih pada foto itu, "Di manakah kamu sekarang, Ji? Apakah kamu masih ada di sini, bersamaku?"
Tidak ada jawaban. Hanya detak jam dinding yang berdebar seperti detak jantung orang asing.
---
Pukul 23.45 malam sebelumnya, di sebuah lounge hotel elegan milik Namjoon di Itaewon, Lee Jieun duduk sendiri di booth yang paling tersembunyi. Blazer hitamnya tergantung rapi, meninggalkan ia dengan blus satin biru tua yang menyala lembut di bawah lampu tembaga. Di depannya, segelas wine merah hampir penuh, tak tersentuh. Ia baru saja menyelesaikan mediasi perceraian yang berantakan, dan setiap teriakan, setiap tuduhan, setiap isak tangis kliennya masih bergema di kepalanya.
"Wine-nya tidak sesuai ekspektasi?"
Suara itu lembut, tidak memaksa. Jieun mengangkat kepalanya. Park Jimin berdiri di samping mejanya, dengan senyum kecil yang tidak menggurui. Sorot matanya jernih, seolah bisa melihat melalui lapisan armor pengacara tangguh yang ia kenakan setiap hari.
"Tidak," jawab Jieun, suaranya lebih serak dari yang ia duga. "Hanya belum siap."
Jimin mengangguk, seolah memahami semua yang tidak terucapkan. "Kadang, orang datang ke bar bukan untuk minum, tapi untuk berhenti sejenak. Berhenti berpikir."
Jieun tertegun. Kebijaksanaan sederhana itu menusup langsung ke bagian dirinya yang paling lelah. "Kamu selalu berkata begitu pada pelanggan yang terlihat seperti bencana berjalan?"
Senyum Jimin melebar, membuat matanya menyipit. "Hanya pada yang terlihat membawa seluruh langit di pundaknya." Ia berbalik. "Teh chamomile dengan madu. Biar saya yang buatkan."
Saat Jimin berbalik, Jieun memandangnya. Gerakannya di balik bar begitu lancar dan penuh perhatian. Ia bukan hanya menuang air panas; ia menyiapkannya dengan sengaja, seolah setiap gerakan adalah bagian dari ritual menenangkan. Aroma chamomile yang hangat mulai memenuhi udara, dan untuk pertama kalinya sepanjang malam, Jieun merasa bisa bernapas lega.
"Ini," ucap Jimin saat kembali, meletakkan teko dan cangkir keramik di hadapannya. "Untuk mengingatkan bahwa tidak semua hal di dunia ini terasa berat."
Kalimat itu menyentuh sesuatu yang sangat dalam dalam diri Jieun, sesuatu yang ia kunci rapat-rapat selama berbulan-bulan. Ia membungkuk, mencium aroma tehnya, dan membiarkan kehangatan itu menjalar pelan di telapak tangannya.
---
Pukul 05.30. Yoongi terbangun di sofa. Lehernya kaku, mulutnya terasa pahit. Ia tertidur menunggu. Matanya langsung menuju pintu. Masih terkunci. Sunyi.
Ia membuat kopi hitam pekat. Sambil menunggu mesin kopnya selesai mendesis, ia mengambil jurnal medisnya. Biasanya ia menulis catatan observasi medis, tapi pagi ini, ia membalik ke halaman belakang yang masih kosong dan mulai mencoretkan kata-kata yang hanya untuknya sendiri.
Hari ini aku menyelamatkan seorang kakek. Keluarganya menangis bahagia di ruang tunggu. Mereka berpelukan, sebuah kesatuan. Aku pulang. Tidak ada yang menunggu. Tidak ada pelukan. Istriku tidak pulang. Lagi.
Diagnosis: Hampa. Prognosis: Tidak diketahui.
Ia menutup jurnalnya dengan keras. Tangannya gemetar. Di depan matanya, bayangan dirinya dalam kopi hitamnya terdistorsi—seorang pria yang tersesat di istananya sendiri.
---
Pukul 08.15. Matahari pagi mulai menyibak kabut di balik jendela apartemen. Yoongi masih duduk, kopinya sudah dingin. Lalu, ia mendengarnya. Suara kunci di pintu berputar.
Jantungnya berdetak kencang, sebuah reaksi naluriah yang memalukan.
Pintu terbuka. Jieun masuk, masih dengan blazer dan blusnya, wajahnya pucat tapi masih cantik. Ia terkejut melihat Yoongi masih di sana.
"Kamu belum berangkat?"
"Aku menunggu,"jawab Yoongi, suaranya datar, hampa.
Jieun membeku sesaat. "Aku... kasusnya berlarut. Aku tidur di guest room kantor. HP-ku mati. Maaf."
Itu adalah penjelasan. Mungkin bahkan benar. Tapi ada sesuatu dalam nadanya, dalam cara matanya menghindari pandangannya, yang terasa... salah.
Yoongi mengangguk pelan. Ia menelan semua pertanyaan, semua ketakutan, semua amarah yang bergolak di dadanya. Ia hanya bisa memandangnya, wanita yang ia cintai, yang kini terasa seperti orang asing yang ia temui di ruang tunggu.
"Aku harus pergi," katanya, berdiri. "Ada operasi jam sembilan."
Ia berjalan melewatinya, tidak menyentuh, tidak mencium. Saat pintu tertutup perlahan, ia melihat bayangan Jieun masih terdiam di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh semua kemewahan dan kesunyian yang mereka bangun bersama.
Pintu terkunci dengan bunyi klik yang sunyi. Sebuah akhir. Atau mungkin, justru awal dari segala yang akan remuk.
TBC
Pukul 08.45. Lee Jieun masih berdiri di tengah ruang tamu, terdiam seperti patung. Suara mesin elevator yang membawa Yoongi pergi masih bergema samar di telinganya, meninggalkan kesunyian yang lebih dalam dari sebelumnya. Dia menarik napas panjang, aroma kopi Yoongi yang tersisa di udara terasa menusuk bagai tuduhan.
Dia melepas blazer hitamnya perlahan, merasakan betapa beratnya pakaian ini—seolah bukan hanya kain, tetapi lapisan baja yang harus dia kenakan setiap hari untuk bertahan. Kasus perceraian yang dia tangani kemarin kembali membayangi. Tangisan histeris kliennya, seorang wanita seusianya, yang baru mengetahui suaminya memiliki anak dari wanita lain. "Bukankah cinta itu seharusnya setia, Nyonya Pengacara?" tuduh wanita itu di antara isakannya. Pertanyaan yang membuat Jieun terdiam, karena dia sendiri tidak lagi memiliki jawabannya.
Dia berjalan ke kamar mandi utama, menyalakan keran shower. Saat air hangat membasahi tubuhnya, dia memejamkan mata. Bayangan senyum hangat Park Jimin dan teh chamomile yang ia tawarkan tadi malam muncul tanpa diundang. Itu adalah kenyamanan pertama yang dia rasakan dalam berbulan-bulan, dan itu datang dari seorang bartender yang hampir tidak dia kenal. Sebuah rasa bersalah yang tumpul mulai menggerogoti dadanya.
---
Pukul 09.30. Min Yoongi sudah berdiri lagi di ruang operasi. Tatapannya kembali tajam, tangannya stabil. Seorang pasien wanita muda dengan kelainan jantung bawaan terbaring di hadapannya. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali monitor jantung berbunyi beep, dia seperti mendengar suara pintu apartemennya yang terkunci. Setiap kali dia menyayat jaringan, bayangan Jieun yang berdiri terdiam di ruang tamu terngiang.
"Dr. Min, Anda baik-baik saja?" tanya seorang perawat saat melihat tangan Yoongi berhenti sesaat.
Yoongi mengangguk cepat, mengusik bayangan itu. "Lanjut."
Tapi konsentrasinya sudah tercoreng. Untuk pertama kalinya dalam karirnya, dia merasa sebagai penipu—seorang dokter yang bisa memperbaiki jantung orang lain, tetapi tidak bisa memperbaiki yang retak dalam dadanya sendiri.
---
Pukul 12.00. Jieun sudah berada di kantornya yang megah di pusat kota. Dia mencoba fokus pada berkas-berkas kasus yang menumpuk di mejanya, tapi pikirannya terus melayang kepada Yoongi. Ekspresi datarnya pagi tadi. Cara dia berkata "Aku menunggu" dengan suara yang begitu hampa, seolah sudah menyerah sebelum bertanya.
Dia mengambil ponselnya, membuka galeri foto. Jari-jarinya membuka sebuah folder tersembunyi berjudul "Before". Foto-foto itu adalah kenangan yang sekarang terasa seperti milik orang lain: Yoongi tersenyum cemas saat melamarnya di bawah hujan; mereka berdua tertawa guling-guling di atas kasur saat memindahkan barang ke apartemen pertama mereka; Yoongi dengan mata berkaca-kaca memeluknya erat setelah operasi pertamanya yang sukses.
Sekarang, yang tersisa hanyalah "After": apartemen yang sunyi, pesan singkat yang dingin, dan dua orang asing yang berbagi ranjang tetapi tidak lagi berbagi mimpi.
Dia menutup ponselnya dengan kasar, rasa sesak di dadanya semakin menjadi. Apa yang sebenarnya mereka pertahankan? Sebuah citra? Kenyamanan? Atau hanya ketakutan untuk mengakui bahwa cinta mereka sudah lama sekarat?
---
Pukul 15.00. Yoongi sedang istirahat sebentar di kantin rumah sakit. Dia duduk sendirian di sudur, secangkir kopi hitam di tangannya. Teman-temannya, Kim Seokjin (ahli bedah plastik) dan Jeon Jungkook (residen muda), mendekatinya dengan wajah penuh keprihatinan.
"Kamu kelihatan seperti mayat berjalan, hyung," canda Seokjin mencoba mencairkan suasana. "Jieun-ssi lagi marah sampai kamu tidak boleh tidur?"
Yoongi hanya menggeleng, senyum palsu terukir tipis di bibirnya. "Hanya operasi yang berat."
Tapi Jungkook, yang polos dan jujur, menyipitkan matanya. "Ini bukan soal operasi, hyung. Kamu sudah seperti ini selama seminggu terakhir. Apa terjadi sesuatu?"
Yoongi menatap kopinya. Dia ingin bercerita. Ingin berteriak bahwa dia takut kehilangan istrinya, bahwa dia merasa gagal sebagai suami. Tapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokannya, terhambat oleh kebanggaan dan ketakutan akan penilaian.
"Semuanya baik-baik saja," bohongnya, sebelum berdiri dan pergi, meninggalkan Seokjin dan Jungkook saling pandang dengan pandangan khawatir.
---
Pukul 18.00. Jieun memutuskan untuk pulang lebih awal. Hari ini adalah hari jadi pernikahan mereka yang ke-5. Dia berhenti di toko kue langganan Yoongi dan membeli cheesecake kecil, rasa stroberi—favoritnya. Mungkin ini bisa menjadi awal untuk mencairkan kebekuan. Mungkin.
Tapi saat dia sampai di apartemen, dia hanya menemukan kegelapan. Yoongi belum pulang. Dia meletakkan kue di meja, lalu melihat secarik nota kecil tertempel di lemari es.
"Ada operasi darurat. Makanlah tanpa aku. - Y"
Nota itu pendek, biasa saja. Tapi hari ini, di hari jadi mereka, itu terasa seperti tamparan. Jieun berdiri di depan lemari es, nota kecil itu tergenggam di tangannya. Matanya berkaca-kaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Sudah terlalu sering dia kecewa, dan bahkan air mata pun sudah lelah untuk mengalir.
Dia mengambil cheesecake itu dan membuangnya ke tempat sampah, tanpa pernah membukanya. Kue itu adalah metafora yang sempurna untuk pernikahan mereka—manis di luar, tapi sudah basi di dalam.
---
Pukul 21.00. Tanpa benar-benar merencanakannya, kaki Jieun membawanya kembali ke "The Haven", lounge hotel milik Namjoon. Kali ini, dia tidak memakai setelan kerja. Hanya jeans dan sweater sederhana, berusaha menyamar sebagai versi dirinya yang lebih muda, yang belum pahit oleh perceraian orang lain dan kegagalan sendiri.
Park Jimin sedang membersihkan gelas saat melihatnya masuk. Senyumnya muncul secara alami, berbeda dengan senyum sopan yang biasa dia berikan kepada pelanggan lain.
"Chamomile dengan madu?" tanyanya, sudah mengingat.
Jieun mengangguk, duduk di kursi bar kali ini, bukan di booth. "Kamu tidak pernah lupa?"
Jimin mengangkat bahu sambil menyiapkan teko. "Saya punya ingatan yang baik untuk orang-orang yang terlihat seperti perlu ditemani."
Mereka berbicara. Percakapan kecil yang ringan. Tentang musik, tentang cuaca, tentang betapa sibuknya Seoul. Jieun merasa bisa bernapas lega. Di sini, dia bukan Nyonya Min atau Pengacara Lee. Dia hanya Jieun. Perasaan itu, setelah sekian lama, terasa seperti pulang.
Tapi kemudian, tanpa sengaja, matanya melihat jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. Dan tiba-tiba, rasa bersalah itu kembali menghantamnya lebih keras. Dia sedang bersenang-senang dengan pria lain, sementara suaminya mungkin masih berjuang menyelamatkan nyawa orang.
"Dia baik-baik saja," gumam Jimin tiba-tiba, seolah bisa membaca pikirannya.
Jieun terkejut. "Siapa?"
"Suamimu. Dr. Min. Saya tahu dia." Jimin membersihkan sebuah gelas dengan hati-hati, tidak menatapnya. "Dia sering datang ke sini dengan teman-temannya. Dr. Kim, yang ganteng itu, dan yang lain. Dia selalu terlihat... lelah. Tapi matanya selalu mencari sesuatu. Atau seseorang."
Jieun terdiam. Yoongi pernah datang ke sini? Dengan teman-temannya? Dan tidak pernah memberitahunya? Mereka berdua ternyata memiliki rahasia dari tempat yang sama.
Dia membayangkan Yoongi duduk di sudut yang sama, mungkin memandang ke arah pintu, berharap—seperti dirinya—bahwa suatu saat, pasangannya akan muncul dan membawa mereka pulang.
Tapi yang muncul justru dirinya, dan seorang bartender yang baik hati.
Dia menyelesaikan tehnya dengan cepat, meninggalkan uang di meja. "Terima kasih untuk tehnya, Jimin-ssi."
"Sudah pergi?" tanya Jimin, terlihat sedikit kecewa.
Jieun mengangguk, tidak bisa menatap matanya. "Saya harus pulang. Suami saya mungkin sudah sampai."
Itu adalah kebohongan. Tapi dia perlu mengatakannya, untuk mengingatkan dirinya sendiri tentang di mana seharusnya dia berada.
Tapi saat dia berjalan keluar, dia tidak langsung menuju apartemen. Dia berjalan menyusuri jalanan Seoul yang masih ramai, berharap udara malam bisa membersihkan pikirannya yang kacau.
Dia berada di persimpangan, dalam arti yang sesungguhnya dan metaforis. Di satu jalan, ada apartemen mewah dengan suami yang sudah menjadi orang asing. Di jalan lain, ada lounge hangat dengan bartender yang membuatnya merasa dilihat.
Dan malam ini, untuk pertama kalinya, dia benar-benar tidak tahu harus berbelok ke mana.
TBC
Pukul 23.17. Trotoar sepanjang jalan di Apgujeong sepi, diterangi oleh lampu jalan yang memancarkan cahaya keemasan. Setiap langkah Jieun bergema dalam kesunyian malam, suara heels boot-nya yang berdetak di aspal bagai metronom yang menandai irama kekacauan dalam dirinya. Angin musim gugur yang mulai dingin menerbangkan rambutnya, menyapu wajahnya yang basah oleh air mata yang tak disadari telah mengalir. Di tangannya, ia menggenggam erat tas kecil berisi dua kaleng kopi sachet murah—merk yang sama yang selalu mereka beli saat masih mahasiswa, ketika uang seribu won masih berarti untuk berbagi kehangatan.
Dia berhenti di depan convenience store yang masih terbuka, cahaya neonnya menyilaukan di tengah kegelapan. Melalui jendela kaca, dia melihat rak-rak penuh dengan mie instan dan minuman energi. Pikirannya melayang ke tujuh tahun yang lalu, ketika Yoongi masih menjadi residen yang sering pulang jam tiga pagi dengan mata berkantung dan tubuh yang nyaris rubuh. Dia selalu menunggu dengan semangkuk ramyun hangat di meja kecil apartemen studio mereka, dan mereka akan berbagi cerita sambil menikmati kuah kaldu yang sederhana namun penuh arti.
Kenyataan sekarang terasa seperti tamparan. Mereka tidak lagi saling menunggu. Mereka hanya hidup berdampingan dalam ruang mewah seluas 200 meter persegi, seperti dua planet yang orbitnya tidak lagi bersentuhan, masing-masing terkungkung dalam gravitasi kesibukan dan kekecewaannya sendiri.
Dia memasuki toko, bel pintu kecil berbunyi menyambutnya. Udara hangat beraroma makanan instan menyelimutinya. Dengan hati yang berat, dia mengambil dua kaleng kopi sachet itu—sebuah simbol dari masa lalu yang mungkin sudah terlalu jauh untuk diraih kembali.
---
Pukul 00.03. Apartemen mereka gelap kecuali sorot lampu kota yang masuk melalui jendela floor-to-ceiling. Yoongi duduk di lantai balkon, punggungnya bersandar pada kaca dingin. Sebotol soju sudah setengah habis di tangannya, tapi alkohol tidak bisa menghangatkan kekosongan yang merayap dalam dadanya.
Operasi darurat tadi berhasil—seorang ibu muda yang selamat berkat ketangkasan tangannya. Tapi saat keluarga pasien itu berpelukan dan menangis bahagia di ruang tunggu, Yoongi justru merasa semakin hampa. Setiap nyawa yang diselamatkan seolah mengingatkannya pada nyawa pernikahannya yang perlahan sekarat.
Dia mendengar suara kunci pintu berputar. Jantungnya berdebar-debar, bukan karena antisipasi, tapi karena kecemasan yang menggerogoti. Apa yang akan dia hadapi malam ini? Jieun yang dingin? Jieun yang berbohong? Atau yang paling menyakitkan—Jieun yang bahkan tidak peduli untuk berbohong?
Jieun masuk dengan wajah yang sulit dibaca. Matanya sedikit bengkak, tapi Yoongi sudah terlalu lelah untuk menanyakan. Dia melihat kantong convenience store di tangan Jieun.
"Aku membeli kopi," ucap Jieun, suaranya datar. "Merk yang dulu..."
Yoongi hanya mengangguk pelan. "Terima kasih." Kata-kata itu terasa asing di mulutnya, seperti dialog yang dihapal dari naskah yang sudah usang.
Mereka duduk di sofa yang sama tetapi terpisah oleh jarak yang terasa fisik. Diam yang menyelimuti mereka lebih nyaring daripada bunyi lalu lintas malam di bawah. Jieun membuka kaleng kopinya, suara desisan ringan memecah kesunyian.
"Operasinya sulit?" tanya Jieun akhirnya, suara yang mencoba memulai percakapan yang sudah lama mati.
"Biasa saja," jawab Yoongi pendek. Dia meneguk sojunya, merasa cairan itu membakar tenggorokannya. "Kamu pulang telat lagi."
Bukan pertanyaan. Sebuah pernyataan datar yang berisi seribu tuduhan yang tak terucapkan.
Jieun menunduk, jari-jarinya memutar-mutar kaleng kopi. "Aku hanya berjalan-jalan. Memikirkan banyak hal."
"Termasuk bartender itu?"
Udara di ruangan itu langsung berubah, menjadi padat dan sulit dihirup. Jieun membeku. Kaleng kopi di tangannya ber gemeretak, suara kecil yang terdengar seperti guntur dalam keheningan.
"Apa maksudmu?" suaranya bergetar, tapi Yoongi bisa mendengar nada defensif di baliknya.
Yoongi memutar tubuhnya, menatapnya langsung untuk pertama kali malam ini. Matanya yang biasanya dingin dan profesional kini membara dengan emosi yang dipendam terlalu lama.
"Park Jimin. Bartender di The Haven. Teman Taehyung." Setiap kata diucapkan dengan presisi bedah, menyayat tanpa ampun. "Kamu menghabiskan dua malam terakhir bersamanya. Apakah dia membuatmu lebih bahagia daripada aku?"
Jieun ternganga, wajahnya memucat. Rasa bersalah, malu, dan kemarahan bercampur menjadi satu badai emosi yang membuatnya sulit bernapas. "Kamu memantauku?"
"Tidak," Yoongi terkekar pahit, menggesek botol soju dengan jempolnya. "Kebetulan saja. Kemarin malam Jungkook dan Taehyung ada di lounge untuk merayakan promosi Taehyung. Mereka melihatmu." Dia berhenti, menatap kosong ke botol sojunya. "Taehyung yang memberitahuku pagi tadi. Dia pikir aku sudah tahu. Bahkan dia merasa tidak enak harus memberitahuku."
Kebenaran itu terasa seperti pisau bedah yang menusuk jantungnya. Jieun menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Tidak seperti yang kamu pikirkan, Yoongi. Kami hanya berbicara. Dia... pendengar yang baik."
"Tentang apa?" suara Yoongi mulai meninggi, kegetiran yang lama dipendam akhirnya meluap. "Tentang betapa dinginnya suamimu? Tentang betapa hancurnya pernikahanmu? Apakah dia mendengarkan keluhanmu dengan lebih baik daripada aku? Memberimu perhatian yang tidak bisa kuberikan?"
"Setidaknya dia mendengarkan!" balas Jieun tanpa berpikir, berdiri dengan tubuh yang gemetar. "Dia melihat aku! Bukan sekedar penghias apartemen atau partner dalam pesta atau kolega yang kebetulan berbagi alamat yang sama!"
Mereka berdua terhenyak oleh ledakan itu. Selama bertahun-tahun, mereka selalu menghindari konflik, menyimpan segala kekecewaan dan luka dalam diri masing-masing. Kini, segalanya meledak dengan kekuatan yang menghancurkan.
Yoongi tertawa getir, suara yang parau dan penuh kepahitan. "Jadi itu masalahnya. Aku tidak memberimu cukup perhatian." Dia menggeleng, wajahnya mendadak terlihat sangat tua dan lelah. "Aku sibuk menyelamatkan nyawa orang, Jieun. Aku pikir kamu mengerti. Aku pikir kita mengerti satu sama lain."
"Dan aku sibuk menyaksikan kematian cinta orang setiap hari!" tangis Jieun, air mata yang ditahannya selama berbulan-bulan akhirnya meluap. "Aku pulang dengan membawa luka dan kepahitan orang lain setiap malam, dan tidak ada yang pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja. Bahkan kamu! Kamu bahkan tidak pernah memperhatikan ketika aku mengganti parfum atau memotong rambut!"
Mereka saling memandang, dua pasangan yang sama-sama terluka tetapi tidak tahu bagaimana menyembuhkan satu sama lain. Dua orang yang begitu ahli dalam memperbaiki yang rusak—yang satu jantung manusia, yang lain hubungan manusia—tetapi gagal total ketika datang kepada pernikahan mereka sendiri.
Yoongi menghela napas panjang, bahunya turun seperti memikul beban yang terlalu berat. "Aku lelah, Jieun. Aku lelah menebak-nebak apa yang salah dengan kita. Aku lelah dengan kesunyian ini. Aku lelah pulang ke rumah yang terasa lebih dingin dari ruang operasi."
Dia berjalan menuju kamar tidur, lalu berhenti di pintu tanpa menoleh. "Tidur di kamar guest saja malam ini. Aku butuh... ruang."
Pintu kamar tertutup dengan lembut. Terlalu lembut untuk sebuah perpisahan yang terasa begitu monumental.
Jieun tetap terduduk di sofa, tubuhnya gemetar hebat. Di tangannya, kaleng kopi murah itu sudah dingin, seperti cinta mereka yang telah kehilangan kehangatannya.
Dengan tangan yang gemetar, dia mengambil ponselnya dari tas. Tanpa benar-benar berpikir, jarinya membuka aplikasi pesan. Tidak ada chat dengan Jimin, tapi dia menemukan diri mengetik nomor yang diingatnya—nomor yang dia lihat secara tidak sengaja di kartu nama Jimin yang tertinggal di meja bar.
"Apa kamu masih bekerja?" pesannya pendek, seperti teriakan minta tolong dalam kesunyian.
Hanya beberapa detik kemudian, balasan muncul. "Shift sudah selesai. Tapi aku masih di lounge. Ada apa? Kamu baik-baik saja?"
Jieun menatap pesan itu, lalu menatap pintu kamar tidur yang tertutup rapat. Air matanya jatuh membasahi layar ponsel, membuat tulisan itu sedikit blur.
Dia mengetik lagi, jari-jarinya yang dingin nyaris tidak bisa menekan tombol dengan benar: "Bisa kah kita bertemu? Aku butuh... seseorang untuk diajak bicara."
Dia menekan 'kirim' tepat ketika lampu di balik pintu kamar tidur padam, menyisakannya dalam kegelapan dan kesunyian yang semakin dalam.
Dia menatap layar ponselnya, menunggu. Detik-detik terasa seperti abadi. Lalu, sebuah balasan muncul:
"Tunggu di lobby. Aku akan turun."
Jieun menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri. Dia melirik ke arah pintu kamar tidur yang tertutup, lalu ke arah pintu apartemen. Dua pilihan. Dua jalan. Dunia yang berbeda.
Dengan langkah berat, dia berjalan menuju pintu, mengambil jaketnya, dan keluar tanpa menoleh lagi.
Pintu apartemen tertutup pelan, meninggalkan Yoongi yang terbaring terjaga di kamar tidur, mendengar setiap langkah yang menjauh.
TBC
Download NovelToon APP on App Store and Google Play