Pukul 08.45. Lee Jieun masih berdiri di tengah ruang tamu, terdiam seperti patung. Suara mesin elevator yang membawa Yoongi pergi masih bergema samar di telinganya, meninggalkan kesunyian yang lebih dalam dari sebelumnya. Dia menarik napas panjang, aroma kopi Yoongi yang tersisa di udara terasa menusuk bagai tuduhan.
Dia melepas blazer hitamnya perlahan, merasakan betapa beratnya pakaian ini—seolah bukan hanya kain, tetapi lapisan baja yang harus dia kenakan setiap hari untuk bertahan. Kasus perceraian yang dia tangani kemarin kembali membayangi. Tangisan histeris kliennya, seorang wanita seusianya, yang baru mengetahui suaminya memiliki anak dari wanita lain. "Bukankah cinta itu seharusnya setia, Nyonya Pengacara?" tuduh wanita itu di antara isakannya. Pertanyaan yang membuat Jieun terdiam, karena dia sendiri tidak lagi memiliki jawabannya.
Dia berjalan ke kamar mandi utama, menyalakan keran shower. Saat air hangat membasahi tubuhnya, dia memejamkan mata. Bayangan senyum hangat Park Jimin dan teh chamomile yang ia tawarkan tadi malam muncul tanpa diundang. Itu adalah kenyamanan pertama yang dia rasakan dalam berbulan-bulan, dan itu datang dari seorang bartender yang hampir tidak dia kenal. Sebuah rasa bersalah yang tumpul mulai menggerogoti dadanya.
---
Pukul 09.30. Min Yoongi sudah berdiri lagi di ruang operasi. Tatapannya kembali tajam, tangannya stabil. Seorang pasien wanita muda dengan kelainan jantung bawaan terbaring di hadapannya. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali monitor jantung berbunyi beep, dia seperti mendengar suara pintu apartemennya yang terkunci. Setiap kali dia menyayat jaringan, bayangan Jieun yang berdiri terdiam di ruang tamu terngiang.
"Dr. Min, Anda baik-baik saja?" tanya seorang perawat saat melihat tangan Yoongi berhenti sesaat.
Yoongi mengangguk cepat, mengusik bayangan itu. "Lanjut."
Tapi konsentrasinya sudah tercoreng. Untuk pertama kalinya dalam karirnya, dia merasa sebagai penipu—seorang dokter yang bisa memperbaiki jantung orang lain, tetapi tidak bisa memperbaiki yang retak dalam dadanya sendiri.
---
Pukul 12.00. Jieun sudah berada di kantornya yang megah di pusat kota. Dia mencoba fokus pada berkas-berkas kasus yang menumpuk di mejanya, tapi pikirannya terus melayang kepada Yoongi. Ekspresi datarnya pagi tadi. Cara dia berkata "Aku menunggu" dengan suara yang begitu hampa, seolah sudah menyerah sebelum bertanya.
Dia mengambil ponselnya, membuka galeri foto. Jari-jarinya membuka sebuah folder tersembunyi berjudul "Before". Foto-foto itu adalah kenangan yang sekarang terasa seperti milik orang lain: Yoongi tersenyum cemas saat melamarnya di bawah hujan; mereka berdua tertawa guling-guling di atas kasur saat memindahkan barang ke apartemen pertama mereka; Yoongi dengan mata berkaca-kaca memeluknya erat setelah operasi pertamanya yang sukses.
Sekarang, yang tersisa hanyalah "After": apartemen yang sunyi, pesan singkat yang dingin, dan dua orang asing yang berbagi ranjang tetapi tidak lagi berbagi mimpi.
Dia menutup ponselnya dengan kasar, rasa sesak di dadanya semakin menjadi. Apa yang sebenarnya mereka pertahankan? Sebuah citra? Kenyamanan? Atau hanya ketakutan untuk mengakui bahwa cinta mereka sudah lama sekarat?
---
Pukul 15.00. Yoongi sedang istirahat sebentar di kantin rumah sakit. Dia duduk sendirian di sudur, secangkir kopi hitam di tangannya. Teman-temannya, Kim Seokjin (ahli bedah plastik) dan Jeon Jungkook (residen muda), mendekatinya dengan wajah penuh keprihatinan.
"Kamu kelihatan seperti mayat berjalan, hyung," canda Seokjin mencoba mencairkan suasana. "Jieun-ssi lagi marah sampai kamu tidak boleh tidur?"
Yoongi hanya menggeleng, senyum palsu terukir tipis di bibirnya. "Hanya operasi yang berat."
Tapi Jungkook, yang polos dan jujur, menyipitkan matanya. "Ini bukan soal operasi, hyung. Kamu sudah seperti ini selama seminggu terakhir. Apa terjadi sesuatu?"
Yoongi menatap kopinya. Dia ingin bercerita. Ingin berteriak bahwa dia takut kehilangan istrinya, bahwa dia merasa gagal sebagai suami. Tapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokannya, terhambat oleh kebanggaan dan ketakutan akan penilaian.
"Semuanya baik-baik saja," bohongnya, sebelum berdiri dan pergi, meninggalkan Seokjin dan Jungkook saling pandang dengan pandangan khawatir.
---
Pukul 18.00. Jieun memutuskan untuk pulang lebih awal. Hari ini adalah hari jadi pernikahan mereka yang ke-5. Dia berhenti di toko kue langganan Yoongi dan membeli cheesecake kecil, rasa stroberi—favoritnya. Mungkin ini bisa menjadi awal untuk mencairkan kebekuan. Mungkin.
Tapi saat dia sampai di apartemen, dia hanya menemukan kegelapan. Yoongi belum pulang. Dia meletakkan kue di meja, lalu melihat secarik nota kecil tertempel di lemari es.
"Ada operasi darurat. Makanlah tanpa aku. - Y"
Nota itu pendek, biasa saja. Tapi hari ini, di hari jadi mereka, itu terasa seperti tamparan. Jieun berdiri di depan lemari es, nota kecil itu tergenggam di tangannya. Matanya berkaca-kaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Sudah terlalu sering dia kecewa, dan bahkan air mata pun sudah lelah untuk mengalir.
Dia mengambil cheesecake itu dan membuangnya ke tempat sampah, tanpa pernah membukanya. Kue itu adalah metafora yang sempurna untuk pernikahan mereka—manis di luar, tapi sudah basi di dalam.
---
Pukul 21.00. Tanpa benar-benar merencanakannya, kaki Jieun membawanya kembali ke "The Haven", lounge hotel milik Namjoon. Kali ini, dia tidak memakai setelan kerja. Hanya jeans dan sweater sederhana, berusaha menyamar sebagai versi dirinya yang lebih muda, yang belum pahit oleh perceraian orang lain dan kegagalan sendiri.
Park Jimin sedang membersihkan gelas saat melihatnya masuk. Senyumnya muncul secara alami, berbeda dengan senyum sopan yang biasa dia berikan kepada pelanggan lain.
"Chamomile dengan madu?" tanyanya, sudah mengingat.
Jieun mengangguk, duduk di kursi bar kali ini, bukan di booth. "Kamu tidak pernah lupa?"
Jimin mengangkat bahu sambil menyiapkan teko. "Saya punya ingatan yang baik untuk orang-orang yang terlihat seperti perlu ditemani."
Mereka berbicara. Percakapan kecil yang ringan. Tentang musik, tentang cuaca, tentang betapa sibuknya Seoul. Jieun merasa bisa bernapas lega. Di sini, dia bukan Nyonya Min atau Pengacara Lee. Dia hanya Jieun. Perasaan itu, setelah sekian lama, terasa seperti pulang.
Tapi kemudian, tanpa sengaja, matanya melihat jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. Dan tiba-tiba, rasa bersalah itu kembali menghantamnya lebih keras. Dia sedang bersenang-senang dengan pria lain, sementara suaminya mungkin masih berjuang menyelamatkan nyawa orang.
"Dia baik-baik saja," gumam Jimin tiba-tiba, seolah bisa membaca pikirannya.
Jieun terkejut. "Siapa?"
"Suamimu. Dr. Min. Saya tahu dia." Jimin membersihkan sebuah gelas dengan hati-hati, tidak menatapnya. "Dia sering datang ke sini dengan teman-temannya. Dr. Kim, yang ganteng itu, dan yang lain. Dia selalu terlihat... lelah. Tapi matanya selalu mencari sesuatu. Atau seseorang."
Jieun terdiam. Yoongi pernah datang ke sini? Dengan teman-temannya? Dan tidak pernah memberitahunya? Mereka berdua ternyata memiliki rahasia dari tempat yang sama.
Dia membayangkan Yoongi duduk di sudut yang sama, mungkin memandang ke arah pintu, berharap—seperti dirinya—bahwa suatu saat, pasangannya akan muncul dan membawa mereka pulang.
Tapi yang muncul justru dirinya, dan seorang bartender yang baik hati.
Dia menyelesaikan tehnya dengan cepat, meninggalkan uang di meja. "Terima kasih untuk tehnya, Jimin-ssi."
"Sudah pergi?" tanya Jimin, terlihat sedikit kecewa.
Jieun mengangguk, tidak bisa menatap matanya. "Saya harus pulang. Suami saya mungkin sudah sampai."
Itu adalah kebohongan. Tapi dia perlu mengatakannya, untuk mengingatkan dirinya sendiri tentang di mana seharusnya dia berada.
Tapi saat dia berjalan keluar, dia tidak langsung menuju apartemen. Dia berjalan menyusuri jalanan Seoul yang masih ramai, berharap udara malam bisa membersihkan pikirannya yang kacau.
Dia berada di persimpangan, dalam arti yang sesungguhnya dan metaforis. Di satu jalan, ada apartemen mewah dengan suami yang sudah menjadi orang asing. Di jalan lain, ada lounge hangat dengan bartender yang membuatnya merasa dilihat.
Dan malam ini, untuk pertama kalinya, dia benar-benar tidak tahu harus berbelok ke mana.
TBC
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments
Kavaurei
Can't focus on anything else until I know what happens next - hurry up! ⏰
2025-09-22
1