Pukul 23.17. Trotoar sepanjang jalan di Apgujeong sepi, diterangi oleh lampu jalan yang memancarkan cahaya keemasan. Setiap langkah Jieun bergema dalam kesunyian malam, suara heels boot-nya yang berdetak di aspal bagai metronom yang menandai irama kekacauan dalam dirinya. Angin musim gugur yang mulai dingin menerbangkan rambutnya, menyapu wajahnya yang basah oleh air mata yang tak disadari telah mengalir. Di tangannya, ia menggenggam erat tas kecil berisi dua kaleng kopi sachet murah—merk yang sama yang selalu mereka beli saat masih mahasiswa, ketika uang seribu won masih berarti untuk berbagi kehangatan.
Dia berhenti di depan convenience store yang masih terbuka, cahaya neonnya menyilaukan di tengah kegelapan. Melalui jendela kaca, dia melihat rak-rak penuh dengan mie instan dan minuman energi. Pikirannya melayang ke tujuh tahun yang lalu, ketika Yoongi masih menjadi residen yang sering pulang jam tiga pagi dengan mata berkantung dan tubuh yang nyaris rubuh. Dia selalu menunggu dengan semangkuk ramyun hangat di meja kecil apartemen studio mereka, dan mereka akan berbagi cerita sambil menikmati kuah kaldu yang sederhana namun penuh arti.
Kenyataan sekarang terasa seperti tamparan. Mereka tidak lagi saling menunggu. Mereka hanya hidup berdampingan dalam ruang mewah seluas 200 meter persegi, seperti dua planet yang orbitnya tidak lagi bersentuhan, masing-masing terkungkung dalam gravitasi kesibukan dan kekecewaannya sendiri.
Dia memasuki toko, bel pintu kecil berbunyi menyambutnya. Udara hangat beraroma makanan instan menyelimutinya. Dengan hati yang berat, dia mengambil dua kaleng kopi sachet itu—sebuah simbol dari masa lalu yang mungkin sudah terlalu jauh untuk diraih kembali.
---
Pukul 00.03. Apartemen mereka gelap kecuali sorot lampu kota yang masuk melalui jendela floor-to-ceiling. Yoongi duduk di lantai balkon, punggungnya bersandar pada kaca dingin. Sebotol soju sudah setengah habis di tangannya, tapi alkohol tidak bisa menghangatkan kekosongan yang merayap dalam dadanya.
Operasi darurat tadi berhasil—seorang ibu muda yang selamat berkat ketangkasan tangannya. Tapi saat keluarga pasien itu berpelukan dan menangis bahagia di ruang tunggu, Yoongi justru merasa semakin hampa. Setiap nyawa yang diselamatkan seolah mengingatkannya pada nyawa pernikahannya yang perlahan sekarat.
Dia mendengar suara kunci pintu berputar. Jantungnya berdebar-debar, bukan karena antisipasi, tapi karena kecemasan yang menggerogoti. Apa yang akan dia hadapi malam ini? Jieun yang dingin? Jieun yang berbohong? Atau yang paling menyakitkan—Jieun yang bahkan tidak peduli untuk berbohong?
Jieun masuk dengan wajah yang sulit dibaca. Matanya sedikit bengkak, tapi Yoongi sudah terlalu lelah untuk menanyakan. Dia melihat kantong convenience store di tangan Jieun.
"Aku membeli kopi," ucap Jieun, suaranya datar. "Merk yang dulu..."
Yoongi hanya mengangguk pelan. "Terima kasih." Kata-kata itu terasa asing di mulutnya, seperti dialog yang dihapal dari naskah yang sudah usang.
Mereka duduk di sofa yang sama tetapi terpisah oleh jarak yang terasa fisik. Diam yang menyelimuti mereka lebih nyaring daripada bunyi lalu lintas malam di bawah. Jieun membuka kaleng kopinya, suara desisan ringan memecah kesunyian.
"Operasinya sulit?" tanya Jieun akhirnya, suara yang mencoba memulai percakapan yang sudah lama mati.
"Biasa saja," jawab Yoongi pendek. Dia meneguk sojunya, merasa cairan itu membakar tenggorokannya. "Kamu pulang telat lagi."
Bukan pertanyaan. Sebuah pernyataan datar yang berisi seribu tuduhan yang tak terucapkan.
Jieun menunduk, jari-jarinya memutar-mutar kaleng kopi. "Aku hanya berjalan-jalan. Memikirkan banyak hal."
"Termasuk bartender itu?"
Udara di ruangan itu langsung berubah, menjadi padat dan sulit dihirup. Jieun membeku. Kaleng kopi di tangannya ber gemeretak, suara kecil yang terdengar seperti guntur dalam keheningan.
"Apa maksudmu?" suaranya bergetar, tapi Yoongi bisa mendengar nada defensif di baliknya.
Yoongi memutar tubuhnya, menatapnya langsung untuk pertama kali malam ini. Matanya yang biasanya dingin dan profesional kini membara dengan emosi yang dipendam terlalu lama.
"Park Jimin. Bartender di The Haven. Teman Taehyung." Setiap kata diucapkan dengan presisi bedah, menyayat tanpa ampun. "Kamu menghabiskan dua malam terakhir bersamanya. Apakah dia membuatmu lebih bahagia daripada aku?"
Jieun ternganga, wajahnya memucat. Rasa bersalah, malu, dan kemarahan bercampur menjadi satu badai emosi yang membuatnya sulit bernapas. "Kamu memantauku?"
"Tidak," Yoongi terkekar pahit, menggesek botol soju dengan jempolnya. "Kebetulan saja. Kemarin malam Jungkook dan Taehyung ada di lounge untuk merayakan promosi Taehyung. Mereka melihatmu." Dia berhenti, menatap kosong ke botol sojunya. "Taehyung yang memberitahuku pagi tadi. Dia pikir aku sudah tahu. Bahkan dia merasa tidak enak harus memberitahuku."
Kebenaran itu terasa seperti pisau bedah yang menusuk jantungnya. Jieun menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Tidak seperti yang kamu pikirkan, Yoongi. Kami hanya berbicara. Dia... pendengar yang baik."
"Tentang apa?" suara Yoongi mulai meninggi, kegetiran yang lama dipendam akhirnya meluap. "Tentang betapa dinginnya suamimu? Tentang betapa hancurnya pernikahanmu? Apakah dia mendengarkan keluhanmu dengan lebih baik daripada aku? Memberimu perhatian yang tidak bisa kuberikan?"
"Setidaknya dia mendengarkan!" balas Jieun tanpa berpikir, berdiri dengan tubuh yang gemetar. "Dia melihat aku! Bukan sekedar penghias apartemen atau partner dalam pesta atau kolega yang kebetulan berbagi alamat yang sama!"
Mereka berdua terhenyak oleh ledakan itu. Selama bertahun-tahun, mereka selalu menghindari konflik, menyimpan segala kekecewaan dan luka dalam diri masing-masing. Kini, segalanya meledak dengan kekuatan yang menghancurkan.
Yoongi tertawa getir, suara yang parau dan penuh kepahitan. "Jadi itu masalahnya. Aku tidak memberimu cukup perhatian." Dia menggeleng, wajahnya mendadak terlihat sangat tua dan lelah. "Aku sibuk menyelamatkan nyawa orang, Jieun. Aku pikir kamu mengerti. Aku pikir kita mengerti satu sama lain."
"Dan aku sibuk menyaksikan kematian cinta orang setiap hari!" tangis Jieun, air mata yang ditahannya selama berbulan-bulan akhirnya meluap. "Aku pulang dengan membawa luka dan kepahitan orang lain setiap malam, dan tidak ada yang pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja. Bahkan kamu! Kamu bahkan tidak pernah memperhatikan ketika aku mengganti parfum atau memotong rambut!"
Mereka saling memandang, dua pasangan yang sama-sama terluka tetapi tidak tahu bagaimana menyembuhkan satu sama lain. Dua orang yang begitu ahli dalam memperbaiki yang rusak—yang satu jantung manusia, yang lain hubungan manusia—tetapi gagal total ketika datang kepada pernikahan mereka sendiri.
Yoongi menghela napas panjang, bahunya turun seperti memikul beban yang terlalu berat. "Aku lelah, Jieun. Aku lelah menebak-nebak apa yang salah dengan kita. Aku lelah dengan kesunyian ini. Aku lelah pulang ke rumah yang terasa lebih dingin dari ruang operasi."
Dia berjalan menuju kamar tidur, lalu berhenti di pintu tanpa menoleh. "Tidur di kamar guest saja malam ini. Aku butuh... ruang."
Pintu kamar tertutup dengan lembut. Terlalu lembut untuk sebuah perpisahan yang terasa begitu monumental.
Jieun tetap terduduk di sofa, tubuhnya gemetar hebat. Di tangannya, kaleng kopi murah itu sudah dingin, seperti cinta mereka yang telah kehilangan kehangatannya.
Dengan tangan yang gemetar, dia mengambil ponselnya dari tas. Tanpa benar-benar berpikir, jarinya membuka aplikasi pesan. Tidak ada chat dengan Jimin, tapi dia menemukan diri mengetik nomor yang diingatnya—nomor yang dia lihat secara tidak sengaja di kartu nama Jimin yang tertinggal di meja bar.
"Apa kamu masih bekerja?" pesannya pendek, seperti teriakan minta tolong dalam kesunyian.
Hanya beberapa detik kemudian, balasan muncul. "Shift sudah selesai. Tapi aku masih di lounge. Ada apa? Kamu baik-baik saja?"
Jieun menatap pesan itu, lalu menatap pintu kamar tidur yang tertutup rapat. Air matanya jatuh membasahi layar ponsel, membuat tulisan itu sedikit blur.
Dia mengetik lagi, jari-jarinya yang dingin nyaris tidak bisa menekan tombol dengan benar: "Bisa kah kita bertemu? Aku butuh... seseorang untuk diajak bicara."
Dia menekan 'kirim' tepat ketika lampu di balik pintu kamar tidur padam, menyisakannya dalam kegelapan dan kesunyian yang semakin dalam.
Dia menatap layar ponselnya, menunggu. Detik-detik terasa seperti abadi. Lalu, sebuah balasan muncul:
"Tunggu di lobby. Aku akan turun."
Jieun menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri. Dia melirik ke arah pintu kamar tidur yang tertutup, lalu ke arah pintu apartemen. Dua pilihan. Dua jalan. Dunia yang berbeda.
Dengan langkah berat, dia berjalan menuju pintu, mengambil jaketnya, dan keluar tanpa menoleh lagi.
Pintu apartemen tertutup pelan, meninggalkan Yoongi yang terbaring terjaga di kamar tidur, mendengar setiap langkah yang menjauh.
TBC
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments