Sayap Yang Terluka

Sayap Yang Terluka

Kinanthi

Langit Batam siang itu terasa terik menekan, memantul di hamparan dermaga shipyard Sagulung. Debu dan aroma logam bercampur dengan semilir angin laut yang menampar pelan wajah cantik Kinanthi saat ia memarkirkan motornya . Wanita single parent berusia 28 tahun itu melangkah cepat menuju pos keamanan, menempelkan ID card sebelum memasuki area kantor.

Hari ini tidak ada yang istimewa baginya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, penuh angka, dokumen, invoice material, dan laporan harian progres proyek.

Hidup Kinanthi sederhana, meski hatinya menyimpan banyak luka lama yang belum benar-benar sembuh. Pernikahannya yang kandas meninggalkan trauma mendalam, ditambah tanggung jawab mengasuh Putra kecilnya sendirian. Namun ia tak pernah menampakkan kesedihan di wajah.

Senyumnya tetap manis menyapa siapa pun, membuat rekan-rekan kerjanya menyukainya sebagai sosok yang tulus, hangat, dan rajin.

“Pagi, Mbak Kin!,” sapa seorang welder yang melintas, menuntun troli besi.

“Pagi, Pak Anton,” jawab Kinanthi dengan senyum kecilnya, menahan map biru berisi dokumen approval vendor.

Ia berjalan melewati workshop hingga mencapai kantor Project Management Office. Di sanalah, takdir mulai memainkan perannya.

Di ruang meeting yang ber-AC dingin itu, Jimmy Chia duduk sambil menatap layar laptopnya. Pria itu berusia sekitar 40tahun, berkharisma dengan tampan smart , rambut tipis tertata rapi, Ia mengenakan kemeja kerja abu-abu gelap dan celana bahan hitam. Aura wibawanya memancar, meski wajahnya tampak dingin dan nyaris tanpa ekspresi.

Jimmy adalah Project Manager baru dari Singapura, dikirim oleh head office untuk mengawasi proyek konversi kapal di Batam.

Sejak tiba dua minggu lalu, ia jarang berbicara dengan staf lokal kecuali untuk keperluan teknis. Namun reputasinya sudah terdengar sebagai engineer brilian, perfeksionis, dan tanpa toleransi pada kesalahan kecil sekalipun.

Ketika Kinanthi masuk membawa berkas yang perlu approval urgent, Jimmy menatapnya sekilas tanpa senyum.

“Excuse me, Sir,” ucap Kinanthi pelan, sopan. Tangannya sedikit gemetar karena aura pria itu sangat tegas. “Ini dokumen untuk approval Barge Conversion Project. Harus dikirim hari ini sebelum jam tiga.”

Jimmy mengalihkan tatapannya dari layar laptop, menatap Kinanthi dengan sorot tajam. Namun hanya sesaat, karena kemudian ia membaca judul berkas di map yang dipegang Wanita itu.

“Sit down,” katanya singkat, dengan aksen Inggris campuran Melayu Singapura yang tegas. Kinanthi menurut. Ia duduk berhadapan dengannya, menunggu dalam diam sementara Jimmy membolak-balik halaman dokumen.

Ruang meeting hening. Kinanthi menunduk, mengamati sepatu safety yang dikenakannya. Dalam diamnya, ia mencuri pandang pada wajah pria di depannya. Ada aura kesepian di mata Jimmy meski ia berusaha menutupi dengan sikap dinginnya.

“Who prepared this?” tanya Jimmy tanpa menatapnya.

“Saya, Sir. Jika ada kesalahan, mohon arahan untuk revisi,” jawab Kinanthi cepat.

Jimmy menghela napas pelan. “Good. Accurate enough. You’re detail oriented.”

Ia menandatangani halaman terakhir, menutup map, lalu mendorongnya ke arah Kinanthi. “Keep it up send to procurement after this.”

“Yes, Sir thank you.” Kinanthi menunduk hormat dan beranjak keluar.

Sepeninggal Kinanthi, Jimmy memandang pintu yang tertutup perlahan. Untuk pertama kalinya, bibirnya membentuk garis senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Gadis itu berbeda. Sopan, lembut, dan menenangkan. tidak seperti wanita-wanita yang pernah hadir dalam hidupnya.

Hari berganti minggu. Setiap kali Jimmy memerlukan data, ia akan memanggil Kinanthi. Awalnya sebatas profesional.

 Namun, tanpa disadari, interaksi mereka bertambah sering kadang saat makan siang di kantin kantor, Jimmy duduk di meja yang sama dengan Kinanthi dan timnya, mendengarkan percakapan mereka tentang keluarga, anak, dan kehidupan sehari-hari.

“Your son is cute,” ucap Jimmy suatu siang saat Kinanthi menunjukkan foto putranya yang masih TK. Matanya melembut, tak seperti biasanya.

“Thank you sir he's the reason i can survive so far ” ujar Kinanthi sambil menunduk ada semburat sedih di matanya yang ditangkap Jimmy dengan tajam.

Setelah hari itu, Jimmy sering mengantar Kinanthi pulang jika lembur sampai malam. Di mobilnya yang mewah, mereka berbicara tentang banyak hal masa kecil, mimpi, trauma, hingga luka yang belum sembuh.

“Don’t worry,” kata Jimmy pelan, matanya menatap lampu-lampu jalan yang berpendar. “Some day… your pain will heal.”

Kinanthi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak tahu mengapa pria itu berkata demikian.

 Namun kalimat itu menembus dinding pertahanan hatinya. Baginya, Jimmy mulai terasa seperti pelabuhan sunyi yang selama ini ia cari.

Namun di hati Jimmy, badai masih bergejolak. Kinanthi tidak tahu bahwa ia hanya melihat sedikit dari gunung es bernama masa lalu Jimmy Chia luka, dosa, dan rahasia yang kelak akan menampar keras kehidupannya.

Hari-hari berikutnya, kedekatan Kinanthi dan Jimmy berkembang tanpa mereka sadari. Setiap pagi, Jimmy akan melintasi area admin dan menatap sekilas ke meja Kinanthi sebelum masuk ruangannya.

 Kadang ia memberi anggukan kecil sambil menenteng laptop. Hanya isyarat sederhana, namun cukup untuk membuat jantung Kinanthi berdegup.

Suatu sore, saat hujan turun deras mengguyur Batam, Kinanthi duduk di lobby kantor menunggu reda. Jas hujan plastik tipis di tasnya bocor, sementara putranya menunggunya pulang di rumah. Ia menatap layar ponsel, menahan tangis saat membaca pesan gurunya yang mengabarkan putranya demam.

“Masih di sini?,”

Suara berat Jimmy mengagetkannya. Ia menoleh dan mendapati pria itu berdiri dengan payung besar hitam di tangan kirinya. Wajahnya sedikit basah oleh percikan hujan, namun tatapannya tetap teduh. Tanpa menunggu jawaban, Jimmy berkata pelan, “Come. I’ll drive you home.”

"But , Sir… no problem , i'll wait until the rain stop .”

“Don’t argue come.”

Nada bicaranya tegas, namun bukan membentak. Kinanthi menuruti, menahan desiran hangat di hatinya.

 Di parkiran, Jimmy menuntunnya masuk ke mobil Suv hitamnya. Aroma parfum maskulin samar tercium di kabin, berpadu dengan bau hujan dari jas hujannya.

Selama perjalanan, Jimmy diam. Matanya fokus ke jalanan yang licin namun sesekali ia menatap Kinanthi yang memeluk tas di pangkuannya erat-erat, menatap jendela dengan mata sembab.

“What happen your eyes sorrow show.?” tanyanya pelan.

Kinanthi mengangguk, menahan tangis. “My son have fever, his teacher tell me .”

Jimmy tidak menjawab. Namun saat sampai di depan rumah kontrakan Kinanthi di kawasan Batu Aji, ia menahan tangan gadis itu yang hendak membuka pintu mobil.

“Kinanthi,” panggilnya pelan, pertama kalinya ia menyebut nama gadis itu tanpa embel-embel formalitas kantor. “If you need anything… medicine, food, money… tell me. Don’t hesitate.”

Kinanthi menoleh menatap matanya. Ada kehangatan dan kepedulian tulus di sana. “Thank you , Sir. iwill remember .”

Jimmy mengangguk. Kinanthi turun, menatap Suv hitam itu menjauh, membawa pergi seribu pertanyaan di hatinya.

Hot

Comments

Killspree

Killspree

Thrilling rollercoaster!

2025-06-28

0

See all
Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play