NovelToon NovelToon

Sayap Yang Terluka

Kinanthi

Langit Batam siang itu terasa terik menekan, memantul di hamparan dermaga shipyard Sagulung. Debu dan aroma logam bercampur dengan semilir angin laut yang menampar pelan wajah cantik Kinanthi saat ia memarkirkan motornya . Wanita single parent berusia 28 tahun itu melangkah cepat menuju pos keamanan, menempelkan ID card sebelum memasuki area kantor.

Hari ini tidak ada yang istimewa baginya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, penuh angka, dokumen, invoice material, dan laporan harian progres proyek.

Hidup Kinanthi sederhana, meski hatinya menyimpan banyak luka lama yang belum benar-benar sembuh. Pernikahannya yang kandas meninggalkan trauma mendalam, ditambah tanggung jawab mengasuh Putra kecilnya sendirian. Namun ia tak pernah menampakkan kesedihan di wajah.

Senyumnya tetap manis menyapa siapa pun, membuat rekan-rekan kerjanya menyukainya sebagai sosok yang tulus, hangat, dan rajin.

“Pagi, Mbak Kin!,” sapa seorang welder yang melintas, menuntun troli besi.

“Pagi, Pak Anton,” jawab Kinanthi dengan senyum kecilnya, menahan map biru berisi dokumen approval vendor.

Ia berjalan melewati workshop hingga mencapai kantor Project Management Office. Di sanalah, takdir mulai memainkan perannya.

Di ruang meeting yang ber-AC dingin itu, Jimmy Chia duduk sambil menatap layar laptopnya. Pria itu berusia sekitar 40tahun, berkharisma dengan tampan smart , rambut tipis tertata rapi, Ia mengenakan kemeja kerja abu-abu gelap dan celana bahan hitam. Aura wibawanya memancar, meski wajahnya tampak dingin dan nyaris tanpa ekspresi.

Jimmy adalah Project Manager baru dari Singapura, dikirim oleh head office untuk mengawasi proyek konversi kapal di Batam.

Sejak tiba dua minggu lalu, ia jarang berbicara dengan staf lokal kecuali untuk keperluan teknis. Namun reputasinya sudah terdengar sebagai engineer brilian, perfeksionis, dan tanpa toleransi pada kesalahan kecil sekalipun.

Ketika Kinanthi masuk membawa berkas yang perlu approval urgent, Jimmy menatapnya sekilas tanpa senyum.

“Excuse me, Sir,” ucap Kinanthi pelan, sopan. Tangannya sedikit gemetar karena aura pria itu sangat tegas. “Ini dokumen untuk approval Barge Conversion Project. Harus dikirim hari ini sebelum jam tiga.”

Jimmy mengalihkan tatapannya dari layar laptop, menatap Kinanthi dengan sorot tajam. Namun hanya sesaat, karena kemudian ia membaca judul berkas di map yang dipegang Wanita itu.

“Sit down,” katanya singkat, dengan aksen Inggris campuran Melayu Singapura yang tegas. Kinanthi menurut. Ia duduk berhadapan dengannya, menunggu dalam diam sementara Jimmy membolak-balik halaman dokumen.

Ruang meeting hening. Kinanthi menunduk, mengamati sepatu safety yang dikenakannya. Dalam diamnya, ia mencuri pandang pada wajah pria di depannya. Ada aura kesepian di mata Jimmy meski ia berusaha menutupi dengan sikap dinginnya.

“Who prepared this?” tanya Jimmy tanpa menatapnya.

“Saya, Sir. Jika ada kesalahan, mohon arahan untuk revisi,” jawab Kinanthi cepat.

Jimmy menghela napas pelan. “Good. Accurate enough. You’re detail oriented.”

Ia menandatangani halaman terakhir, menutup map, lalu mendorongnya ke arah Kinanthi. “Keep it up send to procurement after this.”

“Yes, Sir thank you.” Kinanthi menunduk hormat dan beranjak keluar.

Sepeninggal Kinanthi, Jimmy memandang pintu yang tertutup perlahan. Untuk pertama kalinya, bibirnya membentuk garis senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Gadis itu berbeda. Sopan, lembut, dan menenangkan. tidak seperti wanita-wanita yang pernah hadir dalam hidupnya.

Hari berganti minggu. Setiap kali Jimmy memerlukan data, ia akan memanggil Kinanthi. Awalnya sebatas profesional.

 Namun, tanpa disadari, interaksi mereka bertambah sering kadang saat makan siang di kantin kantor, Jimmy duduk di meja yang sama dengan Kinanthi dan timnya, mendengarkan percakapan mereka tentang keluarga, anak, dan kehidupan sehari-hari.

“Your son is cute,” ucap Jimmy suatu siang saat Kinanthi menunjukkan foto putranya yang masih TK. Matanya melembut, tak seperti biasanya.

“Thank you sir he's the reason i can survive so far ” ujar Kinanthi sambil menunduk ada semburat sedih di matanya yang ditangkap Jimmy dengan tajam.

Setelah hari itu, Jimmy sering mengantar Kinanthi pulang jika lembur sampai malam. Di mobilnya yang mewah, mereka berbicara tentang banyak hal masa kecil, mimpi, trauma, hingga luka yang belum sembuh.

“Don’t worry,” kata Jimmy pelan, matanya menatap lampu-lampu jalan yang berpendar. “Some day… your pain will heal.”

Kinanthi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak tahu mengapa pria itu berkata demikian.

 Namun kalimat itu menembus dinding pertahanan hatinya. Baginya, Jimmy mulai terasa seperti pelabuhan sunyi yang selama ini ia cari.

Namun di hati Jimmy, badai masih bergejolak. Kinanthi tidak tahu bahwa ia hanya melihat sedikit dari gunung es bernama masa lalu Jimmy Chia luka, dosa, dan rahasia yang kelak akan menampar keras kehidupannya.

Hari-hari berikutnya, kedekatan Kinanthi dan Jimmy berkembang tanpa mereka sadari. Setiap pagi, Jimmy akan melintasi area admin dan menatap sekilas ke meja Kinanthi sebelum masuk ruangannya.

 Kadang ia memberi anggukan kecil sambil menenteng laptop. Hanya isyarat sederhana, namun cukup untuk membuat jantung Kinanthi berdegup.

Suatu sore, saat hujan turun deras mengguyur Batam, Kinanthi duduk di lobby kantor menunggu reda. Jas hujan plastik tipis di tasnya bocor, sementara putranya menunggunya pulang di rumah. Ia menatap layar ponsel, menahan tangis saat membaca pesan gurunya yang mengabarkan putranya demam.

“Masih di sini?,”

Suara berat Jimmy mengagetkannya. Ia menoleh dan mendapati pria itu berdiri dengan payung besar hitam di tangan kirinya. Wajahnya sedikit basah oleh percikan hujan, namun tatapannya tetap teduh. Tanpa menunggu jawaban, Jimmy berkata pelan, “Come. I’ll drive you home.”

"But , Sir… no problem , i'll wait until the rain stop .”

“Don’t argue come.”

Nada bicaranya tegas, namun bukan membentak. Kinanthi menuruti, menahan desiran hangat di hatinya.

 Di parkiran, Jimmy menuntunnya masuk ke mobil Suv hitamnya. Aroma parfum maskulin samar tercium di kabin, berpadu dengan bau hujan dari jas hujannya.

Selama perjalanan, Jimmy diam. Matanya fokus ke jalanan yang licin namun sesekali ia menatap Kinanthi yang memeluk tas di pangkuannya erat-erat, menatap jendela dengan mata sembab.

“What happen your eyes sorrow show.?” tanyanya pelan.

Kinanthi mengangguk, menahan tangis. “My son have fever, his teacher tell me .”

Jimmy tidak menjawab. Namun saat sampai di depan rumah kontrakan Kinanthi di kawasan Batu Aji, ia menahan tangan gadis itu yang hendak membuka pintu mobil.

“Kinanthi,” panggilnya pelan, pertama kalinya ia menyebut nama gadis itu tanpa embel-embel formalitas kantor. “If you need anything… medicine, food, money… tell me. Don’t hesitate.”

Kinanthi menoleh menatap matanya. Ada kehangatan dan kepedulian tulus di sana. “Thank you , Sir. iwill remember .”

Jimmy mengangguk. Kinanthi turun, menatap Suv hitam itu menjauh, membawa pergi seribu pertanyaan di hatinya.

someday

Hari berganti minggu kedekatan mereka menjadi perbincangan diam-diam di kantor. Kinanthi bukan gadis murahan.

 Semua orang tahu ia baik, rajin, dan mandiri. Namun bagi Jimmy, rumor itu tak berarti apa-apa. Ia tetap menjemput Kinanthi pulang saat lembur, tetap membawakan kopi saat pagi, tetap menatap gadis itu dengan cara yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.

Suatu hari, saat break makan siang, Jimmy duduk di pantry perusahaan sendirian. Kinanthi yang masuk untuk mengambil air hangat kaget melihatnya. Ia menunduk, hendak segera pergi, namun Jimmy menahan.

“Sit down ,lunch with me.”

Kinanthi menatapnya ragu. “Sorry , Sir.i just finish my lunch.”

“Eat again.”

Nada Jimmy terdengar seperti perintah, namun senyum tipis di sudut bibirnya membuat Kinanthi menuruti.

 Ia duduk, membuka kotak bekalnya berisi nasi, tumis kacang panjang, dan telur dadar. Jimmy menatap kotak bekal sederhana itu sebelum menghela napas pelan.

“Kinanthi…” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh dengung AC. “Do you… trust me?”

Pertanyaan itu membuat Kinanthi menoleh. “What you mean?.”

Jimmy menatap mejanya sendiri, menekuk jemarinya.

 “Someday… I want to tell you everything. my past my pain my mistakes.”

Kinanthi menatap pria itu lama di balik karismanya, ada kesepian yang begitu nyata. Ada trauma yang menumpuk dalam diam. Ia tidak tahu apa, namun hatinya merasakan luka itu begitu dekat.

“Sure i'll wait till you ready for ,” jawabnya pelan.

Jimmy menoleh, menatap matanya dengan sorot tak terdefinisi perlahan senyum kecil terbentuk di bibirnya.

 “Thank you.”

Malam itu, Jimmy duduk sendirian di apartemennya di daerah Nagoya. Ia memandang layar laptop, membaca email dari Huynh Tanh Lan yang dikirim dari Vietnam.

Wanita itu mengirimkan foto dua anak mereka yang sedang bermain ada catatan pendek:

“Michelle dan Aaron menunggu Papa pulang…”

Jimmy menutup laptopnya kasar, menghela napas panjang. matanya menerawang menembus jendela, menatap kelap-kelip lampu kota Batam.

Hatinya sakit hidupnya penuh kebohongan. Ia mencintai Kinanthi, gadis lembut yang membangkitkan sisi baiknya.

 Namun ia juga tidak bisa meninggalkan Huynh Tanh Lan sepenuhnya. Wanita itu adalah ibu dari anak-anaknya, meski cinta mereka lahir dari manipulasi dan kebohongan.

Jimmy meneguk kopinya yang sudah dingin, menahan gemuruh dadanya,apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup ini? pikirnya.

Keesokan harinya, di kantor, Jimmy menghampiri meja Kinanthi membawa paper bag kecil berisi kotak perhiasan elegan. Ia menaruhnya di atas mejanya sebelum gadis itu sempat protes.

“What is this, Sir?”

“Little present,” jawab Jimmy singkat.

“But … for what?,” Kinanthi menatapnya dengan mata berkaca-kaca, Jimmy menatap balik, matanya sendu.

“Untuk semua yang sudah kamu lakukan… dan untuk semua yang akan kamu lakukan.”

Hadiah itu hanyalah awal. Setelahnya, Jimmy mulai menghujani Kinanthi dengan hadiah-hadiah lain parfum mahal, tas branded, bahkan satu kali ia membayar biaya sekolah Putra Kinanthi tanpa sepengetahuannya.

Bagi Jimmy, itu caranya menebus rasa bersalah. Namun bagi Kinanthi, semua itu menimbulkan dilema.

Ia takut takut bahwa dirinya akan terjerat terlalu dalam oleh pria yang hatinya belum sepenuhnya ia pahami.

Dan tanpa ia sadari, di sinilah sayapnya mulai terluka pelan, namun pasti.

Hari Minggu itu, Kinanthi duduk di ruang tamunya yang sempit. Ia memandangi kotak perhiasan pemberian Jimmy di atas meja.

Kilau emas putih di dalamnya memantul menembus kaca jendela, seakan mengejek hidupnya yang sederhana. Ia menghela napas, menatap Putranya yang sedang menonton kartun di lantai sambil tertawa riang. ada rasa takut menggerogoti hatinya. Semua ini terlalu cepat, terlalu mewah, dan terlalu menakutkan.

Ponselnya berdering. Nama Jimmy muncul di layar. Dengan ragu, Kinanthi mengangkat.

“Hello, dear,” suara berat itu terdengar lembut. “Are you home today?,”

“Yess i'm at home what i can help?.”

“Boleh aku mampir sebentar, aku ada oleh-oleh untuk Raffa .”

Kinanthi menatap anaknya Raffa menoleh dan bertanya dengan polos, “Siapa, Bu?.”

“Pak Jimmy Bos Ibu di kantor ,” jawabnya pelan, menutup telepon.

Kurang dari satu jam, Suv hitam Jimmy sudah terparkir di depan rumah kontrakannya. Pria itu turun dengan kaos polo abu-abu dan celana jeans gelap, tampak santai tapi tetap berwibawa.

 Ia membawa kantong kertas besar berlogo Toys Kingdom. Raffa menatap matanya, menjerit kecil saat Jimmy mengeluarkan robot mainan berwarna biru metalik.

“Untuk kamu, Raffa,” ucap Jimmy sambil mengelus kepala bocah itu lembut. Mata Rafda berbinar. Ia segera berlari ke kamarnya, memamerkan mainan barunya.

Kinanthi menatap Jimmy, menahan rasa haru sekaligus takut yang menyesakkan dada. Jimmy menatap sekeliling ruang tamu kecil itu tembok kusam, sofa tua, dan rak buku penuh novel lawas.

 Hatinya seperti diremas betapa gadis ini berjuang keras, namun tetap bertahan dengan penuh harga diri.

“Kinanthi,” panggilnya pelan. Suaranya terdengar lelah. “Boleh aku duduk?”

Kinanthi mengangguk Jimmy duduk di sofa, menatap tangannya sendiri lama sebelum berkata, “Aku ingin cerita tentang masa laluku.”

Kinanthi menegakkan punggung, berusaha menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. Jimmy menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.

“Dulu aku menikah dengan Linda. Kami punya seorang anak laki-laki bernama Alex. Tapi pernikahan kami… berantakan.

Linda berselingkuh dengan rekan kantornya sendiri. aku marah, sakit hati, dan saat itu… aku tidak tahu caranya menenangkan diri. Aku pergi ke bar, ke night club, mencoba melupakan semua.”

Jimmy menatap mata Kinanthi, mencari pengertian di sana. Kinanthi diam, mendengarkan.

“Di sana aku bertemu seorang wanita Vietnam namanya Huynh Tanh Lan. Awalnya dia hanya lady escort.

Tapi dia mendengarkan semua ceritaku. Tentang Linda, tentang anakku, tentang hidupku yang hancur. dia membuatku merasa… dihargai.”

Jimmy berhenti, menunduk. Matanya berkaca-kaca. “Aku membayarnya hanya untuk duduk menemaniku bercerita. Lama-lama aku kasihan padanya, dia bilang dia korban trafficking, terpaksa bekerja di sana untuk membayar hutang.

Aku menolongnya, menyewakan apartemen, memberinya kehidupan yang layak.”

Kinanthi menatap tangannya sendiri. Hatinya terasa berat. Jimmy melanjutkan dengan suara serak.

“Suatu malam, dia bilang ingin tidur bersamaku tanpa pengaman. Katanya dia mandul karena pernah kecelakaan motor parah di kampungnya.

 Aku bodoh, Kinanthi. Aku percaya begitu saja dua minggu kemudian, dia bilang hamil.”

Jimmy mengusap wajahnya kasar.

 “Aku marah. Aku minta dia aborsi. Tapi dia menolak, mengancam bunuh diri. Orang tuaku di Singapore suka padanya. Akhirnya… aku menyerah.

 Tapi aku belum cerai dengan Linda, jadi aku minta dia pulang melahirkan di Vietnam. Sekarang dia punya anak dariku.”

Kinanthi hanya diam menutup mulutnya, menahan tangis seluruh tubuhnya bergetar Jimmy menggenggam tangannya erat

who iam

“Dear… aku cerita semua ini karena aku ingin jujur padamu aku mencintaimu tapi aku tidak bisa meninggalkan anak-anakku. Huynh… dia bukan siapa-siapa dalam hatiku. tapi dia ibu dari anakku.”

Air mata Kinanthi menetes. “Kalau begitu… aku siapa, Jimmy? aku tidak mau jadi orang ketiga aku tidak mau.”

Jimmy menatap matanya lama.

 “Kamu bukan orang ketiga kamu satu-satunya wanita yang benar-benar aku cintai,tapi aku minta waktu beri aku waktu untuk menyelesaikan semuanya.”

Kinanthi menarik tangannya perlahan. Ia berdiri menatap Jimmy dengan mata basah. “Aku tidak punya waktu, Jim. hidupku bukan permainan kalau memang kamu mencintaiku… pilih. nikahi aku atau lepaskan aku.”

Jimmy menatapnya, matanya memerah.

 “Aku tidak mau kehilanganmu.”

“Kalau begitu buktikan,” jawab Kinanthi sebelum melangkah masuk ke kamarnya.

Jimmy duduk menatap pintu kamar yang tertutup, dadanya sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa takut kehilangan sesuatu yang benar-benar berharga.

Malam itu, Jimmy duduk di mobilnya lama. Hujan turun membasahi kaca depan. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajah tampan, karisma yang menenangkan, senyum teduh semua itu topeng.

 Di baliknya, ia hanyalah pria egois dengan dua keluarga yang tak pernah bisa ia satukan.

Ia menyalakan mesin mobil, menatap satu kotak kecil di dashboard. Kotak cincin berlian. Ia berniat melamar Kinanthi hari itu.

Namun nyalinya hilang hidupnya terlalu kotor untuk gadis sebersih Kinanthi.

Mobilnya melaju perlahan meninggalkan kompleks rumah kontrakan itu ,dan di dalam hatinya, suara Kinanthi terus bergema

"Aku tidak mau jadi orang ketiga, hidupku bukan permainan."

Dan untuk pertama kalinya, Jimmy merasa… takut benar-benar kehilangan.

Dua hari setelah pertemuan emosional itu, Jimmy tidak menghubungi Kinanthi. Biasanya, pagi-pagi ia sudah mengirim pesan menanyakan kabar atau sekadar mengingatkan Kinanthi sarapan sebelum berangkat kerja.

Namun hari itu dan esoknya, ponsel Kinanthi sunyi. Hanya ada pesan-pesan tugas kerja dari admin kantor lain yang masuk, tanpa satu pun dari nama yang diam-diam mulai mengisi harinya.

Kinanthi berusaha menenangkan diri. Ia fokus bekerja, mengerjakan laporan harian dan memeriksa surat jalan vendor. Namun hatinya gelisah.

 Sesekali ia memandangi meja Jimmy dari jauh melalui kaca ruangannya. Meja itu kosong ,menurut rekan kerja, Jimmy sedang dinas luar ke Singapore mengurus kelengkapan project offshore terbaru.

Di rumah, saat malam tiba, Kinanthi duduk termenung menatap lampu belajar putranya yang menyala. Raffa tertidur di meja belajarnya, pensil warna masih tergenggam erat. Ia tersenyum kecil, mengangkat tubuh mungil itu ke ranjang, menyelimuti, lalu mencium keningnya dengan lembut.

 Namun saat itulah, air matanya jatuh satu per satu. Ia merasa lelah dengan hidup yang selalu menuntutnya kuat tanpa pernah memberinya ruang untuk menuntut balik.

Ponselnya berdering. Hatinya melompat saat melihat nama Jimmy di layar.

“Hello…” sapanya pelan, menahan rindu yang menyesakkan.

“Kinanthi…” suara Jimmy terdengar serak dan berat. “Kamu sibuk besok?,”

Kinanthi menelan ludah.

 “Tidak, kenapa?,”

“Temani aku ke Grand mall besok sore aku mau belanja sedikit kamu perlu sepatu baru, bukan?.”

Kinanthi terdiam, Jimmy selalu ingat hal-hal kecil tentangnya. Sepatu kerjanya memang mulai rusak.

Haknya goyah, warnanya pudar tapi ia terlalu banyak kebutuhan lain yang harus didahulukan dibanding membeli sepatu baru. Ia menahan haru.

 “Baik,” jawabnya pelan.

Esok sore mereka bertemu di lobi kantor. Jimmy mengenakan kemeja biru laut dengan celana bahan hitam. Wangi parfumnya menenangkan Kinanthi seperti biasa.

Mereka berjalan beriringan menuju mobilnya. Di perjalanan, Jimmy lebih banyak diam. Kinanthi menatap profil wajahnya yang tegas, alis hitam tebal, hidung mancung, dan garis rahang kokoh yang menambah karismanya. Namun di balik ketampanan itu, Kinanthi melihat sorot mata penuh beban.

Mereka tiba di Grand mall , Jimmy membelikannya sepasang sepatu kerja berwarna nude dengan hak sedang. “Agar kakimu tidak cepat pegal saat berdiri lama,” ujarnya singkat.

 Lalu mereka makan malam di sebuah restoran Vietnam menu Pho hangat dan harum rempah terhidang di depan mereka.

Saat itulah Jimmy menatap Kinanthi lama. “Aku minta maaf,” ucapnya pelan.

“Untuk apa?” tanya Kinanthi dengan suara bergetar, menahan tangis yang nyaris pecah sejak dua hari lalu.

“Untuk semua hal yang aku sembunyikan darimu tentang Huynh… tentang anakku di Vietnam aku tahu kamu pantas mendapatkan kejujuran sejak awal.”

Kinanthi menatap meja kayu di hadapannya. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Jimmy meraih tangannya.

“Aku beli ini di Singapore kemarin,” ujarnya sambil mengeluarkan sebuah kotak beludru biru tua dari tas kecil di samping kursinya.

Kinanthi menatap kotak itu dengan mata berkaca. Perlahan Jimmy membukanya, menampakkan sebuah cincin putih bertabur berlian kecil di tengahnya. cantik, berkelas, dan mahal.

Jimmy menatap matanya dalam.

“Aku ingin melamarmu, Kinanthi. aku ingin menepati janji ini."

 Tapi aku juga ingin kau tahu… aku masih perlu waktu,untuk menyelesaikan semua. untuk benar-benar bebas dari masa laluku.”

Kinanthi menahan napas ada rasa hangat dan sakit sekaligus di dadanya, cinta yang diiringi luka dan ketakutan. Ia menatap cincin itu, lalu menatap pria di hadapannya.

 Pria yang selama ini membuatnya merasa dicintai, namun di saat bersamaan membuatnya merasa paling rapuh dan tak berdaya.

“Jim…” suaranya bergetar,

“Aku tidak butuh cincin mahal aku hanya butuh kejujuranmu kepastianmu aku tidak bisa menikah dengan pria yang masih menyimpan janji untuk wanita lain.”

Jimmy menatapnya, matanya memerah.

“Aku janji akan menyelesaikan semua ini, dear beri aku waktu…”

Kinanthi menarik tangannya perlahan dari genggaman Jimmy. Ia menahan air matanya agar tak tumpah di hadapan banyak orang. Hatinya teriris.

 Ia tahu, Jimmy tulus mencintainya tapi ia juga tahu, ada bagian dari hidup Jimmy yang tidak akan pernah ia miliki sepenuhnya.

Sepanjang perjalanan pulang, mereka diam. Jimmy mengantar Kinanthi hingga depan rumahnya sebelum turun, Kinanthi menatapnya dengan mata basah.

“Jim, aku mencintaimu. tapi jika sampai akhir tahun ini kamu belum bisa memberi kepastian… aku akan pergi.”

Jimmy menahan napas, menatap wajah gadis itu lama. Dalam hatinya, ketakutan mulai merayap. Ia tahu, jika kehilangan Kinanthi, maka untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar kalah.

Saat mobilnya menjauh, Kinanthi berdiri menatap lampu belakang Suv hitam itu hingga hilang di tikungan jalan.

 Angin malam Batam menampar pipinya yang basah. Dan di dalam hatinya, ia berdoa, “Tuhan… jika dia bukan takdirku, tolong hilangkan rasa ini. Karena aku terlalu lemah untuk mencintainya sendirian.”

Di kamarnya malam itu, Jimmy duduk menatap cincin berlian di tangannya. Cahaya lampu meja kerja memantul di permukaannya yang jernih.

Tangannya bergetar. Ia menutup mata, mengingat senyum Kinanthi, suaranya yang lembut, matanya yang teduh.

Ia menaruh cincin itu kembali ke kotaknya, menutupnya perlahan. Dan di antara hening malam yang sunyi, terdengar desahan napasnya yang berat.

"Aku akan menikahimu, dear aku janji… tapi beri aku waktu. Sedikit lagi."

Namun ia tahu… waktu itu tidak pernah benar-benar ada.

Download MangaToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play