who iam

“Dear… aku cerita semua ini karena aku ingin jujur padamu aku mencintaimu tapi aku tidak bisa meninggalkan anak-anakku. Huynh… dia bukan siapa-siapa dalam hatiku. tapi dia ibu dari anakku.”

Air mata Kinanthi menetes. “Kalau begitu… aku siapa, Jimmy? aku tidak mau jadi orang ketiga aku tidak mau.”

Jimmy menatap matanya lama.

 “Kamu bukan orang ketiga kamu satu-satunya wanita yang benar-benar aku cintai,tapi aku minta waktu beri aku waktu untuk menyelesaikan semuanya.”

Kinanthi menarik tangannya perlahan. Ia berdiri menatap Jimmy dengan mata basah. “Aku tidak punya waktu, Jim. hidupku bukan permainan kalau memang kamu mencintaiku… pilih. nikahi aku atau lepaskan aku.”

Jimmy menatapnya, matanya memerah.

 “Aku tidak mau kehilanganmu.”

“Kalau begitu buktikan,” jawab Kinanthi sebelum melangkah masuk ke kamarnya.

Jimmy duduk menatap pintu kamar yang tertutup, dadanya sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa takut kehilangan sesuatu yang benar-benar berharga.

Malam itu, Jimmy duduk di mobilnya lama. Hujan turun membasahi kaca depan. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajah tampan, karisma yang menenangkan, senyum teduh semua itu topeng.

 Di baliknya, ia hanyalah pria egois dengan dua keluarga yang tak pernah bisa ia satukan.

Ia menyalakan mesin mobil, menatap satu kotak kecil di dashboard. Kotak cincin berlian. Ia berniat melamar Kinanthi hari itu.

Namun nyalinya hilang hidupnya terlalu kotor untuk gadis sebersih Kinanthi.

Mobilnya melaju perlahan meninggalkan kompleks rumah kontrakan itu ,dan di dalam hatinya, suara Kinanthi terus bergema

"Aku tidak mau jadi orang ketiga, hidupku bukan permainan."

Dan untuk pertama kalinya, Jimmy merasa… takut benar-benar kehilangan.

Dua hari setelah pertemuan emosional itu, Jimmy tidak menghubungi Kinanthi. Biasanya, pagi-pagi ia sudah mengirim pesan menanyakan kabar atau sekadar mengingatkan Kinanthi sarapan sebelum berangkat kerja.

Namun hari itu dan esoknya, ponsel Kinanthi sunyi. Hanya ada pesan-pesan tugas kerja dari admin kantor lain yang masuk, tanpa satu pun dari nama yang diam-diam mulai mengisi harinya.

Kinanthi berusaha menenangkan diri. Ia fokus bekerja, mengerjakan laporan harian dan memeriksa surat jalan vendor. Namun hatinya gelisah.

 Sesekali ia memandangi meja Jimmy dari jauh melalui kaca ruangannya. Meja itu kosong ,menurut rekan kerja, Jimmy sedang dinas luar ke Singapore mengurus kelengkapan project offshore terbaru.

Di rumah, saat malam tiba, Kinanthi duduk termenung menatap lampu belajar putranya yang menyala. Raffa tertidur di meja belajarnya, pensil warna masih tergenggam erat. Ia tersenyum kecil, mengangkat tubuh mungil itu ke ranjang, menyelimuti, lalu mencium keningnya dengan lembut.

 Namun saat itulah, air matanya jatuh satu per satu. Ia merasa lelah dengan hidup yang selalu menuntutnya kuat tanpa pernah memberinya ruang untuk menuntut balik.

Ponselnya berdering. Hatinya melompat saat melihat nama Jimmy di layar.

“Hello…” sapanya pelan, menahan rindu yang menyesakkan.

“Kinanthi…” suara Jimmy terdengar serak dan berat. “Kamu sibuk besok?,”

Kinanthi menelan ludah.

 “Tidak, kenapa?,”

“Temani aku ke Grand mall besok sore aku mau belanja sedikit kamu perlu sepatu baru, bukan?.”

Kinanthi terdiam, Jimmy selalu ingat hal-hal kecil tentangnya. Sepatu kerjanya memang mulai rusak.

Haknya goyah, warnanya pudar tapi ia terlalu banyak kebutuhan lain yang harus didahulukan dibanding membeli sepatu baru. Ia menahan haru.

 “Baik,” jawabnya pelan.

Esok sore mereka bertemu di lobi kantor. Jimmy mengenakan kemeja biru laut dengan celana bahan hitam. Wangi parfumnya menenangkan Kinanthi seperti biasa.

Mereka berjalan beriringan menuju mobilnya. Di perjalanan, Jimmy lebih banyak diam. Kinanthi menatap profil wajahnya yang tegas, alis hitam tebal, hidung mancung, dan garis rahang kokoh yang menambah karismanya. Namun di balik ketampanan itu, Kinanthi melihat sorot mata penuh beban.

Mereka tiba di Grand mall , Jimmy membelikannya sepasang sepatu kerja berwarna nude dengan hak sedang. “Agar kakimu tidak cepat pegal saat berdiri lama,” ujarnya singkat.

 Lalu mereka makan malam di sebuah restoran Vietnam menu Pho hangat dan harum rempah terhidang di depan mereka.

Saat itulah Jimmy menatap Kinanthi lama. “Aku minta maaf,” ucapnya pelan.

“Untuk apa?” tanya Kinanthi dengan suara bergetar, menahan tangis yang nyaris pecah sejak dua hari lalu.

“Untuk semua hal yang aku sembunyikan darimu tentang Huynh… tentang anakku di Vietnam aku tahu kamu pantas mendapatkan kejujuran sejak awal.”

Kinanthi menatap meja kayu di hadapannya. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Jimmy meraih tangannya.

“Aku beli ini di Singapore kemarin,” ujarnya sambil mengeluarkan sebuah kotak beludru biru tua dari tas kecil di samping kursinya.

Kinanthi menatap kotak itu dengan mata berkaca. Perlahan Jimmy membukanya, menampakkan sebuah cincin putih bertabur berlian kecil di tengahnya. cantik, berkelas, dan mahal.

Jimmy menatap matanya dalam.

“Aku ingin melamarmu, Kinanthi. aku ingin menepati janji ini."

 Tapi aku juga ingin kau tahu… aku masih perlu waktu,untuk menyelesaikan semua. untuk benar-benar bebas dari masa laluku.”

Kinanthi menahan napas ada rasa hangat dan sakit sekaligus di dadanya, cinta yang diiringi luka dan ketakutan. Ia menatap cincin itu, lalu menatap pria di hadapannya.

 Pria yang selama ini membuatnya merasa dicintai, namun di saat bersamaan membuatnya merasa paling rapuh dan tak berdaya.

“Jim…” suaranya bergetar,

“Aku tidak butuh cincin mahal aku hanya butuh kejujuranmu kepastianmu aku tidak bisa menikah dengan pria yang masih menyimpan janji untuk wanita lain.”

Jimmy menatapnya, matanya memerah.

“Aku janji akan menyelesaikan semua ini, dear beri aku waktu…”

Kinanthi menarik tangannya perlahan dari genggaman Jimmy. Ia menahan air matanya agar tak tumpah di hadapan banyak orang. Hatinya teriris.

 Ia tahu, Jimmy tulus mencintainya tapi ia juga tahu, ada bagian dari hidup Jimmy yang tidak akan pernah ia miliki sepenuhnya.

Sepanjang perjalanan pulang, mereka diam. Jimmy mengantar Kinanthi hingga depan rumahnya sebelum turun, Kinanthi menatapnya dengan mata basah.

“Jim, aku mencintaimu. tapi jika sampai akhir tahun ini kamu belum bisa memberi kepastian… aku akan pergi.”

Jimmy menahan napas, menatap wajah gadis itu lama. Dalam hatinya, ketakutan mulai merayap. Ia tahu, jika kehilangan Kinanthi, maka untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar kalah.

Saat mobilnya menjauh, Kinanthi berdiri menatap lampu belakang Suv hitam itu hingga hilang di tikungan jalan.

 Angin malam Batam menampar pipinya yang basah. Dan di dalam hatinya, ia berdoa, “Tuhan… jika dia bukan takdirku, tolong hilangkan rasa ini. Karena aku terlalu lemah untuk mencintainya sendirian.”

Di kamarnya malam itu, Jimmy duduk menatap cincin berlian di tangannya. Cahaya lampu meja kerja memantul di permukaannya yang jernih.

Tangannya bergetar. Ia menutup mata, mengingat senyum Kinanthi, suaranya yang lembut, matanya yang teduh.

Ia menaruh cincin itu kembali ke kotaknya, menutupnya perlahan. Dan di antara hening malam yang sunyi, terdengar desahan napasnya yang berat.

"Aku akan menikahimu, dear aku janji… tapi beri aku waktu. Sedikit lagi."

Namun ia tahu… waktu itu tidak pernah benar-benar ada.

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play