Hari berganti minggu kedekatan mereka menjadi perbincangan diam-diam di kantor. Kinanthi bukan gadis murahan.
Semua orang tahu ia baik, rajin, dan mandiri. Namun bagi Jimmy, rumor itu tak berarti apa-apa. Ia tetap menjemput Kinanthi pulang saat lembur, tetap membawakan kopi saat pagi, tetap menatap gadis itu dengan cara yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.
Suatu hari, saat break makan siang, Jimmy duduk di pantry perusahaan sendirian. Kinanthi yang masuk untuk mengambil air hangat kaget melihatnya. Ia menunduk, hendak segera pergi, namun Jimmy menahan.
“Sit down ,lunch with me.”
Kinanthi menatapnya ragu. “Sorry , Sir.i just finish my lunch.”
“Eat again.”
Nada Jimmy terdengar seperti perintah, namun senyum tipis di sudut bibirnya membuat Kinanthi menuruti.
Ia duduk, membuka kotak bekalnya berisi nasi, tumis kacang panjang, dan telur dadar. Jimmy menatap kotak bekal sederhana itu sebelum menghela napas pelan.
“Kinanthi…” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh dengung AC. “Do you… trust me?”
Pertanyaan itu membuat Kinanthi menoleh. “What you mean?.”
Jimmy menatap mejanya sendiri, menekuk jemarinya.
“Someday… I want to tell you everything. my past my pain my mistakes.”
Kinanthi menatap pria itu lama di balik karismanya, ada kesepian yang begitu nyata. Ada trauma yang menumpuk dalam diam. Ia tidak tahu apa, namun hatinya merasakan luka itu begitu dekat.
“Sure i'll wait till you ready for ,” jawabnya pelan.
Jimmy menoleh, menatap matanya dengan sorot tak terdefinisi perlahan senyum kecil terbentuk di bibirnya.
“Thank you.”
Malam itu, Jimmy duduk sendirian di apartemennya di daerah Nagoya. Ia memandang layar laptop, membaca email dari Huynh Tanh Lan yang dikirim dari Vietnam.
Wanita itu mengirimkan foto dua anak mereka yang sedang bermain ada catatan pendek:
“Michelle dan Aaron menunggu Papa pulang…”
Jimmy menutup laptopnya kasar, menghela napas panjang. matanya menerawang menembus jendela, menatap kelap-kelip lampu kota Batam.
Hatinya sakit hidupnya penuh kebohongan. Ia mencintai Kinanthi, gadis lembut yang membangkitkan sisi baiknya.
Namun ia juga tidak bisa meninggalkan Huynh Tanh Lan sepenuhnya. Wanita itu adalah ibu dari anak-anaknya, meski cinta mereka lahir dari manipulasi dan kebohongan.
Jimmy meneguk kopinya yang sudah dingin, menahan gemuruh dadanya,apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup ini? pikirnya.
Keesokan harinya, di kantor, Jimmy menghampiri meja Kinanthi membawa paper bag kecil berisi kotak perhiasan elegan. Ia menaruhnya di atas mejanya sebelum gadis itu sempat protes.
“What is this, Sir?”
“Little present,” jawab Jimmy singkat.
“But … for what?,” Kinanthi menatapnya dengan mata berkaca-kaca, Jimmy menatap balik, matanya sendu.
“Untuk semua yang sudah kamu lakukan… dan untuk semua yang akan kamu lakukan.”
Hadiah itu hanyalah awal. Setelahnya, Jimmy mulai menghujani Kinanthi dengan hadiah-hadiah lain parfum mahal, tas branded, bahkan satu kali ia membayar biaya sekolah Putra Kinanthi tanpa sepengetahuannya.
Bagi Jimmy, itu caranya menebus rasa bersalah. Namun bagi Kinanthi, semua itu menimbulkan dilema.
Ia takut takut bahwa dirinya akan terjerat terlalu dalam oleh pria yang hatinya belum sepenuhnya ia pahami.
Dan tanpa ia sadari, di sinilah sayapnya mulai terluka pelan, namun pasti.
Hari Minggu itu, Kinanthi duduk di ruang tamunya yang sempit. Ia memandangi kotak perhiasan pemberian Jimmy di atas meja.
Kilau emas putih di dalamnya memantul menembus kaca jendela, seakan mengejek hidupnya yang sederhana. Ia menghela napas, menatap Putranya yang sedang menonton kartun di lantai sambil tertawa riang. ada rasa takut menggerogoti hatinya. Semua ini terlalu cepat, terlalu mewah, dan terlalu menakutkan.
Ponselnya berdering. Nama Jimmy muncul di layar. Dengan ragu, Kinanthi mengangkat.
“Hello, dear,” suara berat itu terdengar lembut. “Are you home today?,”
“Yess i'm at home what i can help?.”
“Boleh aku mampir sebentar, aku ada oleh-oleh untuk Raffa .”
Kinanthi menatap anaknya Raffa menoleh dan bertanya dengan polos, “Siapa, Bu?.”
“Pak Jimmy Bos Ibu di kantor ,” jawabnya pelan, menutup telepon.
Kurang dari satu jam, Suv hitam Jimmy sudah terparkir di depan rumah kontrakannya. Pria itu turun dengan kaos polo abu-abu dan celana jeans gelap, tampak santai tapi tetap berwibawa.
Ia membawa kantong kertas besar berlogo Toys Kingdom. Raffa menatap matanya, menjerit kecil saat Jimmy mengeluarkan robot mainan berwarna biru metalik.
“Untuk kamu, Raffa,” ucap Jimmy sambil mengelus kepala bocah itu lembut. Mata Rafda berbinar. Ia segera berlari ke kamarnya, memamerkan mainan barunya.
Kinanthi menatap Jimmy, menahan rasa haru sekaligus takut yang menyesakkan dada. Jimmy menatap sekeliling ruang tamu kecil itu tembok kusam, sofa tua, dan rak buku penuh novel lawas.
Hatinya seperti diremas betapa gadis ini berjuang keras, namun tetap bertahan dengan penuh harga diri.
“Kinanthi,” panggilnya pelan. Suaranya terdengar lelah. “Boleh aku duduk?”
Kinanthi mengangguk Jimmy duduk di sofa, menatap tangannya sendiri lama sebelum berkata, “Aku ingin cerita tentang masa laluku.”
Kinanthi menegakkan punggung, berusaha menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. Jimmy menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.
“Dulu aku menikah dengan Linda. Kami punya seorang anak laki-laki bernama Alex. Tapi pernikahan kami… berantakan.
Linda berselingkuh dengan rekan kantornya sendiri. aku marah, sakit hati, dan saat itu… aku tidak tahu caranya menenangkan diri. Aku pergi ke bar, ke night club, mencoba melupakan semua.”
Jimmy menatap mata Kinanthi, mencari pengertian di sana. Kinanthi diam, mendengarkan.
“Di sana aku bertemu seorang wanita Vietnam namanya Huynh Tanh Lan. Awalnya dia hanya lady escort.
Tapi dia mendengarkan semua ceritaku. Tentang Linda, tentang anakku, tentang hidupku yang hancur. dia membuatku merasa… dihargai.”
Jimmy berhenti, menunduk. Matanya berkaca-kaca. “Aku membayarnya hanya untuk duduk menemaniku bercerita. Lama-lama aku kasihan padanya, dia bilang dia korban trafficking, terpaksa bekerja di sana untuk membayar hutang.
Aku menolongnya, menyewakan apartemen, memberinya kehidupan yang layak.”
Kinanthi menatap tangannya sendiri. Hatinya terasa berat. Jimmy melanjutkan dengan suara serak.
“Suatu malam, dia bilang ingin tidur bersamaku tanpa pengaman. Katanya dia mandul karena pernah kecelakaan motor parah di kampungnya.
Aku bodoh, Kinanthi. Aku percaya begitu saja dua minggu kemudian, dia bilang hamil.”
Jimmy mengusap wajahnya kasar.
“Aku marah. Aku minta dia aborsi. Tapi dia menolak, mengancam bunuh diri. Orang tuaku di Singapore suka padanya. Akhirnya… aku menyerah.
Tapi aku belum cerai dengan Linda, jadi aku minta dia pulang melahirkan di Vietnam. Sekarang dia punya anak dariku.”
Kinanthi hanya diam menutup mulutnya, menahan tangis seluruh tubuhnya bergetar Jimmy menggenggam tangannya erat
“
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 8 Episodes
Comments