Jurnal Kanopi

Jurnal Kanopi

1. Bocah Yang Kembali

"Dek, cepat pulang! Sudah jam berapa ini?"

"Nanti dulu, Bu! Tanggung. Satu gol lagi."

"Nanti kapan? Sudah mau magrib. Anak-anak yang lain juga mau pulang."

"Ah, Ibu! Aku hampir menang. Sebentar lagi ya!"

"Pulang enggak! Cepat! Jangan sampai Ibu samperin kamu ke sana!"

Sudah semakin sore, segalanya mulai terlihat semu kemerahan. Kabut tipis-tipis sudah turun dari atas bukit, semilir angin berembus membawakan hawa dingin, dan burung layang-layang beterbangan kembali ke sarangnya.

Orang-orang menyebutnya sandekala, yaitu pergantian antara siang dan malam. Waktu di mana makhluk halus sedang berkeliaran. Waktu yang tidak tepat bagi anak-anak untuk berada di luar rumah, terutama bagi mereka yang tinggal di Desa Jatimerah.

Para orang tua menjemput anak-anaknya yang sedang bermain bola di lapangan, atau bermain layangan di tepi sawah. Kadang sampai harus ditarik dengan paksa, digendong, dipukul dulu sampai menangis.

Bagi kebanyakan orang, mungkin senja adalah waktu yang paling indah. Langit berubah jingga keemasan, lampu-lampu teras mulai dinyalakan, seolah dunia sedang menyuguhkan suasana romantis alami. Bahkan tidak jarang sajak dan lagu-lagu cinta ditulis dengan latar senja.

Tapi bagi masyarakat Desa Jatimerah, senja adalah sebuah alarm. Bagaikan sirine yang menjadi tanda peringatan, untuk anak kecil agar lekas pulang, dan untuk para orang tua untuk segera menjemputnya jika mereka belum kembali.

Selama beberapa saat kondisi jalan utama dipenuhi oleh anak-anak yang menangis dan bertengkar dengan penjemputnya. Ada yang mencoba melarikan diri, tapi satu tatapan melotot dari sang Ibu langsung membuat anak itu ciut, dan ujung-ujungnya hanya bisa menangis frustasi. Mau tidak mau harus menuruti untuk pulang.

Dan di akhir semua itu, suasana jalan, sawah, dan lapangan kini benar-benar sepi. Semua anak sudah berada di dalam rumahnya masing-masing. Hanya tersisa suara jangkrik dan kodok yang nyaring bersahut-sahutan.

Matahari menghilang di balik Gunung Parinduan yang menjulang di ufuk barat. Dan perlahan-lahan kegelapan pun menyelimuti langit yang merah padam.

Tapi di kejauhan seorang lelaki paruh baya terlihat sedang berjalan terburu-buru. Bentuk kedua kakinya yang abnormal sejak lahir membuatnya tidak bisa berlari. Dia hanya bisa berjalan terpincang-pincang menyeret sandalnya di atas aspal.

Warga sekitar mengenalnya sebagai Mang Sarna. Dia adalah orang yang selalu hadir di pos ronda, untuk bermain karambol atau sekadar berbincang santai. Dia juga orang yang biasa dipanggil untuk memijat atau membetulkan peralatan elektronik.

Tapi kali ini kelihatannya bukan itu tujuan Mang Sarna. Dari raut mukanya, tampaknya ada sesuatu yang sangat genting. Lelaki itu terlihat sangat gelisah dan napasnya terengah-engah. Ada sesuatu yang buru-buru ingin dia sampaikan kepada seseorang.

"Pak Dirga! Assalamu'alaikum! Pak!" panggil Mang Sarna di depan kediaman keluarga Pak Dirga. Butuh beberapa ketukan sampai seseorang akhirnya membukakan pintu.

"Iya, Mang Sarna. Ada apa?" Bu Marni menyembul dari balik pintu sambil mengernyitkan dahi.

"Bu Marni, cepat ke mushola sekarang juga, Bu! Ibu dan Bapak sudah ditunggu!" jelasnya dengan napas ngos-ngosan.

"Ada apa, Mang? Ditunggu oleh siapa? Kenapa? Coba tenang, ceritakan dulu."

"Aksa, Bu! Si Aksa ketemu!"

Mendengar nama itu disebut, Bu Marni seperti kehilangan napas sesaat. Pupil matanya membesar dan tubuhnya serasa mau jatuh.

"Aksa ditemukan barusan sekali. Sekarang dia ada di mushola bersama Pak Ustadz dan yang lain," lanjut Mang Sarna lagi.

Bu Marni hanya diam dengan wajah shock. Tapi kemudian tangannya melakukan gestur memanggil-manggil ke dalam rumah, menyeru suaminya. "Pah! Pah! Aksa, Pah!"

Pak Dirga muncul dari dalam rumah dengan wajah kebingungan. "Ada apa sih, Mah? Jam segini teriak-teriak?"

"Aksa ketemu, Pah! Ya Allah! Aksa ketemu!" Bu Marni langsung memeluk suaminya dengan berurai air mata. Yang dipeluk butuh waktu beberapa saat untuk memproses. Setelah sadar dengan apa yang terjadi, dia pun bergegas mengeluarkan sepeda motor.

Sudah masuk waktu maghrib, tapi tidak ada suara adzan yang terdengar dari mushola. Langit semakin gelap. Pak Dirga dan Bu Marni meluncur menggunakan sepeda motor di jalanan yang sepi.

Sepanjang perjalanan Bu Marni tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan. Air mata mengalir tak terkendali. Ada rasa syukur, gelisah, senang, dan takut yang bercampur aduk. Dia masih tidak percaya anaknya yang sudah satu tahun lebih menghilang sekarang telah ditemukan.

Pak Dirga sama gelisahnya. Ada banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya, tapi dia berusaha mengendalikan diri. Dia sudah tidak sabar untuk segera melihat dengan matanya sendiri dan menjawab semua pertanyaan itu.

Tidak sampai lima menit mereka tiba di mushola tujuan. Di sana ternyata sudah ramai oleh para warga yang berkerumun ingin melihat.

"Kasih jalan! Kasih jalan!" teriak seorang pengurus mushola begitu melihat kedua orang tua Aksa turun dari motor. Warga yang berkumpul segera membuka jalan.

Pak Dirga dan Bu Marni masuk. Dan di dalam sana mereka melihatnya, Aksa kecil berumur tiga tahun, anaknya yang telah lama hilang, sedang duduk terdiam di atas karpet hijau.

Tangis keduanya semakin tak terbendung. Mereka spontan berlari dan memeluk anak itu. Suasana di mushola seketika menjadi haru. Para warga yang menyaksikan pun ikut larut dalam keharuan. Namun lebih dari itu, mereka semua sangat kebingungan.

"Kok bisa ya?" bisik salah satu warga kepada yang lain.

"Apanya?"

"Anak yang sudah satu tahun lebih menghilang, tiba-tiba muncul begitu saja dalam keadaan sehat wal afiat, tanpa luka dan kelaparan."

Yang diajak bicara terlihat sama bingungnya. "Memang anaknya ketemu di mana?"

"Persis di depan mushola ini."

"Serius? Kok bisa?"

"Ya mana aku tahu."

Lalu warga yang lain bergabung dalam disukusi bisik-bisik tersebut. "Kalau dipikir-pikir, sebetulnya anak ini tidak pernah ditemukan, karena kita sudah berhenti mencarinya sejak lama."

Dua orang yang mendengarkan terlihat makin bingung. Orang itu pun melanjutkan penjelasannya.

"Kalau soal anak yang hilang ini, semuanya sudah pasrah. Dulu saat pertama kali hilang kita sudah mencarinya enam bulan penuh, tapi tidak ketemu juga. Setelah itu tidak ada pencarian lagi. Artinya, anak ini tidak ditemukan. Tapi dia dikembalikan oleh yang dulu telah mengambilnya."

"Memang siapa yang mengambilnya?"

"Menurutmu?"

"Makhluk halus?"

"Sssttt!"

Obrolan mereka dihentikan oleh warga yang lain, khawatir Pak Dirga dan Bu Marni mendengar.

Semua yang hadir di sana diliputi banyak pertanyaan, dan tentunya kejadian ini akan mejadi bahasan ibu-ibu di warung maupun bapak-bapak di pos ronda selama beberapa bulan, bahkan mungkin beberapa tahun ke depan.

Sementara itu, Aksa si anak yang kembali hanya terdiam sedari tadi. Kedua orang tuanya sedang memeluk sambil sesenggukan, tapi dia tetap membisu. Tidak ada tangis maupun tawa darinya.

Matanya memandang tajam ke luar jendela, di mana seorang wanita berambut panjang terlihat sedang melayang-layang di udara, lalu tersenyum kecil kepadanya, sebelum akhirnya menghilang di balik kabut.

***

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play