"Dek, cepat pulang! Sudah jam berapa ini?"
"Nanti dulu, Bu! Tanggung. Satu gol lagi."
"Nanti kapan? Sudah mau magrib. Anak-anak yang lain juga mau pulang."
"Ah, Ibu! Aku hampir menang. Sebentar lagi ya!"
"Pulang enggak! Cepat! Jangan sampai Ibu samperin kamu ke sana!"
Sudah semakin sore, segalanya mulai terlihat semu kemerahan. Kabut tipis-tipis sudah turun dari atas bukit, semilir angin berembus membawakan hawa dingin, dan burung layang-layang beterbangan kembali ke sarangnya.
Orang-orang menyebutnya sandekala, yaitu pergantian antara siang dan malam. Waktu di mana makhluk halus sedang berkeliaran. Waktu yang tidak tepat bagi anak-anak untuk berada di luar rumah, terutama bagi mereka yang tinggal di Desa Jatimerah.
Para orang tua menjemput anak-anaknya yang sedang bermain bola di lapangan, atau bermain layangan di tepi sawah. Kadang sampai harus ditarik dengan paksa, digendong, dipukul dulu sampai menangis.
Bagi kebanyakan orang, mungkin senja adalah waktu yang paling indah. Langit berubah jingga keemasan, lampu-lampu teras mulai dinyalakan, seolah dunia sedang menyuguhkan suasana romantis alami. Bahkan tidak jarang sajak dan lagu-lagu cinta ditulis dengan latar senja.
Tapi bagi masyarakat Desa Jatimerah, senja adalah sebuah alarm. Bagaikan sirine yang menjadi tanda peringatan, untuk anak kecil agar lekas pulang, dan untuk para orang tua untuk segera menjemputnya jika mereka belum kembali.
Selama beberapa saat kondisi jalan utama dipenuhi oleh anak-anak yang menangis dan bertengkar dengan penjemputnya. Ada yang mencoba melarikan diri, tapi satu tatapan melotot dari sang Ibu langsung membuat anak itu ciut, dan ujung-ujungnya hanya bisa menangis frustasi. Mau tidak mau harus menuruti untuk pulang.
Dan di akhir semua itu, suasana jalan, sawah, dan lapangan kini benar-benar sepi. Semua anak sudah berada di dalam rumahnya masing-masing. Hanya tersisa suara jangkrik dan kodok yang nyaring bersahut-sahutan.
Matahari menghilang di balik Gunung Parinduan yang menjulang di ufuk barat. Dan perlahan-lahan kegelapan pun menyelimuti langit yang merah padam.
Tapi di kejauhan seorang lelaki paruh baya terlihat sedang berjalan terburu-buru. Bentuk kedua kakinya yang abnormal sejak lahir membuatnya tidak bisa berlari. Dia hanya bisa berjalan terpincang-pincang menyeret sandalnya di atas aspal.
Warga sekitar mengenalnya sebagai Mang Sarna. Dia adalah orang yang selalu hadir di pos ronda, untuk bermain karambol atau sekadar berbincang santai. Dia juga orang yang biasa dipanggil untuk memijat atau membetulkan peralatan elektronik.
Tapi kali ini kelihatannya bukan itu tujuan Mang Sarna. Dari raut mukanya, tampaknya ada sesuatu yang sangat genting. Lelaki itu terlihat sangat gelisah dan napasnya terengah-engah. Ada sesuatu yang buru-buru ingin dia sampaikan kepada seseorang.
"Pak Dirga! Assalamu'alaikum! Pak!" panggil Mang Sarna di depan kediaman keluarga Pak Dirga. Butuh beberapa ketukan sampai seseorang akhirnya membukakan pintu.
"Iya, Mang Sarna. Ada apa?" Bu Marni menyembul dari balik pintu sambil mengernyitkan dahi.
"Bu Marni, cepat ke mushola sekarang juga, Bu! Ibu dan Bapak sudah ditunggu!" jelasnya dengan napas ngos-ngosan.
"Ada apa, Mang? Ditunggu oleh siapa? Kenapa? Coba tenang, ceritakan dulu."
"Aksa, Bu! Si Aksa ketemu!"
Mendengar nama itu disebut, Bu Marni seperti kehilangan napas sesaat. Pupil matanya membesar dan tubuhnya serasa mau jatuh.
"Aksa ditemukan barusan sekali. Sekarang dia ada di mushola bersama Pak Ustadz dan yang lain," lanjut Mang Sarna lagi.
Bu Marni hanya diam dengan wajah shock. Tapi kemudian tangannya melakukan gestur memanggil-manggil ke dalam rumah, menyeru suaminya. "Pah! Pah! Aksa, Pah!"
Pak Dirga muncul dari dalam rumah dengan wajah kebingungan. "Ada apa sih, Mah? Jam segini teriak-teriak?"
"Aksa ketemu, Pah! Ya Allah! Aksa ketemu!" Bu Marni langsung memeluk suaminya dengan berurai air mata. Yang dipeluk butuh waktu beberapa saat untuk memproses. Setelah sadar dengan apa yang terjadi, dia pun bergegas mengeluarkan sepeda motor.
Sudah masuk waktu maghrib, tapi tidak ada suara adzan yang terdengar dari mushola. Langit semakin gelap. Pak Dirga dan Bu Marni meluncur menggunakan sepeda motor di jalanan yang sepi.
Sepanjang perjalanan Bu Marni tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan. Air mata mengalir tak terkendali. Ada rasa syukur, gelisah, senang, dan takut yang bercampur aduk. Dia masih tidak percaya anaknya yang sudah satu tahun lebih menghilang sekarang telah ditemukan.
Pak Dirga sama gelisahnya. Ada banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya, tapi dia berusaha mengendalikan diri. Dia sudah tidak sabar untuk segera melihat dengan matanya sendiri dan menjawab semua pertanyaan itu.
Tidak sampai lima menit mereka tiba di mushola tujuan. Di sana ternyata sudah ramai oleh para warga yang berkerumun ingin melihat.
"Kasih jalan! Kasih jalan!" teriak seorang pengurus mushola begitu melihat kedua orang tua Aksa turun dari motor. Warga yang berkumpul segera membuka jalan.
Pak Dirga dan Bu Marni masuk. Dan di dalam sana mereka melihatnya, Aksa kecil berumur tiga tahun, anaknya yang telah lama hilang, sedang duduk terdiam di atas karpet hijau.
Tangis keduanya semakin tak terbendung. Mereka spontan berlari dan memeluk anak itu. Suasana di mushola seketika menjadi haru. Para warga yang menyaksikan pun ikut larut dalam keharuan. Namun lebih dari itu, mereka semua sangat kebingungan.
"Kok bisa ya?" bisik salah satu warga kepada yang lain.
"Apanya?"
"Anak yang sudah satu tahun lebih menghilang, tiba-tiba muncul begitu saja dalam keadaan sehat wal afiat, tanpa luka dan kelaparan."
Yang diajak bicara terlihat sama bingungnya. "Memang anaknya ketemu di mana?"
"Persis di depan mushola ini."
"Serius? Kok bisa?"
"Ya mana aku tahu."
Lalu warga yang lain bergabung dalam disukusi bisik-bisik tersebut. "Kalau dipikir-pikir, sebetulnya anak ini tidak pernah ditemukan, karena kita sudah berhenti mencarinya sejak lama."
Dua orang yang mendengarkan terlihat makin bingung. Orang itu pun melanjutkan penjelasannya.
"Kalau soal anak yang hilang ini, semuanya sudah pasrah. Dulu saat pertama kali hilang kita sudah mencarinya enam bulan penuh, tapi tidak ketemu juga. Setelah itu tidak ada pencarian lagi. Artinya, anak ini tidak ditemukan. Tapi dia dikembalikan oleh yang dulu telah mengambilnya."
"Memang siapa yang mengambilnya?"
"Menurutmu?"
"Makhluk halus?"
"Sssttt!"
Obrolan mereka dihentikan oleh warga yang lain, khawatir Pak Dirga dan Bu Marni mendengar.
Semua yang hadir di sana diliputi banyak pertanyaan, dan tentunya kejadian ini akan mejadi bahasan ibu-ibu di warung maupun bapak-bapak di pos ronda selama beberapa bulan, bahkan mungkin beberapa tahun ke depan.
Sementara itu, Aksa si anak yang kembali hanya terdiam sedari tadi. Kedua orang tuanya sedang memeluk sambil sesenggukan, tapi dia tetap membisu. Tidak ada tangis maupun tawa darinya.
Matanya memandang tajam ke luar jendela, di mana seorang wanita berambut panjang terlihat sedang melayang-layang di udara, lalu tersenyum kecil kepadanya, sebelum akhirnya menghilang di balik kabut.
***
Pagi-pagi sekali anak itu sudah terpaku di tepi jalan di depan rumah, hanya untuk menghirup udara segar dan menikmati panorama alam khas pedesaan yang indah nan asri. Matahari masih bersembunyi di balik siluet jalur perbukitan, tapi kondisi jalan utama sudah cukup ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang.
"Mau ke sawah ya, Pak?" sapa anak itu seraya menyengir lebar, memperlihatkan susunan gigi depannya yang ompong sebagian.
"Iya, Nak Aksa, bapak mau bersih-bersih sawah, sudah banyak rumput liarnya," jawab si petani. "Kamu sendiri lagi apa? Mau lari pagi?"
"Enggak. Aku cuma mau lihat-lihat pemandangan aja."
Aksa berusaha menyapa semua orang yang lewat. Para petani bertopi kerucut, penggembala kambing dan kerbau, bapak-bapak yang baru pulang dari mushola, hingga penjaga sekolah yang sedang menyapu sampah dedunan. Orang-orang tampak bersemangat pagi ini.
Kendati begitu, ada juga beberapa orang lewat yang terlihat berbisik-bisik satu sama lain sambil melirik curiga kepada Aksa, membuat anak itu merasa canggung. Tapi dia berusaha untuk tetap menyapa sambil tersenyum.
Lalu serombongan anak-anak yang sedikit lebih tua darinya berjalan melintas, sepertinya habis melakukan lari pagi bersama. Mereka semua menatap Aksa dengan mata yang memicing.
Aksa melambaikan tangan sambil mengucap "halo", namun sekonyong-konyong mereka semua lari tunggang langgang. Sebagian sambil berteriak, sebagian lagi sambil tertawa, dan sisanya yang lebih kecil di antara yang lain kelihatan hampir menangis. Aksa hanya bisa terdiam keheranan melihat hal itu.
Suara pintu yang dibuka terdengar dari arah rumah. Aksa cepat-cepat menoleh dengan cemas. Dilihatnya di depan pintu, sudah ada Bu Marni yang sedang berdiri sambil memasang wajah seram.
"Aksa! Cepat masuk!" serunya.
"I-Iya, Mah!" jawab Aksa gelagapan. Tanpa berpikir lagi anak itu bergegas lari ke dalam rumah sambil menunduk, tidak berani jika harus bertatapan dengan Mamahnya.
"Habis ngapain kamu?" tanya Bu Marni dengan nada tegas.
"Cuma lihat-lihat pemandangan kok."
"Kenapa tidak bilang-bilang Mamah dulu?"
Aksa tidak menjawab. Dia memilih untuk pindah ke ruang keluarga, mengambil remote dan menyalakan TV. Berpura-pura fokus menonton apapun yang sedang tampil di layar kaca. Padahal di dalam hatinya dia menggerutu, "Tentu saja kalau aku bilang-bilang Mamah dulu, dia pasti akan bawel, dan ujung-ujungnya malah tidak akan mengizinkan."
Bu Marni matanya melotot seram, masih menunggu jawaban dari anaknya. "Aksa? Kenapa kamu tidak izin ke Mamah dulu?"
"Aku cuma diam di depan kok, Mah. Enggak ke mana-mana!" suaranya lirih bercampur kesal.
"Tetap saja kamu keluar rumah tanpa izin. Mamah panggil dari tadi kamu tidak menyahut juga, ternyata malah ke luar. Kalau Mamah biarkan nanti kamu pasti keterusan, keluyuran seenaknya. Iya kan?"
Aksa terus menatap televisi. Wajahnya menyiratkan perasaan kesal sekaligus sedih. Ingin sekali dia membantah, tapi mulutnya tetap terkunci. Rasanya apapun yang akan dia katakan, mamanya tidak akan percaya. Seperti yang sudah-sudah.
"Jangan begitu lagi! Dengar tidak?" seru Bu Marni, menunggu konfirmasi.
"Iya!" Aksa menjawab dengan suara bergetar dan setengah marah. Bu Marni hanya menghela napas, kemudian pergi ke dapur untuk mempersiapkan sarapan pagi.
Sudah empat tahun sejak Aksa kembali. Lambat laun warga Desa Jatimerah mulai mengurangi intensitasnya untuk membicarakan hal itu lagi. Para tetangga tidak lagi menginterogasi setiap kali bertemu Bu Marni di tukang sayur atau di tempat pengajian. Walaupun begitu, tidak ada yang benar-benar sudah melupakannya.
Banyak teori dan rumor yang berkembang di masyarakat seputar apa yang terjadi kepada bocah itu semasa menghilang. Bagaimana dia bisa bertahan hidup. Siapa yang mengurusnya semasa dia hilang.
Lama-lama Bu Marni muak juga mendengarnya. Kalau ibu-ibu yang lain sedang membahasnya dia suka buru-buru mengganti topik, atau kadang langsung pergi begitu saja.
Pernah suatu hari sekelompok anak kecil sedang bermain kelereng di area tanah kosong di samping rumah. Bu Marni yang baru pulang dari warung tidak sengaja mendengar percakapan mereka.
"Kalian tahu enggak?" tanya seorang anak memulai obrolan.
"Tahu apa?"
"Anak yang tinggal di rumah itu," ujarnya sambil menunjuk ke rumah Bu Marni.
"Si Aksa?"
"Iya. Bapakku bilang, dulu dia pernah diculik wewe gombel."
"Eh! Aku juga pernah dengar dari tanteku!" sambar yang lain.
"Itu beneran atau enggak ya?"
"Enggak tahu juga sih. Tapi aku pernah melihat sesuatu yang aneh sewaktu ketemu dia." Satu anak lagi ikut bicara, yang lainnya serius mendengarkan.
"Aneh bagaimana?"
"Jadi waktu itu aku dan abangku lagi mau solat subuh ke mushola, jalannya lewat sini. Nah ternyata di pinggir jalan ada si Aksa lagi diam sendirian."
"Ngapain dia subuh-subuh sendirian di depan rumah?"
"Mana aku tahu. Itu saja sudah aneh, bukan? Tapi yang aku lihat selanjutnya lebih aneh."
"Apa?"
"Sewaktu dia nengok ke aku―ini aku enggak bohong lho ya―aku melihat mata dia menyala. Percaya enggak?"
"Hah? Maksudnya? Kayak kucing, gitu?"
"Kayak setan! Eh, terus habis itu dia malah senyum ke aku dan abangku. Serem banget."
Mendengar itu Bu Marni langsung geram. Wajahnya memerah, lalu dengan serta merta dia menghampiri anak-anak tadi dan menendang semua kelereng yang sedang terkumpul di tanah sampai berhamburan ke mana-mana. Anak-anak itu diusirnya sambil marah-marah. Mereka pun lari ketakutan.
Beberapa tahun belakangan ini sangat melelahkan baginya. Belum lagi Aksa yang beranjak besar semakin sulit untuk dikontrol. Melihat anak-anak seusianya main di luar, bermain layangan, lari-larian di bawah hujan, dia juga ingin seperti mereka. Tapi Bu Marni belum berani.
Dia merasa hilangnya Aksa lima tahun yang lalu adalah kesalahannya, dan dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Sekarang anak semata wayangnya itu telah kembali, dia akan melakukan apapun untuk melindunginya, sekalipun harus mengorbankan kebebasannya.
Di usia tujuh tahun, anak-anak sepantarannya sudah masuk sekolah dasar. Bahkan sudah ada yang mulai sejak tahun lalu. Tapi Aksa sama sekali belum mempersiapkan sekolah, karena lagi-lagi, Bu Marni belum siap.
Padahal SDN 1 Jatimerah berada tepat di seberang rumah. Setiap hari Aksa dapat menyaksikan anak-anak yang pulang-pergi.
Saat mereka sedang melakukan senam pagi, musiknya dapat terdengar sampai ke rumah. Terkadang Aksa suka mengikuti gerakan senam sambil menonton lewat jendela kamar.
Sepertinya menyenangkan bisa sebebas itu. Bermain, bersenang-senang dengan teman sambil menikmati udara pagi, tapi mamanya pasti tidak akan mengizinkan.
Pernah suatu hari ketika di desanya sedang diselenggarakan pertandingan voli antar dusun, Aksa ingin sekali menontonnya bersama warga yang lain.
"Mah, aku mau ke depan ya."
"Ngapain?"
"Mau lihat yang main voli."
"Enggak usah. Itu orang dewasa semua yang menonton. Lagian kan ini sudah mau sore. Jangan ke luar lagi!"
"Tapi, Mah―"
"Huss, sudah diam! Mendingan kamu sekarang mandi sana! Sudah mau jam 4."
Atau di lain kesempatan, saat Aksa melihat Papahnya bersiap untuk berangkat solat maghrib berjamaah.
"Mah, aku mau ikut Papah ya."
"Mau ke mana?"
"Ikut solat magrib di mushola."
"Jangan, kamu solat di rumah saja. Di sana juga kamu pasti malah bercanda nantinya, bukannya ngaji."
"Enggak kok, Mah. Aku mau belajar ngaji. Sumpah."
"Kamu belajar ngajinya nanti saja sama Papah setelah pulang. Biar lebih fokus."
Atau suatu hari ketika ada arak-arakan kuda lumping yang berkeliling kampung.
"Mah, Mah! Aku mau lihat kuda lumping!"
"Enggak! Kamu enggak lihat itu ramai sekali di jalan? Nanti kalau ada apa-apa sama kamu gimana?"
"Kalau begitu Mamah juga ikut, dong."
"Ya ampun, itu di luar panas sekali, Aksa! Siang bolong begini kelayapan di jalanan."
"Ah, Mamah! Tapi aku mau nonton kuda lumping!"
"Ini anak susah sekali dikasih tahu. Kamu tahu enggak, kuda lumping itu di dalamnya ada setannya. Terus kamu malah mau nonton. Nanti kamu kesurupan baru tau rasa."
"Pokoknya aku mau nonton kuda lumping!"
"Kok malah ngotot sih? Masuk kamar enggak? Cepat!"
"Mamah begitu terus! Ini enggak boleh, itu enggak boleh!"
"Aksara Andini! Kamu ini dikasih tahu orang tua malah melawan. Mulai berani sama Mamahnya ya? Mau masuk neraka kamu?"
Aksa tidak pernah berhasil membuat keteguhan mamanya luluh. Setiap memberikan alasan pasti langsung dipatahkan, ujung-ujungnya dibilang anak durhaka dan lain sebagainya. Dia sama sekali tidak diberi ruang untuk berbicara. Aksa merasa sedih sekaligus marah.
Namun di antara semua itu, ada satu kejadian yang paling dia ingat. Aksa merasa ini adalah kejadian yang membuat mamanya memantapkan diri untuk tidak pernah lagi membiarkannya pergi ke luar. Tapi kejadian ini pulalah yang semakin menguatkan keinginan Aksa untuk menjelajahi dunia di luar rumahnya.
Pada suatu malam malam yang sepi, semua orang di rumah sudah tertidur. Namun Aksa tiba-tiba saja terbangun karena matanya mendadak terasa sangat dingin.
Dengan cepat dia langsung mengucek-ngucek matanya yang sedingin es itu. Meniup-niup tangannya, kemudian mengusapkannya lagi di kedua kelopak matanya itu, berusaha menghangatkannya.
Rasanya dia baru saja bermimpi tentang sesuatu yang sangat aneh, dan efeknya masih terbawa sampai ketika dia sudah terbangun. Tapi dia sama sekali tidak bisa mengingat mimpi itu lagi. Akhirnya anak itu pun bersikap masa bodo.
Aksa menengok ke arah jam dinding yang jarumnya berdetak keras. Baru pukul 1 dini hari. Suara jangkrik terdengar nyaring di luar.
Untuk suatu alasan, entah kenapa sekarang tenggorokannya terasa kering. Dia lantas bangkit dari kasurnya dan berjalan dengan terkantuk-kantuk menuju dapur yang berada di bagian belakang rumah.
Aksa membuka pintu dapur, bermaksud untuk mengambil gelas di rak. Tapi seketika saja langkahnya terhenti ketika dia melihat sesuatu yang ada di depannya.
Sesosok makhluk pendek―tingginya mungkin cuma sebetis orang dewasa―terlihat sedang mengacak-ngacak makanan di kulkas.
Awalnya Aksa mengira itu adalah seekor kucing. Dia baru saja bersiap untuk mengeluarkan suara usiran, tapi kemudian makhluk itu mengambil agar-agar dari kulkas, lalu memasukkannya ke dalam mulut menggunakan kedua tangan layaknya manusia.
Spontan Aksa mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba memperhatikan lagi sesuatu di hadapannya itu dengan lebih jelas.
Makhluk itu posturnya seperti bayi yang sudah bisa berdiri dengan tegak, tetapi seluruh tubuhnya ditutupi bulu layaknya binatang buas. Aksa bisa melihat sepasang taring saat makhluk itu sedang memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Telinganya besar dan lancip. Hidungnya seperti hidung babi. Selain itu dia juga kelihatan memakai tas selempang yang terbuat dari kulit binatang.
Aksa terkesiap saat menyadari betapa janggalnya makhluk itu. Jantungnya seketika berdebar kencang.
"Apa jangan-jangan aku masih bermimpi?" pikirnya.
Untuk mengeceknya, anak itu pun mencubit pipinya sendiri dengan keras. Terlalu keras bahkan, sampai-sampai mulutnya spontan melontarkan kata "aduh" dengan cukup kencang.
Tentu saja makhluk pendek itu mendengarnya. Dia langsung menoleh dengan cepat ke arah Aksa yang sedang mengusap-usap pipi sambil menatap terpaku kepadanya.
Menyadari keberadaannya diketahui, makhluk itu buru-buru mengambil semua makanan yang dapat dia tampung di dalam tasnya, kemudian berlari terbirit-birit ke arah belakang dapur, memanjat ke atas meja, lalu melompat ke luar jendela yang ternyata sudah terbuka sejak tadi.
Melihat pergerakan dari makhluk itu yang tiba-tiba, Aksa spontan melangkah mundur hingga terjatuh dalam posisi duduk. Kemudian dia hanya terdiam. Otaknya seperti shock dan saat ini sedang memproses semuanya.
Pipiku sakit. Artinya ini bukan mimpi. Yang artinya makhluk aneh itu nyata. Dan saat ini dia sedang kabur lewat jendela.
Ada jeda beberapa saat sebelum akal sehatnya bisa menerima apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdebar semakin cepat. Ada rasa takut bercampur penasaran yang menggebu-gebu. Dia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Lalu tiba-tiba saja senyuman kecil tergurat di wajahnya. Entah kenapa dia menjadi sangat bersemangat.
Maka anak kecil itu pun bangkit dari tempatnya, bergegas melangkahkan kaki. Buru-buru mengejar makhluk pendek itu ke luar rumahnya.
***
Angin malam yang dingin menerpa tubuhnya saat Aksa membuka pintu belakang rumah, tapi anak itu tidak terlalu peduli. Matanya nyalang memandang ke segala arah, dan yang bisa dia lihat hanyalah kegelapan. Dia berpikir untuk mengambil lampu senter, tapi khawatir makhluk aneh itu keburu pergi.
Tidak jauh di depannya, dari arah kebun milik Uak Bayau, dia mendengar suara kresek kresek seperti daun yang sedang diinjak-injak. Pasti itu adalah suara dari si makhluk pendek yang sedang berlari.
Aksa pun langsung mengejarnya ke sana. Dia tidak memikirkan apapun lagi. Dia tidak ingin kehilangan makhluk ajaib itu.
Kebun Uak Bayau luasnya kira-kira sebesar lapangan sepak bola. Kebun itu ditanami oleh berbagai jenis pohon buah seperti mangga, rambutan, jambu, pepaya, nangka, dan pisang. Banyak juga tanaman lain yang lebih kecil seperti cecendet, cabai, lidah buaya, dan kemangi. Tapi sama sekali tidak ada penerangan di sana. Hanya dengan mengandalkan indera pendengaran, Aksa menyusuri tanah yang kotor dan penuh dengan daun-daun kering.
Suara yang sedang Aksa kejar telah berhenti. Dia tidak tahu harus bergerak ke mana lagi sekarang. Dia menoleh ke sekelilingnya, tapi yang terlihat hanya bayangan samar-samar.
Di sebuah titik di kegelapan dia melihat sesuatu sedang bergerak-gerak. Ketika menghampirinya, ternyata itu hanyalah daun talas yang bergoyang tertiup angin. Lalu suara lain terdengar melintas di belakangnya. Aksa cepat-cepat menengok, tapi suaranya langsung berhenti lagi.
Aksa berpikir makhluk itu pasti takut akan disakiti gara-gara sudah mencuri makanannya. Padahal dia cuma ingin melihatnya lagi saja. Atau barangkali mereka bisa berteman setelah ini.
"Hey! Halo!" Aksa berupaya memanggil makhluk itu. Selagi dia mondar-mandir pelan di kegelapan, matanya menjelajah ke setiap sudut kebun. "Namaku Aksa. Nama kamu siapa?"
Tak lama muncul suara dari arah dahan pepohonan. Aksa mendongak ke arah pohon mangga tidak jauh darinya. Daun di sekitar sana terlihat bergerak-gerak.
Dadanya berdegup kencang. Jauh di dalam hatinya dia merasa takut. Dilihat dari rupanya, sepertinya makhluk itu berbahaya. Tapi rasa penasarannya jauh lebih besar. Menurutnya ini adalah momen sekali dalam entah berapa tahun ke depan. Dia tidak mau kehilangan kesempatan ini.
Aksa mengendap pelan menghampiri pohon mangga tadi, menajamkan fokus matanya ke daerah di sekitar dedaunan itu. Tanpa sadar dia menahan napas sambil mencari-cari dengan waspada.
Tiba-tiba sebuah mangga jatuh dari sana. Aksa refleks melompat mundur. Lalu bersamaan dengan itu sesuatu terlihat terbang mencicit. Ternyata cuma kelelawar. Anak itu pun menghembuskan napasnya yang tadi sempat tertahan.
"Halo! Ayolah, keluar sebentar! Aku cuma mau mengobrol," ujarnya lagi, kali ini setengah berteriak.
Beberapa detik kemudian muncul lagi suara langkah kaki kecil dari atas pohon, seperti suara hewan yang sedang berlari. Tapi saat Aksa menengok, suaranya langsung berhenti lagi.
Anak itu mulai kehilangan kesabaran. Dia kemudian meraba-raba tanah mencari kerikil. Begitu sudah dapat, dia langsung melemparnya ke tajuk pohon tadi.
Matanya menangkap sebuah bayangan yang berlari di batang horizontal, yang selanjutnya melompat ke pohon rambutan di sebelahnya.
Aksa lantas mengambil sebuah kerikil lagi, dilemparnya ke pohon rambutan itu.
Namun setelahnya, tidak ada lagi suara mencurigakan yang terdengar. Seketika semuanya hening seperti malam tanpa gangguan.
Hal ini membuat Aksa semakin jengkel. Dia tahu mahkluk itu masih ada di sekitar kebun ini, hanya saja dia tidak mau menunjukan diri.
Merasa frustasi, Aksa lantas mengambil kerikil sebanyak-banyaknya, lalu melemparnya satu persatu ke sembarang arah.
Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin dia berharap salah satunya akan mengenai makhluk itu, atau mungkin dia hanya ingin makhluk itu memberikan respon, apa saja. Walaupun hanya suara pekikan, Aksa akan merasa sangat senang.
Tapi kemudian salah satu kerikil itu menabrak sebuah batang pohon besar, lalu dengan keras memantul kembali ke wajahnya.
"Aduh!"
Bocah itu terjatuh, mengerang kesakitan sambil memegangi pipinya. Dia menggeram kesal, sedikit berlinang air mata. Juga sangat kecewa. Kalau saja tadi dia sempat membawa lampu senter, mungkin setidaknya dia masih bisa berpeluang untuk melihat makhluk itu lagi.
Aksa merintih di antara racauan suara jangkrik, tergeletak begitu saja di atas tanah penuh dedaunan. Tubuh dan pakaiannya kotor. Air mata mengalir di pipinya yang memar.
Dia sudah menyerah.
Beberapa saat berselang, anak itu pun bangkit berdiri dan bersiap untuk kembali ke rumah. Tapi kemudian sesuatu yang ajaib terjadi.
Saat dia membuka mata, seketika saja pandangannya berubah menjadi terang.
Bukan. Bukan terang seperti halnya sebuah benda saat disorot cahaya lampu. Dalam penglihatan Aksa, entah kenapa saat ini semuanya tampak monokrom. Hanya ada warna hitam dan putih, tapi rasanya dia mampu membedakan semua benda yang dia lihat.
Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan kehangatan di kelopak matanya seperti menghilang. Rasanya seperti ada angin pegunungan yang sedang bertiup tepat di matanya. Dan dalam sesaat matanya pun sudah menjadi dingin seutuhnya.
Aksa mengerjap-ngerjap, memastikan tidak ada yang salah dengannya. Saat ini rentang warna yang dia lihat hanya berada pada kisaran warna hitam, putih, dan abu-abu, tapi dia bisa melihat semuanya dengan jelas.
Dia mengedarkan pandangan. Dapat dilihatnya segala jenis pohon, tanaman, dedaunan, serta tumbuh-tumbuhan kecil yang ada di sekitarnya.
Dia menoleh ke bawah, mengambil sebuah kerikil yang ada di tanah, memperhatikannya dengan seksama. Bentuknya lonjong, dan salah satu sisinya terlihat tajam. Dia sentuh sisi yang tajam itu dengan jari telunjuk. Rasanya seperti tertusuk.
"Aw!" pekiknya.
Dapat dia lihat darah menetes keluar dari jari telunjuknya yang tertusuk tadi. Tapi alih-alih menangis, hal itu malah membuatnya senang. Senyumnya merekah lebar. Batu kerikil itu nyata. Ini semua nyata. Dia betul-betul dapat melihat dalam gelap.
Dia menoleh ke arah dahan pohon jambu yang berjarak sekitar lima meter darinya. Seekor kelelawar terlihat sedang menggerogoti buah yang sudah masak. Aksa melemparkan kerikil di tangannya ke arah sang kelelawar, lalu hewan itu pun terbang menjauh.
Bersamaan dengan itu matanya menangkap ada pergerakan lain dari pohon di sebelah. Sesuatu terlihat berlari dan bersembunyi di balik batang pohon. Aksa berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas. Tapi kemudian sesuatu itu berlari lagi dan melompat ke pohon lain.
Kali ini Aksa medekati pohon yang satunya sambil mengendap-endap, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Setelah itu dia kembali menengadah. Matanya menelusuri setiap jengkal pohon itu. Ke setiap percabangan batangnya, daun-daun yang saling bergesekan ditiup angin, dan akhirnya berhenti di sebuah dahan.
Di sela-sela buah mangga yang bergelantungan, akhirnya Aksa menemukannya. Makhluk pendek dan berbulu itu, sedang bersembunyi sambil menutup mulut dengan telapak tangannya.
"Ketemu!!!" teriak Aksa bersemangat.
***
Download NovelToon APP on App Store and Google Play