Begitu sampai rumah, kedua orang tua Aksa langsung terperangah. Matanya yang masih beler seketika melotot selebar-lebarnya.
Pak Dirga sampai harus mengecek ke kamar anak semata wayangnya itu, memastikan kalau dia memang tidak ada di sana. Kemudian dia mendapati keadaan pintu belakang yang terbuka, lelaki itu hampir tidak percaya. Kok bisa-bisanya dia dan sang istri tidak menyadarinya.
Bu Marni panik setengah mati. Wajahnya histeris dan seperti mau menangis. Dia spontan menyambar tubuh Aksa, memeluknya sangat erat, lalu menghujaninya dengan beribu pertanyaan.
"Aksa! Kamu tidak apa-apa? Kamu dari mana?! Habis ngapain kamu tengah malam begini?! Ada yang mengajak kamu keluar? Sudah gila kamu ya?! Sengaja mau bikin Mamahnya jantungan ya?!"
Tapi anak kecil itu tidak berani menjawab apa-apa. Padahal awalnya dia sudah bersiap untuk menceritakan semua yang dia alami tadi kepada orang tuanya. Namun setelah melihat ekspresi Mamahnya seperti itu, Aksa jadi gugup dan mengurungkan niat.
Kenapa Papah dan Mamah bersikap begini? Mereka tampak sangat cemas. Apakah aku sudah melakukan kesalahan? Padahal aku cuma ke luar sebentar.
Otak kanak-kanaknya tidak bisa memproses reaksi dari kedua orang tuanya itu. Dia seolah tidak mengerti. Baginya yang dia lakukan hanyalah pergi ke luar sebentar dan kembali lagi. Tidak ada yang salah dengan itu, dan tentunya tidak ada yang perlu dicemaskan.
Aksa jadi tidak tahu harus menjawab apa terhadap pertanyaan-pertanyaan mamanya barusan. Pikirannya bercampur aduk.
Dia tidak tahu di mana letak kesalahannya. Dia tidak tahu harus mengatakan apa dan bersikap seperti apa. Ditambah dengan Mamanya yang terus menunjukkan raut wajah histeris sambil menekannya dengan banyak pertanyaan, anak itu jadi ketakutan.
Akhirnya dia pun melakukan satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh anak kecil. Yaitu menangis.
Awalnya cuma terdengar sedikit isakan, tapi lama-lama Aksa menjerit sejadinya. Dia seperti ingin meluapkan sejuta kegugupan yang terpendam di dadanya.
Bu Marni semakin erat memeluk anaknya. Setelah agak lama dia pun berhenti memberikan anaknya berbagai pertanyaan. Dia hanya mengusap-usap punggung Aksa yang sedang menangis sesenggukan. Dan setelah tangisan itu mulai mereda, Bu Marni menatap mata anaknya dalam-dalam.
"Dengar, Aksa! Pokoknya mulai sekarang, kamu tidak boleh ke luar rumah lagi!"
Aksa tidak memberikan respon apa-apa.
"Kalau kamu mau ngapa-ngapain, harus izin Mamah dulu. Dengar tidak?!"
Aksa terdiam sebentar, lalu memberikan anggukan kecil.
"Dengar tidak?!"
"I--Iya, Mah."
Dan sejak saat itu, rumah Aksa seakan berubah menjadi penjara baginya.
***
Terus terkurung di dalam rumah sangatlah menyiksanya. Jiwanya ingin menjelajahi dunia luar, bertemu dengan orang-orang, hewan-hewan yang lucu, dan melihat indahnya pemandangan alam.
Dia seringkali berdiam diri di dapur sambil menatap ke luar jendela. Jauh di belakang kebun Uak Bayau dan rumah-rumah warga desa, berjejer rangkaian perbukitan yang ditumbuhi oleh hutan yang lebat.
Pada malam di mana Aksa bertemu dengan makhluk pendek itu, dia ingat bahwa mereka terbang ke arah sana. Dan sejak saat itu dia tidak pernah berhenti memikirkannya.
Apakah makhluk itu berasal dari sana? Lalu bagaimana dengan semua barisan bukit lain yang juga selalu terpampang kokoh setiap matanya memandang ke cakrawala? Apa yang tersembunyi di balik payung pepohonan yang rimbun itu?
Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Aksa bersemangat. Tapi semangat itu seketika redup saat dia sadar dengan keadaannya sekarang.
Dia pun kembali murung, melanjutkan hidupnya yang membosankan.
Karena sering melihat Aksa seperti itu, Pak Dirga mencoba untuk membelikannya buku cerita. Hitung-hitung sebagai latihan juga, karena Bu Marni sudah mengajarinya membaca dan menulis.
Bermula pada hari ulang tahunnya yang keenam, Pak Dirga membelikan Aksa buku-buku dongeng. Dan sejak sejak saat itu, hampir setiap bulannya Aksa pasti selalu meminta buku yang baru.
Kisah tentang Putri Salju dan Kurcaci, Hansel and Gretel, Wizard of Oz, Legenda Sangkuriang, si Kancil dan Buaya, segala jenis dongeng dari berbagai daerah dan mancanegara. Aksa sangat menyukai buku-buku itu.
Buku yang Pak Dirga beli juga dilengkapi dengan ilustrasi gambar yang menarik. Hal itu membuat Aksa jadi tertarik juga untuk mulai menggambar.
Dia membaca semua buku itu berulang kali sampai kertasnya rusak dan banyak yang lepas. Aksa pun tumbuh menjadi anak yang menyukai cerita dongeng dan fantasi.
Pengalamannya bertemu dengan makhluk aneh membuatnya berpikir, jangan-jangan cerita pada buku-buku itu juga benar adanya. Siapapun yang menulis cerita-cerita itu, mungkin sebetulnya sedang bercerita tentang pengalamannya sendiri.
Maka suatu hari, Aksa meminta dibelikan buku tulis kepada Bapaknya.
"Pah, aku mau minta buku kosong dong."
"Buku kosong, maksudnya?"
"Buku yang enggak ada tulisannya. Biar bisa aku tulis sendiri."
"Oh, maksud kamu buku tulis. Bukannya kamu sudah punya ya, yang pernah dipakai buat latihan menulis sama Mamah waktu itu?"
"Tapi aku maunya buku yang enggak ada garis-garisnya, Pah!"
"Buat apa?"
"Supaya bisa aku gambar juga."
Pak Dirga sempat kebingungan. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk membelikan Aksa sebuah sketchbook.
Aksa melompat kegirangan saat melihat permintaannya itu sudah datang. Dengan sangat hati-hati dia membuka plastik pembungkusnya. Membuka lembar demi lembar kertas kosong itu. Senyumnya langsung merekah.
Aksa sudah bertekad untuk menjadikan buku itu sebagai tempatnya bercerita. Mengungkapkan segala isi hati, juga untuk menuliskan berbagai macam kejadian yang dia alami sehari-hari, pengalaman yang tidak mungkin dia ceritakan kepada Mamah dan Papahnya. Layaknya sebuah diary, atau mungkin lebih tepatnya ... sebuah jurnal.
Dia juga bermaksud untuk mengisinya dengan gambar. Barangkali dia akan bertemu lagi dengan makhluk-makhluk aneh seperti yang dia lihat tempo hari. Dan oleh karenanya dia juga akan mulai berlatih menggambar.
Aksa ingat suatu hari anak Uak Bayau sedang bermain dengan mainan di depan teras rumahnya. Uak Bayau bilang kalau anaknya sangat menyayangi semua mainan itu layaknya teman sendiri, dan karenanya mereka semua diberi nama olehnya.
Bagi Aksa, jurnalnya akan menjadi hal yang paling dekat dengannya, dan mungkin juga satu-satunya hal yang bisa dia sebut sebagai teman. Dia adalah satu-satunya tempatnya bercerita. Dan mungkin setelah penuh nanti, dia harus membeli jurnal kosong yang baru, dan dia perlu pembeda untuk masing-masing jurnal itu.
Setelah berpikir panjang, anak itu memutuskan untuk menamai jurnal pertamanya dengan seorang karakter pada satu cerita yang pernah dia baca.
Yaitu karakter seorang anak kecil yang berpetualang di negeri ajaib dan bertemu dengan makhluk-makhluk menakjubkan. Aksa suka sekali membaca kisahnya.
Maka diambilnya pensil, dan tangannya pun mulai menuliskan kalimat pertamanya pada halaman pertama di buku itu:
"Halo, Alice! Mulai hari ini kamu akan menjadi temanku, dan aku akan menceritakan semuanya ke kamu."
***
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 6 Episodes
Comments