2. Rumahku Penjaraku

Pagi-pagi sekali anak itu sudah terpaku di tepi jalan di depan rumah, hanya untuk menghirup udara segar dan menikmati panorama alam khas pedesaan yang indah nan asri. Matahari masih bersembunyi di balik siluet jalur perbukitan, tapi kondisi jalan utama sudah cukup ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang.

"Mau ke sawah ya, Pak?" sapa anak itu seraya menyengir lebar, memperlihatkan susunan gigi depannya yang ompong sebagian.

"Iya, Nak Aksa, bapak mau bersih-bersih sawah, sudah banyak rumput liarnya," jawab si petani. "Kamu sendiri lagi apa? Mau lari pagi?"

"Enggak. Aku cuma mau lihat-lihat pemandangan aja."

Aksa berusaha menyapa semua orang yang lewat. Para petani bertopi kerucut, penggembala kambing dan kerbau, bapak-bapak yang baru pulang dari mushola, hingga penjaga sekolah yang sedang menyapu sampah dedunan. Orang-orang tampak bersemangat pagi ini.

Kendati begitu, ada juga beberapa orang lewat yang terlihat berbisik-bisik satu sama lain sambil melirik curiga kepada Aksa, membuat anak itu merasa canggung. Tapi dia berusaha untuk tetap menyapa sambil tersenyum.

Lalu serombongan anak-anak yang sedikit lebih tua darinya berjalan melintas, sepertinya habis melakukan lari pagi bersama. Mereka semua menatap Aksa dengan mata yang memicing.

Aksa melambaikan tangan sambil mengucap "halo", namun sekonyong-konyong mereka semua lari tunggang langgang. Sebagian sambil berteriak, sebagian lagi sambil tertawa, dan sisanya yang lebih kecil di antara yang lain kelihatan hampir menangis. Aksa hanya bisa terdiam keheranan melihat hal itu.

Suara pintu yang dibuka terdengar dari arah rumah. Aksa cepat-cepat menoleh dengan cemas. Dilihatnya di depan pintu, sudah ada Bu Marni yang sedang berdiri sambil memasang wajah seram.

"Aksa! Cepat masuk!" serunya.

"I-Iya, Mah!" jawab Aksa gelagapan. Tanpa berpikir lagi anak itu bergegas lari ke dalam rumah sambil menunduk, tidak berani jika harus bertatapan dengan Mamahnya.

"Habis ngapain kamu?" tanya Bu Marni dengan nada tegas.

"Cuma lihat-lihat pemandangan kok."

"Kenapa tidak bilang-bilang Mamah dulu?"

Aksa tidak menjawab. Dia memilih untuk pindah ke ruang keluarga, mengambil remote dan menyalakan TV. Berpura-pura fokus menonton apapun yang sedang tampil di layar kaca. Padahal di dalam hatinya dia menggerutu, "Tentu saja kalau aku bilang-bilang Mamah dulu, dia pasti akan bawel, dan ujung-ujungnya malah tidak akan mengizinkan."

Bu Marni matanya melotot seram, masih menunggu jawaban dari anaknya. "Aksa? Kenapa kamu tidak izin ke Mamah dulu?"

"Aku cuma diam di depan kok, Mah. Enggak ke mana-mana!" suaranya lirih bercampur kesal.

"Tetap saja kamu keluar rumah tanpa izin. Mamah panggil dari tadi kamu tidak menyahut juga, ternyata malah ke luar. Kalau Mamah biarkan nanti kamu pasti keterusan, keluyuran seenaknya. Iya kan?"

Aksa terus menatap televisi. Wajahnya menyiratkan perasaan kesal sekaligus sedih. Ingin sekali dia membantah, tapi mulutnya tetap terkunci. Rasanya apapun yang akan dia katakan, mamanya tidak akan percaya. Seperti yang sudah-sudah.

"Jangan begitu lagi! Dengar tidak?" seru Bu Marni, menunggu konfirmasi.

"Iya!" Aksa menjawab dengan suara bergetar dan setengah marah. Bu Marni hanya menghela napas, kemudian pergi ke dapur untuk mempersiapkan sarapan pagi.

Sudah empat tahun sejak Aksa kembali. Lambat laun warga Desa Jatimerah mulai mengurangi intensitasnya untuk membicarakan hal itu lagi. Para tetangga tidak lagi menginterogasi setiap kali bertemu Bu Marni di tukang sayur atau di tempat pengajian. Walaupun begitu, tidak ada yang benar-benar sudah melupakannya.

Banyak teori dan rumor yang berkembang di masyarakat seputar apa yang terjadi kepada bocah itu semasa menghilang. Bagaimana dia bisa bertahan hidup. Siapa yang mengurusnya semasa dia hilang.

Lama-lama Bu Marni muak juga mendengarnya. Kalau ibu-ibu yang lain sedang membahasnya dia suka buru-buru mengganti topik, atau kadang langsung pergi begitu saja.

Pernah suatu hari sekelompok anak kecil sedang bermain kelereng di area tanah kosong di samping rumah. Bu Marni yang baru pulang dari warung tidak sengaja mendengar percakapan mereka.

"Kalian tahu enggak?" tanya seorang anak memulai obrolan.

"Tahu apa?"

"Anak yang tinggal di rumah itu," ujarnya sambil menunjuk ke rumah Bu Marni.

"Si Aksa?"

"Iya. Bapakku bilang, dulu dia pernah diculik wewe gombel."

"Eh! Aku juga pernah dengar dari tanteku!" sambar yang lain.

"Itu beneran atau enggak ya?"

"Enggak tahu juga sih. Tapi aku pernah melihat sesuatu yang aneh sewaktu ketemu dia." Satu anak lagi ikut bicara, yang lainnya serius mendengarkan.

"Aneh bagaimana?"

"Jadi waktu itu aku dan abangku lagi mau solat subuh ke mushola, jalannya lewat sini. Nah ternyata di pinggir jalan ada si Aksa lagi diam sendirian."

"Ngapain dia subuh-subuh sendirian di depan rumah?"

"Mana aku tahu. Itu saja sudah aneh, bukan? Tapi yang aku lihat selanjutnya lebih aneh."

"Apa?"

"Sewaktu dia nengok ke aku―ini aku enggak bohong lho ya―aku melihat mata dia menyala. Percaya enggak?"

"Hah? Maksudnya? Kayak kucing, gitu?"

"Kayak setan! Eh, terus habis itu dia malah senyum ke aku dan abangku. Serem banget."

Mendengar itu Bu Marni langsung geram. Wajahnya memerah, lalu dengan serta merta dia menghampiri anak-anak tadi dan menendang semua kelereng yang sedang terkumpul di tanah sampai berhamburan ke mana-mana. Anak-anak itu diusirnya sambil marah-marah. Mereka pun lari ketakutan.

Beberapa tahun belakangan ini sangat melelahkan baginya. Belum lagi Aksa yang beranjak besar semakin sulit untuk dikontrol. Melihat anak-anak seusianya main di luar, bermain layangan, lari-larian di bawah hujan, dia juga ingin seperti mereka. Tapi Bu Marni belum berani.

Dia merasa hilangnya Aksa lima tahun yang lalu adalah kesalahannya, dan dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Sekarang anak semata wayangnya itu telah kembali, dia akan melakukan apapun untuk melindunginya, sekalipun harus mengorbankan kebebasannya.

Di usia tujuh tahun, anak-anak sepantarannya sudah masuk sekolah dasar. Bahkan sudah ada yang mulai sejak tahun lalu. Tapi Aksa sama sekali belum mempersiapkan sekolah, karena lagi-lagi, Bu Marni belum siap.

Padahal SDN 1 Jatimerah berada tepat di seberang rumah. Setiap hari Aksa dapat menyaksikan anak-anak yang pulang-pergi.

Saat mereka sedang melakukan senam pagi, musiknya dapat terdengar sampai ke rumah. Terkadang Aksa suka mengikuti gerakan senam sambil menonton lewat jendela kamar.

Sepertinya menyenangkan bisa sebebas itu. Bermain, bersenang-senang dengan teman sambil menikmati udara pagi, tapi mamanya pasti tidak akan mengizinkan.

Pernah suatu hari ketika di desanya sedang diselenggarakan pertandingan voli antar dusun, Aksa ingin sekali menontonnya bersama warga yang lain.

"Mah, aku mau ke depan ya."

"Ngapain?"

"Mau lihat yang main voli."

"Enggak usah. Itu orang dewasa semua yang menonton. Lagian kan ini sudah mau sore. Jangan ke luar lagi!"

"Tapi, Mah―"

"Huss, sudah diam! Mendingan kamu sekarang mandi sana! Sudah mau jam 4."

Atau di lain kesempatan, saat Aksa melihat Papahnya bersiap untuk berangkat solat maghrib berjamaah.

"Mah, aku mau ikut Papah ya."

"Mau ke mana?"

"Ikut solat magrib di mushola."

"Jangan, kamu solat di rumah saja. Di sana juga kamu pasti malah bercanda nantinya, bukannya ngaji."

"Enggak kok, Mah. Aku mau belajar ngaji. Sumpah."

"Kamu belajar ngajinya nanti saja sama Papah setelah pulang. Biar lebih fokus."

Atau suatu hari ketika ada arak-arakan kuda lumping yang berkeliling kampung.

"Mah, Mah! Aku mau lihat kuda lumping!"

"Enggak! Kamu enggak lihat itu ramai sekali di jalan? Nanti kalau ada apa-apa sama kamu gimana?"

"Kalau begitu Mamah juga ikut, dong."

"Ya ampun, itu di luar panas sekali, Aksa! Siang bolong begini kelayapan di jalanan."

"Ah, Mamah! Tapi aku mau nonton kuda lumping!"

"Ini anak susah sekali dikasih tahu. Kamu tahu enggak, kuda lumping itu di dalamnya ada setannya. Terus kamu malah mau nonton. Nanti kamu kesurupan baru tau rasa."

"Pokoknya aku mau nonton kuda lumping!"

"Kok malah ngotot sih? Masuk kamar enggak? Cepat!"

"Mamah begitu terus! Ini enggak boleh, itu enggak boleh!"

"Aksara Andini! Kamu ini dikasih tahu orang tua malah melawan. Mulai berani sama Mamahnya ya? Mau masuk neraka kamu?"

Aksa tidak pernah berhasil membuat keteguhan mamanya luluh. Setiap memberikan alasan pasti langsung dipatahkan, ujung-ujungnya dibilang anak durhaka dan lain sebagainya. Dia sama sekali tidak diberi ruang untuk berbicara. Aksa merasa sedih sekaligus marah.

Namun di antara semua itu, ada satu kejadian yang paling dia ingat. Aksa merasa ini adalah kejadian yang membuat mamanya memantapkan diri untuk tidak pernah lagi membiarkannya pergi ke luar. Tapi kejadian ini pulalah yang semakin menguatkan keinginan Aksa untuk menjelajahi dunia di luar rumahnya.

Pada suatu malam malam yang sepi, semua orang di rumah sudah tertidur. Namun Aksa tiba-tiba saja terbangun karena matanya mendadak terasa sangat dingin.

Dengan cepat dia langsung mengucek-ngucek matanya yang sedingin es itu. Meniup-niup tangannya, kemudian mengusapkannya lagi di kedua kelopak matanya itu, berusaha menghangatkannya.

Rasanya dia baru saja bermimpi tentang sesuatu yang sangat aneh, dan efeknya masih terbawa sampai ketika dia sudah terbangun. Tapi dia sama sekali tidak bisa mengingat mimpi itu lagi. Akhirnya anak itu pun bersikap masa bodo.

Aksa menengok ke arah jam dinding yang jarumnya berdetak keras. Baru pukul 1 dini hari. Suara jangkrik terdengar nyaring di luar.

Untuk suatu alasan, entah kenapa sekarang tenggorokannya terasa kering. Dia lantas bangkit dari kasurnya dan berjalan dengan terkantuk-kantuk menuju dapur yang berada di bagian belakang rumah.

Aksa membuka pintu dapur, bermaksud untuk mengambil gelas di rak. Tapi seketika saja langkahnya terhenti ketika dia melihat sesuatu yang ada di depannya.

Sesosok makhluk pendek―tingginya mungkin cuma sebetis orang dewasa―terlihat sedang mengacak-ngacak makanan di kulkas.

Awalnya Aksa mengira itu adalah seekor kucing. Dia baru saja bersiap untuk mengeluarkan suara usiran, tapi kemudian makhluk itu mengambil agar-agar dari kulkas, lalu memasukkannya ke dalam mulut menggunakan kedua tangan layaknya manusia.

Spontan Aksa mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba memperhatikan lagi sesuatu di hadapannya itu dengan lebih jelas.

Makhluk itu posturnya seperti bayi yang sudah bisa berdiri dengan tegak, tetapi seluruh tubuhnya ditutupi bulu layaknya binatang buas. Aksa bisa melihat sepasang taring saat makhluk itu sedang memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Telinganya besar dan lancip. Hidungnya seperti hidung babi. Selain itu dia juga kelihatan memakai tas selempang yang terbuat dari kulit binatang.

Aksa terkesiap saat menyadari betapa janggalnya makhluk itu. Jantungnya seketika berdebar kencang.

"Apa jangan-jangan aku masih bermimpi?" pikirnya.

Untuk mengeceknya, anak itu pun mencubit pipinya sendiri dengan keras. Terlalu keras bahkan, sampai-sampai mulutnya spontan melontarkan kata "aduh" dengan cukup kencang.

Tentu saja makhluk pendek itu mendengarnya. Dia langsung menoleh dengan cepat ke arah Aksa yang sedang mengusap-usap pipi sambil menatap terpaku kepadanya.

Menyadari keberadaannya diketahui, makhluk itu buru-buru mengambil semua makanan yang dapat dia tampung di dalam tasnya, kemudian berlari terbirit-birit ke arah belakang dapur, memanjat ke atas meja, lalu melompat ke luar jendela yang ternyata sudah terbuka sejak tadi.

Melihat pergerakan dari makhluk itu yang tiba-tiba, Aksa spontan melangkah mundur hingga terjatuh dalam posisi duduk. Kemudian dia hanya terdiam. Otaknya seperti shock dan saat ini sedang memproses semuanya.

Pipiku sakit. Artinya ini bukan mimpi. Yang artinya makhluk aneh itu nyata. Dan saat ini dia sedang kabur lewat jendela.

Ada jeda beberapa saat sebelum akal sehatnya bisa menerima apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdebar semakin cepat. Ada rasa takut bercampur penasaran yang menggebu-gebu. Dia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.

Lalu tiba-tiba saja senyuman kecil tergurat di wajahnya. Entah kenapa dia menjadi sangat bersemangat.

Maka anak kecil itu pun bangkit dari tempatnya, bergegas melangkahkan kaki. Buru-buru mengejar makhluk pendek itu ke luar rumahnya.

***

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play