Nara Anjani Sukma berada di situasi harus menikah dengan adik angkat pria yang akan melamarnya. Sakti Pradana tidak menduga ia akan bertukar jodoh dengan kakak angkatnya. Dua karakter bertolak belakang, pertemuan tak terduga dan pernikahan mendadak seperti tahu bulat, drama rumah tangga apa yang akan mereka jalani.
===
“Sudah siap ya, sekarang aku suamimu. Bersiaplah aku buat kamu bahagia jiwa dan raga.” Sakti Pradana.
“Aku penasaran, apa milikmu bisa sesakti namamu.” Nara Anjani Sukma
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Sakit Jiwa
BAb 10
Sakti berbaring di sofa dengan tangan bersilang di belakang kepala. Pikirannya menerawang. Ada rasa bahagia dan khawatir dalam satu waktu. berniat menikah muda dan sekarang baru berumur dua puluh tujuh tahun, keinginannya tercapai. Ada rasa khawatir juga kalau pernikahannya tidak bisa berjalan dengan baik. Apalagi bukan diawali oleh rasa dan asa yang sama.
“Hah.” Sakti menoleh ke arah ranjang, Nara tampak terlelap. “Ya Tuhan, semoga aku bisa membuatnya bahagia. Hadirkan rasa cinta dan saling memiliki diantara kami.” Doa terucap dalam hati Sakti.
Baginya pernikahan hanya satu kali seumur hidup dan tidak ingin mempermainkan pernikahan itu. Mendapatkan Nara sebagai istri, mungkin keinginan banyak pria. Selain cantik, ia dengar Nara sangat mandiri.
Penasaran siapa sebenarnya Nara, Sakti melakukan pencarian di ponselnya. Sepertinya Nara tidak mengekspos dan memposting apapun, tidak menemukan hal yang berhubungan dengan dirinya. Belum mengantuk dan penasaran dengan sosok istrinya, Sakti keluar dari kamar. Tujuannya pos keamanan rumah tersebut.
“Ada perlu apa Mas?” tanya security yang bertugas.
“Tidak ada, saya belum ngantuk. Sekalian mau merokok.”
Kebetulan di pos ada Indro, supir Nara. Sakti menanyakan pekerjaan istrinya.
“Manajemen artis?” tanya Sakti.
“Ya macam begitu, kadang Mbak Nara yang memutuskan siapa yang lolos audisi. Bahan film atau iklan juga beliau yang pilih artisnya. Sesekali jadi pengisi acara terkait dengan modeling dan keartisan. Pokoknya gitu deh mas. Weni bilang Mbak Nara sering live dan kasih materi online juga di aplikasi tok-tok apa tik-tik ya, lupa saya mas.”
Sakti mengangguk paham, sambil menghembuskan asap rokok. Sehebat dan seterkenal itu sang istri.
“Kalau Opa, gimana?”
“Opa biasa kerja di rumah, ada Pak Ali asistennya yang mengurus semua. Beliau sudah tua, tapi mbak Nara tidak mau meneruskan bisnis opa. Sering bertengkar dengan Serli, apalagi kalau bukan masalah warisan. Kayaknya mas Sakti belum kenal banget dengan mbak Nara ya?”
Sakti menggeleng.
“Kok bisa, belum kenal tapi sudah tidur bareng,” tutur Indro lalu menutup mulutnya. “Maaf mas.”
Sakti beranjak lalu menepuk bahu Indro. “Tidak apa, itu ‘kan persepsi kamu. Kenyataannya kami hanya berada di situasi yang tidak tepat.”
“Iya mas, saya percaya Mbak Nara wanita yang baik. Mas baiknya balik ke kamar, pasti mba Nara sudah menunggu."
Sakti terkekeh lalu menggeleng pelan, ia pun pamit kembali ke dalam. Masih ada yang mengganjal. Kalau Nara sehebat yang disampaikan Indro, kenapa tidak ada informasi apapun di pencariannya. Akan menaiki undakan tangga, ada Serli turun.
“Loh, pengantin baru udah kelayapan. Nggak pu4s dengan istri kamu ya, pasti udah longgar. Wajarlah, pergaulannya bebas,” ejek Serli sambil bersedekap dan senyum sinis.
Sakti awalnya ingin menyapa wanita itu untuk menjaga hubungan baik. Meski Serli dengan Nara hubungannya hanya saudara sambung, tapi mulutnya tajam juga.
“Kamu salah. Menikah itu bukan sekedar urusan ranjang. Bagaimana denganmu, saya dengar kamu gagal dengan pernikahan. Apa karena mantan suamimu tidak pu4s?”
Raut wajah Serli mendadak berubah geram, melepas dekapan tangannya dan mengepal. Kalah telak, itu yang dirasakan. Tidak ada kata untuk membalas Sakti, bahkan saat pria itu lewat ia hanya bisa bergeser.
Sampai di kamar, Sakti menghela nafas menatap sofa yang akan ditempati. "Nasibmu Sakti, malam pertama di sofa. Nggak apa deh, sabar dulu. mana tahu minggu depan udah bisa tidur di ranjang. Dic1um, dipeluk terus dibolak-balik." Membayangkannya saja Sakti sudah tergelak sendiri.
***
“Iya,” jawab Sakti dengan telepon dijepit di antara telinga dan bahu. Ia sedang memakai sepatu dan siap berangkat. “Nanti gue telpon balik ya, mau jalan nih.”
Kesiangan, itu yang Sakti rasakan. Padahal hari ini ada janji dan dia harus pulang dulu untuk berganti pakaian juga mampir ke showroom. Memasukan ponsel ke dalam kantong celana, mendekat ke ranjang. Nara masih nyaman bergelung dengan selimut.
“Ra,” panggilnya dan tidak ada jawaban dan terdengar ketukan pintu.
“Pagi, mas Sakti” sapa Weni sudah berdiri di depan pintu.
“Pagi.”
“Maaf, saya harus bangunkan Kak Nara. Ada kerjaan pagi ini.”
“Owh, ya sudah kebetulan saya mau jalan. Kasih tau saya langsung pergi ya,” ujar Sakti.
“Mas Sakti juga langsung aktivitas? Nggak ada cuti, kalian kan baru nikah.”
Sakti menggeleng lalu mengeluarkan ponselnya. “Kontak Nara berapa?”
“Hah?” Weni terkejut, heran dengan kelakuan majikan dan suaminya ini. Menikah tanpa cuti dan sekarang minta kontak ponsel, selama ini mereka komunikasi pakai apa. Merogoh tas mengeluarkan box kartu nama.
“Ini mas, lengkap dengan lain-lain. Eh, tapi ini kontak masalah kerja. Kalau mau yang pribadi, saya tuliskan ya.”
Sakti hanya diam memperhatikan asisten istrinya itu.
“Nah, ini!”
“Oke, thanks. Saya jalan dulu.”
“Eh, tunggu mas. Saya boleh langsung masuk? Nggak ada penampakan apa gitu?”
“Penampakan apa?” tanya Sakit heran.
“Berantakan atau Kak Nara masih … polos.” Weni terkikik geli sampai menutup mulutnya.
“Masuk saja, pastikan sendiri!”
Sakti bergegas meninggalkan kamar itu. Belum ada aktivitas berarti di rumah tersebut, baru terlihat asisten rumah tangga saja. Menggunakan transportasi online karena semalam ikut dengan mobil keluarganya.
Sampai di rumah, sudah disambut oleh Sinta.
“Ingat pulang kamu?”
“Pagi, bu,” sapa Sakti. “Aku langsung ke atas, udah telat.”
“Sakti, bisa-bisanya kamu kasih Nara mobil mewah. Kami yang besarkan kamu tidak pernah kamu kasih apapun.”
Sakti menghela nafas, selalu saja hal itu yang diungkit. Padahal yang dia ingat meski dibesarkan dalam keluarga itu, ia lebih banyak dikucilkan dan diabaikan. Entah apa alasan dia berada di tengah keluarga Naryo.
“Tidak mungkin saya kasih mahar motor bebek, saya ‘kan menghormati kalian juga. Yang malu Ayah sama Ibu kalau kasih mahar yang biasa saja.”
“Alasan saja kamu.”
“Maaf bu, saya udah telat.” Sakti bergegas dan di anak tangga ia berpapasan dengan Samir.
“Gimana malam pertama lo, pasti nyesel nikah sama Nara. Gaya hidupnya selama ini pasti bebas, jadi udah d0l.”
Merasa dejavu, semalam Serli menghina Nara dan sekarang Samir pun sama. Bahkan dengan situasi yang sama pula. Entah mengapa Sakti merasa mereka ini berjodoh, sama-sama psikop4t.
“Sakit jiwa,” batin Sakti
ada aja bahasa lo sak, kalau kata nara mah lebay tapi dia demen mesam mesem sendiri😂😂
heran orang ko ribet banget ya biarin aja toh mereka ini yang nikah. situ kalau iri ya tinggal nikah nih sellir nganggur 😂😂
gayanya ngentol abis ra ehhhhhh demen juga kan di sekop sekop kerasakti🤭🤣🤣🤣🤣
bakal gimana itu keseruannya???
Nara udh kasih warning ya ..