“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. RESMI DILAMAR
Pintu kayu gelap ruang kerja Chief Financial Officer (CFO) itu terbuka tanpa suara. Renzo, sang Chief Marketing Officer (CMO), berdiri di ambang pintu, tubuhnya bersandar pada kusen. Matanya, yang selama bertahun-tahun hanya memandang Nadhifa dengan kerinduan, kini memancarkan sebuah kepastian yang tenang.
Nadhifa belum menyadari kehadirannya. Di balik tumpukan laporan kuartal, wajahnya yang kini lebih berwibawa itu masih menyipit, berkonsentrasi penuh. Satu tangan dengan lihai mengetik di keyboard, tangan lainnya menyuap sesendok nasi dan capcai ke mulutnya dengan gerakan terburu-buru.
Lalu sebuah tawa kecil, hangat dan dalam, meluncur dari bibir Renzo.
Nadhifa terkejut, kepala menoleh. Matanya yang kelelahan melebar melihat Renzo berdiri di sana, dengan senyum yang sudah terlalu akrab.
“Masih aja suka bawa bekal, Dhif,” ujar Renzo, langkahnya mendekat. Suaranya lebih rendah, lebih dewasa, namun sindirannya masih sama. “Padahal kerjaan sudah setinggi ini, tetap nggak mau turun ke kafetaria?”
Nadhifa, sang CFO, menghela nafas palsu. “Malas. Antriannya panjang.” Tanpa pikir panjang, hampir reflek, dia menyodorkan sendok berisi nasi dan capcai campuran ke arah Renzo. “Mau?”
Renzo tidak menjawab. Dia hanya memiringkan badannya, membuka mulut, dan membiarkan Nadhifa menyuapnya. Dia mengunyah dengan perlahan, matanya tak lepas memandangi Nadhifa yang sedang menunggu reaksinya dengan diam-diam.
“Calon istriku jago masak,” gumannya, sebuah pernyataan yang begitu lancar keluar. “Kaya nasi gorengnya dulu, pedesnya masih menggigit.”
Nadhifa langsung tersedak air minumnya, wajahnya memerah. “Mas Renzo, jangan ngelantur.”
“Aku sudah mualaf,” ucap Renzo, tiba-tiba serius.
Suasana pun sunyi. Hanya desingan AC yang terdengar.
“Kamu masih mengejarku?” tanya Nadhifa.
“Selama kamu belum menikah,” jawab Renzo, mantap, “aku nggak akan pernah berhenti.”
Nadhifa menatapnya lama. Tiba-tiba, Nadhifa meletakkan sendoknya. Dia menyilangkan tangan di depan dada, tubuhnya condong sedikit ke depan. Sorot matanya penuh tantangan.
“Boleh tes dikit, gak?”
“Silakan, Bu CFO,” jawab Renzo, siap menghadapi apapun.
“Ke kantor setiap hari, rajin-rajin banget, karena siapa?”
“Nadhifa,” jawabnya tanpa ragu.
“Kerja keras siang malam, naik jabatan sampai jadi CMO, karena siapa?”
“Nadhifa,” ulangnya, lebih dalam.
Nadhifa mendongakkan kepalanya sedikit. Matanya menyempit, melontarkan pertanyaan pamungkas yang selama ini mengganjal di hatinya. “Mualaf … karena siapa?”
“Allah Ta’ala.” Dia menatap lurus ke mata Nadhifa yang penuh keraguan.
Nadhifa menatapnya, mencari-cari sedikitpun kebohongan di balik kata-kata itu. Dia tidak menemukannya. Senyumnya, kali ini, perlahan-lahan terbentuk, tulus dan lega.
Renzo mendekat, memelankan suaranya. “Aku mualaf bukan karena kamu, Nadhifa. Tapi karena Allah. Karena aku menemukan jalan-Nya.”
Nadhifa menghela nafas, rasanya seperti beban berat runtuh dari pundaknya. “Tapi, dulu kamu rajin sekali Misa. Sampai-sampai aku merasa kecil.”
Renzo tersenyum, matanya menerawang ke masa lalu yang sudah begitu jauh. “Aku ingat. Sampai suatu hari, tanpa sengaja, aku mendengar kabar … tentang seorang gadis yang diam-diam menyumbangkan dana dua belas digit warisan gelapnya. Bukan untuk dirinya, tapi untuk membangun masjid, merenovasi panti asuhan, dan mendanai program perdamaian dunia.” Dia menggeleng, masih takjub. “Saat itu aku berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki kepedulian yang begitu besar terhadap umat lain?”
Nadhifa memerah. “Astaga … dana gelap itu…”
“Aku nggak pernah bisa lupain,” sambung Renzo. “Bukan karena jumlahnya yang besar. Tapi karena niat di baliknya yang begitu tulus. Diam-diam, tanpa pamrih, tanpa ingin dipuji.”
“Ya ampun …,” bisik Nadhifa, malu namun juga haru.
Renzo mendekatkan wajahnya, berbisik, “gimana aku nggak semakin jatuh hati?”
Kali ini, Nadhifa tidak menyangkal. Dia hanya menunduk, menyembunyikan senyumnya yang semakin lebar, sambil jarinya memainkan ujung kerudungnya.
Ruangan kerja mewah seorang CFO itu tiba-tiba terasa begitu hangat, dipenuhi oleh sebuah pengakuan yang tidak hanya tentang cinta, tetapi tentang keyakinan, pertumbuhan, dan sebuah perjalanan jiwa yang akhirnya menemukan rumahnya.
Renzo masih berdiri di depan Nadhifa, tapi kini ada sebuah tekad baru yang berkilau di matanya.
Dengan nafas yang dalam dia coba tenangkan, Renzo perlahan menurunkan tubuhnya. Lututnya menyentuh lantai kantor, posisinya sempurna di hadapan Nadhifa yang masih duduk terpaku. Dari saku jasnya, dengan tangan yang sedikit gemetar namun penuh keyakinan, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru merah.
“Nadhifa…”
Kotak itu terbuka, memamerkan sebuah cincin bertatahkan berlian elegan.
“Maukah kamu menikah denganku? Dengan seluruh ketulusanku, bukan untuk menebus masa lalu, tapi untuk membangun masa depan. Dengan izin Allah, izinkan aku menjadi suamimu, yang mendampingi dan membimbingmu, menuju surga-Nya.”
Nadhifa menatapnya, mata berkaca-kaca. “Mas ... kamu ingat ... aku anak simpanan kakekmu. Darah Ravenshire mengalir dalam nadiku. Itu ... itu penghalang terbesar.”
Renzo tidak goyah. Tetap berlutut. “Aku tahu kamu akan mengatakan itu.” Dengan tangan bebasnya, dia mengeluarkan sebuah amplop coklat tua yang terlihat usang dari saku yang lain. “Karena itulah aku membawa ini.”
Dengan hati berdebar, Nadhifa menerima amplop itu. Jarinya membuka tali pengamannya dengan gemetar dan menarik keluar selembar kertas. Matanya membelalak saat membaca nama ibunya, Indah Kartika, tercantum di bagian atas. Tulisan tangan yang lembut tercantum di bawahnya.
Untuk Nadhifa, putriku tersayang—Dari Bunda
Di balik surat yang berisi curahan hati seorang ibu itu, terselip dokumen lain—hasil tes DNA lama yang disegel secara resmi. Nadhifa langsung menyorot ke bagian kesimpulan.
Tangannya gemetar lebih hebat, nafasnya tertahan. “Ini ... ini hasil resmi?”
“Iya,” jawab Renzo lembut. “Mommy Adelina dulu selalu curiga. Grandpa Ravenshire memang baik sama kamu, tapi dia nggak pernah mengakuimu secara terang-terangan. Setelah ibumu wafat, surat dan dokumen ini disimpan baik-baik oleh Mommy. Aku ... baru menemukannya belum lama ini.”
Nadhifa menunduk. Air mata yang selama ini ditahan akhirnya tumpah, membasahi lembaran kertas tua itu. Rasa lega, syukur, dan kelegaan yang tak terkira membanjiri dirinya. Selama ini, dia hidup dengan label ‘anak simpanan’, dan kini segalanya berubah.
Renzo mengangkat tangannya, menangkup lembut wajah Nadhifa yang basah oleh air mata. “Kamu bukan darah Ravenshire. Kamu bukan bayangan kelam masa lalu. Kamu, Nadhifa Azzahra, adalah masa depan cerah yang dengan sadar aku pilih.”
Nadhifa terisak, tapi di balik isakannya, sebuah senyuman kecil mulai merekah. Dia mengangguk, pelan tapi pasti. “Iya ... iya. Aku mau.”
Dia menjulurkan tangannya, dan dengan hati yang berdebar-debar, Renzo mengenakan cincin itu di jari manisnya. Tapi yang terjadi kemudian di luar dugaan. Bukan Renzo yang pertama memeluk.
Nadhifa memutar kursinya, lalu membungkuk, merangkul Renzo yang masih berlutut di lantai. Pelukannya erat, hangat, penuh penerimaan. Bahkan, dalam keharuan itu, bibirnya menyentuh kening Renzo dengan lembut, seperti sebuah penyambutan dan penyerahan diri.
Lalu, dengan suara berbisik yang tiba-tiba menggoda di tengah keharuan, dia bergumam, “tapi kamu gak pegal apa, dari tadi berlutut?”
Renzo mencoba tertawa, lalu perlahan mencoba berdiri. “Aduh ... Ya Allah, pegal ternyata!” keluhnya sambil wajahnya mengernyit.
Langkahnya terpincang. Nadhifa langsung turun dari kursinya sambil tertawa, melepaskan segala ketegangan yang ada.
Di atas meja, surat dan dokumen DNA itu terbuka. Dengan jelas tertulis di bagian kesimpulan: ‘Tidak ditemukan kecocokan DNA antara Nadhifa Azzahra dan Ravenshire Alverio’
Renzo, sambil masih terhuyung-huyung karena kakinya yang kram, menarik Nadhifa dalam pelukan yang lebih dalam. Lalu, dengan penuh rasa syukur dan cinta, dia mengecup kening Nadhifa, lama dan tulus.
“Akhirnya …,” bisiknya di telinga Nadhifa, “kamu benar-benar milikku, tanpa ada bayangan apa pun.”
Nadhifa memejamkan mata, menyerahkan dirinya sepenuhnya dalam pelukan lembut itu. Di dalam hati, dia berterima kasih pada takdir, pada ibunya, dan pada Renzo yang tak pernah menyerah.
“Dan ...,” Renzo menambahkan dengan suara yang masih bergetar haru, “terima kasih juga untuk Alaric. Dialah yang membantuku menemukan dokumen penentu ini di rumah Alverio II malam itu.”