NovelToon NovelToon
Renjana

Renjana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Nikahmuda / Spiritual / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:220
Nilai: 5
Nama Author: idrianiiin

Allah akan menguji iman masa mudamu dengan didatangkannya sosok yang dulu pernah diminta. Seseorang yang selalu riuh dalam doa, dipuja, serta kerapkali dijadikan sebagai tujuan utama.

Dihadapkan pada dua pilihan, bukan perihal dia lagi yang harus diperjuangkan, melainkan Dia-lah yang jauh lebih pantas untuk dipertahankan. Hati bersorak agar kukuh pada pendirian, tapi bisikan setan tak kalah gencar melakukan perlawanan.

Perkara cinta dan dunia memang tak dapat dipisahkan, terlebih jika sudah menyangkut ihwal iman yang kadangkala turun tanpa pemberitahuan.

Lantas siapakah yang kini harus diprioritaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Haidar Gumilar

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Jadilah wanita yang berpegang teguh pada agama, bukan dunia. Sebab, untuk menjadi penghuni surga pondasi utamanya ialah akhlak yang mulia."...

...°°°...

Anin melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dia heran dengan kedatangan Haidar di waktu seperti ini. Apakah lelaki itu tidak bersiap untuk melaksanakan salat jumat?

Padahal para karyawannya sudah bergegas ke masjid untuk menunaikan kewajiban kaum lelaki tersebut. Tapi Haidar justru duduk nyaman dengan ditemani secangkir renjana serta seporsi roti bakar.

"Maaf kemarin saya berhalangan hadir, sekarang baru bisa," tutur Haidar saat Anin baru saja duduk di kursi kosong yang berada di hadapannya.

"Gak papa, tapi apa sebaiknya selepas salat jumat saja kita melakukan wawancara?" sahut Anin memberi saran.

Haidar terdiam cukup lama, dia mengambil secangkir renjana lantas menghirup aromanya, lalu meneguknya. Tak lupa dia pun mengukir senyum setelahnya.

"Saya tidak salat."

Tiga kata itu berhasil membuat Anin membatu di tempat. Pandangannya sangat sulit untuk didefinisikan, tapi raut terkejut sangat kentara.

Melalaikan salat saja tidak baik, apalagi jika tidak menunaikannya. Dari penglihatan Anin, Haidar adalah lelaki baik dan dia tak percaya jika lelaki itu sangat mudah meninggalkan kewajibannya.

"Salat itu wajib untuk umat muslim, Mas," katanya penuh kehati-hatian.

Haidar mengangguk singkat lantas berucap, "Saya tahu, tapi saya bukan muslim."

Rasa pening seketika menerjang. Kepala perempuan itu berdenyut sakit bukan kepalang.

Apa dia tidak salah mendengar?

"Maksud, Mas?"

Otaknya belum bekerja secara sempurna, dan kalimat tanya itu justru meluncur bebas dari mulutnya.

Haidar terkekeh pelan lantas berujar, "Saya terlahir sebagai non muslim, agama yang sampai saat ini saya peluk."

Anin meneguk ludah susah payah. Gemuruh dalam dada meronta-ronta tak tahu malu. Dia merapatkan matanya sejenak dan menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan.

"Ma ... maaf, Mas saya tidak tahu. Maaf atas kelancangan mulut saya," tutur Anin merasa tak enak hati.

Haidar malah tertawa kecil, bahkan dia merasa lucu dengan raut wajah Anin yang begitu terkejut tapi menggemaskan di matanya.

"Gak papa, santai saja," sahutnya begitu ramah.

Anin hanya mengangguk saja.

"Apa bisa kita mulai wawancaranya?"

Lagi-lagi Anin mengangguk singkat.

Haidar menyiapkan alat perekam yang akan merekam semua perbincangan mereka, tak lupa dia pun meletakkan note beserta bolpoin.

"Mohon maaf sebelumnya, dengan siapa?" tanya Haidar memulai wawancara.

"Anindira Maheswari."

"Sudah sejak kapan Senandika Cafe didirikan?"

"Dua tahun lalu," jawabnya.

Haidar manggut-manggut paham lantas kembali bertanya, "Alasan apa yang membuat Teh Anin tergerak untuk mendirikan kafe dengan mengusung tema modern islami?"

Anin menarik lepas kedua sudut bibirnya lantas berkata, "Singkatnya saya ingin berwirausaha dengan tidak meninggalkan aturan agama. Saya mencoba untuk mengaplikasikan apa yang saya ketahui dan memberikan ruang bagi sesama muslim, yang kerapkali kesulitan menemukan tempat nongkrong yang memikirkan tentang khalwat serta ikhtilat."

Anin menatap ke sekeliling terlebih dahulu, lalu kembali melanjutkan kalimatnya, "Berawal dari keresahan saya pribadi yang memang kurang begitu nyaman saat berada di tempat umum, tanpa adanya sekat pemisah antara laki-laki dan perempuan. Dari situlah akhirnya saya bertekad untuk mendirikan Senandika Cafe. Mewadahi serta memfasilitasi kaum-kaum seperti saya ini."

Haidar berdecak kagum dengan jawaban yang Anin berikan, bahkan pandangan lelaki itu tak pernah lepas sedikit pun dari sang lawan bicara.

"Apa ada kendala dalam membangun bisnis ini?"

Anin mengangguk. "Tentu saja ada, di awal-awal launching ada beberapa pengunjung yang keberatan dengan aturan yang kami terapkan. Tak jarang juga kami direndahkan karena dianggap terlalu fanatik dalam beragama. Tapi hal itu tak membuat kami mundur, justru kami semakin bersemangat untuk menyebarluaskan keasingan menjadi sebuah kebiasaan."

"Membutuhkan waktu berapa lama sampai akhirnya Senandika Cafe bisa di terima oleh masyarakat?"

Anin sejenak berpikir dan mengingat. "Lumayan lama, karena terkadang yang berbeda sulit untuk diterima. Tapi, setelah kami melakukan promosi serta menjelaskan terkait aturan yang kami terapkan, lambat laun para pengunjung mulai paham dan berdatangan. Kami pun melakukan pendekatan pada para pengunjung, untuk menarik simpatik serta minat mereka agar bisa kembali lagi berkunjung. Tak lupa kami pun menawarkan cita rasa yang lezat, berkarakter, serta berciri khas. Dengan ditunjang tempat nyaman serta cukup bagus untuk dipajang di media sosial sebagai media promosi terselubung."

Haidar mendengarkan dengan seksama setiap ucapan Anin, dia menjadi pendengar yang baik dan memberi ruang serta kebebasan untuk Anin dalam menjelaskan bisnisnya.

"Saya juga melihat ada banyak sekali kutipan dan motivasi islami yang terpasang di dinding kafe. Apa itu juga salah satu strategi marketing untuk menarik pengunjung?"

"Bisa dikatakan begitu, agar ruangan tidak terkesan polos dan membosankan juga lebih tepatnya. Bahkan di setiap sisi meja barista terdapat rak buku minimalis yang menampung beberapa judul buku. Tujuannya agar pengunjung ada kegiatan lain sembari menunggu pesanan datang. Menumbuhkan minat baca di masyarakat juga sebenarnya," jelas Anin panjang lebar.

"Dengar-dengar kafe ini kerapkali memberi kopi gratis setiap hari Jumat. Apa itu benar?"

Anin mengangguk mantap dan tersungging lebar. "Benar, Mas. Kami menyediakan 1000 cangkir kopi dengan berbagai varian sesuai permintaan pengunjung."

"Apa hal itu tidak membuat kafe ini merugi?"

Anin menggeleng tegas. "Tentu saja tidak. Kafe kami buka setiap hari, dan jika hanya menggratiskan satu hari itu tidak jadi masalah berarti. Bersedekah itu tidak akan membuat kita kekurangan, justru Allah akan menambahnya jika kita memberi dengan penuh keikhlasan."

Haidar dibuat speechless dengan jawaban-jawaban lugas nan tegas yang Anin berikan. Baru kali ini dia menjumpai sosok perempuan seperti Anindira Maheswari.

"Baik, terima kasih atas waktu dan kesempatan yang sudah Teh Anin berikan. Saya harap usahanya semakin maju dan berkembang. Terima kasih banyak." Haidar menutup sesi wawancaranya.

"Kembali kasih, Mas. Saya juga berterima kasih karena sudah diberi kesempatan," sahut Anin begitu ramah dengan diiringi senyum lebar.

"Senyumnya jangan terlalu manis, Teh. Saya takut kena penyakit gula sepulang dari sini," tutur Haidar setelah mematikan alat perekam.

Dia benar-benar dibuat terpana sekaligus terpesona dengan senyuman Anin. Perempuan di depannya ini sudah berhasil membuat gemuruh dalam dada meronta-ronta tak tahu diri.

Anin terkekeh dibuatnya. "Rumah sakit masih lenggang, Mas. Kalau mau menghuni salah satunya dipersilakan."

Haidar tertawa mendengar kelakar Anin. Ternyata sang lawan bicara tidak terlalu kaku dan begitu enak diajak berbincang.

"Saya gak mau ke rumah sakit, di sana adanya rumah duka. Saya maunya bangun rumah tangga."

Perkataan Haidar sukses membuat Anin terbatuk-batuk. Hal itu jelas menghadirkan rasa tak enak hati dalam diri Haidar. Dia hanya berniat untuk berkelakar, tapi jika berhasil menjerat hati sang akhwat ya tidak akan menolak.

"Mending bangun rumah makan supaya bisa menghasilkan," sahut Anin setelah bisa menguasai keterkejutannya.

"Bangun rumah tangga juga menghasilkan lho, Teh," sahut Haidar.

Kening Anin terlipat, dia kurang mengerti dengan maksud dari perkataan lawan bicaranya.

"Jari manisnya masih polosan, kalau saya kasih sesuatu yang melingkar pasti akan terlihat lebih menawan."

Sontak pandangan Anin pun mengarah pada jari tangannya. Dia jadi teringat dengan kejadian kemarin malam. Karena kecerobohan cincinnya hilang entah ke mana.

...°BERSAMBUNG°...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!