Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 FITNAH PERTAMA
Pagi itu, Amara turun ke ruang makan dengan wajah segar. Ia berusaha tetap terlihat tenang meski hatinya masih menyimpan luka dari insiden di kampus kemarin. Bagas sudah duduk dengan koran di tangannya, sementara Meylani sibuk memberi instruksi pada pelayan.
Begitu melihat Amara, Meylani tersenyum manis. “Selamat pagi, Amara. Semoga harimu lebih baik hari ini.”
Amara mengangguk singkat. “Terima kasih.”
Namun dalam senyum itu, Amara bisa merasakan sesuatu yang janggal. Meylani tidak pernah ramah tanpa alasan.
Sarapan berlangsung tenang, sampai salah satu pelayan datang terburu-buru sambil membawa sebuah amplop. “Nyonya, ini baru saja dikirim ke gerbang.”
Meylani pura-pura kaget, lalu membuka amplop itu di depan semua orang. Matanya melebar dramatis. “Astaga…”
Ia menatap Amara. “Sepertinya ini milikmu.”
Amara bingung. Meylani mengeluarkan beberapa foto dari dalam amplop—foto Amara sedang duduk di taman kampus bersama Davin. Salah satunya menampilkan Davin yang seolah sedang meraih tangannya.
Ruangan hening. Bagas meletakkan koran, tatapannya langsung pada Amara.
“Apa artinya ini?” suara Bagas datar, tapi ada ketegangan di dalamnya.
Amara merasakan darahnya berhenti mengalir. “Itu… tidak seperti yang kau lihat. Dia hanya teman lama yang kebetulan menemaniku.”
Meylani terkekeh kecil. “Teman lama? Sangat mesra untuk disebut teman. Bagaimana kalau media tahu istri baru Bagas Atmadja masih dekat dengan pria lain? Bayangkan skandalnya.”
Amara menelan ludah. “Tidak ada yang terjadi. Aku bersumpah.”
Bagas menatapnya lama, kemudian mengambil foto-foto itu. “Siapa yang mengirim ini?” tanyanya pada Meylani.
Meylani mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu. Tapi bukti tidak bisa berbohong
Hari itu, gosip mulai menyebar di dalam rumah. Beberapa pelayan berbisik saat Amara lewat.
“Katanya Nyonya Amara masih bertemu dengan pria lain di kampus.”
“Tidak heran kalau Nyonya Meylani marah. Memalukan sekali.”
Amara berjalan cepat, menahan air mata. Ia tahu ini ulah Meylani, tapi tidak ada bukti untuk membantah.
Di kamarnya, ia duduk di ranjang, menggenggam kepalanya. Kenapa semua orang selalu ingin menjatuhkanku?
Pintu diketuk. Bagas masuk tanpa ekspresi, membawa foto-foto tadi. Ia duduk di kursi dekat ranjang.
“Aku tidak suka keributan,” katanya. “Kalau ada sesuatu, katakan sekarang.”
Amara menatapnya dengan mata berkaca. “Aku tidak melakukan apa-apa. Davin hanya teman. Kami bicara sebentar di taman kampus, itu saja. Meylani pasti yang mengatur semua ini.”
Bagas memandang fotonya lagi, lalu tatapannya kembali ke Amara. “Aku percaya padamu. Tapi aku ingin kau hati-hati. Rumah ini penuh mata-mata. Sekali saja kau lengah, mereka akan hancurkanmu.”
Amara terkejut. “Kau… percaya padaku?”
“Untuk saat ini, ya.” Bagas berdiri, hendak pergi. Namun sebelum menutup pintu, ia menambahkan, “Buktikan kalau kau pantas mendapat kepercayaanku"
Sore itu, Amara berjalan di taman belakang rumah. Ia berusaha menenangkan diri, tapi Meylani muncul, berdiri anggun dengan gaun merah.
“Sayang sekali, ya. Hampir saja semua orang percaya kau wanita baik-baik. Tapi ternyata kau masih sibuk dengan masa lalu.”
Amara menatapnya, kali ini tidak menunduk. “Aku tahu ini ulahmu. Kau bisa tipu semua orang, tapi tidak aku.”
Meylani mendekat, berbisik di telinganya. “Kalau aku bisa membuat suamimu meragukanmu sekali, aku bisa melakukannya lagi dan lagi. Nikmatilah waktumu di sini selagi bisa.”
Amara mengepalkan tangan, tapi ia tidak membalas. Ia tahu melawan langsung hanya akan membuat dirinya semakin terlihat lemah. Yang harus ia lakukan adalah membuktikan kebenaran dengan caranya sendiri.
Malam itu, Amara duduk di balkon, menatap langit. Angin malam berembus, membawa rasa dingin. Ia menggenggam foto-foto itu, lalu merobeknya satu per satu.
“Kalau ini permainan mereka, aku akan belajar main lebih baik,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia tahu jalan yang ia pilih penuh duri. Tapi ia juga tahu, setiap jebakan yang ia lewati akan membuatnya lebih kuat. Dan suatu hari nanti, bahkan Meylani pun tidak bisa menjatuhkannya lagi.
Ketika foto-foto itu tersebar di meja makan, bukan hanya Bagas yang terdiam. Beberapa kerabat yang masih duduk ikut menatap dengan tatapan curiga. Seorang tante berbisik, cukup keras untuk didengar Amara.
“Baru menikah sudah ada gosip seperti ini… memalukan sekali.”
Amara menunduk, pipinya panas. Meylani menutup mulutnya pura-pura kaget, padahal jelas tatapan matanya puas.
“Sudahlah, jangan bahas di sini,” ujar Bagas akhirnya, suaranya tenang namun dingin. Ia mengumpulkan semua foto ke dalam map, lalu berdiri. “Makan pagi selesai.”
Siang itu, gosip cepat menyebar. Di kampus, Amara merasa tatapan mahasiswa jauh lebih menusuk dari biasanya. Beberapa teman yang dulu masih menyapanya kini memilih menjauh.
“Aku bilang juga apa, dia memang nggak setia,” kata seorang mahasiswi di koridor.
“Pantes aja cepat dapat suami kaya, ternyata masih main belakang,” timpal yang lain.
Amara berjalan melewati mereka dengan kepala tertunduk. Air matanya hampir jatuh, tapi ia memaksakan diri untuk tetap melangkah. Kalau aku menangis, mereka akan semakin puas, batinnya.
Davin mencoba mendekatinya. “Amara, aku dengar kabar itu. Foto-foto itu… ada yang tidak beres.”
Amara menoleh singkat. “Aku tahu, Vin. Tapi aku tidak bisa terus terlihat bersamamu. Itu hanya akan memperburuk keadaan.”
Davin terdiam, sorot matanya penuh penyesalan. “Aku akan berhati-hati. Tapi ingat, aku tetap ada kalau kau butuh.”
Amara pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Davin yang berdiri sendirian.
Malamnya, Bagas masuk ke kamar Amara. Wajahnya sulit ditebak, membawa map berisi foto-foto itu.
“Amara,” ucapnya datar, “aku ingin mendengarmu sekali lagi. Apa benar tidak ada hubungan dengan pria ini?”
Amara menatap matanya dengan jujur, meski suaranya bergetar. “Tidak ada, Bagas. Dia hanya teman lama. Foto-foto ini dipotong sedemikian rupa untuk menjebakku. Kau harus percaya padaku.”
Bagas menatapnya lama, lalu menghela napas. “Aku percaya. Tapi kau harus lebih hati-hati. Rumah ini penuh orang yang menunggu kau jatuh. Sekali saja kau memberi celah, mereka akan gunakan untuk menghancurkanmu.”
Amara hampir menangis mendengar kalimat itu. Di satu sisi, ia lega Bagas percaya padanya. Di sisi lain, ia sadar posisinya sangat rapuh.
Setelah Bagas keluar, Amara duduk di ranjang dengan tubuh lemas. Ia menggenggam foto yang masih tersisa di map, lalu menatapnya lama.
“Kalau mereka ingin menjebakku dengan permainan ini,” bisiknya, “aku akan belajar main lebih baik. Aku tidak akan jadi korban selamanya.”
Ia merobek foto itu kecil-kecil, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Malam itu, ia menatap cermin, melihat bayangan dirinya sendiri. Bukan lagi mahasiswi polos yang mudah terhanyut, melainkan seorang wanita yang harus belajar keras agar bisa bertahan di tengah badai keluarga Atmadja.