Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa rusa (9)
Hari itu, dari pagi sampai menjelang matahari terbenam, Zai, Nalani, dan Hidra menghabiskan waktu bersma. Saling melempar canda dan tawa, tidak jarang beberapa curhatan tentang beban hidup yang sudah lama terpendam diluapkan. Suasana riang yang mendadak sedih lalu kembali dikerumuni tawa karena buah di tangan Hidra dicuri oleh monyet kecil.
Hidra juga akhirnya tau, alasan Nalani di tempat ini bukan sekedar mencari angin, tapi menjauh dari bisikan tajam para warga desa. Zai dan Nalani, kakak beradik sudah hidup saling menguati bersama sedari kecil. Hanya mereka berdua. Ibu keduanya meninggal 2 tahun setelah melahirkan Nalani, sedangkan sang ayah, ia pergi. Omong-omong, Nalani dan Zai hanya beda satu tahun.
"Ayah selalu murung setelah kepergian ibu. Tapi, suatu hari, ia bangun pagi dengan semangat dan bilang akan pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan. Sejak itu, ia tidak perah kembali. Kata orang-orang, ayah pergi karena kesulitan mengurus kami." Jelas Nalani, membuat Hidra kesal dengan sosok 'ayah' yang dimaksud. Walau dirinya belum pernah bertemu.
"Kau," panggil Zai sambil menunjuk Hidra dengan pisau buah di tangan. "Muka mu itu boros, ya. Aku kira kau seumuran denganku atau setidaknya dengan adikku," ejek Zai.
Nalani terkekeh, "Mungkin karena orang kota mudah terkena stress."
Hidra berdecak kesal, "Aku ini masih mending! Kakak kelasku yang hanya berbeda beberapa tahun, terlihat seperti orang tua karena harus belasan kali revisi skripsi."
Tarrr!
Suara sambaran petir terdengar, mereka baru menyadari kalau langit semakin gelap. Awalnya, mereka pikir karena malam akan tiba, tapi, melihat awan kelabu mulai menggumpal tebal,
"Mungkin akan badai," ujar Hidra sambil menatap langit.
Merekapun membereskan sampah dari buah-buahan yang telah dimakan dan bergegas kembali ke desa. Beruntungnya, saat sampai di gerbang desa rintikan air langit mulai menetes. Malam itu, seluruh penghuni desa rusa dalam rumah masing-masing saling memberi kalimat penenang karena hujan yang turun mengundang angin kencang untuk menari bersama.
Di kota, walau ada hujan badai sekalipun mereka tetap dapat tidur dengan tenang. Dan, kebiasaan itu masih melekat pada Hidra. Sepertinya hanya ia manusia di desa rusa yang malam itu bisa tidur. Bahkan, Zai agak merinding melihat Hidra yang dapat tidur dengan lelap disaat rumahnya itu terasa seperti sedang dibawa terbang.
"Orang ini pasti akan mati dengan cepat," ejek Zai yang melihat Hidra tertidur di ruang tengah mereka beralaskan tiker bambu.
"Kalau begitu, aku yang jaga." ucap Nalani.
Zai mendengus, ia menyentil dahi adiknya pelan. "Terserah kau saja."
Tidak terasa, pagi hari pun akhirnya menyingsing dengan udara dingin menusuk. Seperti biasa, Hidra bangun pagi lalu keluar rumah. Hari ini berbeda dari kemarin, tidak ada warga desa berlalu lalang. Hidra bahkan baru menyadai bahwa Zai dan Nalani tidak ada di rumah. Ia memutuskan untuk membasuh muka dan pergi berkeliling desa.
"Eh, apa itu?" gumam Hidra melihat para warga bergerombol depan di rumah utama. Rumah dengan bilik besar yang menjadi pusat desa. Ia juga melhat Zai yang sedang merangkul pundak Nalani, menatap dengan cemas ke arah atap rumah utama. Hidra mengankat pandang, melihat kemana mata para warga tertuju.
"Wow!" kagumnya.
Hidra menghampiri Zai dan Nalani, "Itu, kok dia bisa di situ?" tanya Hidra menunjuk seekor rusa yang terjebak di atap rumah utama.
Tangan Zai yang terbebas dengan cepat menutup mulutnya sendiri. Kepala Zai tertunduk dengan badan yang sedkit bergetar.
"Lah, kenapa dia?" tanya Hidra pada Nalani.
Nalani mengangkat bahu acuh, "Dia nahan tawa. Mas Zai yang pertama nemnuin rusa nyangkut itu. Terus dia malah ketawa ngakak, sampai dipukul sama Paman Ahal tadi."
"Bisa kelihatan bodoh juga dia," ejek Hidra pelan. Yang diejek tidak perduli, ia masih menutup mulut berusaha menahan tawa.
Hidra akhirnya memnutuskan untuk maju ke depan menghampiri Ahal. "Wah, paman. Ini terlihat gawat."
Ahal mengangguk, "Sepertinya ia terbawa angin tadi malam."
"Saya bisa bantu turunkan. Tapi, butuh bantuan tenaga, nih."
Mendengar tawaran Hidra Ahal dengan semangat segera menyetujui. Jujur, kepalanya sendiri sudah sangat pusing memikirkan bagaimana cara menurunkan rusa agar tidak terluka.
Akhirnya, evakuasi dilakukan. Hidra meminta beberapa warga mengikhlaskan kasurnya untuk letakan berjejer tepat di bawah posisi si rusa tersangkut untuk dijadikan sebagai matras. Setelah bantalan pendaratan siap, dari dalam bangunan Hidra dan beberapa pemuda membawa bambu panjang. Mereka menggunakan bambu itu mendorong sisian atap yang menjadi tempat si rusa tersangkut.
"AYO SEMUANYA!" teriak para anak-anak. Hidra meminta tolong mereka untuk memberikan arahan. Merasa dibutuhkan oleh orang-orang dewasa, tentu saja mereka merasa bangga dan bersemangat.
"SATUUU, DUAAA, TIGAAA... DORONG!!!" teriak para anak-anak. Rombongan laki-laki mendorong atap di sekitar rusa secara bersamaan Dan,
"AWAS!! RUSA JATUH DARI LANGIT!" teriak salah satu anak yang membuat semuanya segera berhamburan menjauh.
Rusa yang terjebak berhasil terlepas dan mendarat dengan sempurna. Binatang bertanduk itu bahkan segera melompat-lompat kesenangan, ia berputar-putar ditempat seperti seekor anjing yang sedang mengejar ekornya sendiri.
Hidra yang berdiri tepat di tengah pintu masuk mentap rusa dengan gemas, "Happy happy change, dear!" girang Hidra.
Entah, karena perkataan tiba-tiba Hidra atau bahasa asing yang ia gunakan. Rusa berhenti berputar, ia melangkah pelan memposisikan tubuhnya menghadap ke arah pintu masuk tepat dihadapan Hidra. Lalu tanpa aba-aba, rusa itu berlari cepat dengan tanduk yang teracung menuju Hidra, seolah sedang menyatakan perang.
"Hah? eh?" panik Hidra, kepalanya menoleh kesana kemari karena kedua tumpuannya mendadak terasa bergetar, lemas untuk digerakan.
"Awas!" teriak Nalani. Wanita yang berdiri di samping pintu masuk bersama Kakaknya itu dengan cepat mengambil bambu milik Zai lalu ia gunakan untuk mendorong tubuh Hidra.
Brak!
Penyelamatan berhasil dilakukan. Bambu milik Zai yang menjari penyelamat Hidra sayangnya harus menjadi korban tubrukan tanduk rusa. Kondisi Hidra saat ini tersungkur setelah Nalani berhasil mendorong sisian tubuhnya dengan bambu.
"Lihat, kan," ucap Nalani dengan bangga kepada Zai. "Aku akan lindungi!"
Zai mendengus, "Ya... mungkin? sepertinya rusuk orang itu bergeser!" Zai menunjuk Hidra yang sedang meringkuk sambil memeluk bagian yang terdorong oleh bambu.
Nalani menggembungkan pipi, memukul bahu Kakaknya pelan. "Bawa ke dukun urut, gih!" Ia membanting sisa bambu ditangan dan pergi meninggalkan rumah utama.
Ahal mendekati Hidra dengan tawa canggung, sedikit membukuk di depan Hidra, "Nak Hidra, tidak apa-apa? ahahah, kau ini selalu sial dengan rusa, ya."
Hidra perlahan mencoba untuk duduk masih dengan memegangi sisi tubuh yang terdorong bambu panjang. Ia menghela napas panjang, "Aman, paman. Agak syok aja, tapi untung saya masih hidup."
"Syukur kalau begitu. Syukur juga karena rusanya berhasil selamat. Tapi, Nak Hidra, kami sudah ikuti rencana Nak Hidra dan atap kami jadi berlubang besar."
Hidra tersenyum lebar dengan raut wajah ceria, "Soal itu, ada hal yang mau saya sampaikan juga. Kita harus robohkan rumah ini!" ucapnya dengan senyum ceria.
Hidra, Zai, Ahal dan beberapa pria desa lainya ikut Hidra menuju hutan jati.
"Kalian punya ini!" Hidra merentangkan kedua tangannya di depan para warga desa yang berbondong-bondong datang ke hutan.
Para warga saling melempar pandangan penuh tanya satu sama lain. Zai yang melihat itu menghela napas panjang, tangan kirinya ia gunakan untuk mencubit hidungnya beberapa saat dan menggelegkan kepala. Ia pun akhirnya maju untuk berdiri di samping Hidra.
"Maksud orang hutan satu ini," ia memiringkan kepalanya sedetik ke arah Hidra. "Kita bisa bangun rumah utama dengan bahan dari pohon jati."
"Mustahil, pohon ini sangat besar dan susah untuk dijadikan bahan bangunan! Orang kota jangan sok tau!" cemooh salah satu warga.
Hidra mengacungkan telunjuk kanannya di depan wajah, menggerakan telunjuk itu kekanan dan kekiri seperti bandul jam. "Eits, jangan salah. Ayahku pemilik toko furnitur berkualitas. Dan ia sangat tertarik dengan pohon jati." Hidra berjalan menuju pohon yang tumbuh tidak jauh darinya. Di letakanya telapak tangan Hidra di batang pohon besar itu, "Mungkin ayah akan bangga di tempatnya sekarang kalau mengetahui ilmu yang ia berika padaku jadi berguna." gumam Hidra.
"Baiklah," Hidra menatap para penduduk warga dengan mata yang dipenuhi binar.
Rancangan bangunan dibuat oleh warga yang memang ahli dalam pembangunan rumah di desa ini. Masalah bentuk bangunan Hidra tidak mau ikut campur, karena desa pedalaman seperti ini pasti memiliki khas tersendiri. Ia hanya mengarahkan bagaimana cara mengolah pohon jati dari bahan mentah mejadi bahan baku, pemilihan posisi kayu, dan hal lain yang telah di turunkan oleh ayahnya.
Nalani datang ke hutan menghampiri Zai dan Hidra yang kebetuan sedang beristirahat, bergatin dengan yang lain.
"Bukannya ini bahaya?" sedih Nalani melihat beberapa batang pohon jati raksasa itu di tebang.
"Tenang," Hidra mentap Nalani dan tersenyum lembut. "Selama penggunaannya tidak berlebih dan jauh dari wilayah jurang, pasti aman. Semuanya aman. Ini hanya untuk satu bangunana sederhana." Hidra mengacak puncak rambut Nalani, membuat semburat merah menghiasi pipi Nalani. Walau wajah wanita itu masih terlihat sedih, ia mengangguk pelan. Dirinya percaya dengan perkataan Hidra.
"Udah, mulai lagi!" Zai tiba-tiba berdiri, ia menyeret baju belakang Hidra kembali ketempat mereka bekerja.
Nalani terkekeh, ia melambaikan tangan kepada Hidra yang sedag menjadi korban perundungan sang Kakak.
Tiga hari berlalu dan pembangunan pun selesai dengan sempurna. Para penduduk desa cukup cekatan membuat rumah utama sehingga bisa kembali di bangun hanya dalam waktu singkat. Ahal dan warga kota sangat berterima kasih kepada Hidra, dua hari setelah dibangunnya rumah utama yang baru, Desa Rusa mengadakan pesta yang cukup meriah sebagai tanda terima kasih dan juga ucapan syukur. Diterima dan merasa dihargai oleh para penduduk membuat Hidra merasa nyaman, akhirnya ia memutuskan untuk menetap di desa lebih lama lagi. Toh, ia juga belum membuat satu proposal pun.