NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Askara Julian Atmadja

Malamnya, Niko kembali ke rumah. Ia datang tanpa suara, tanpa ketukan. Begitu masuk, pria itu hanya berdiri di ambang pintu kamar, seolah sedang mencari celah untuk bicara.

Niko berdiri di depan Rania. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah tengah menahan ego yang enggan untuk ditundukkan. Ia bilang maaf. Dengan suara yang datar, bahkan sedikit terbata, seperti kesulitan menyebutkan kata itu padanya.

"Aku minta maaf atas ucapanku kemarin. Dan... karena hampir menamparmu." ucapnya, tanpa keberanian untuk menatap mata istrinya.

Rania berdiri membeku. Tidak menjawab, tidak mengangguk. Ia hanya menatap wajah Niko, cukup lama, cukup dalam, hingga membuat pria itu gelisah.

"Aku janji nggak akan bandingin kamu lagi sama Wulan," lanjut Niko, cepat - cepat seolah ingin segera menuntaskan apa pun yang diminta darinya.

Dan di situlah, di antara kalimat - kalimat permintaan maaf yang dingin itu, Rania tahu... ini bukan keikhlasan. Ini bukan penyesalan.

Ini paksaan.

Ia bisa membaca siapa yang memaksanya. Ibunya. Ayahnya. Mertuanya. Mereka, yang selalu melihat Rania sebagai menantu yang baik hanya ketika berguna. Dan kini, Rania sangat dibutuhkan... karena mereka tengah duduk di ujung jurang, menunggu ia menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.

Senyum kecil muncul di ujung bibir Rania. Tapi bukan senyum bahagia. Senyum itu seperti serpihan es yang tajam dan sunyi.

"Baik," jawabnya pelan, lalu berlalu begitu saja.

Tak satu pun kata tanya ia lemparkan. Padahal ia ingin. Ingin bertanya, apakah Niko ingat ranjang mana yang dia pakai bersama Wulan tempo hari? Apakah tidak ada rasa bersalah di hati Niko meniduri perempuan lain di ranjang mereka sendiri? Ingin berteriak bahwa ia melihat semuanya. Tapi ia tahan.

Belum saatnya.

Rania tak ingin hanya memenangkan pertengkaran dengan Niko. Ia mengincar kemenangan yang lebih besar, yatu harga dirinya yang sempat diinjak, dan martabatnya yang diremehkan.

Dan sebelum ia bisa berdiri di atas semua itu, ada satu hal yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.

Masalah dengan Askara Julian Atmadja.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hari ketiga.

Pagi masih pucat saat Rania kembali berdiri di depan gedung yang sama. Matanya sembab, tapi kini tak ada getar di langkahnya. Ia sudah selesai merasa malu. Selesai merasa kecil. Sekarang hanya ada satu dalam otaknya, terbebas dari semua tuntutan hukum Askara.

Ia masuk, menggangguk pada satpam yang sudah mulai hafal wajahnya. Kali ini, resepsionis tidak lagi bertanya mau bertemu siapa. Mereka sudah tahu. Jawabannya pun tak berubah, "Bapak belum bisa ditemui."

Tapi Rania tetap menunggu.

Ia duduk di tempat yang sama seperti kemarin, tangan menggenggam map cokelat berisi dokumen - dokumen yang ia susun semalaman. Matanya tak lepas dari lift kaca yang naik turun, berharap melihat siluet pria itu... meski tahu harapannya kecil.

Hari merayap pelan. Satu jam. Dua jam. Tiga. Jam makan siang pun lewat tanpa rasa lapar. Rania bahkan tak beranjak, khawatir jika ia pergi lima menit saja, pintu kesempatan akan tertutup lagi. Ia pernah mengacaukan kesempatan pertama dengan pingsan, kesempatan lain tak akan ia sia - siakan.

Sore menjelang ketika suara pecahan kaca tiba - tiba terdengar dari arah kafe kecil di sisi dalam lobi kantor. Seorang karyawan muda tersandung, nampan di tangannya yang berisi gelas - gelas kopi terjatuh dan pecah di lantai. Tumpahan mengenai blus putih milik seorang wanita paruh baya.. istri dari senior di kantor itu.

"Apa kamu nggak punya mata? Bisa kerja nggak sih?!" Hardiknya.

"Maaf, Nyonya... saya nggak sengaja," jawab pegawai itu gugup

Beberapa staf dan satpam memperhatikan, tapi tak ada yang berani campur tangan. Situasi menjadi canggung.

Rania yang paling dekat, refleks berdiri dan membantu. Ia berjongkok, memunguti pecahan kaca sambil menenangkan karyawan itu yang wajahnya pucat dan tangannya gemetaran.

"Gak apa - apa Mas. Pelan - pelan saja. Saya bantu," ucapnya lembut

Ibu yang tadi semakin kalap, memarahi pegawai kafe sampai menunjuk - nunjuk. Kata - kata kasar dan kotor keluar lancar dari bibirnya yang dipulas warna merah terang.

"Karyawan to**l, apa kamu nggak tahu berapa harga baju ini?" Teriaknya membahana.

Setelah berdiri, Rania menatap wanita itu dengan tenang. "Nyonya, maaf. Ini murni kecelakaan, tidak ada unsur kesengajaan. Dan anak itu sudah minta maaf, tidak perlu mencaci maki."

Wanita itu memandangi Rania dari atas ke bawah. "Kamu siapa? berani - beraninya ikut campur."

"Saya hanya merasa reaksi Nyonya berlebihan, noda kopinya hanya sedikit. Kalau Nyonya mau...biar saya yang bawa baju Nyonya ke laundry." jawab Rania tetap tenang.

Wanita paruh baya itu tersenyum mencibir. "Kamu pikir saya tahu apa niat kamu sebenarnya? Kamu mau membawa kabur baju saya kan? ciihhh... dasar penipu."

"Kalau Nyonya tidak percaya, apa Nyonya mau kalau saya mencucinya... di toilet kantor ini saja?" jawab Rania dengan tenang, tapi menyulut kemarahan ibu dengan makeup menor itu.

"Lancang kamu!" Tangan si ibu terangkat, siap melayang ke wajah Rania. Namun sebelum sempat mengenai, pergelangan tangannya dicengkeram seseorang.

Askara.

Tatapan pria itu dingin, tak banyak bicara. "Cukup."

Suasana langsung hening. Si ibu langsung pucat ketika sadar siapa yang berdiri di hadapannya.

"Pak Askara... saya cuma..."

"Jangan membuat keributan disini, ini kantor." katanya datar. Ia bahkan tak menatap wanita itu, hanya memberi isyarat pada asistennya di belakang. "Tolong ganti rugi baju Nyonya ini."

Asistennya mengangguk, mencatat.

"Dan kamu," katanya lagi, kali ini menatap Rania. "Masih belum menyerah?"

Rania menatap balik, tak gentar. "Saya nggak akan berhenti."

Askara melihat jam tangan mewah di pergelangannya, sebelum berkata. "Jam sembilan malam nanti, dan saya hanya punya waktu setengah jam."

Tanpa menunggu tanggapan, Askara berbalik dan pergi. Si ibu hanya bisa berdiri diam. Sorot mata para pegawai seolah memaksa wanita itu menelan rasa malu.. bukan karena bajunya, tapi karena sikapnya.

Ruangan kembali sepi. Pegawai yang sempat memperhatikannya mulai kembali ke aktivitas masing - masing, tapi beberapa masih mencuri pandang dari jauh, seolah bertanya - tanya apa hubungan Rania dengan Askara Julian Atmadja.. pria yang bahkan para direktur pun sulit temui tanpa janji formal berbulan - bulan.

Rania menghela napas, menggenggam erat tasnya. Tangannya gemetar, tapi sorot matanya tetap tajam. Ia menatap jam dinding besar di tengah lobby, pukul 14.17, masih hampir tujuh jam lagi.

Tapi ia akan menunggu.selama apa pun itu.

Saat Rania menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, suara langkah cepat menyusulnya dari belakang. Seorang pegawai kafe.. pemuda yang tadi nyaris ditampar istri manajer.. menghampiri dengan canggung sambil membawa nampan kecil berisi secangkir kopi dan sepotong roti tawar panggang.

"Maaf, Kak.. saya tahu ini nggak seberapa," ucapnya pelan, seraya menyodorkan nampan. "Terima kasih ya tadi udah bantuin saya."

Rania tersenyum tipis, mengangkat tangan menolak dengan halus. "Nggak perlu repot - repot, aku ikhlas.. sungguh."

Tapi si pegawai bersikukuh.

"Nggak apa - apa, Kak... Saya yang maksa. Lagipula dari tadi saya perhatikan Kakak belum makan," ujarnya ramah.

"Dan.. kalau boleh saran, jangan kemana - mana dulu. Yang saya dengar, susah sekali bertemu dengan Pak Askara. Suami ibu yang tadi saja... pernah sampai tiga minggu berturut - turut duduk di kafe ini menunggu Pak Askara, dari pagi sampai sore. Itu pun pada akhirnya hanya asisten Pak Askara yang menemui."

Rania terdiam sejenak. Ia akhirnya menerima nampan itu, masuk plalu duduk di sudut kafe, berusaha untuk tenang. Roti itu yang pertama ia sentuh, mengisi perutnya yang memang kosong.

Dan di tengah gedung tinggi yang dingin, penuh protokol, penuh kekuasaan, Rania tetap menunggu... dalam diam, dalam luka, dan dalam tekad yang tak lagi bisa ditawar.

(Bersambung).....

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!