Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10
Langit sore mulai menggelap, seolah ikut menampung segala beban yang dipikul Ganendra di dadanya. Helaan napasnya berat, tapi langkahnya tetap tegap.
Di hadapannya, orang-orang yang dulu mengaku teman kini melemparkan tawa sinis, pandangan meremehkan, dan kata-kata yang menusuk lebih tajam dari sembilu.
“Apa kau pikir bisa berhasil dengan keadaan seperti ini, Ganendra?” ujar salah satu dari mereka, dengan nada mengejek.
“Kau cuma pecundang yang berlagak kuat,” sambung yang lain, tertawa mengejek.
“Lihat dirimu siapa yang mau percaya pada orang seperti kamu?”
Ganendra terdiam. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Tapi bukan karena marah melainkan menahan air mata yang nyaris jatuh. Hatinya perih, tapi tekadnya jauh lebih besar dari rasa sakit itu. Ia menatap mereka satu per satu, bukan dengan kebencian, tapi dengan ketenangan yang menakutkan.
“Aku akan ingat setiap kata kalian,” suaranya tenang, tapi dalam. “Karena bagiku, hinaan kalian bukan kutukan. Justru aku anggap itu doa… doa terbaik untuk menghadapi kehidupanku selanjutnya.”
Dia melangkah pergi, meninggalkan kerumunan yang perlahan terdiam. Tak ada lagi cemoohan setelah itu. Hanya gema tekad Ganendra yang menggantung di udara sore itu tekad yang tak akan padam, bahkan oleh luka sedalam apa pun.
Keesokan harinya, udara pagi masih dingin, namun hati Ganendra terasa lebih hangat dari biasanya.
Matahari belum tinggi, tapi ia sudah duduk di beranda rumahnya, memegang mushaf kecil yang lama tak disentuh.
Ayat-ayat yang dulu ia baca sambil lalu pagi ini terasa menenangkan. Membalut luka-luka yang belum sembuh.
"La yukallifullahu nafsan illa wus‘aha..."
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
Ia mengulang ayat itu pelan, suaranya gemetar, tapi mantap.
Semalam, ia mungkin disakiti. Dihina dan direndahkan. Tapi pagi ini ia memilih untuk bangkit. Bukan karena ingin membalas, tapi karena ingin membuktikan pada dirinya sendiri dan pada Allah, bahwa ia tidak menyerah pada dunia.
"Mereka boleh bilang aku nggak punya masa depan. Tapi Allah Maha Menentukan. Kalau manusia menutup pintu, aku yakin Allah sedang menyiapkan jalan lain yang lebih tinggi."
Ia berdiri. Wajahnya lebih tenang. Matanya tak lagi sembab, tapi menyimpan nyala baru.
Langkahnya kembali menyusuri gang sempit itu. Tapi kali ini bukan dengan peta harapan dari manusia, melainkan dengan kepercayaan penuh pada takdir-Nya.
Di dalam hatinya, ia berdoa pelan, "Ya Allah, jangan beri aku jalan yang mudah tapi beri aku hati yang kuat untuk terus melangkah."
"Kalau aku tak layak di mata manusia, cukup jadikan aku layak di hadapan-Mu."
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama Ganendra tak takut lagi menghadapi dunia.
Ia bukan lagi pemuda yang pulang menangis di malam hari. Tapi lelaki yang sedang ditempa oleh takdir agar kelak, ia tak hanya hidup tapi juga berarti.
Pagi itu setelah salat dhuha, Ganendra menyusuri jalanan kota dengan langkah tenang tapi pasti. Dalam dadanya, masih ada luka, tapi di atas semuanya ada harapan. Harapan yang tumbuh dari keyakinan bahwa Allah tidak tidur.
Ia melewati sebuah warung fotokopi yang tak sengaja memperlihatkan papan pengumuman kecil di kaca depan.
Satu kertas A4, agak kusam, tapi huruf-hurufnya masih terbaca jelas,
> DIBUTUHKAN SEGERA – SOPIR PRIBADI
Kualifikasi:
Pria, usia maksimal 30 tahun
Memiliki SIM A
Disiplin dan bersedia bekerja di bawah tekanan
Diutamakan memiliki pengalaman, namun lulusan SMA diperbolehkan melamar
Penempatan: Kantor Pusat RD Group
Kirim lamaran ke alamat: Jl. Merdeka No. 88 – Gedung RD Grup lt. 3
Ganendra mematung, RD Grup. Salah satu perusahaan besar yang selama ini hanya ia dengar dari berita bergerak di bidang properti dan otomotif, pemilik showroom mewah dan kawasan elit perumahan di kota itu.
Matanya berkaca-kaca.
"Lulusan SMA diperbolehkan..."
Kalimat itu saja sudah seperti setitik cahaya di lorong gelap hidupnya.
Tanpa pikir panjang, ia mencatat alamatnya. Dadanya berdebar. Ini bukan hanya lowongan ini peluang. Dan untuk pertama kalinya setelah sebulan penuh hinaan dan penolakan, ia merasa Allah menjawab doanya.
Sore itu, ia pulang membawa lembaran lamaran yang ia tulis dengan hati-hati.
Bu Siti membacanya sambil tersenyum kecil, lalu berkata pelan,
"Kalau ini rezekimu, Nak... meski dunia menolak, Allah pasti permudah jalannya."
Ganendra mengangguk mantap."Kalau Allah sudah bukakan pintu, Bu... Aku nggak akan ragu lagi untuk masuk.”
Tiga hari kemudian. Ganendra berdiri di depan gedung RD Grup tinggi, kokoh, dengan kaca-kaca mengkilap yang memantulkan langit biru.
Tangannya gemetar sedikit saat menggenggam map lamaran. Tapi kali ini bukan karena takut ditolak, Tapi karena hatinya penuh harap.
Ia melapor ke resepsionis. "Nama saya Ganendra. Panggilan wawancara untuk posisi sopir pribadi."
Petugas mempersilakan dia naik ke lantai 3. Di sana, ruangan lebih tenang. Interior modern, orang-orang berdasi berjalan cepat. Dan di ujung lorong, sebuah pintu bertuliskan:
"HR Executive – RD Grup"
Ganendra mengetuk, lalu masuk. Di dalam ruangan, duduk seorang pria muda, mungkin tak jauh dari usianya. Wajahnya kalem, penampilan rapi dengan kemeja putih dan jam tangan elegan.
Tapi yang paling mencolok adalah sorot matanya yang tajam mengamati, menilai, menimbang.
"Silakan duduk, Mas Ganendra," ucap pria itu tenang.
"Nama saya Arvian. Saya yang akan mewawancarai Anda. Cukup santai saja, ya."
Ganendra mengangguk. Tangannya masih dingin, tapi ia berusaha tersenyum.
Wawancara pun dimulai. Arvian mengajukan beberapa pertanyaan dasar: pengalaman menyetir, kondisi kesehatan, penguasaan jalan kota, hingga alasan melamar.
Namun satu pertanyaan membuat ruangan sunyi sejenak.
"Mas Ganendra, saya ingin tahu satu hal. Anda pernah dihina, ditolak, dianggap remeh?" Tanyanya.
Ganendra mengangkat kepala, tak menyangka.
"Saya hanya ingin tahu bagaimana Anda menghadapi tekanan itu?"
Ganendra menarik napas. Lalu menjawab jujur, tanpa topeng,
"Saya sudah pernah dihina karena miskin, diremehkan karena cuma tamatan SMA, bahkan dianggap sampah oleh orang-orang yang dulu saya hormati. Tapi saya nggak balas. Saya nggak maki. Saya cuma diam, dan terus jalan. Saya percaya, diam bukan lemah tapi cara saya menjaga harga diri."
Arvian menatapnya lama. Lalu tersenyum.
"Bagus," katanya singkat.
Lalu berdiri.
"Mari ikut saya ke lantai atas. Saya ingin perkenalkan Anda langsung ke atasan yang akan Anda layani."
Ganendra bingung. "Tapi saya belum tahu diterima atau.."
"Kamu sudah diterima," potong Arvian sambil tersenyum tipis.
"Karena di antara semua pelamar, cuma kamu yang jawabannya paling jujur dan punya luka yang bisa membentukmu jadi orang kuat."
Lantai 5, Ruang Eksekutif RD Grup.
Ruangan itu sepi dan tenang, namun bagi Ganendra, udara sekitarnya seakan menekan dadanya.
Dia berdiri di hadapan seorang pria tua berwibawa yang duduk di balik meja kayu besar dengan lambang RD Grup tertempel rapi di belakangnya.
Arvian membuka suara, “Pak Rais, ini pelamar sopir pribadi yang saya seleksi dari beberapa kandidat. Namanya Ganendra.”
Pak Rais Danuarta mengangkat wajah dari balik kacamata baca. Usianya mungkin di atas 60 tahun, tapi sorot matanya tajam dan berkelas.
Setelan jasnya rapi, rambutnya perak keputihan, dan ada tongkat hitam mengilap bersandar di kursi kulitnya.
Tatapan mata Rais Danuarta dan Ganendra akhirnya bertemu.
Dan seketika… Darah Ganendra seperti berhenti mengalir.
Matanya membelalak. Bibirnya sedikit terbuka. Tangan yang memegang map lamaran nyaris jatuh.
"Astaghfirullah... ini... ini orang tua yang dulu..."
Suaranya tercekat.