Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuala Lumpur (3)
Hari sudah siang, aroma nasi minyak memenuhi rumah, membuat perutku mulai berontak.
"Adek!" suara Mama memanggiku. "Makan siang dulu, bentar lagi makin ramai tamu. Jangan cuma main HP aja kerjaannya!"
"Iya Ma," sahutku sambil beranjak malas dari tempat duduk.
Aku berjalan ke meja prasmanan dan melihat Kak Ruby yang sudah duluan mengambil nasi dan lauk. Ia mengenakan pakaian yang sama denganku, rambutnya digerai, dan wajahnya masih segar meskipun sudah ikut sibuk sejak pagi. Aku duduk di sampingnya mencoba mencari topik percakapan.
"Kak, gimana sekolah di sini?" tanyaku sambil menyeruput minuman.
"Enak-enak aja sih," jawab Kak Ruby sambil tersenyum tipis. "Cuma ya gitu, kurang seru aja."
"Kurang seru gimana?" aku menoleh penasaran.
"Temen-temennya pada serius semua. Gak ada yang bisa diajak bolos," katanya. "Beda banget sama di Indo."
Aku tertawa pelan. "Iya sih, kalau di SMP dulu bebas ya kan mau bolos kapan aja."
Belum lama kami ngobrol, terdengar langkah kaki mendekat. Sosok tinggi dengan baju kurung gold masuk dan langsung duduk di seberang meja. Bang Shaka.
Dia menatapku, tanpa basa-basi, langsung nyeletuk, "Itu cowo-cowo yang komen di Instagram lo siapa aja?"
Aku nyaris keselek air putih.
"Apaan sih, Bang? Kepo banget," ucapku setelah berhasil menelan.
"Gue udah liat satu-satu akunnya. Itu Azzam siapa? Nizan siapa?" sorot matanya tajam. Tangannya membuka toples snack di meja tamu undangan, tapi matanya tetap gak lepas dari wajahku.
Kak Ruby hanya diam. Ia memang selalu begitu kalau abang mulai ngomel atau bicara dengan nada serius padaku. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia tahu risikonya. Kalau ikut campur, bisa-bisa malah ia yang jadi sasaran amukan.
Aku melotot, "Temen gue bang. Emang aneh kalau gue punya temen cowok?"
Dia mendengus. "Temen cowok? Semua cowok tuh brengsek. Lo jangan gampang percaya. Mana ada yang mau temanan sama cewe kalau ga modus doang."
"Bang..." aku nyaris ngakak. "Berarti lo juga dong?"
Dia mendongak, menatapku datar. "Iya, makanya gue tau."
Aku tertawa. Tapi tawaku tidak menghapus nada serius di balik ucapannya.
"Gue udah gede kali bang. Santai aja. Gue bukan anak kecil yang lo anter jemput tiap hari sampai lo harus telat terus itu."
"Gue ga pernah masalah telat ya. Gue cuma gak mau lo naik motor sendiri. Gak aman. Apalagi sampai ada para bocil itu yang nawarin tumpangan."
"Terus nyadap HP gue juga aman?" sindirku, mengingat masa-masa SMP di mana dia pernah diam-diam memasang aplikasi yang bisa menyadap isi sosial mediaku.
Dia nyengir. "Itu demi kebaikan lo. Lo masih kecil, gampang dibohongin."
Aku mendesah, tapi dalam hati aku tahu, semua itu bukan karena iseng atau sekadar ngatur. Dia memang terlalu sayang padaku. Walau kadang aku merasa dia terlalu protektif dan bikin aku sedikit sesak, tapi dia lah satu satunya pelindungku selain Mama.
"Ya udah ga usah ngambek. Gue gak akan larang lo punya temen cowok. Tapi kalau sampe lo disakitin, jangan nyesel kalo gue turun tangan."
Aku menatapnya. Lama. Lalu berkata pelan seraya meledeknya, "Iya abang. Bawel bener udah kek emak-emak."
Dia hanya mengangguk pelan, lalu pergi mengambil makanan di prasmanan.
Dan aku tahu, meskipun dia nyebelin setengah mati, abang satu itu akan selalu jadi orang pertama yang nyamperin kalau aku kenapa napa.
...****************...
Sore itu langit Kuala Lumpur mulai berganti warna, memudar dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Sisa-sisa acara pernikahan sudah mulai dirapikan oleh keluarga besar, dan suasana yang tadi hiruk-pikuk perlahan mulai tenang. Mama mengajakku dan kak Ruby untuk pergi sebentar ke pusat perbelanjaan di dekat stasiun LRT. Tujuannya mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang.
Kami menyusuri lorong toko oleh-oleh yang berjejer rapi. Wangi cokelat dan permen memenuhi udara. Di salah satu toko, kami berhenti cukup lama. Kakak tampak asyik membantu mama memilih cokelat, sedangkan aku sibuk mengisi keranjang dengan gantungan kunci lucu bertuliskan KL dan miniatur KL Tower.
"Ma, ini lucu banget, bisa buat Yumna, Mira, Salsa, dan Erina," kataku sambil menunjuk gantungan kunci itu.
Mama tersenyum melihatku semangat belanja. "Ambil aja yang banyak, buat teman-teman adek. Nanti Mama bayarin."
"Yey!"
Setelah puas berbelanja, kami mampir ke toko es krim di sudut mall. Kami duduk di bangku tinggi menghadap kaca jendela, memandang keramaian kota sambil menyantap es krim masing-masing. Aku pilih rasa vanilla, kakak rasa matcha, dan mama rasa coklat.
Sambil menyeruput es krim, mama menoleh ke arah Kak Ruby. "Kak, gimana sekolahnya sekarang? Lancar?"
Kakak mengangguk kecil, menyeka bibirnya dengan tisu. "Alhamdulillah, Mi. Semester ini agak berat sih, soalnya udah pembagian kelas peminatan. Kakak masuk kelas C mi, kelas seni. Banyak tugas dan presentasi, tapi Kakak senang. Banyak teman baru"
"Baguslah kalau gitu. Mami sempat khawatir kakak ga bisa beradaptasi aja."
Setelah beberapa saat, Mami menatap Kak Ruby lagi. "Kalau abang gimana?"
Kak Ruby menurunkan sendok es krimnya. "Ya gitulah, Mi. Sama aja kaya di Indo. Diam aja dia di rumah. Paling ke kampus, terus pulang. Jarang mau ikut kumpul keluarga."
Mami menyandarkan punggung ke kursi, pandangannya menerawang. "Dia masih ga terima harus kuliah disini?"
"Kayaknya gitu Mi. Kan Mami tau sebenarnya dia gamau kuliah disini."
Di luar jendela, senja mulai turun. Warna langit berubah ungu, dan lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu. Aku memandang ke arah jalanan Kuala Lumpur yang sibuk. Besok aku harus pulang. Meninggalkan kakak dan abang di negeri orang, dan melanjutkan cerita yang belum selesai. Cerita tentang aku, Nizan, Azzam, dan segalanya yang sempat kutinggalkan demi perjalanan ini.
...****************...
Malam terakhir di Malaysia, aku duduk di balkon rumah sepupuku sambil memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seperti bintang jatuh. Hawa malam membawa keheningan yang aneh. Di tanganku, aku memegang gantungan kunci kayu berinisial "NT", hadiah dari Nizan. Entah kenapa, sejak kejadian di stasiun waktu gantungan itu hampir hilang, aku jadi lebih sering menatapnya. Aku tahu betul arti dari benda kecil itu, bahkan jika aku mencoba mengabaikannya.
Aku membuka WhatsApp. Ada banyak pesan tak terbaca, dan satu di antaranya dari Azzam.
...Azzam...
Kapan balik sih Sya?
Hanya itu. Singkat, tapi sudah keberapa kalinya ia bertanya kapan aku pulang. Aku menatap layar ponsel beberapa detik, lalu menjawab:
^^^Besok sore udah di rumah.^^^
Pesan itu centang dua, belum dibaca. Aku meletakkan ponsel di samping dan mencoba tidur. Tapi, seperti bisa ditebak, aku hanya berguling-guling tak jelas. Dalam hati, aku bertanya-tanya kenapa Azzam menanyai pertanyaan itu terus? Sengaja banget mau bikin aku baper, cih ga ngaruh.
Tiba-tiba, layar ponselku menyala. Notifikasi dari Azzam.
Oke.
Besok sore gue main ke rumah lo, sekalian futsal.
Gue mau introgasi lo.
Aku membaca pesannya tanpa ekspresi. Yaelah, sok iya banget kaya Detektif Conan. Introgasi tuh maksudnya apa? Emangnya aku abis ngapain?
Aku ketik balasan sambil tiduran miring.
^^^Yaelah. Introgasi apaan sih? ^^^
^^^Gue abis liburan, bukan abis ngebunuh orang. ^^^
^^^Lusa aja di sekolah. ^^^
Terkirim. Lalu kuletakkan ponsel lagi tanpa menunggu balasan. Nggak penting juga. Azzam emang suka sok-sokan penting.
Aku menatap lampu-lampu kota di kejauhan. Kuala Lumpur tetap cantik, tapi pikiranku udah mulai balik ke realita, PR menumpuk, persiapan magang, dan cowok-cowok itu.