NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: tamat
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Tamat
Popularitas:6.8k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28

Udara pagi terasa seperti pisau yang menggores kulit Raisa ketika ia kembali turun ke lobi hotel. Rambutnya masih berantakan, matanya sembab, dan wajahnya seperti kehilangan seluruh warna. Di balik penampilan yang masih tertata seadanya—karena ia tahu betul bagaimana cara berpura-pura tegar—Raisa sedang runtuh dari dalam.

Ia duduk di kursi tunggu dekat pintu masuk, menatap koper di kakinya. Satu-satunya barang yang tersisa dari hidupnya bersama Ardan.

“Selamat pagi, Bu. Mau perpanjang kamar?” resepsionis perempuan yang sama semalam menyapanya dengan sopan.

Raisa menggeleng. “Enggak. Saya mau check-out.”

Perempuan itu sempat menatapnya dengan ragu. Raisa terlalu cepat pergi untuk seseorang yang kelihatan begitu lelah. “Baik, Bu. Silakan ke sini.”

Raisa menyerahkan kunci kamar. Tangannya bergetar. Perempuan itu tak bertanya banyak, hanya memberikan senyum profesional.

Keluar dari hotel, Raisa berdiri di trotoar, kembali merasa tak punya arah. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat mobil-mobil yang lalu-lalang, pengendara motor yang terburu-buru, dan pejalan kaki yang menunduk pada ponselnya. Semua orang tahu ke mana mereka akan pergi, semua orang tahu siapa yang mereka tuju.

Raisa tidak.

“Kalau kamu pergi, lakukan tanpa drama.” Kata-kata Bu Ratna semalam menggema di kepalanya seperti kutukan.

Tanpa drama.

Padahal yang ia rasakan saat ini hanyalah drama yang tak berkesudahan—di dalam dirinya sendiri.

Ia menekan nomor Bu Ratna di ponselnya. Baru satu nada berdering, suara tegas itu langsung terdengar. “Kamu sudah keluar dari hotel?”

Raisa menarik napas panjang. “Iya.”

“Bagus. Sekarang, seperti yang sudah kita bicarakan. Datang ke tempat yang saya kirimkan semalam.”

Raisa menatap ponselnya. Ia memang melihat alamat itu semalam, tapi ia mengabaikannya. “Bu… apa ini benar satu-satunya jalan?”

“Raisa.” Suara Bu Ratna menjadi lebih dingin. “Kalau kamu masih peduli sama masa depan Ardan, kamu lakukan saja apa yang saya bilang. Jangan banyak tanya. Kamu tahu ini untuk kebaikannya.”

Kebaikannya.

Kata itu lagi.

Seakan apa yang dilakukan Bu Ratna adalah sebuah pengorbanan mulia. Padahal di mata Raisa, itu terasa seperti hukuman.

Ia mematikan telepon tanpa menjawab.

Langkahnya berat ketika ia memanggil ojek online dan menyebutkan alamat itu. Lokasinya ada di sebuah rumah besar di kawasan yang cukup elit. Raisa tahu, Bu Ratna bukan orang sembarangan, tapi ia tak pernah menyangka akan dipanggil ke tempat seperti ini—tempat yang bahkan tak pernah ia injak selama menikah dengan Ardan.

Perjalanan terasa panjang. Setiap tikungan seperti mengantar Raisa ke sebuah jalan yang tak ada ujungnya.

Ardan duduk di ruang tamunya yang kacau. Surat Raisa masih tergeletak di meja. Surat yang tak lebih dari secarik kertas dengan tulisan terburu-buru.

“Maaf. Aku harus pergi. Tolong jangan cari aku.”

Hanya itu.

Sederhana. Pendek. Tapi rasanya seperti pisau yang menusuk tepat di dada.

Ia menggenggam ponselnya lagi, menatap nama Raisa di layar. Ia sudah menelponnya puluhan kali. Semuanya tak dijawab.

Ardan menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Apa salahku, Rai…? Apa aku segitu buruknya?”

Suara beratnya pecah. Ia mencoba mengingat semua yang terjadi beberapa minggu terakhir. Mereka baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran besar. Tidak ada kata-kata yang seharusnya tidak ia ucapkan. Paling tidak, itu yang ia pikir.

Tapi Raisa? Ia ternyata sudah menyimpan sesuatu.

Ardan berdiri, mengambil kunci mobil. Ia tak peduli dengan pekerjaannya hari ini. Ia tak peduli pada rapat-rapat penting yang menunggu. Ia hanya tahu satu hal: ia harus menemukan Raisa.

Rumah besar itu berdiri dengan anggun, berlapis cat putih dan pagar hitam tinggi yang membuatnya tampak seperti benteng. Raisa berdiri di depan gerbang, merasa seperti seorang pencuri yang akan ditangkap.

Satpam membukakan pintu. “Ibu Raisa? Silakan masuk. Nyai sudah menunggu.”

Nyai. Begitu cara orang-orang memanggil Bu Ratna.

Raisa masuk ke halaman. Taman rumah itu terlalu rapi, terlalu sempurna, seperti dunia yang tak pernah ia miliki.

Di dalam, Bu Ratna duduk di sofa ruang tamu dengan gaun panjang berwarna abu-abu. Rambutnya tertata rapi, wajahnya datar, seperti patung marmer yang tak bisa disentuh.

“Duduk,” perintahnya tanpa senyum.

Raisa duduk dengan tubuh kaku.

“Bagus. Kamu sudah keluar dari apartemen. Itu langkah pertama.”

“Bu… saya masih nggak paham. Kenapa saya harus pergi? Ardan nggak tahu apa-apa. Dia pasti bingung.”

Bu Ratna menatapnya tajam. “Itu justru tujuannya.”

Raisa membeku. “Apa maksudnya?”

“Ardan terlalu bergantung padamu. Kamu bikin dia lemah. Kamu kira itu cinta? Bukan. Itu candu. Dan candu nggak pernah baik. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu harus pergi. Biar dia belajar berdiri sendiri.”

Raisa terdiam.

Kalau ini demi kebaikan Ardan… kenapa rasanya seperti ia sedang dihukum karena mencintai?

Di sisi lain kota, Ardan mengetik nama “Bu Ratna” di ponselnya. Ia sudah tahu, hanya satu orang yang bisa membuat Raisa melakukan hal seperti ini—ibu tirinya sendiri.

Ia menelpon.

Tersambung.

“Ratna!” suara Ardan terdengar marah. “Di mana Raisa? Kamu tahu, kan? Jangan pura-pura nggak tahu.”

Hening sejenak. Lalu suara itu muncul, dingin dan penuh kendali. “Ardan. Kamu terlalu bergantung pada istrimu. Sekarang waktunya kamu belajar kehilangan.”

Ardan terdiam. “Apa maksudmu…? Apa kamu yang nyuruh Raisa pergi?!”

“Tepat sekali.”

Ardan memukul setir mobil. “Ratna! Jangan main-main sama aku! Aku bakal cari dia, dan kalau kamu sengaja bikin dia pergi, kamu yang salah besar!”

Bu Ratna tertawa kecil. “Silakan cari. Tapi kalau Raisa benar-benar sayang kamu, dia akan tetap pergi. Sampai kamu jadi laki-laki yang bisa berdiri tanpa bersandar pada siapa pun.”

Telepon ditutup.

Ardan mengepalkan tangan. Ia tidak mengerti. Semua ini gila.

Malamnya, Raisa berbaring di kamar tamu rumah Bu Ratna. Ia memandangi langit-langit dengan mata kosong.

Ia ingat bagaimana Ardan memeluknya semalam sebelum tidur. Ia ingat wangi tubuhnya. Ia ingat bagaimana tangan Ardan selalu mencari tangannya, bahkan dalam tidur.

Kini semua itu hilang.

Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan.

Ponselnya bergetar. Nomor Ardan. Lagi.

Raisa menatapnya lama. Ia ingin mengangkat. Ia ingin mendengar suara itu. Tapi ia juga tahu, kalau ia mengangkat, ia takkan sanggup tetap pergi.

Telepon itu berhenti.

Beberapa menit kemudian, sebuah pesan masuk:

"Kalau kamu butuh waktu, aku akan tunggu. Tapi tolong… jangan hilang kayak gini. Aku nggak tahu harus apa tanpamu."

Raisa menutup wajahnya dengan bantal, menahan isak.

Ia tidak tahu berapa lama bisa bertahan di dunia yang memintanya mencintai dengan cara meninggalkan.

Namun ia tahu satu hal: Ardan pasti akan mencarinya. Dan ketika itu terjadi, ia tidak tahu apakah ia bisa tetap mengikuti perintah Bu Ratna—atau menyerah pada keinginannya sendiri untuk kembali.

---

Di apartemen, Ardan menatap layar ponselnya yang gelap. Ia sudah mengambil keputusan:

Ia akan menemukan Raisa.

Apa pun caranya.

Bahkan jika itu berarti menghadapi Ratna dan semua rahasia yang disembunyikan wanita itu selama ini.

Karena Raisa bukan sekadar istri.

Dia rumah.

Dan Ardan tidak akan membiarkan rumahnya hilang begitu saja.

1
Afifa Mega
kok aku bingung ya sama alur cerita nya
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Julia and'Marian: Ya kak, apalagi jaman sekarang sudah hal wajar seperti itu. miris banget.
total 1 replies
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!