NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kabar Tak Terduga

Pagi itu, Zurich masih diselimuti suasana musim dingin yang tenang. Langit kelabu, namun salju yang turun semalam memberi sentuhan keindahan yang nyaris magis di luar jendela kamar hotel. Suara musik klasik mengalun pelan dari speaker kecil, menyatu dengan aroma teh melati yang mengepul dari cangkir di meja. Althea duduk di sofa dengan Baby Cio di pangkuannya, menyisir rambut halus bayi itu sambil sesekali mengecup dahinya yang hangat.

Aleron tengah duduk di dekat meja kecil dekat jendela, membuka laptop untuk meninjau persiapan pameran perhiasan dua hari lagi. Ia mengenakan kaus abu dan celana tidur. Suasana pagi itu damai, nyaris seperti pagi libur biasa di tengah salju yang lembut. Pagi itu dimulai seperti biasanya. Langit Zurich masih diselimuti nuansa musim dingin yang tenang. Salju tipis menyelimuti jendela balkon, dan aroma teh hangat memenuhi kamar hotel tempat Althea, Aleron, dan Baby Cio tinggal sementara. Aleron sesekali memandangi Thea dan Baby Cio yang tertawa kecil di sofa. Namun, ketenangan itu seketika buyar saat suara ponsel milik Al berdering nyaring.

Namun ketenangan itu buyar. Ting… ting… Ponsel Aleron berdering.

Ia melirik sekilas ke layar. Sebuah nomor terdaftar resmi dengan label “Pihak Berwajib – Zurich”. Sorot matanya berubah tajam. Ia langsung berdiri dan mengangkatnya.

“Hallo? Ini Moonstone bicara.” ucapnya tenang, namun tubuhnya menegang.

Althea menoleh, merasakan aura yang langsung berubah.

“…ya…baik…kami akan segera ke sana.” Klik.

Aleron menatap Althea lekat.

“Thea… itu dari pihak berwajib. Ini tentang Baby Cio. Mereka minta kita datang sekarang.”

Althea langsung menghentikan aktivitasnya, wajahnya berubah serius. Tak perlu bertanya, ia tahu ini bukan hal sepele. Dengan sigap, mereka bersiap. Tak ada banyak kata—hanya saling memahami lewat tatapan. Al menggendong Baby Cio yang masih mengenakan piyama kecilnya, dan Thea segera menggantinya dengan pakaian hangat.. Jantungnya berdebar. Tanpa banyak tanya, ia bangkit, menyiapkan tas kecil, menyelimuti Cio dengan jaket tebal, lalu menggendongnya dengan penuh hati-hati. Mereka tak bicara banyak, hanya saling tatap sejenak, dalam diam yang penuh kekhawatiran.

Di kantor pihak berwajib – Zurich. Udara dingin di luar terasa tak sebanding dengan rasa dingin yang menjalari hati mereka saat melangkah masuk ke kantor yang sunyi dan formal itu. Stroller Baby Cio digerakkan perlahan oleh Al, sedangkan Thea berjalan di sampingnya. Mata mereka mencari-cari arah sebelum seorang petugas mempersilakan mereka masuk ke ruang pertemuan tertutup.

Seorang pria berusia sekitar lima puluhan menyambut mereka dengan anggukan sopan. Ekspresinya serius, namun tidak mengintimidasi.

Mereka dipersilakan masuk ke sebuah ruangan rapih dan tenang. Seorang petugas pria duduk di seberang meja, wajahnya tenang namun tampak berat untuk mengatakan sesuatu. Al dan Thea duduk bersebelahan, dengan stroller Baby Cio di samping mereka—si kecil masih tertidur.

“Terimakasih sudah bersedia datang. Silakan duduk, Tuan Moonstone, Nona Rosewood.” Mereka duduk. Al meletakkan stroller Baby Cio di samping kursinya. Si kecil tampak terlelap dengan damai, tak sadar bahwa hidupnya mungkin akan berubah dalam waktu dekat.

Petugas itu membuka map, lalu menatap mereka penuh pertimbangan sebelum akhirnya mulai bicara. “Kami menghubungi Anda karena kami sudah berhasil menemukan orang tua kandung dari bayi ini.”

Kalimat itu membuat napas Al dan Thea tercekat. Thea menggenggam erat ujung mantel wol yang ia kenakan, sementara Al menoleh cepat ke arah Baby Cio yang masih tertidur di dalam strollernya. Kalimat itu menghantam jantung Al dan Thea secara bersamaan.

Sejenak, ruangan terasa hening.

Apakah ini… akhir dari kebersamaan mereka dengan Baby Cio?

Apakah mereka harus merelakan bayi mungil yang sudah begitu mereka cintai, yang sudah mengisi celah kosong di hati mereka sejak pertama kali mereka menemukannya. Mereka tak berkata apa pun. Hanya saling menatap. Jantung keduanya berdetak tak beraturan.

Petugas melanjutkan. “Bayi ini adalah anak dari pasangan muda, turis asal Manchester, Inggris. Menurut kesaksian teman mereka, hubungan mereka ditentang oleh kedua pihak keluarga, karena mereka masih sangat muda dan belum stabil secara finansial maupun emosional. Mereka menyembunyikan kehamilan ini dan melarikan diri ke Swiss sesaat sebelum bayi ini lahir.”

Althea mulai menunduk, menggigit bibirnya. Suara petugas itu terdengar pelan namun menghujam. “Kami sempat mempertimbangkan untuk memberi tahu pihak keluarga mereka, tapi kami mengurungkannya... karena...” (ia menarik napas dalam, seolah berusaha menyampaikan dengan hati-hati) “…dua hari yang lalu, setelah malam tahun baru… mereka mengalami kecelakaan fatal.”

“Mobil mereka menghantam truk besar di jalan tol, diduga dalam kondisi mabuk. Mereka tewas di tempat. Kecelakaan itu terjadi tepat seminggu setelah mereka kembali ke Manchester.”

Suasana ruangan langsung berubah sunyi, hanya suara jam di dinding yang terdengar. Thea menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya mulai menetes tanpa ia sadari. Sementara Al mengatupkan rahangnya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak.

“Mereka sudah… tidak ada?” bisik Thea nyaris tak terdengar.

Petugas itu mengangguk perlahan.

“Kami harus mempertimbangkan langkah selanjutnya untuk bayi ini. Kami berencana untuk menyerahkannya ke panti asuhan atau jika jika kalian mau, kami ingin menawari kalian kesempatan untuk mengadopsinya secara legal.”

Mereka tak langsung menjawab, mereka juga terkejut bahwa baby cio akan diserahkan ke panti asuhan, mereka sangat berat hati dan tak rela. Hati mereka sudah terikat sejak kebersamaan mereka, tapi menyadari bahwa langkah ini akan mengubah hidup mereka sepenuhnya—bukan sebagai bos dan karyawan, bukan sebagai dua orang yang dulu pernah saling melukai—tapi sebagai orang tua.

Al akhirnya bersuara, nadanya berat. “Beri kami waktu… tiga hari. Kami akan mempertimbangkannya dengan matang.”

“Untuk saat ini, biarkan ia tetap bersama kami.”

Petugas mengangguk, memahami beratnya keputusan itu. Lalu mereka pamit ke petugas dan kembali ke hotel. Energi mereka mendadak habis mendengarkan penjelasan petugas.

♾️

Siang hari itu, Zurich tampak hidup dengan segala kesibukan kotanya. Langit cerah, meski matahari musim dingin hanya menggantung rendah di cakrawala. Sinar keemasannya membias lembut di atas bangunan-bangunan klasik bergaya Eropa yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Udara tetap menggigit dingin, namun keramaian kota menghadirkan kehangatan tersendiri. Orang-orang berlalu-lalang dengan jaket tebal dan syal melilit leher, sebagian tampak menikmati kopi di luar kafe berpenghangat, sementara trem-trem khas Zurich melintas perlahan di relnya, membelah jalanan yang tertata rapi.

Mobil yang dikemudikan Al melaju perlahan di antara lalu lintas yang teratur.

Di dalam mobil, tidak ada suara selain dengungan pelan mesin dan sesekali denting suara musik klasik lembut yang mengalun dari radio mobil. Aleron menyetir dengan tenang, namun pikirannya bergejolak. Kedua tangannya menggenggam kemudi, matanya sesekali melirik ke cermin spion tengah—ke arah Baby Cio yang tertidur dalam dekapan Althea. Si kecil tampak damai, dengan pipi kemerahan dan napas tenang. Althea bersandar pelan, tubuhnya lelah tapi matanya tetap terbuka. Di pangkuannya, Baby Cio tampak mungil dan lembut dalam balutan jaket bayi berwarna abu muda. Thea menunduk, menatap wajah bayi itu tanpa berkedip.

“Thea… bagaimana menurutmu?” Thea masih menatap ke luar, bola matanya tak fokus, seperti menembus bangunan dan pepohonan yang mereka lewati.

“Aku belum tahu, Al…” suaranya serak, pelan. “Rasanya seperti semua ini terlalu cepat. Baru beberapa hari kita rayakan tahun baru dengan tawa dan harapan... dan sekarang, kabar kematian orang tuanya datang begitu saja.”

Al mengangguk pelan. Tangannya menggenggam kemudi erat.

“Aku juga merasa begitu. Campur aduk. Aku nggak nyangka kalau mereka meninggal… dan apalagi mereka meninggalkan Cio seperti itu.” Ia menghela napas panjang. “Tapi Thea, kupikir sejak awal kita tahu... kalau ini bukan hubungan sementara.”

Thea menoleh ke arahnya. Tatapannya penuh ragu, namun juga dalam. “Apa maksudmu?”

“Aku… sudah menganggap Baby Cio seperti anakku sendiri. Mungkin awalnya karena dia ditemukan dalam kondisi seperti itu, dan kita nggak bisa tinggal diam. Tapi setelah semua ini... setelah waktu yang kita lewati bersamanya... aku tahu, aku nggak bisa hidup tanpa dia.”

Thea memalingkan wajahnya, menatap jalan lagi. Matanya berkaca-kaca.

Al diam sejenak, lalu menepikan mobil perlahan ke sisi jalan yang sepi, tepat di bawah bayangan pohon pinus yang daunnya tertutup tipis salju. Ia mematikan mesin mobil dan menoleh penuh ke arah Thea.

“Kita mungkin bukan orang tua kandungnya, tapi aku tahu, kita mencintainya. Dan cinta itu... bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Itu tumbuh. Sama seperti yang aku rasakan untuk Baby Cio. Dan... mungkin juga, untukmu.”

Thea menahan napas. Ia menatap Al dalam diam. Suasana di antara mereka seperti berhenti. Hanya suara detak jarum jam di dashboard yang terasa berdetak lebih keras dari biasanya.

“Aku belum siap bicara tentang kita, Al.” jawabnya pelan, namun tidak menghindar. “Tapi untuk Cio... aku tahu satu hal, aku juga tidak bisa hidup tanpanya sekarang. Dia... alasan aku bisa bangun tiap pagi.”

Al mengangguk. Wajahnya terlihat lega karena mendengar pernyataan itu.

“Kalau begitu… mari pikirkan ini matang-matang. Kita punya waktu tiga hari. Tapi Thea, aku yakin... saat waktunya tiba, kita sudah tahu jawabannya.”

Thea mengangguk pelan, lalu menoleh ke kursi belakang. Ia memandangi wajah mungil Baby Cio yang tertidur tenang, napasnya teratur, tangannya menggenggam selimut kecil di dadanya.

“Lihat dia, Al...” gumamnya lirih. “Dia bahkan nggak tahu kalau dunia ini kejam. Dia cuma tahu kita... dan aku nggak mau dia kehilangan itu.”

Al tersenyum tipis. Ia menyalakan kembali mesin mobil. “Kita akan jadi tempat pulang untuknya, Thea. Kalau kamu mau... kita akan jadi rumah.”

Mobil kembali melaju perlahan, meninggalkan bayangan pohon pinus di belakang. Zurich masih hidup di siang yang dingin itu, tapi di dalam mobil itu, dua hati tengah berusaha menyusun masa depan — untuk seorang bayi mungil yang kini telah menjadi pusat semesta mereka.

♾️

Malam itu, langit Zurich tampak bersih. Gugusan bintang menggantung di atas atap kota, dan angin musim dingin berembus perlahan, membawa keheningan yang terasa menyesakkan. Dari balkon kamar hotel tempat mereka menginap, gemerlap lampu kota menyinari jalanan yang mulai sepi. Dentingan halus lonceng trem sesekali terdengar samar, berpadu dengan suara angin yang menggesek dedaunan di kejauhan.

Althea berdiri membisu di sana, berdiri sendirian di balkon. Jaket wolnya membalut tubuh, namun sebagian kecil pundaknya terbuka karena kerudung jaket yang terlepas. Tangan mungilnya menggenggam mug cokelat panas yang sudah mulai kehilangan uap. Wajahnya tertuju pada keramaian kota di bawah, tapi tatapannya kosong—bukan melihat, melainkan termenung.

Suara hiruk-pikuk kota malam seolah beradu kontras dengan keheningan yang menggelayut di hatinya. Lampu-lampu mobil yang melintas perlahan, tawa pasangan muda dari trotoar bawah, aroma roti panggang dari café kecil di seberang jalan—semua terasa jauh, seperti berada di dunia lain yang tak sedang ia tinggali. Langkah kaki yang ringan terdengar di belakangnya. Lalu terasa kehangatan yang tiba-tiba mengalir dari pundaknya—selimut kecil disampirkan dengan lembut oleh seseorang.

“Kau bisa masuk angin kalau berdiri di luar seperti ini terlalu lama,” suara Al lirih, nyaris seperti bisikan.

Althea tersentak kecil, menoleh. Wajahnya memucat karena dingin dan matanya masih menyimpan sembab dari tangis sore tadi.

Sorot matanya menerawang jauh ke arah cahaya kota, tapi pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Masih terekam jelas percakapan siang tadi di kantor polisi. Wajah polos Baby Cio yang tak tahu apa-apa. Kenyataan bahwa bayi itu telah kehilangan orang tuanya. Dan kenyataan bahwa sekarang, mereka—ia dan Al—dihadapkan pada pilihan besar. Menjadi keluarga bagi anak itu… atau melepasnya.

Sebuah suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Al datang perlahan, membawa selimut kecil di tangannya. Tanpa berkata apa-apa, ia menyampirkan selimut itu ke bahu Althea, membiarkan sedikit kehangatan membungkus tubuh gadis itu. Althea sedikit tersentak kaget, lalu menoleh padanya. Tatapan mereka bertemu. Al tidak berkata banyak—hanya senyum tipis dan suara rendahnya yang menenangkan.

“Jangan terlalu keras memikirkannya malam ini, Thea... Kita masih punya waktu untuk berpikir jernih. Fokus juga pada dirimu sendiri. beberapa hari lagi kita punya pameran besar, ingat?"

Althea mengangguk pelan. “Aku tahu… Tapi... kamu tahu, kan, Al? Aku benar-benar takut kehilangan Baby Cio. Rasanya seperti... aku baru saja menemukan separuh jiwaku yang hilang. Dan sekarang... aku harus mempertimbangkan kemungkinan untuk menyerahkannya lagi.”

Al tak menjawab langsung. Ia berdiri di samping Althea, ikut menatap langit kota yang tampak menggantung hening.Ia hanya berdiri di samping Althea, menatap kota yang sama dengan pandangan yang jauh lebih tenang. Lalu, setelah hening beberapa detik, ia membuka suara lagi.

“Kita masih punya waktu, Thea. Jangan terlalu membebani pikiranmu dengan kabar itu… Cio sudah selamat. Sekarang dia butuh kita tetap kuat.”

Althea menunduk, menggenggam mug lebih erat. “Aku tahu… hanya saja... saat tahu orang tuanya meninggal, aku merasa dia benar-benar sendirian sekarang. Rasanya seperti… aku tak boleh gagal melindunginya, Al.”

“Dan kamu tidak akan gagal,” jawab Al cepat. “Kau sudah membuktikannya. Dia bertahan... karena kau juga bertahan. Tapi tubuhmu juga punya batas. Jaga dirimu. Kita juga masih harus menghadiri pameran perhiasan lusa. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan berdiri di sisi proyek Phoenix?”

“Kamu ingat apa yang jadi fondasi kita membangun seri itu? Kebangkitan. Harapan. Kehidupan baru dari abu. Dan lihat, Thea... sekarang kita seperti bagian dari kisah itu sendiri. Mungkin... Baby Cio memang dilahirkan dari puing-puing yang rapuh, tapi dia juga bisa jadi permulaan yang baru—untuk kita semua.”

Althea menarik napas dalam, membiarkan kata-kata Al meresap. Udara malam yang dingin seperti menajamkan pikirannya.

“Jadi, bagaimana dengan pameran?” tanyanya pelan, berusaha mengalihkan pikiran dari duka hari ini.

Al tersenyum. “Segala yang teknis sudah siap. Presentasi kamu sempurna. Desain kita... sudah menyatu dengan kisah mereka, kisah Phoenix. Tapi... aku rasa kehadiran kita yang sebenarnya akan memberikan makna lebih di hari itu. Kita tak hanya membawa karya, Thea. Kita membawa cerita. Dan rasa.”

Althea tersenyum kecil, untuk pertama kalinya malam itu. Senyum lelah, namun penuh makna. “Aku ingin hari itu menjadi awal dari langkah baru. Bukan hanya untuk karya kita. Tapi untuk Baby Cio juga.”

Al menoleh, memandang Althea lama. “Malam ini... kita istirahat dulu. Besok kita bisa pikirkan semuanya lagi dengan kepala yang lebih tenang. Baby Cio butuh kita tetap kuat.”

Althea mengangguk. Ia menatap kota Zurich sekali lagi, lalu melangkah masuk ke kamar bersama Al. Al menunggu Althea melangkah duluan, lalu mengikutinya masuk. Pintu balkon tertutup perlahan, dan angin malam yang dingin tertahan di luar. Keheningan kota tetap bergemuruh, namun di dalam kamar hotel itu—di dalam kehangatan kamar tempat Baby Cio berbaring—telah tumbuh sebuah keluarga. Belum sempurna. Belum utuh. Tapi perlahan-lahan, arah mereka mulai jelas.

Dan malam itu, meski kota Zurich terus berdetak di luar, waktu seolah berhenti sejenak—memberikan ruang untuk sepasang hati dan satu jiwa kecil yang telah menyatukan mereka.

Althea duduk di tepi ranjang, membelai kepala kecil Baby Cio. “Kamu rumahku sekarang…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Tapi Al mendengarnya.

Dan malam itu, tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka pun merebahkan diri di sisi kanan dan kiri bayi mungil itu—masing-masing diam, tapi terikat oleh rasa yang sama, kasih, ketakutan, dan harapan. Untuk Baby Cio. Untuk hidup yang baru.

Tak butuh waktu lama, mereka bertiga tertidur di atas ranjang king size. Baby Cio di tengah, diapit oleh Al dan Thea. Al meletakkan tangan pelan di atas perut si kecil, sementara Thea menatap wajah Cio sambil mengusap lembut pipinya.

Tak ada kata lagi malam itu. Hanya detak jantung mereka bertiga, dan satu kenyataan tak terbantahkan. Mereka belum tahu apa yang akan mereka putuskan. Tapi satu yang pasti—hati mereka sudah tidak sama sejak Baby Cio datang ke dalam hidup mereka. Dan waktu tiga hari ke depan… akan menjadi penentu dari babak baru dalam kisah hidup mereka atau mereka telah menjadi keluarga. Tinggal menunggu… apakah mereka siap mengakuinya kepada dunia.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!