Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Xing
Di bawah naungan langit yang cerah dan embusan angin kencang yang menguji akar pohon bambu, Xie Fu duduk bersila di samping gurunya dengan suasana hati yang ceria. Begitu ceria hingga pesona yang sebelumnya redup, kini bersinar kembali seperti layaknya seorang pangeran.
Sejenak, keheningan menyelinap di antara keduanya yang tengah menikmati semilir angin yang menyejukkan di tengah hutan bambu. Aroma teh yang menguar ke udara menambahkan kenyamanan suasana, hingga akhirnya Qianfan membuka suara setelah menyesap tehnya. “Sebenarnya yang terjadi pada keluargamu tidak benar-benar dilakukan demi jabatan,” ujarnya, sekilas melirik wajah sang murid yang tampak begitu tenang, “melainkan karena dendam yang telah mengakar sejak lama.”
“Semua sudah aku maafkan, Kek,” kata Xie Fu cepat.
“Betulkah?” Qianfan menatap tidak percaya mendengar ucapan penuh keyakinan dari muridnya itu. Sampai-sampai ia begitu lekat memperhatikan raut wajah sang murid. Tidak biasanya seorang pria muda dengan mudah memaafkan orang-orang yang telah merenggut nyawa keluarganya, apalagi sang murid merupakan pewaris tunggal kekaisaran.
Xie Fu mengangguk lalu menyesap teh yang telah dituangkannya. Sementara sang guru masih terus menatapnya dengan antusias dan sedikit tidak sabar. Beberapa hela napas kemudian, Xie Fu melanjutkan ucapannya, “Tidak satu pun aku menemukan ketenangan dari orang-orang yang menyimpan dendam dan memendam kebencian. Oleh sebab itu, aku ingin hidup tenang.”
Kali ini sang guru yang mengangguk membenarkan ucapan dari muridnya itu. Ia tentu mengetahui hal itu, tetapi yang membuatnya tertarik adalah kedewasaan itu lahir dari seorang pemuda belia yang memikul pilunya penderitaan setelah semua keluarganya tewas secara mengenaskan. Bahkan, sang pemuda itu melihat langsung kematian ibunya yang dibunuh di depan semua tamu istana.
“Sulit menemukan seorang pria muda bisa berbesar hati sepertimu, Xie Fu,” kata Qianfan, “Kakek sungguh bangga padamu.”
“Ha-ha, tak perlu memujiku seperti itu, Kek.” Xie Fu terkekeh.
Guru dan murid itu pun melanjutkan perbincangannya. Banyak hal yang mereka bicarakan terutama soal kultivasi dan kehidupan di bawah kekuasaan Kaisar Li. Syahdunya suasana membuat keduanya tampak larut dalam bahasan yang menggerus waktu.
Malam perlahan merangkak naik, menggantikan siang yang pergi dengan sisa cahaya jingga di ujung langit; seperti tirai kelam yang turun menutupi dunia dengan selimut keheningan, sementara bintang-bintang mulai menampakkan diri setelah kepergian sang mentari
“Sepanjang hidup, Kakek merasa hari ini adalah hari yang paling berkesan,” ujar Qianfan mengungkapkan.
“Mengapa begitu, Kek?” Xie Fu mengernyit menatapnya.
“Pengetahuanmu begitu luas, dan itu membuat Kakek yang tua ini banyak belajar darimu.”
“Ha-ha!” Xie Fu tertawa geli. “Mungkin karena aku sudah menamatkan semua buku di perpustakaan istana,” imbuhnya, lalu keduanya tertawa bersama.
Hening kembali menyelinap di antara keduanya. Tidak ada lagi topik pembicaraan, atau memang waktunya tidak lagi cukup untuk membahas berbagai hal. Keduanya membisu dalam lamunan hingga akhirnya Xie Fu beringsut dari bale bambu; bersimpuh di hadapan Qianfan lalu berucap, “Budi baik dari Kakek akan kubawa di sepanjang hidupku. Terima kasih, Kakek.”
Setelah mengucapkannya, Xie Fu melangkah pergi untuk melanjutkan pencariannya menemukan esensi semesta guna mengaktifkan semua simbol kuno, sementara Qianfan hanya mengangguk samar dan terus memperhatikan kepergian sang murid hingga lenyap ditelan kegelapan.
“Semoga kau membawa kedamaian di seluruh alam,” gumam Qianfan yang kemudian menghilang dari tempatnya.
***
Beberapa hari berlalu tanpa menemui hambatan berarti, Xie Fu terus melangkah menapaki jalur sunyi yang hanya ditemani oleh bayang-bayang pepohonan dan desir angin yang suhunya tidak menentu; terkadang terasa panas membakar kulit, kadang pula terasa begitu dingin hingga merasuk ke sumsum tulang.
Pada saat matahari tenggelam di ufuk barat, Xie Fu tiba di sebuah dataran tandus yang luas. Di hadapannya berdiri sepasang pilar batu raksasa yang menjulang tinggi dan berdebu. Pilar itu bernama Gerbang Naga Utara yang berada tepat di perbatasan dua wilayah kekaisaran: Kekaisaran Li di barat dan Kekaisaran Xiao di timur.
Wilayah ini merupakan area netral. Konon, berabad-abad silam, tiga ras besar dari alam fana, alam dewa, dan alam iblis bertempur di wilayah ini dalam peperangan panjang yang hampir meruntuhkan seisi bumi.
Tubuh-tubuh para petarung lintas dimensi—manusia, iblis, dan dewa—berserakan tanpa nama, tertimbun dalam tumpukan tanah dan batu, bersama senjata, artefak, bahkan sumber daya spiritual yang dibawanya. Oleh sebab itulah, tempat ini kini dikenal sebagai surganya sumber daya spiritual dari ketiga alam.
Akan tetapi, Gerbang Naga Utara bukanlah tempat yang bisa dimasuki oleh siapa pun dengan sesuka hati. Wilayah ini hanya akan terbuka sekali dalam sepuluh tahun, dan itu pun harus pada saat bulan purnama yang menggantung sempurna di langit malam.
Xie Fu berdiri di depan pilar yang berdiri kokoh. Di sekelilingnya hanya terhampar tanah kosong sejauh pandangan mata, tidak ada apa pun selain pilar yang memiliki ukiran kepala naga.
“Sepertinya aku terlalu cepat sampai di gerbang ini,” gumamnya seraya memandangi simbol kuno yang terukir pada salah satu pilar.
Setelah mengamatinya, ia memutuskan untuk singgah di kota terdekat, yaitu Kota Xing yang berada di wilayah Kekaisaran Xiao. Namun, jarak ke Kota Xing cukup jauh dari posisinya, sementara langit terus merangkak semakin gelap. Maka dari itu, ia pun menggunakan langkah bayangan untuk menghemat waktu.
Begitu sampai, ia dikejutkan dengan keramaian kota yang dipenuhi oleh para kultivator dari berbagai penjuru daratan. Berbeda dengan kebanyakan kota pada umumnya, di Kota Xing tidak ada pemeriksaan, bahkan tidak terlihat keberadaan para penjaga yang biasanya berdiri di ambang pintu masuk. Ia pun melangkah dengan santai menembus kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
Saat Xie Fu memasuki sebuah penginapan sederhana, banyak pasang mata langsung tertuju padanya, terutama para gadis dari berbagai sekte dan klan yang tak bisa menahan lirikan. Bahkan, beberapa gadis berani melontarkan pujian kepadanya.
“Ah, tampan sekali pria itu!” puji seorang gadis bergaun hijau tua sambil tersenyum malu-malu.
“Siapa pemuda itu, dan dari mana asalnya?” bisik yang lainnya.
Mendapat pujian dari para gadis tak membuat Xie Fu berkenan menanggapinya. Ia masih terus melangkah menghampiri seorang pelayan yang tengah sibuk menyambut kedatangan para tamu. Namun, tiba-tiba saja langkahnya diadang. Seorang pria dari salah satu sekte mencengkeram bahunya dari belakang dan menariknya hingga Xie Fu terpaksa membalikkan badan.
“Hanya manusia sampah tanpa kultivasi!” cibir pria itu setelah memindainya.
“Sampah seperti dia kok dipuji,” ejek seorang pria dari salah satu sekte, suaranya lantang agar terdengar semua orang.
“Ha-ha-ha! Untuk apa dia datang ke sini?” timpal yang lain sambil tertawa kasar.
Para pria dari beberapa sekte mulai mendekat, mengurung Xie Fu dengan tatapan mengejek. Sementara para gadis yang sebelumnya memuji, kini ikut melontarkan hinaan.
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/