"Takdirnya ditulis dengan darah dan kutukan, bahkan sebelum ia bernapas."
Ling Yuan, sang pewaris yang dibuang, dicap sebagai pembawa kehancuran bagi klannya sendiri. Ditinggalkan untuk mati di Pegunungan Sejuta Kabut, ia justru menemukan kekuatan dalam keterasingan—dibesarkan oleh kuno, roh pohon ajaib dan dibimbing oleh bayangan seorang jenderal legendaris.
Kini, ia kembali ke dunia yang telah menolaknya, berbekal dua artefak terlarang: Kitab Seribu Kutukan dan Pedang Kutukan. Kekuatan yang ia pegang bukanlah anugerah, melainkan hukuman. Setiap langkah menuju level dewa menuntutnya untuk mematahkan satu kutukan mematikan yang terikat pada jiwanya. Sepuluh tahun adalah batas waktunya.
Dalam penyamarannya sebagai pemulung rendahan, Ling Yuan harus mengurai jaring konspirasi yang merenggut keluarganya, menghadapi pengkhianat yang bersembunyi di balik senyum, dan menantang takdir palsu yang dirancang untuk menghancurkannya.
Akankah semua perjuangan Ling Yuan berhasil dan menjadi Dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Penjelmaan Jendral Mao
Ling Yuan berdiri tegak, Pedang Kutukan Mao yang baru terlahir kembali terasa seperti perpanjangan dari tulang lengannya. Bilah hitam legam itu menyerap cahaya bulan, membuatnya tampak seolah-olah bilah itu terbuat dari jurang kosmik yang murni. Di ambang pintu gudang yang bobrok, siluet asap hitam itu bergerak. Itu adalah roh jahat—wujud kegelapan tanpa massa, hanya energi murni yang haus akan kekuatan.
WHOOSH!
Roh itu bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, bukan berlari, melainkan meluncur. Ia berusaha menembus pertahanan spiritual Ling Yuan, menargetkan jiwanya yang kini penuh dengan aura kutukan yang baru. Ling Yuan, yang hanya memiliki sepuluh tahun pelatihan spiritual tanpa pertempuran fisik nyata, bereaksi dengan naluri, mengayunkan pedang ke arah di mana ia merasakan dingin yang mematikan.
SHRAK!
Pedang itu menembus asap. Tidak ada darah, tidak ada benturan. Roh itu hanya tertawa, tawa dingin yang terdengar seperti derit kuku di papan tulis. Ling Yuan terkejut. Teknik spiritual yang dia pelajari dari Mao tidak mempersiapkannya untuk entitas yang tidak memiliki bentuk fisik.
“Kau lambat, Nak! Roh jahat ini bukan tandingan baja biasa!” Suara Jendral Mao meledak di benak Ling Yuan, beresonansi dari inti Pedang Kutukan. Suara itu kini lebih kuat, lebih jelas, seolah-olah Jendral Mao berdiri tepat di belakangnya.
“Fokus! Pedang ini adalah pembersih spiritual! Ia tidak memotong daging, tetapi karma!” perintah Mao.
Roh jahat itu mengambil kesempatan. Ia memadatkan bayangannya menjadi cakar tajam dan menerjang. Ling Yuan mengangkat pedangnya untuk menangkis, tetapi Mao memaksa pergelangan tangan Ling Yuan berputar secara instan, mengubah tangkisan menjadi tikaman.
“Gerakan Sembilan Langkah Mao, Langkah Pertama: Kecepatan Bayangan!” teriak Mao.
Tubuh Ling Yuan bergerak dengan sendirinya. Itu bukan kehendaknya, melainkan Penjelmaan Jendral Mao yang mengendalikan otot-ototnya melalui Pedang. Ling Yuan merasakan denyutan energi hitam pekat mengalir dari gagang pedang, melalui lengannya, dan menuntun kakinya. Dalam sekejap, ia bergerak beberapa meter ke samping, menghindari serangan mematikan itu.
SWIING!
Cakar bayangan itu menghantam dinding kuil, meninggalkan bekas hangus. Ling Yuan tercengang oleh kecepatan gerakannya sendiri. Ia baru menyadari bahwa Pedang Kutukan Mao bukan hanya senjata; itu adalah guru yang bertarung bersamanya.
“Jangan kaget! Aku adalah Pedangmu, dan kau adalah tubuhku!” kata Mao, suaranya dipenuhi urgensi. “Sekarang, serang! Gunakan energi kutukan yang baru kau terima. Pikirkan kehancuran yang kau inginkan!”
Ling Yuan menutup matanya sejenak, membiarkan kebencian dan rasa sakit yang ia pendam selama sepuluh tahun mengalir ke Pedang. Energi kutukan yang terpendam di dalam dirinya, yang baru saja distabilkan, merespons. Bilah hitam itu mulai berdenyut dengan cahaya ungu gelap yang intens.
Roh jahat itu terkejut. Ia bisa merasakan aura Dewa Kutukan yang mendominasi, energi yang jauh lebih tua dan lebih murni daripada kegelapan yang ia wakili.
“Tebas ke atas! Bukan untuk memotong, tapi untuk menyingkirkan kutukan!” perintah Mao.
Ling Yuan membuka matanya. Ia tidak lagi melihat roh itu sebagai asap, tetapi sebagai ikatan karma yang terdistorsi. Dengan raungan tanpa suara yang hanya bisa didengar di alam spiritual, ia mengayunkan Pedang Kutukan Mao.
KRAKK-SHING!
Pedang itu tidak berhenti pada udara. Ketika bilah ungu gelap itu bersentuhan dengan energi roh, terdengar suara retakan, seperti kristal yang pecah. Roh jahat itu menjerit, kali ini jeritan kesakitan yang memilukan. Asap hitamnya mulai berputar, dan bagian-bagian dari wujudnya terkoyak.
Pedang Kutukan Mao bertindak seperti magnet. Setiap partikel energi roh yang terpisah tidak hilang; ia diserap ke dalam bilah pedang. Ini adalah makanan Pedang Kutukan—menyerap energi spiritual dari mereka yang jatuh di bawah kutukannya.
“Bagus, Anakku! Itu adalah Teknik Dasar Penyerap Jiwa! Kau baru saja mengambil kekuatan kecil darinya!” puji Mao.
Namun, roh itu tidak mudah menyerah. Ia tahu bahwa Pedang itu kuat, tetapi pemegangnya masih baru. Roh itu melarikan diri dari serangan Ling Yuan, terbang ke atas dan mulai menyerap kegelapan dari gudang tua itu, menjadi lebih besar dan lebih padat.
“Ia mencoba meningkatkan kekuatannya. Jangan biarkan ia menyerap energi spiritual di tempat ini!” Mao memperingatkan. “Kita harus mengakhirinya sekarang. Aku akan menunjukkan Teknik Kecepatan Pedang Tahap Awal!”
Kali ini, koneksi antara Ling Yuan dan Pedang Kutukan jauh lebih intens. Rasanya seperti Jendral Mao yang benar-benar memegang tangannya, memimpinnya dalam tarian yang mematikan. Ling Yuan bergerak cepat, mengitari roh itu dalam pola yang rumit.
ZSSSHHH! ZSSSHHH! ZSSSHHH!
Ling Yuan menghilang dan muncul kembali. Bukan karena ia cepat, tetapi karena ia bergerak di antara dimensi spiritual dan fisik dengan bantuan energi kutukan. Dalam sepersekian detik, Ling Yuan melancarkan puluhan tebasan. Tebasan itu tidak terlihat oleh mata telanjang, tetapi jejak ungu gelap yang ditinggalkan oleh Pedang Kutukan membelah roh jahat itu menjadi serpihan-serpihan.
Roh itu melolong untuk terakhir kalinya, suara itu penuh teror, seolah-olah ia menyadari bahwa ia telah menarik perhatian entitas yang jauh lebih kuat darinya. Dalam sekejap, wujud asap itu meledak menjadi kabut hitam, dan kabut itu tersedot sepenuhnya ke dalam bilah Pedang Kutukan Mao.
Keheningan kembali ke gudang tua itu. Ling Yuan terengah-engah, keringat dingin membanjiri dahinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena kelelahan kultivasi yang luar biasa. Ia telah menggunakan energi yang bahkan tidak ia sadari ia miliki.
Pedang Kutukan Mao di tangannya kini memancarkan cahaya ungu yang lebih terang, seolah-olah baru saja makan. Ling Yuan merasa koneksi spiritualnya dengan Mao semakin dalam, semakin permanen.
“Itu bagus, Nak. Kau lulus ujian pertama. Kau telah membuktikan bahwa kau adalah pemegang yang layak,” suara Mao terdengar bangga. “Sekarang, kau tahu. Aku tidak akan lagi menjadi arwah yang berbisik. Aku adalah wujud yang terikat pada senjata ini, panduan fisik yang akan mengajarimu setiap gerakan dan setiap filosofi kultivasi.”
Ling Yuan menatap Pedang itu. Ia mengangguk pelan. Tidak ada kata-kata yang diperlukan. Ia telah mengalami Penjelmaan Jendral Mao. Gurunya telah menjadi senjatanya.
“Roh jahat itu adalah peringatan. Energi kita akan menarik banyak hal buruk. Kau harus lebih kuat, lebih cepat,” lanjut Mao. “Kita telah mendapatkan Kitab Seribu Kutukan, Ling Yuan. Kita telah memiliki Pedang ini. Sekarang, kau harus menguasai pengetahuan itu. Kita tidak punya waktu untuk berpuas diri.”
Ling Yuan menyelipkan Pedang Kutukan Mao kembali ke sarungnya, yang kini secara ajaib telah berevolusi menjadi sarung kulit hitam legam yang sama sekali baru. Ia menatap ke luar jendela gudang, ke arah Kota Kekaisaran yang damai, tempat musuhnya bersembunyi di balik kemewahan.
Ia mengambil Kitab Seribu Kutukan. Tidak ada lagi gelombang kejut yang mengerikan, hanya keheningan. Kitab itu menantangnya untuk menyelam lebih dalam ke dalam seni terlarang yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dirinya.
“Ya, Guru,” bisik Ling Yuan dalam hati, tekadnya membatu. “Mari kita mulai. Ajari aku bagaimana cara mematahkan kutukan ini.”
Mao tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi dengan gelombang informasi yang menenangkan. Ling Yuan duduk di atas alas batu yang dingin, membuka Kitab Seribu Kutukan, siap untuk menerima banjir pengetahuan yang akan mengubahnya menjadi sesuatu yang ditakuti oleh Kekaisaran—kultivator kutukan yang paling hebat. Langkah pertama dalam studi intensif kultivasi terlarang akan dimulai, dan ia harus menyelesaikan semuanya sebelum sepuluh tahun itu berakhir.