Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mempu mematahkan semangat nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Setelah tertidur selama satu jam, Ara terbangun dan melihat jam di atas nakas. Ternyata sudah sore. Ara segera bangkit, mandi, dan bersiap-siap untuk pergi bersama para sahabatnya.
Setelah selesai bersiap, Ara turun ke bawah. Di ruang keluarga sudah ada kedua orang tuanya, Arga, Arka, Vania, dan Inti Bruiser—minus Gio dan Lucas, karena mereka berdua juga akan pergi ke mal bersama Ara. Kedatangan Ara menghentikan obrolan mereka yang sedang asyik bercanda.
"Mau ke mana, lo? Mau ngejalang?" tanya Arga dengan nada sinis sambil menatap Ara.
"Bukan urusan lo," jawab Ara dingin, membalas tatapan Arga.
"Kakak kamu nanya baik-baik. Bukannya jawab yang baik, juga malah ngelawan," tegur Bunda Ara.
"Tapi maaf, Nyonya. Saya tidak memiliki kakak atau abang," balas Ara sebelum melangkah pergi dan mengendarai motornya.
"Tuh, Bunda lihat, kan? Makin ngelunjak tuh anak!" gerutu Arga, masih kesal dengan Ara.
"Kamu benar. Makin hari Ara semakin sulit diatur. Anak itu jadi makin liar," sahut Abraham, mendukung ucapan Arga.
"Kasih pelajaran aja, Yah, biar dia tahu rasa," timpal Arga, memanasi Abraham.
"Iya, Yah. Bunda juga setuju. Jangan sampai karena kelakuan dia, keluarga kita jadi malu," ucap Elmira, Bunda Ara.
"Aku juga setuju, Om, dengan usulan Arga. Di sekolah pun Ara sering membully Vania. Belum lagi Om sendiri pernah lihat Arga dihajar Ara," tambah Gavin. Sementara itu, Alvin dan Ryan memilih diam, tidak ingin ikut campur.
Arka, yang selama ini jarang berbicara, akhirnya angkat bicara dengan suara tegas. "Apa kalian masih belum sadar bagaimana perbuatan kalian terhadap Ara selama ini? Dan sekarang dia sudah berubah, kalian masih ingin menyakitinya. Coba kalian pikir, bukankah ini yang kalian mau? Ara tidak lagi mencari perhatian, dia tidak lagi mengganggu kalian. Dulu kalian selalu bilang lebih baik Ara tidak ada, lebih baik Vania saja. Itu kan yang selalu kalian katakan. Dan sekarang, saat semua keinginan kalian terpenuhi, kalian masih saja berusaha menyakitinya."
Arka melanjutkan dengan nada penuh emosi, "Sebagai seorang ibu, seharusnya Bunda tahu betapa kejam luka yang kita beri kepada Ara. Biarkan dia bahagia. Sekarang kalian seharusnya bahagia. Anak yang kalian anggap pembawa sial, tidak tahu diri, dan parasit sudah tidak ada. Kalian bisa fokus, seperti yang kalian bilang, memberikan kasih sayang kepada Vania. Ara, putri kalian, sudah 'mati'. Itu yang Ara ucapkan. Tanamkan dalam pikiran masing-masing dan berhenti mengganggu kehidupan Ara."
Arka kemudian menatap teman-temannya dan berkata, "Dan buat kalian, gak usah ikutan benci cuma karena temenan sama gue atau Arga. Benar kata Lucas, Ara gak pernah ganggu hidup kalian atau merugikan kalian. Mau dia jalang sekalipun, dia gak merugikan kalian." Setelah itu, Arka pergi ke kamarnya, meninggalkan suasana yang penuh ketegangan.
Semua orang di ruang keluarga terdiam mendengar ucapan Arka karena Arka dikenal sebagai orang yang paling jarang berbicara.
"Sial, lo lagi, Ara. Awas aja lo," gumam Vania dalam hati sambil mengepalkan tangannya dengan kuat.
Ara sudah tiba di mal, tempat ia dan sahabat-sahabatnya janjian. Ternyata semua sahabatnya sudah sampai dan hanya tinggal menunggu Ara saja.
"Lama banget sih, Ra. Gue sampai lumutan nunggu lo," keluh Azka.
"Biasalah, ada drama dulu," jawab Ara sambil bergabung dengan sahabat-sahabatnya.
"Gue tahu drama yang dimaksud Ara. Pasti soal keluarga lo, kan?" ujar Lucas yang berdiri di sebelah Varo.
"Hmm," jawab Ara singkat dengan deheman.
"Udah lah, gak usah dipikirin drama mereka, Ra. Mending sekarang kita langsung masuk aja," saran Jessika, yang langsung disetujui semua orang.
Ara berjalan paling depan bersama Gio, diikuti Jessika dan Varo, Lucas, Azka, El, serta yang paling belakang: Risa, Nabila, dan Manda.
"Kita cari dress dulu aja," ucap Jessika sambil menunjuk salah satu butik. Mereka pun segera masuk. Saat memasuki mal, mereka menjadi pusat perhatian, terutama Ara dan Gio yang memiliki visual memukau.
"Guys, gimana kalau kita pakai warna couple? Yang cowok juga ikut," usul Nabila dan Manda.
"Nah, gue setuju nih. Biar keren, ya kan?" sahut Jessika, mendukung ide tersebut.
"Gue sih setuju aja, asal jangan warna pink. Jangan ada yang usul warna itu," ujar El.
"Iya, jangan warna pink. Gak mau gue," tambah Lucas, yang langsung diangguki oleh semua cowok.
"Ih, siapa juga yang mau warna pink? Kecuali Nabila, dia kan suka pink," balas Jessika.
"Jadi, warna apa dong?" tanya Azka.
"Hitam," jawab Gio dan Ara bersamaan. Semua orang melongo mendengar jawaban mereka.
Ara dan Gio sedikit salah tingkah, tapi keduanya pandai mengendalikan ekspresi wajah mereka.
"Jadi gimana?" tanya Jessika kepada semuanya. Semua pun mengangguk setuju.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya seorang pelayan butik yang menghampiri mereka.
"Kami mau cari dress buat pesta, tapi yang warna hitam, lima stel ya, Mbak," jawab Jessika.
"Baik, mari ke sini, Kak," ujar pelayan tersebut sambil menuntun mereka. Di butik itu terdapat banyak dress yang tergantung. Mata Ara langsung tertuju pada sebuah dress hitam panjang dengan belahan di kaki yang memamerkan kaki jenjangnya. Dress tersebut memiliki lengan se-siku, sedikit belahan di bagian dada, dan dihiasi permata yang memberikan kesan mewah.
"Bungkus yang ini aja, Mbak," ucap Ara sambil menunjuk dress tersebut.
"Gak mau dicoba dulu, Kak?" tanya pelayan.
"Gak usah," jawab Ara. Setelah semua cewek memilih dress, kini giliran para cowok.
"Mbak, kami juga mau tuxedo buat tujuh orang cowok, warna hitam ya," ucap Jessika kepada pelayan.
"Baik, mari ke sini, Mbak dan Mas," balas pelayan butik sambil membawa mereka ke tempat tuxedo. Setelah memilih dan mencoba pakaian, mereka pun segera membayar. Ara dan Gio sempat berebut untuk membayar, tapi akhirnya Gio membayar pakaian cowok, sementara Ara membayar pakaian cewek.
"Abis ini kita ke mana lagi?" tanya Jessika.
"Kita makan dulu lah. Gue udah laper," jawab Varo, yang langsung diangguki oleh semua orang.
Mereka pun makan di sebuah restoran Korea. Setelah selesai makan, mereka pulang ke rumah masing-masing, dengan Ara yang diantar oleh Gio setelah perdebatan panjang.
Ara melajukan motornya dengan cepat, diikuti oleh Gio di belakang. Namun, saat melewati jalanan yang sepi, Ara dihadang oleh segerombolan pria berbaju hitam. Ara menghentikan motornya, dan Gio turut berhenti di sebelahnya.
"Minggir, gak, kalian semua!" seru Gio sambil turun dari motor, diikuti oleh Ara.
"Kami gak akan pergi sebelum membawa cewek itu," jawab salah satu pria dengan nada mengancam.
"Mau apa kalian?" tanya Ara dengan suara dingin dan datar.
"Mendingan kamu ikut kami aja, manis," ujar pria itu dengan senyum licik.
"Kalau aku gak mau?" balas Ara tegas.
"Kalau begitu, kami terpaksa menggunakan kekerasan. Tangkap cewek itu!" perintah pria tersebut kepada anak buahnya.
Perkelahian pun tak terelakkan. Ara dan Gio maju melawan mereka. Ara menghadapi empat pria berbadan besar, sementara Gio melawan lima pria lainnya.
BUGH! BUGH! KREKK! BUGH! BUGH! KREKKK!
Ara dan Gio berhasil melumpuhkan semua pria, termasuk ketua preman mereka. Ara mengambil ponsel dari saku jaketnya dan menelepon salah satu anggota mafianya.
"Sudah gue tandai lokasi. Langsung ke sini, bawa mobil. Mereka semua ada sepuluh orang," ucap Ara sebelum menutup telepon.
Tak lama kemudian, para mafioso datang dan segera memberi hormat kepada Ara.
"Bereskan semuanya sesuai perintah gue," perintah Ara kepada mereka.
"Siap, Queen," jawab salah satu mafioso, lalu mereka segera menjalankan perintah tersebut.
Gio yang melihat kejadian itu merasa heran. Siapa sebenarnya Ara? Mengapa mereka begitu menghormatinya dan memanggilnya dengan sebutan Queen? Ara yang menyadari kebingungan Gio memilih untuk tidak peduli. Ia langsung naik ke motornya. Gio pun tersadar dan segera mengikuti Ara hingga mereka tiba di depan rumah Ara.
"Thanks," ucap Ara singkat kepada Gio.
"Sama-sama. Gue duluan," jawab Gio sebelum pergi meninggalkan Ara.
Ara masuk ke rumah yang ternyata sedang sepi. Ia merasa lega karena sudah lelah dan malas menghadapi drama keluarga. Ara naik ke lantai atas menuju kamarnya sambil membawa barang belanjaannya. Tanpa membuang waktu, Ara segera tidur, mengingat besok adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Penampilan Ara, Gio, dan Rissa sudah didiskusikan sebelumnya, termasuk lagu yang akan mereka bawakan. Semua sudah siap, tinggal menunggu hari esok—hari kehancuran Vania. Ara memejamkan mata dan tenggelam dalam alam mimpi.
Di tempat lain, seorang wanita sedang mengamuk. Rencananya untuk menghancurkan Ara gagal. Ia merusak semua barang yang ada di sekitarnya.
"Sial! Ini gak bisa dibiarkan. Aku harus segera menyusun rencana baru untuk melenyapkan dia. Tunggu saja, kamu pasti habis di tanganku," geram wanita itu sambil berbicara sendiri.