tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keterbatasan pengetahuan
Aku segera menggulingkan diri ke samping kiri, tapi secepat kilat burung besar itu bersiap kembali, aku kewalahan dan mengibaskan tanganku, tanganku tergores, tajam seperti belati, sobekan memanjang di sepanjang lenganku, aku terpekik
" burung sialan " umpatku kasar, aku tidak memegang senjata lain selain katapel, tapi burung itu kembali bersiap untuk menyerangku, aku segera melindungi wajahku dengan kedua tanganku dan berteriak sekencang yang kubisa,
Sebelum kuku tajam itu berhasil menyentuh tubuhku, seekor binatang coklat dengan kecepatan dan ketepatan menyambar burung besar itu, aku melongo melihat dengan sekali terekam burung besar itu terkapar, binatang coklat dengan riap-riap di wajahnya itu memandangku, tapi tidak seperti sedang mengancam, apakah kami saling mengenal, aku menatapnya lagi tapi ini bukan serigala yang sama yang pernah kutolong tempo hari di hutan dekat rumah, kami saling pandang sebentar sebelum serigala itu berbalik sambil melolong,
" Terimakasih " kataku dengan lesu
Kak Buat datang dengan tergesa, dan segera panik melihatku dengan luka panjang di tangan.
" Apa yang terjadi ?" tanyanya, tanganya bergerak cekatan membalut lukaku dengan kain bajunya yang disobek,
aku menceritakan kejadiannya, kak Buat menoleh kekanan dan ke kiri,
" kemana perginya serigala itu ?" aku menunjuk ke arah serigala itu menghilang
" ayo kita cari obat untuk lukamu " dan kami kembali ke gua dengan tergesa-gesa.
Kedua orang tua di gua sedikit terkejut dengan apa yang terjadi kepadaku, untungnya paman Gentara adalah seorang penyembuh, dengan berbagai ramuan tanganku di bebat,
" luka ini akan meninggalkan bekas " jelas paman kepadaku, aku mengangguk dan tersenyum mengatakan dengan tulus bahwa tidak apa-apa
" yang penting wajahku aman " kataku dengan malu, tentu saja sebagai gadis walaupun masih kecil aku tahu kalau wajah adalah aset berharga yang tidak boleh tergores.
" kami sudah berbicara, kau ikutlah bersama mereka ke madura, keberadaanmu disini sudah tidak lagi aman, Ki Tanjar akan membantumu selanjutnya " kata Paman Gentara kepada Kak Buat, aku tidak paham dengan yang mereka bicarakan tapi tidak punya keberanian untuk bertanya apapun.
Kak Buat mengangguk mengerti
" ayo kita biarkan mereka bicara " kata kakek Tanjar sambil mengajaku keluar, lagi-lagi aku menjadi bagian yang tidak boleh tahu, hmmmm nasib anak kecil
" Dengarkan, kita akan ke madura dan anak itu akan ikut dengan kita, kau jangan terlalu dekat dengan pemuda itu, kau mengerti ?" kata kakek setengah berbisik, aku mengangguk
" tapi kalau kakek tidak suka padanya, kenapa dia harus pergi bersama kita ?" tanyaku, tentu saja aneh
" Kau bocah hanya perlu menurut, kakek akan mencarikanmu pemuda yang tampan ,kaya , dan dari keluarga baik-baik, satu-satunya orang yang harus kau hindari adalah pemuda itu lagipula lihatlah wajahnya yang jelek itu " kata kakek semakin menggebu, tentu saja aku manggut-manggut untuk membuat kakek senang.
Pov Tanjar :
Ternyata pemuda ini adalah putra pertama dari penguasa, dan keadaan politik istana menjadikannya terdampar disini, sungguh sayang sekali, bocah ini sudah mengalami hal yang buruk, pembantaian terhadap ibu dan saudaranya, kemudian merusak wajahnya yang tampan dengan obat-obatan untuk menyembunyikan identitas, pada awalnya aku tidak tertarik dengan intrik politik ini, tapi ternyata Gentara adalah murid dari Ki Pramudya, dan Ki Pramudya adalah kakek dari bocah ini, Ki pramudya sendiri adalah orang yang pernah menyelamatkan seluruh keluargaku disaat beliau masih muda, ini adalah lingkaran balas budi yang diluar batas nalarku sebagai manusia.
Pada akhirnya aku berjanji untuk mendekatkannya dengan kekuasaan, tapi hanya sebatas itu yang bisa kulakukan, selanjutnya biarkan bocah itu yang berjuang, dan melihat asal usulnya bocah itu tidak boleh dekat dengan keluargaku, aku tidak tertarik untuk menjadi keluarga istana yang menjadikan nyawa kami diujung tanduk, dan aku melihat kalau pemuda ini selalu melihat cucu keponakanku dengan mata berbinar. aku sungguh tidak suka, ini sungguh tidak baik.
keesokan harinya kami bertiga meninggalkan tempat itu . sepanjang jalan Kak Buat dan kakek terlihat banyak sekali beban pikiran, kami berjalan dengan bisu, sangat membosankan.
" kak ini hutan kecil atau hutan besar " kataku beceloteh asal sekedar mengajaknya berbicara
" tentu saja hutan kecil, jangan takut " kata kak Buat menyahuti pertanyaanku
" bagaimana aku bisa takut, kau tahu kakek lebih garang dari macan " kataku dengan tertawa
" Kau gadis jangan banyak mengomel" sahut kakek seperti tidak senang aku banyak bicara dengan kak Buat, aku mengerucutkan kembali mulutku.
" Baiklah kita berdiam diri sampai ke Madura saja " kataku masih berusaha menyahut, tapi kakek melihatku, dan tatapanya tidak begitu ramah, Kak Buat menunduk,
" Kau berjalanlah di depan " kata kakek memerintahkan, aku menurut dan tidak lagi menjajari kak Buat, aku mulai bersenandung untuk menghilangkan bosan.
Jalan yang kami lalui kali ini lebih cepat dari ketika kami datang, kak Buat tahu dengan tepat kemana kami harus berjalan, pada malam harinya kami tidur di tengah hutan lebat dengan perapian yang menyala, hari ketiga kami sampai di bangwetan, ternyata bangwetan adalah sebuah kota ramai dengan penduduk yang memadati sepanjang pesisir pantai, di kota itu juga ada dermaga yang menampung kapal-kapal keluar masuk membawa dan menaikan barang, para pekerja panggul bergerak cepat, kota ini sangat dinamis.
sebagai orang desa yang belum pernah melihat keramaian kali ini boleh saja aku merasa rendah diri, baju kumal berupa pakaian terbaik yang kupakai sudah compang-camping, beberapa gadis yang berpapasan denganku melihat kami dengan tatapan yang entahlah,
tapi Kakek adalah orang dengan kepercayaan tinggi, ketika kakek masuk pasar hampir seluruh pedagang mengenalnya, bahkan Kakek bisa membawa beberapa barang tanpa membayar, sebuah kereta kudapun di dapat dengan mudah tanpa melakukan transaksi, semua pedagang memanggil kakek dengan sebutan " juragan "
" aku butuh beberapa kain, aku dalam perjalanan pulang, tapi aku tidak membawa uang sekarang " kata kakek kepada seorang pedagang berkulit putih, bermata sipit dan memakai pakaian aneh,
" ahhh, julagan bawa saja semua yang julagan butuhkan " katanya dengan logat yang juga aneh,
" ini untuk kamu, bawalah ini hadiah " kata orang aneh itu sambil memberikanku sebuah cincin kecil, aku ragu menerimanya dan melihat kakek
" terimalah " aku tersenyum
" Terimakasih paman " kataku
" dia cucu perempuanku " kata kakek memperkenalkanku kepada orang itu, aku mengangguk menyapa dengan ramah.
pasar dekat pelabuhan itu sangat besar belum pernah terbayangkan olehku sebelumnya ada pasar sebesar dan seramai ini.
" bagaimana menurutmu pasar ini ?" Tanya kakek kepadaku
" bahwa selama ini aku hanyalah katak dalam tenpurung kek " kataku tanpa malu mengakui keterbatasan yang kuketahui.
Kakek mendapatkan pedati, dan pedati itu sarat dengan muatan, kami menyebrang ke Madura keesokan harinya menumpang kapal dagang.
Udara kering membawa angin laut, setelah beberapa waktu akhirnya kami menjejakan kaki di pulau garam yang panas.