NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Besok paginya, matahari bersinar cerah harusnya membuat orang bersyukur telah diberikan hidup dan hari yang indah, tapi Dima justru merasa sebaliknya. Dia tidak ingin hidup, tapi sesaat kemudian dia sadar tidak ingin mati muda. Dia hanya tidak ingin ke sekolah. 

Suasana ramai motor dan mobil hilir mudik di depan rumah Dima yang sempit, sehingga ketika ada orang berpapasan akan terjadi kemacetan panjang. Kesedihan dan kesulitan seseorang, bisa jadi kemudahan bagi orang lain. Itulah yang ibunya dapatkan dari kemacetan di depan rumahnya. Jualan risolnya jadi laris. Ibunya Dima jadi sibuk mondar-mandir ke dapur - entah untuk mengambil kresek, karet gelang, atau kembalian - melewati Dima yang sedang sarapan dengan lesu.

“Kamu kenapa?”tanya ibunya melintas dari halaman ke dapur.

“Nggak apa-apa,” jawab Dima dengan suara pelan, sampai nyaris dirinya sendiri tidak mendengarnya.

Ibunya keluar dari dapur membawa cabe rawit, berhenti sejenak dekat Dima, “Apa?”

“Pusing, ada PR matematika susah!”

“Ah kamu itu sebenernya bisa. Cuma kebanyakan main aja sih! Jangan kebanyakan main, Dima!” ujar ibunya sambil jalan ke teras rumah dan melayani pembeli.

Selesai sarapan, Dima memakai sepatu di teras. Ibunya sedang duduk menunggu pembeli. Jalan di depan rumahnya sudah tidak macet lagi. 

“Ayah mana?” Dima baru sadar tidak melihat ayahnya sejak subuh tadi.

“Pergi ke rumah Om Budi,” jawab ibunya yang sedang menghitung uang jualan risolnya.

Dima terdiam tidak tahu harus menjawab apa. Dia lalu bangkit, salim, dan pamit pada ibunya.

“Dim,” sahut ibunya ketika Dima sudah selangkah lagi keluar teras rumahnya.

“Apa?” Dima menoleh. Ditatapnya wajah ibunya yang terlihat kekhawatiran di matanya.

“Belajar yang rajin, biar bisa cari beasiswa buat kamu kuliah,” ibunya sangat ingin Dima kuliah, meski tahu keuangan mereka sepertinya tidak mungkin.

Dima mengangguk, mengerti bahwa harus mencari cara lain untuk keluar dari lubang kemiskinan ini.  Dia lalu pergi ke sekolah. Dia berhenti sejenak melihat jendela kamar Quin. Berpikir apa yang harus dia katakan jika ketemu Quin nanti di kelas.

Mamanya Quin membawakan segelas air lemon panas ke kamar Quin. Quin masih meringkuk di dalam selimut di atas kasurnya.

“Mau ke dokter aja?” tanya mamanya sambil mengusap rambut Quin yang hitam pekat.

Quin menggelengkan kepala.

“Ini air lemonnya mama taro di meja. Jangan lupa diminum,” mamanya berkata seraya bangkit dan menyimpan gelas air lemon di atas meja. “Nanti mama bilang ke guru kamu kalau kamu sakit.”

Quin tidak bergerak sedikit pun.

– 

“Tadinya aku mau nyontek Quin!” kata Meta yang duduk di sebelah Nisa. Buku dan tempat pensilnya ada di mejanya Quin.

Nisa mengeluarkan buku matematikanya, “Tapi aku nggak tau ya, bener apa nggak.”

“Nggak apa-apa!” Meta langsung menarik dan membuka buku matematikanya Nisa. Dia langsung menyalin jawaban.

Dima muncul dari luar kelas. Meta duduk di kursi Quin sedang menyalin tugas matematika milik Nisa. 

“Quin mana?” tanya Dima yang mendekati meja Nisa.

“Sakit,” jawab Nisa singkat tanpa melihat Dima. Nisa berusaha fokus ke hapenya. Dia tidak ingin Dima mengetahui bahwa dirinya juga kesal pada Dima.

“Sakit apa?” tanya Dima tahu, kemungkinan besar Quin sudah menceritakan semuanya pada Nisa.

“Sakit perut!” jawab Nisa yang masih menscroll medsos di hapenya.

Dima tidak mau menyerah, tapi dia tahu Nisa tidak akan menceritakan apapun padanya. Dia lalu duduk di kursinya dan mengirimkan chat ke Nisa.

Dima : Elu tau soal YAMI?

Nisa : YAMI apa?

Dima : Nggak usah pura\-pura!

Nisa : Siapa yang pura\-pura?

Dima : Gue udah minta maaf ya!

Nisa menoleh ke Dima. Dima menatap Nisa, sambil mengacak-acak rambutnya. Nisa cuma bisa menggelengkan kepala dan kembali memainkan hapenya.

Sambil menyalin tugas, Meta berbisik ke Nisa, “Dima yang bikin Quin nggak sekolah hari ini?”

“Secara garis besarnya, gitu deh!” Nisa memutar bola matanya.

“Kalau kata gue nih, bentar lagi mereka jadian,” ujar Meta yang masih fokus menyalin tugas.

“Kata gue siiih…. Ah ribet! Kalaupun jadian, paling bentar doang terus putus!”

“Iya juga sih.” 

Quin duduk di depan TV, menonton FTV dengan cerita yang ringan tapi norak tapi juga cukup menghibur. Setidaknya Quin tidak harus berpikir untuk bisa mencerna ceritanya. Sampai-sampai, dia bisa menebak lanjutan cerita bahkan dialognya.

“Oke, kita putus!” Quin mengucapkan dialog yang akan dikatakan pemeran utama di FTV yang ditontonnya dan benar saja, itulah yang diucapkan pemeran utama.

Teh Santi datang membawakan kentang rebus, “Disuruh ibu buat ini.”

“Makasih, Teh.”

Quin tidak langsung mengambil kentang rebusnya. Dia malah mengambil remote TV dan mengganti channel TV ke Image Fiction TV. Muncul iklan YAMI. Episode perdana akan mulai sabtu minggu depan. Tampak pemenang-pemenang season sebelumnya menghiasi iklan YAMI tahun ini. Quin menghela napas, memikirkan apakah dia mau melanjutkannya kalau dia terpilih masuk babak live.

Terdengar dering notif chat di hapenya.

Quin mengambil hape dan melihat ternyata ada chat masuk dari Arka.

Arka : Anak\-anak di sekolah gue pada nyuruh gue nazar botakin rambut kalau kepilih live YAMI.

Quin terkekeh.

Quin : Terus elu mau?

Arka : Ya kali, gue live tapi botak. 

Quin : Tapi kan bagus, biar jadi gimmick. Idol botak!

Arka : Katanya studio IF TV itu dingin. Kalo gue botak, menang kagak, masuk angin iya!

Quin tertawa lepas, bersamaan dengan bel rumahnya yang berbunyi. Quin berpaling ke ruang tamu.

Mamanya sedang pergi mengurus kafe dengan temannya. Hanya ada Teh Santi di rumah. Seperti biasanya, Quin ingin langsung masuk ke kamarnya, tidak ingin ketemu tamu.

Terdengar bel rumahnya berbunyi lagi.

“Teeeh!” Quin menoleh ke arah dapur, memanggil Teh Santi.

Teh Santi keluar dari dapur, “Iya, Neng?”

“Ada tamu,” jawab Quin manja.

Teh Santi keluar rumah. Quin mendengar suara Teh Santi bicara dengan seorang pria. Tak lama kemudian, Teh Santi masuk lagi ke rumah dan berkata, “Dima mau ketemu.”

Dunia tiba-tiba berhenti berputar.

“Neng?” tanya Teh Santi menegur Quin yang bengong. Matanya melamun entah melihat apa. Mulutnya terbuka.

“Bilang aja, aku lagi sakit. Lagi tidur atau apa.”

Tanpa membantah, Teh Santi bergegas keluar rumah. Tak lama kemudian dia balik lagi, “Pliss, katanya, Neng.”

Quin terpaksa bangkit. Dimatikannya tv lalu dia melangkah ke luar rumah sambil memperbaiki kaos oversizenya agar bisa menutupi celana pendeknya. Dari balik tirai jendela di ruang tamu, Quin bisa melihat Dima yang masih berpakaian seragam dan membawa tas ranselnya, sedang berdiri di teras, menghadap ke jalanan.

Pintu halaman terbuka. Quin melongo keluar, “Mau apa?”

“Kamu sakit?” tanya Dima yang dirinya sendiri tidak tahu kenapa dia menggunakan kata kamu.

“Nggak,” kata Quin yang perlahan keluar dari rumahnya, tapi masih berdiri di depan pintu.

Dima langsung memalingkan wajahnya. Dia kaget melihat Quin berpakaian rumahan, sehingga menunjukkan kakinya yang kurus dan putih. 

“Kok nggak sekolah?” tanya Dima yang masih melihat ke lantai, tidak ingin Quin melihat semburat merah di pipinya.

“Kamu mau apa? Cepet deh! Aku mau istirahat.”

“Sori,” akhirnya Dima berani menatap wajahnya Quin. “Aku cuma mau bilang sori. Oke gue salah. Gimana caranya supaya elu bisa maafin gue?”

Quin menganggukkan kepala, mencari jawaban yang tepat.

“Gue butuh bantuan elu, supaya puisi gue menang. Gue butuh uang.”

“Lagian, harusnya elu juga ikutan YAMI!” kata Quin kesal.

“Aduh kenapa sih elu tuh kaya kakak gue aja, nyuruh-nyuruh gue ikutan YAMI. Gue itu introvert, nggak berani nyanyi di panggung! Yang ada malah jadi masuk nominasi coba lagi award!”

Quin terkekeh, tapi terus menahan tawanya dengan berdehem.

“Gue bantuin elu latihan buat YAMI. Elu bantuin gue menang puisi,” Dima memberikan penawaran.

“Gue belum tentu juga lolos masuk ke livenya YAMI,” jawab Quin pesimis.

“Ya kalau masuk. Kalau nggak lolos, elu mau bantuin gue kan?”

Quin terdiam.

“Lagian kan elu juga yang daft…”

“Iya. Iya gue bantuin elu! Soalnya gue yang daftarin,” kata Quin menyela Dima. Dia tidak ingin Dima menekankan bahwa dirinya juga salah.

“Jadi kita baikan?” tanya Dima mengulurkan tangannya pada Quin, mengajak salaman.

“Ya udah,” Quin menyambut tangan Dima. Mereka salaman walau kurang dari sedetik.

Tanpa mereka sadari, mereka saling memberikan senyuman. 

Quin langsung melangkah masuk ke ruang tamu. Dengan pintu yang masih terbuka dia berkata pada Dima, “Aku mau istirahat dulu.”

“Oke. Cepet sembuh ya!”

Quin menutup pintu, tapi dari balik korden dia masih memperhatikan Dima yang melangkah keluar rumah. Dima menoleh ke arah jendela ruang tamu. Quin langsung menutup kordennya.

Baru dua langkah dari rumah Quin, Dima mendapatkan telepon dari Givan. Dima mengangkatnya, “Halo?”

“Elu di mana?” tanya Givan yang seperti sedang ada di jalan raya yang ramai.

“Di…,” Dima ragu mau berbohong, tapi dia tidak mungkin bilang kalau ada di depan rumahnya Quin. “Di jalan pulang,” jawab Dima yang ingat kalau jalanan rumahnya ada di belakang rumahnya Quin. 

“Ada kabar soal motor elu dari Bang Toyib!” jelas Givan semangat.

Bersambung.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!