Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ultimatum
“You’re fucking evil.”
Hati Angger mencelos. Permusuhannya dengan Nuansa telah berlangsung sejak remaja, tetapi hari ini, detik ini, adalah kali pertama dia melihat Nuansa begitu benci padanya. Sorot matanya yang tajam seakan bisa mengoyak tubuhnya seketika, menghancurkannya tanpa sisa.
“You can do anything to me, Danaseta. ’Cause whatever you do to me, I can do worse to you. Tapi jangan berani-beraninya lo sentuh orang-orang di sekitar gue. The war is between us, jangan jadi bajingan rendahan yang jadiin orang-orang sekitar buat lampiasin ambisi lo buat jatuhin gue.”
Nuansa merobek lembaran kertas yang diambilnya dari meja Angger. Kertas berisi informasi pribadi Han Jean. Hanya bagian permukaan yang Nuansa lihat, tapi sudah berhasil menyulut amarahnya. Dia tetap berpikir bahwa Angger kelewatan, bahwa pria itu mulai melewati batas, tanpa tahu alasan di balik tindakan Angger yang demikian. Nama Angger sudah terlalu jelek di matanya, terlalu sulit mengubah cara pandangnya terhadap pria itu.
Sedangkan Angger, tertegun melihat tangan Nuansa bergetar saat merobek kertas-kertas itu. Setiap sobekan terdengar nyaring, terasa menusuk dadanya berkali-kali, kejam tiada henti. Bukan karena dia menyayangkan berkas yang dikumpulkan susah payah oleh K, kini berubah jadi serpihan-serpihan tak terbaca, sebab dia masih bisa meminta K mencarinya lagi. Angger merasa pedih karena tindakan Nuansa itu menunjukkan betapa marahnya ia. Menunjukkan betapa hal kecil pun, bisa mengusik perempuan itu dan membangunkan sifat defensifnya.
Sesuatu terasa mengganjal di tenggorokan Angger. Susunan kata pembelaan berjubel di sana, sekuat tenaga dia cegah. Tangannya di atas meja, terkepal, dalam upayanya menahan diri agar tidak bertindak gegabah. Ditatapnya tetap mata Nuansa yang berapi-api. Meski semakin lama, Angger tahu sesuatu dalam dirinya akan terbakar habis jika terus berkontak dengan cara seperti ini.
“Ini peringatan terakhir,” kata Nuansa, tatapannya semakin tajam, namun bola matanya mulai diselimuti kabut bening. “Jangan berani muncul di depan gue lagi, dan jangan coba-coba sakitin siapa pun di sekitar gue. I won’t let anyone hurt my people.”
Angger yang keras dan ambisius, hanya bisa terdiam seribu bahasa menerima tumpahan amarah Nuansa barusan. Dia tidak lagi mencoba menjelaskan apa pun, menyadari setiap kata yang keluar dari mulutnya tidak akan dipercaya oleh perempuan itu. Percuma, kebencian telah menguasai diri Nuansa, mendebat hanya akan membuat citra dirinya semakin buruk.
Bersama sobekan kertas di tangannya, Nuansa kemudian pergi meninggalkan Angger usai memberikan ultimatumnya. Dadanya naik turun, gerakannya tidak beraturan. Napasnya terasa berat, terasa seperti stok oksigen di udara mendadak menipis, membuatnya tersiksa.
Langkahnya tertahan sebentar ketika hampir mencapai pintu, sebab seorang pria datang dengan napas terengah-engah, memblokade jalannya. Dia menatap pria itu dengan tatapan menusuk, langsung menjudge ia sejenis dengan Angger, bajingan menyebalkan. Setelah beradu tatap sebentar dengan pria itu, Nuansa melanjutkan langkah, bergerak kasar menabrak tubuh pria itu.
Sementara K yang tubuhnya habis ditabrak sampai oleng membentur pintu, mendesah pelan sebelum kembali melangkah mendekati meja kerja Angger. Dia menatap bosnya tak enak hati. Merasa bersalah karena sudah kecolongan, tak mampu menghalangi langkah Nuansa hingga terjadilah keributan.
Suasana di ruang kerja Angger terasa mencekam setelah kepergian Nuansa. Ketegangan ditinggalkan perempuan itu, melekat kuat dalam setiap partikel udara yang berputar-putar di sekitar mereka. K memberikan waktu bagi Angger untuk menetralkan kondisi hatinya setelah dilabrak oleh seseorang yang sedang berusaha dia lindungi. Sisi profesionalnya menyingkir sebentar, mencoba bersikap manusiawi.
“Berkas yang lo kirim, ada salinannya?” tanya Angger, seolah tidak mau terlarut pada apa yang sudah terjadi, dan kembali fokus pada tujuan awalnya menyelidiki.
K mengangguk. Pria itu berkutat sebentar dengan ponselnya, berbicara dengan seseorang. Beberapa saat kemudian, mesin fax kembali berbunyi, suaranya menggema menepis keheningan. K mengamati setiap lembar yang keluar, memastikan semuanya tercetak dengan jelas, tidak ada bagian yang terpotong atau tintanya pudar. Setelah semua selesai tercetak, dia merapikan dan menyusun kertas-kertas itu sesuai urutan, lalu membawanya ke hadapan Angger.
“Kasih tahu orang-orang lo, jaga jarak. Jangan sampai ada celah sedikit pun untuk dia sadar sedang diawasi,” titah Angger. Dirinya sambil mulai membaca informasi di kertas yang K berikan. “Gue nggak mau dia makin ngamuk.”
“Dimengerti, Chief.”
Untuk beberapa lama, suara Angger tidak lagi terdengar. Dirinya tenggelam dalam kegiatannya mencerna informasi, sejenak mengabaikan keberadaan K yang berdiri siaga di depan meja kerjanya.
K hanya diam mengamati bosnya. Memperhatikan bagaimana mata Angger bergerak cepat dari satu baris ke balik lainnya, dan sesekali berhenti pada bagian yang membuatnya tertarik.
Sampai akhirnya, Angger menghela napas pelan dan menatap K sebentar. “Tolong cari tahu juga soal ini,” katanya menyerahkan foto-foto yang membuat Nuansa murka.
K meringis sebentar. Benaknya berisik, memvalidasi amukan Nuansa karena foto-foto yang diserahkan oleh Angger itu memang adalah neraka. “Siap, Chief,” balasnya patuh. Foto-foto tadi dimasukkannya kembali ke dalam amplop, dan dia menarik kursi ke depan meja Angger, siap memberikan penjelasan lebih lanjut dari informasi yang disampaikannya pada bosnya itu.
“Wiranoto?” Angger menatap K, alisnya terangkat sedikit. “Siapa dia? Apa hubungannya dengan Han Jean?”
“Orang fiktif,” ujar K. Dia maju, menggerakkan tangan membalik kertas di hadapan Angger, lalu menunjuk pada satu titik. “Identitas palsu yang dibuat sejak 6 tahun lalu. Han Jean membuatnya untuk dijadikan lumbung. Saya temukan soal dia waktu menyelidiki keuangan Han Jean, dan hampir terlewat kerena sekilas tidak ada yang mencurigakan. Tapi saya rasa harus menggali lebih dalam, dan yah … seperti itu keadaannya.”
“Apa yang sudah dia simpan di lumbung ini?” selidik Angger.
“Banyak, Chief. Lebih banyak daripada yang bisa Chief pikirkan, untuk ukuran seseorang yang bekerja sendirian.”
“Dia bergerak sendiri?”
K mengangguk. “Saya sudah cek secara menyeluruh, dan Han Jean benar-benar melakukannya sendiri. Tidak ada jejak keterlibatan orang lain, hanya saja…”
“Apa?” Angger semakin serius. Kemarahan Nuansa beberapa saat lalu, sudah sepenuhnya hilang dari pikirannya. Tergantikan dengan kemarahannya sendiri atas fakta baru yang K bawa.
Polanya selalu begini. Tindak kejahatan yang sampai merenggut nyawa, menghilangkan hidup seseorang yang masih ingin meraih mimpi-mimpi indahnya, selalu diawali dari keserahan dan mata yang dibutakan oleh kekayaan. Pengkhianatan di keluarganya juga berasal dari sini. Dari ambisi untuk menguasai apa yang tidak ditaktirkan, merebut paksa rencana Tuhan.
“Han Jean rutin pergi ke suatu tempat, pada minggu ke-tiga setiap bulannya.”
“Tempat apa?”
K menaruh ponselnya ke atas meja, meminta Angger melihatnya. Di layar, terlihat sebuah bangunan dengan papan nama di depan halaman, bertuliskan Rumah Kasih dengan tinta hitam tebal yang sudah tampak kusam.
“Ini tempat apa?"
Hamil dulu tapi😁