NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 / THTM

Pagi itu terasa aneh.

Langit cerah, angin lembut, dan sekolah dipenuhi suara murid-murid yang bercanda. Tapi di kepala Nayara, semuanya berputar seperti kabut yang tak mau pergi.

Ia duduk di bangkunya, menatap papan tulis tanpa benar-benar membaca tulisan yang ada di sana.

Setiap kali ponselnya bergetar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.

Rani, teman sebangkunya, menatap Nayara bingung.

“Kamu kenapa sih, Nay? Dari tadi liatin HP mulu. Ada yang kamu tungguin?”

Nayara tersentak kecil.

“Hah? Nggak, nggak kok. Cuma… takut ketinggalan info tugas aja,” jawabnya cepat.

Senyumnya kaku, tapi Rani tak curiga lebih jauh.

Begitu Rani kembali menunduk menulis, Nayara menarik napas panjang, membuka layar ponsel di bawah meja.

Dan benar — pesan itu akhirnya datang.

Alaric: “Kantor. Jam 5 sore. Datang.”

Cuma itu.

Singkat.

Tanpa tanda baca tambahan.

Tapi tiap huruf terasa seperti belati dingin yang menusuk pelan ke dadanya.

Nayara menelan ludah, menatap layar itu lama.

Bagian dalam dirinya ingin menghapus pesan itu, berpura-pura tidak pernah melihat. Tapi ia tahu, itu sama saja bunuh diri.

Ia masih ingat dengan jelas tatapan pria itu — tajam, menuntut, seolah menegaskan bahwa menolak bukan pilihan.

Bel istirahat berbunyi, kelas menjadi ramai.

Rani berlari keluar lebih dulu, sementara Nayara masih duduk diam di tempat.

Ia baru berdiri setelah sebagian besar siswa sudah pergi, menatap bayangannya di kaca jendela kelas.

“Aku harus gimana?” bisiknya.

“Kalau aku nggak datang… dia bakal—”

Ia tak sanggup melanjutkan.

Kata-kata itu terlalu menakutkan untuk diucapkan.

Di luar, langit mulai memudar, tanda waktu terus berjalan.

Dan entah mengapa, meski hatinya penuh takut, langkah Nayara terasa seperti ditarik oleh sesuatu.

Sesuatu yang lebih kuat dari logika, lebih dalam dari ketakutan.

Mungkin itu yang disebut candu.

Atau mungkin, itu hanya bentuk lain dari penyerahan diri yang pelan-pelan membunuh.

Sore menjelang.

Begitu bel pulang berbunyi, Nayara membereskan bukunya lebih cepat dari biasanya.

Ia menatap ponsel sekali lagi — pesan itu masih ada di sana, dingin dan tak berubah.

“Kantor. Jam 5 sore. Datang.”

Waktu menunjukkan pukul 16.22.

Dan di dalam dadanya, jantungnya berdetak terlalu keras untuk ukuran seseorang yang hanya akan “bertemu”.

Mobil hitam yang menjemputnya sore itu tampak tak mencolok — tapi Nayara tahu siapa pengirimnya.

Sopir itu hanya membungkuk sedikit.

“Non Nayara, Tuan sudah menunggu.”

Nayara menelan ludah, menatap langit yang mulai oranye sebelum akhirnya membuka pintu mobil.

Setiap langkah menuju mobil terasa berat, seperti menyerahkan sebagian dirinya pada sesuatu yang tak bisa ia hindari.

Gedung itu menjulang dingin.

Dari luar tampak megah, tapi langkah Nayara terasa berat seolah setiap ubin marmer menyerap keberaniannya sedikit demi sedikit.

Resepsionis membungkuk sopan dan tanpa banyak bicara mempersilakan Nayara naik.

Lift terasa seperti ruang hampa. Setiap detik yang lewat membuat napasnya semakin dangkal.

“Kenapa aku di sini?” pikirnya.

Ia tahu jawabannya. Tapi hatinya berusaha menyangkal.

Begitu pintu lift terbuka, aroma maskulin ruangan itu langsung menyambutnya — campuran wangi kayu, kopi, dan sesuatu yang khas dari pria itu.

Ia hampir ingin berbalik. Tapi suara berat itu sudah terdengar.

“Masuk.”

Alaric duduk di kursinya, postur tegap dan tatapan tajam menembusnya tanpa usaha.

Ia tak bicara lagi — hanya menatap, menunggu Nayara mendekat.

Hening.

Satu-satunya suara hanyalah detak jam dinding dan napas Nayara yang tak beraturan.

“Kamu tahu kenapa aku memanggilmu, kan?”

Suara Alaric datar, tapi mengandung sesuatu yang membuat lutut Nayara lemas.

“Aku... aku nggak—”

“Jangan bohong.”

Nada itu menusuk. Tak keras, tapi penuh tekanan. Nayara menunduk, tangannya gemetar.

Rasanya ingin kabur, tapi setiap kali melihat pria itu, tubuhnya malah membeku.

Ia benci perasaan itu.

Hatinya berteriak tidak, tapi tubuhnya seolah mengingat — bukan tentang malam itu, melainkan tentang bagaimana dunia terasa berhenti hanya pada satu sosok yang begitu kuat, begitu menuntut.

“Kenapa kamu diam?”

“Aku... nggak tahu harus ngomong apa.”

“Kamu bisa mulai dengan jujur.”

Tatapan Alaric tajam, tapi samar-samar ada sesuatu di baliknya — rasa ingin tahu, mungkin juga obsesi.

Nayara tak sanggup menatap balik.

Ia merasa seperti terjebak di antara dua kekuatan: rasa takut dan sesuatu yang samar, yang ia benci tapi juga tak bisa menolak.

“Aku cuma mau kamu nggak ganggu aku lagi,” suaranya pelan, nyaris bergetar.

Alaric bangkit dari kursinya, langkahnya tenang tapi menghantam kesadaran Nayara setiap kali mendekat.

Ia berhenti hanya beberapa langkah darinya, cukup dekat untuk membuat udara di antara mereka menjadi tipis.

“Kamu pikir semudah itu?” katanya pelan, nyaris berbisik.

“Aku nggak pernah suka mengulang hal yang belum selesai.”

Dan di sana, di antara dinding kaca dan bayangan malam kota, Nayara sadar —

apa pun yang akan terjadi, hidupnya tak akan lagi sama.

Alaric berdiri di hadapan Nayara, jarak mereka hanya beberapa langkah.

Udara terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dari segala arah.

“Aku sudah bilang, Nayara,” suaranya dalam, tenang, tapi menusuk. “Aku tidak suka mengulang hal yang belum selesai.”

Nayara menggigit bibirnya, menunduk, berusaha mengendalikan napas.

“Aku nggak mau, Kak... aku cuma mau semuanya selesai,” katanya pelan, hampir berbisik.

Alaric menatapnya lama. Tatapan itu seperti bilah tajam — menelusuri setiap reaksi kecil dari wajah Nayara.

Lalu pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa ketenangan sama sekali.

“Selesai?” ujarnya rendah. “Sayangnya, bukan kamu yang menentukan kapan sesuatu berakhir.”

Nayara menelan ludah, hatinya berdebar keras. Ia bisa merasakan ketakutan yang sama seperti waktu itu — ketakutan yang kini bercampur rasa malu, amarah, dan... entah apa lagi.

“Aku nggak mau terus kayak gini...”

“Tapi kamu sudah terlanjur masuk ke permainan ini,” potong Alaric cepat, suaranya lembut tapi dingin.

Ia mendekat, menatap matanya dalam-dalam.

“Dan satu hal yang harus kamu tahu, Nayara — aku tidak suka kalau seseorang mencoba kabur.”

“Aku nggak... aku nggak kabur!” Nayara mendongak, suaranya bergetar. “Aku cuma... aku nggak mau semua orang salah paham—”

Alaric menyeringai kecil.

“Kalau begitu, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”

“Apa maksud Kakak?”

“Aku hanya ingin kamu tetap di dekatku. Bukan karena aku butuh, tapi karena kamu sudah terlanjur jadi bagian dari sesuatu yang seharusnya kamu jaga.”

Ia berhenti sejenak, lalu dengan nada yang lebih pelan namun mematikan, menambahkan,

“Kalau kamu menolak... mungkin aku harus memberitahu orang-orang tentang apa yang terjadi waktu itu. Termasuk Elara, dan keluargaku.”

Dunia seolah berhenti.

Napas Nayara tercekat, pandangannya kabur karena air mata yang tak tertahan.

“Kak... jangan...”

“Lalu turuti saja apa yang aku bilang.”

Nada itu lembut, bahkan terdengar seperti ajakan biasa. Tapi di baliknya, ada tekanan yang membuat Nayara tak bisa menolak.

Hatinya menjerit. Ia ingin berlari, ingin melawan, tapi pikirannya dibungkam oleh rasa takut yang lebih besar — takut kehilangan tempat, takut ibunya terluka, takut segalanya berakhir lebih buruk.

Alaric berbalik, kembali ke mejanya dengan langkah santai.

“Mulai sekarang, kamu akan datang ke sini setiap kali aku memintamu,” ujarnya tanpa menatap lagi. “Anggap saja ini... tanggung jawabmu.”

Nayara berdiri kaku. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap ke kulit telapak tangan sendiri.

Permainan? pikirnya getir. Apa aku bahkan pernah punya pilihan untuk menolaknya?

Ia tak menjawab, hanya menunduk dalam-dalam — menahan air mata yang tak sempat jatuh.

Dan di belakang meja itu, Alaric menatapnya diam-diam.

Senyum tipis kembali muncul di wajahnya. Bukan kemenangan, tapi sesuatu yang lebih dalam — obsesi.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!