NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:598
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9

Remaja laki-laki itu menggeliat, bergerak-gerak ditengah tidurnya. Sebuah selimut dia tarik agar bisa menutupi telinga miliknya yang terusik dengan suara alarm. Selama beberapa menit, Devan bisa menahannya tapi lama-kelamaan dia kesal juga. Dengan segera Devan mengambil ponselnya dan mematikan sang alarm yang padahal sudah berbaik hati untuk membangunkan. Sedetik kemudian Devan kembali ke alam mimpi.

Sementara Devan malah kembali ke alam mimpi, Revan juga sudah bangun. Revan menguap sesaat sebelum bangkit dari tempat tidur. Langkah Revan menuju kamar adik kembarnya. Revan hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sang adik. Devan masih tertidur sangat pulas dengan posisi yang berantakan. Hanya hembusan nafas yang bisa Revan keluarkan. Membangunkan Devan yang seperti ini pasti akan sulit.

"Dev, bangun udah siang sekolah woy." Revan dengan lantang membangunkan Devan.

Devan hanya mendengar samar. "Em. Cilok Mang 5ribu, pedesnya dikit."

"Mang-mang, sejak kapan gue jadi tukang cilok. Bangun woy, rejeki bisa dipatok ayam!" Revan segera menarik selimut Devan.

Mata Devan langsung terbangun karena perbuatan baik sang kakak. "Putak-patok! Ayam makannya dedak bukan rejeki lagian, tar ah lima menit lagi Rev."

"Lo kalau dikasih tau jawab terus ya." Revan menahan kesalnya.

Devan mencibir. "Kan gue punya mulut jadi jawab."

"Dah lah jawab mulu, cepet siap-siap gue gak mau kesiangan." Revan memberikan titahnya.

"Kesiangan sekali, gakan bikin anda jatuh miskin." Devan mencibir, kemudian bangun untuk bersiap.

Revan memberikan tatapan kesalnya. "Jawab lagi, gue lakban mulut lo ya."

"Nasib apa gue harus sampe tinggal sama Kim Jong Un Bandung." Devan membalas cuek dan mulai memasuki kamar mandi.

Revan mencoba bersabar. "Untung gue sayang sama lo Dev, kalau ga sekarang juga nih rumah udah gue bakar sama elo-lonya."

"Jangan woy! Tar kita tinggal dimana." Devan berteriak panik. "Bar-bar banget punya Abang satu."

Revan hanya tersenyum mendengarnya dan memutuskan untuk menyiapkan sarapan mereka.

Tidak terasa Revan dan Devan sudah berada di semester akhir. Ya, mereka sudah akan segera lulus. Hanya tinggal menunggu Ujian Nasional yang akam diadakan sebentar lagi. Bagi Revan UN tidak akan masalah, hanya saja dia sedikit mengkhawatirkan Devan. Maka dari itu sebisa mungkin disela waktunya Revan akan mengajari Devan.

Setelah memakan sarapan mereka, Revan dan Devan langsung berangkat menuju sekolah. Ketika sampai di sekolah Revan dan Devan mengerutkan dahi heran. Banyak murid yang berkumpul di depan Mading sekolah. Karena penasaran, mereka berdua berjalan ke arah Mading. Ternyata disana tertulis pengumuman untuk acara kemping akhir sekolah. Bukankah itu sudah biasa? Setiap tahun juga ada bukan? Kenapa harus sampai seheboh ini? Itulah isi dalam pikiran Revan sampai dia menangkap satu kalimat yang mengatakan bahwa kemping kali ini diwajibkan untuk siswa kelas 12 tanpa terkecuali.

Pikiran Revan yang sudah memutuskan untuk tidak ikut lenyap seketika. Siswi-siswi disana berbisik-bisik gembira, karena mereka tahu bahwa Revan akan bisa dipastikan ikut. Di sisi lain Devan sangat terlihat antusias setelah membacanya. Revan sudah tahu bahwa Devan memang ingin ikut. Tidak apa-apa selama Devan dalam penjagaannya semua akan baik-baik saja.

Acara yang bertajuk 'Healing Camp' itu akan diadakan satu minggu sebelum Ujian Nasional dimulai. Artinya kurang dari 3 hari lagi mereka akan melaksanakannya. Dari arah lain terlihat Raka dan Kian mendekati mereka. Revan bisa melihat gulungan kertas apa yang dipegang oleh Raka.

Revan tersenyum ramah. "Yang bikin ini wajib OSIS?"

Raka langsung bisa membaca sinyal bahaya yang keluar dari Revan. "I...ini suruh Pak Ginanjar."

"Masa?" Revan masih tidak percaya.

Devan yang diam kini ikut bicara. "Rev, gak usah natap mereka kayak gituh napa. Pada takut anak orang. Lagian kan OSIS atau Raka sama Kian cuma disuruh ngejalanin tugas aja."

"Dev, lo itu emang malaikat ternyata." Puji Kian berlebihan.

Revan mendengus. "Ini pemaksaan buat gue ikut."

"Tapi lo emang bakal ikut kan?" Tanya Raka sambil tersenyum kikuk. Masih takut untuk berkata jujur.

Revan menjawab datar. "Devan ikut, gue ikut."

Seketika disana terdengar suara teriakan para siswi setelah mendengar jawaban langsung Revan.

"Berisik woy! Masuk kelas." Raka memerintah tegas.

Semua siswi itu langsung menurut.

"Idih Raka, bisa galak juga lo ya." Devan memuji atau menghina, itulah dalam pikiran Raka.

Kian membela temannya itu. "Jangan salah, si Raka nih galaknya udah macem ibu-ibu mau lahiran."

"Gue bingung Yan mau bilang makasih atau pengen ngelempar lo." Raka membalas kesal.

"Tapi tenang kok Ka, galaknya lo belum nyaingin Adolf Hitler yang dalam wujud manusia mirip gue ini." Tidak salah lagi, Devan memang menyindir Revan.

Kian membenarkan. "Kalau itu mah gakan ada yang bisa nyaingin Dev, sabar ya."

"Bosen idup Yan?" Revan memberikan tatapan mengerikannya pada Kian.

Raka hanya bisa menghembuskan nafasnya. "Kalau mau ada pertumpahan darah jangan di sekolah , repot gue nanti."

"Untung gue temenan ma Ardli, masih normal dikit." Devan berucap syukur setelah menyaksikan tiga sekawan tersebut. "Rev, Ka, Yan gue duluan ya masuk kelas, si Ardli udah nyampe kayaknya."

Revan langsung merubah ekspresinya menjadi sangat lembut. Tangannya mengacak rambut sang adik. "Oke Dev, kalau ada apa-apa langsung hubungin gue ya. Jangan jajan sembarangan."

"Iyah bawel. Tangan lo noh kondisiin, rambut gue berantakan. Dah ah." Devan langsung melepaskan tangan Revan yang mengacak rambutnya tadi dan pergi menuju kelasnya sendiri.

Kian mencibir. "Hueek romantis, mau dong diacak juga rambutnya."

"Boleh Yan, gue acak muka lo sekalian." Kalimat Revan datar tapi bagi Kian itu sangat mengancam.

Kian langsung bersumbunyi di belakang Raka. "Becanda Rev becanda!"

"Makanya jangan cari perang sama singa." Raka menasehati Kian.

Ucapan Raka itu terdengar oleh Revan. "Siapa yang lo bilang singa?"

"Singa? Singa depok buat acara kelulusan nanti bakal kita adain." Raka memberikan alasannya.

Kian mengernyit. "Woy jangan ngadi-ngadi lo Ka! Masa acara kelulusan ada singadepok!"

"Biji kecambah diem bisa gak sih lo, gue masih sayang nyawa." Raka memperingati Kian yang belum mengerti.

Revan menjawab datar. "Gue tunggu singa depoknya pas kelulusan ya." Kemudian mendahului Raka dan Kian pergi ke kelas.

"Mampus dah kita! Ngedatengin singadepok gimana nanti."

Yang terakhir terdengar adalah keluhan seorang Raka Aditya Wijaya.

Sementara itu Devan yang sudah sampai di dalam kelasnya menelusuri keberadaan seseorang. Disana dia melihat Ardli yang memang sudah datang. Ardli sedang tertidur di atas di bangku mereka.

Melihat hal tersebut, otak jahil Devan langsung berjalan. Devan langsung berteriak tepat di telinga Ardli. Membuat teman perse-TKan nya itu tersentak kaget.

"Kenardli Raditama!" Devan melancarkan aksinya.

Ardli yang terbangun langsung berdir dan memasang pose sigap. "Iya, siap hadir pak!"

Semua orang langsung tertawa melihat tingkah Ardli.

Melihat reaksi teman sekelasnya, Ardli langsung sadar bahwa dia tengah dijahili. Dan sang pelaku sedang tertawa terbahak-bahak di depannya.

"Devano setan!" Geram Ardli dan memukul-mukul Devan dengan bukunya.

Devan masih sibuk tertawa sembari menghalangi pukulan Ardli. "Lucu banget sumpah, lawak banget tadi lo Dli."

"Lucu? Gue bukan OVJ, sialan dasar lo!" Ardli masih ngambek.

Devan menahan tertawanya. "Abisnya lo tidur kayak orang mati sih. Jadinya kan naluri gue untuk jahil terbangunkan."

"Gue tendang lo lama-lama Dev." Ardli mengancam.

Devan mencibir. "Boleh, gue belum pernah ditendang sama kudanil lagian."

Perempatan siku-siku semakin muncul di kepala Ardli. "Ya ampun malah nantangin nih anak!"

"Haha iyah sorry deh sorry." Akhirnya Devan meminta maaf juga.

Ardli masih berpura-pura ngambek. "Biar dimaafin, traktir gue pas istirahat nanti."

"Idih. Matre emang lo!" Ejek Devan.

Ardli hanya memasang pose cuek. "Di dunia ini maaf aja gak cukup bro. Semua serba bermateril."

"Ampun dah. Dasar matre." Devan tidak habis pikir dengan sahabatnya itu. Kemudian dia bertanya hal lain. "Dli, lo udah tau yang soal kemping itu?"

Ardli mengangguk. "Udah kok. Orang itu diwajibin kan. Eh berarti lo juga ikut Dev?"

"Iya, gue ikut juga dong! Revan juga ikut." Balas Devan dengan semangat.

Ardli mengerutkan keningnya. "Wadaw heboh banget nanti kalau si Revan ikut."

Devan tersenyum canggung. "Maklum aja, namanya juga idola sekolah."

"Tapi gak apa-apa lo ikut Dev? Lo kan masih sakit?" Ardli bertanya sangat pelan, dia takut menyinggung perasaan sahabatnya.

Devan tersenyum, Ardli mengkhawatirkannya. "Gak kok. Ada Revan juga. Gue gakan bikin kalian repot tenang aja."

"Aih repot apaan. Lo sahabat gue, udah sewajarnya." Ardli membalas dengan senyum.

.

.

.

.

.

.

Acara kemping yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Revan dan Devan tengah mempersiapkan barang bawaan mereka untuk 3 hari kedepan. Revan dengan teliti mengecek semua barang bawaannya. Barang-barangnya sudah lengkap, selanjutnya dia mengecek semua barang bawaan Devan.

Revan bahkan sudah menulis list barang apa saja yang harus dibawa oleh Devan. Jika barang itu sudah ada, maka Revan akan menceklisnya. Devan sendiri hanya bisa memandang malas pada kakak kembarnya yang memang perfectionist itu.

Dalam hati Devan mengucap syukur, karena tadi malam dia memeriksa kembali semua barang bawaannya. Disana hampir saja Devan lupa memasukkan obat-obatannya. Jika sampai itu terjadi bisa dipastikan Devan akan dipaksa pulang oleh Revan. Terkadang para guru di SMA mereka juga sulit untuk menolak permintaan Revan.

"Udah belum Rev? Tar kita ditinggal." Devan melihat ke arah jam yang semakin telat.

Revan menjawab tanpa melihat Devan. "Udah kok udah, tinggal lo pake jaketnya baru kita berangkat."

"Ntar aja gue pake kalau di bus. Ini masih panas lagian." Devan menjawab.

Revan berbalik melihat Devan dengan ekspresi yang tak bisa diartikan. "Pake."

"Oke. Oke gue pake." Karena melihat ekspresi Revan dan tidak ingin berdebat, Devan segera mengenakan jaketnya walaupun dengan wajah cemberut.

Revan tersenyum penuh kemenangan. "Gituh dong dedek Devan."

"Bilang dedek lagi, gue lempar pake sepatu lo ya." Ancam Devan dengan wajah menyeramkan.

Namun ekspresi Devan malah terlihat lucu oleh Revan. Dia berhasil mencuri satu ciuman di pipi sang adik.

'CUP'

Revan langsung melenggang pergi, sementara Devan tengah me-loading. Akhirnya Devan menyadari sesuatu.

"GUE BUNUH LO REVANO KAMVRET!"

Telinga Revan berdenging sakit mendengat teriakan 5 oktaf Devan. Dia mengelus telinganya dan dadanya. Bersyukur sudah berhasil kabur sebelum mendapatkan balasan kekejaman Devan. Revan juga tidak bisa menyalahkan tingkahnya yang spontan itu, Devan itu baginya tetap seperti adik kecil. Dia sangat imut.

Sepanjang perjalanan ke sekolah Devan terus saja cemberut. Dia masih sangat kesal dengan Revan. Awas saja Devan pokoknya akan melakukan pembalasan dendam yang lebih kejam pada Revan nanti. Kedua anak kembar itu tiba juga di sekolah. Bisa mereka lihat, para murid kelas 3 yang lain sudah banyak yang berkumpul. Ekor mata Revan dan Devan menangkap Raka dan Kian bersama anggota OSISnya tengah melakukan pemeriksaan dan membariskan para siswa agar rapih.

Revan dan Devan juga mulai memasuki barisan tersebut. Suasana disana memjadi heboh. Terlebih untuk para murid perempuan. Semua mata mereka tertuju pada Revan. Sang idola sekolah itu memakai pakaian yang luar biasa membuatnya jauh lebih tampan.

*Ini Revan guys, yang bikin heboh satu sekolah.

Yang seharusnya mereka berbaris, para siswi itu malah mengerubungi Revan. Sementara itu, Devan yang juga ada ditengah hal tersebut hanya memasang wajah datarnya. Berharap menemukan pahlawan yang membawanya pergi dari kerumunan para siswi ini.

Rupanya harapan Devan terkabul. Raka yang melihat barisan menjadi kacau langsung menuju sumber kekacauan. Bersama Kian dia kembali mengkoodinirkan para siswi tersebut.

Kian memeriksa tas Revan dan Devan. "Kenapa harus pake pakean ini segala sih lo Rev, jadi heboh kan."

"Terus kalau Revan gak boleh pake pakean kayak gini, dia pake apa dong?" Devan adalah orang yang bertanya.

Kian tersenyum jahil. "Pake baju badut doraemon, biar seru."

"Sini lo Yan!" Revan tiba-tiba saja muncul di belakang Kian, dan menarik paksa sahabatnya itu.

Kian yang terkejut hanya bisa bertanya atau lebih tepatnya memohon pasrah. "Rev, jangan bunuh gue. Huwaaaa Raka tolong!"

Sementara Raka yang menyaksikan Kian mulai diseret menjauh hanya bisa menepuk kepalanya sendiri. "Gue bingung sama Kian, dia udah tau Revan itu kejem tetep aja cari masalah sama Revan."

"Itu namanya pertemanan sejati Ka." Balas Devan dengan tawa.

Raka menanggapinya dengan senyum. "Semuanya normal sih barang bawaan kalian, kalian udah bisa masuk ke bus. Revan juga gak bawa barang-barang aneh."

"Emang lo pikir Revan bakal bawa barang apa gitu Ka?" Tanya Devan bingung setelah mendengar penjelasan Raka.

Raka menjawab tanpa berpikir. "Kali aja dia bawa pisau, pedang, golok, lakban, pistol, racun tikus. Alhamdulilah nggak."

"Buset lo Ka, lo kira Revan tukang perabot apa bawa gituan segala!" Devan mendebat jawaban Raka.

Raka menggelengkan kepalanya tanpa menunggu. "Bukan! Sychopat tapi!"

"Sumpah kalau Revan denger, habis lo Ka." Devan berkata heran.

Tiba-tiba saja Revan sudah berdiri diantara mereka. Dia bertanya datar. "Gue? Denger apa?"

"Denger............." Raka langsung menutup mulut Devan yang akan bocor.

Raka mencari jawaban lain. "Denger ini, acara kemping ini juga sekalian buat pelepasan OSIS. Terus ada acara secret admirer gituh. Buat ngungkapin apa yang lo rasain buat pacar/temen/sahabat lo."

"Acara lo aneh-aneh lagi." Balas Revan dingin tanpa ekspresi.

"Idih acaranya cheesy amat." Tambah Devan yang berhasil melepaskan diri dari bungkaman Raka.

Raka memutar bola matanya malas menanggapi komentar kedua anak kembar tersebut. "Udah ikut aja napa. Orang itu masuk susunan acara. By the way cepetan kita udah mau berangkat."

"Eh tunggu, Kian mana?" Devan belum menemukan keberadaan Kian.

Revan menyeringai. "Kian lagi menikmati hukumannya."

Dari arah lain mereka bisa mendengarkan teriakan minta tolong Kian.

Raka dan Devan langsung menelan ludah mereka.

Kian berhasil diselamatkan. Dalam hati dia bersumpah bahwa Kim Jong Un masih lebih baik dibandingkan Revan. Rombongan SMA negeri tersebut mulai meluncur menuju lokasi kemping mereka. Seperti sudah lumrah dalam setiap kegiatan tur sekolah, di dalam bus terdengar kehebohan-kehebohan. Para murid ada yang bernyanyi, berjoget, berkumpul dan lainnya. Pengecualian untuk Revan, remaja itu hanya sibuk membaca buku kegemarannya.

Mata Devan melirik pada buku yang tengah dibaca oleh Revan. Buku itu adalah buku tentang kedokteran, Devan sangat tahu bahwa Revan sangat menyukai bidang tersebut. Tapi kenapa beberapa waktu lalu Revan memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Jika mengingat itu membuat Devan merasa sedih. Namun jika dia bertanya, Devan tahu Revan lebih memilih untuk tidak membicarakannya lagi.

Mereka melakukan perjalanan selama 2 jam. Tidak terasa, mereka semua sudah tiba di lokasi kemping. Para anggota OSIS mengarahkan rombongan untuk menuju titik lokasi yang sudah ditentukan. Para murid mulai membangun tenda-tenda mereka.

Setelah persiapan semuanya sudah rampung, Pak Ginanjar selaku penanggung jawab memanggil seluruh murid kelas 3. Dia mulai membagikan kelompok. Revan jujur sedikit kesal dengan pembagian kelompok ini, dia tahu bahwa Devan tidak akan berada dalam satu kelompok dengannya. Dia khawatir jika sampai terjadi sesuatu pada sang adik. Apalagi Ardli juga tidak berada di dalam satu kelompok yang sama dengan Devan, membuatnya lebih khawatir lagi.

Setiap kelompok mempunyai tugasnya masing-masing. Kelompok Revan mendapatkan tugas untuk mencari kayu bakar, sementara kelompok Devan mendapatkan tugas ringan yaitu untuk memasak. Raka dan Kian sibuk menjadi panitia juga.

Para murid perempuan yang satu anggota dengan Revan, gembira bukan main. Mereka bisa melihat bagaimana sikap kepemimpinan Revan yang sangat natural. Laki-laki yang selalu identik dengan kata dingin itu tampak begitu hangat dibanding biasanya. Bahkan tidak jarang Revan memberi mereka pujian jika melalukan hal yang diperintahkannya dengan tepat.

Kelompok tim pencari kayu bakar sudah selesai dengan tugasnya. Kini beralih kepada kelompok memasak dan yang lainnya. Salah satu anggota kelompok Revan pergi ke toilet umum yang ada disana. Dia bisa melihat kembaran Revan sedang sibuk juga di dalam kelompoknya. Di dalam toilet tersebut dia bertemu dengan dua orang anggota kelompok Devan.

"Ga dapet Revan, dapet kembarannya juga lumayan kan." Siswi tersebut menyapa temannya

"Lumayan sih, tapi mendingan Revan lah. Sempurna, kelompok kita pura-pura nyaman aja ada Devan karena liat Revannya. Si Devan tuh cowok tapi lemah amat, masa tugas yang berat-berat cewek yang ngerjain." Siswi yang diajak bicara itu mengeluarkan keluh kesahnya.

Teman laki-lakinya mengangguk. "Gue aja ampe bingung, si Revan gak kepikiran punya pacar apa. Si Devan mulu yang dia urusin. Kadang gue kasian."

"Iya, cewek-cewek satu sekolah ini termasuk kita udah berulang kali nembak dia, tapi semuanya dia tolak dong. Apa coba." Jawab siswi yang memulai pembicaraan.

Siswi anggota kelompok Revan mengangguk setuju. "Si Devan tuh harusnya sadar diri lah. Revan juga meskipun kakak kembarnya punya kehidupan sendiri bukan cuma dia yang harus Revan urusin."

Teman laki-lakinya tersenyum remeh. "Kalau berani kalian omongin aja langsung ke orangnya, dijamin dia ngadu. Revan kan ngebela dia banget."

"Makanya, kita tuh gak berani ngapa-ngapain Devan karena kita lihat Revannya." Jawab siswi yang satu kelompok dengannya.

Siswi anggota kelompok Revan mengiyakan pendapat temannya. "Emang bener ya, anak kembar tuh punya perbedaan. Ibaratnya kalau Revan tuh sempurna banget kalau Devan tuh rusak banget haha."

"Anjir kalian cewek-cewek besar nyali, kalau orangnya denger gimana?" Teman laki-laki mereka memperingatkan.

"Halah kalem aja. Gak denger kok dia." Jawab kedua siswi itu.

'DEG'

Tanpa mereka sadari ternyata orang yang mereka bicarakan rupanya sudah berada disana mendengarkan semua obrolan mereka.

Raka yang baru saja selesai mempersiapkan acara selanjutnya mengerutkan dahi melihat Devan berdiri mematung masih sambil membawa sayuran di dalam wadah. Matanya menangkap siswa-siswi yang mengobrol di dalam MCK tersebut. Raka akhirnya menyadari sumber yang membuat Devan terdiam mematung.

'BRAK' Raka menyimpan sayuran yang tadi dipegang Devan di depan mereka bertiga dengan keras. Sang ketua OSIS bicara sangat dingin. "Gue nyuruh kalian itu buat nyuci ini semua bukan buat ngeghibah."

"Biasa aja kali lo Ka." Balas si murid laki-laki.

Raka tetap bersikap tegas. "Lo yang biasa, lo cowok apa cewek? Gacor mulu mulut buat ghibah." Kemudian kembali memerintah. "Dewasa dikit kalian tuh, udah mau lulus juga. Cepet selesein kerjaannya dan balik bantuin kelompok kalian masing-masing."

"Oke. Pak. Ketua." Balas sang murid laki-laki meledek, untung saja Raka masih bisa menahan emosi.

Selanjutnya dia melihat ke arah dua orang siswi yang masih berdiam diri di depannya. "Masih diem? Apa perlu gue ulang?"

"Gak Ka. Kita balik dulu ya." Pamit mereka.

Raka hanya menanggapi mereka dengan ekspresi dinginnya.

Menyadari ketiga orang murid tersebut sudah pergi, Raka kembali ke tempat Devan.

Raka melontarkan pertanyaannya pada Devan yang masih terdiam. "Lo gak apa-apa Dev?"

"Apaan sih Ka, kesannya gue lemah amat. Gue gak kenapa-napa kok. Gue bantuin yang lain dulu ya." Devan memberikan tawa palsunya.

Sang ketua OSIS hanya bisa menghela nafasnya.

Semuanya masakan untuk makan siang sudah selesai disiapkan. Para murid secara teratur berbaris. Mereka makan bersama dan tertawa bersama. Tidak disangka Revan juga ikut tertawa bersama yang lain. Murid-murid yang lain menatap takjub pada Revan yang lama kelamaan bisa berbaur.

Kian mengajak Raka untuk bertos. Acara kemping kali ini sepertinya berhasil mempersatukan semua murid, bahkan Revan yang sedingin gunung es. Ini akan menjadi kenangan indah sebelum mereka benar-benar terpisah. Raka hanya tersenyum sedikit, dia melirik Devan yang hanya berdiam diri.

Devan memandang Revan yang sedang berbaur itu dengan perasaan yang campur aduk. Murid-murid yang tadi membicarakannya ternyata memang benar, Revan itu adalah sosok yang sempurna. Revan bisa menggapai hidupnya sendiri. Berbeda jauh dengan dirinya. Harusnya dia menyadari itu sejak dulu.

Ardli yang kebetulan duduk di dekat Devan memandang sahabatnya itu khawatir. Namun Devan memberikan ekspresi yang mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja. Ardli tidak bisa berkata apa-apa lagi jika Devan memang tidak mau membicarakan keadaannya.

Mereka sudah menyelesaikan makan siang mereka. Kemudian mereka melakukan permainan untuk memilih kelompok yang harus mencuci piring. Rupanya nasib sial menghampiri kelompok Devan. Tugas untuk mencuci piring jatuh ke kelompok Devan. Keluhan pasrah langsung terdengar.

Karena harus menerima kekalahan, kelompok Devan pada akhirnya melakukan hukuman mereka. Devan yang tidak enak hanya mengerjakan tugas yang ringan-ringan, kini menghampiri anggota kelompoknya dan mengambil alih beberapa pekerjaan mereka.

Di sisi lain Revan tidak bisa tenang karena di waktu istirahat ini dia belum menemukan Devan. Mata milik Revan sedikit berkilat marah kala melihat Devan sedang mencuci banyak piring. Adik kembarnya melakukan semuanya seorang diri. Tidak tahan, Revan menghampiri Devan yang masih sibuk mencuci.

Revan mengambil alih piring yang ada di tangan Devan dan mulai mencucinya. "Istirahat napa, lo ikut kemping bukan berarti gue ngebolehin lo buat capek-capekan."

"Lo aja yang istirahat Rev, sini ini kerjaan gue." Devan merebut kembali piring di tangan Revan.

Revan mengerutkan keningnya heran. "Dev, lo tahu kan kondisi lo kayak gimana."

"Iya, gue tau kok. Kondisi gue gak sesempurna lo Rev. Jadi udah gue aja yang kerjain." Devan membalas tanpa melihat ke arah Revan.

Revan semakin heran dengan sikap Devan. "Maksud lo?"

Devan tertawa sedih. Dia tidak menjawab pertanyaan Revan. "Bisa gak Rev lo itu gak nganggap gue lemah? Gue bisa ngelakuin ini sendiri. Lo harus belajar buat gapai kehidupan lo sendiri Rev, jangan urusin gue terus."

"Apa sih maksud lo Devano? Sumpah dari tadi gue gak ngerti sama sekali omongan lo." Revan mencoba meredam emosinya yang mulai naik.

Devan menghentikan kegiatannya sebentar. "Maksud gue, lo jangan nganggep gue lemah. Jangan memperjelas kerusakan gue di depan orang lain Rev."

"Kalimat lo ngawur tau gak Dev? Perjelas coba. Lo gak pernah kayak gini sebelumnya." Nada bicara Revan sedikit meninggi kali ini.

Devan memejamkan matanya sebentar. "Gue perjelas. Gue iri sama lo Rev. Lo tuh enak, lo sempurna gak kayak gue. Lo gak punya banyak kekurangan kayak gue. Semua orang temenan sama lo karena diri lo sendiri bukan karena orang lain kayak gue. Gak penyakitan dan lemah kayak gue ini. Jangan bikin gue jadi penghalang buat kebahagiaan yang harusnya udah bisa lo gapai Rev."

Entah kenapa mendengar semua penuturan Devan membuat hati Revan sakit. "Lo iri sama gue Dev?"

"Iya. Semua bilang lo itu sempurna sementara gue cuma produk rusak." Balas Devan dengan senyum sendunya.

"Kalau lo iri sama gue lo salah Dev." Revan berhenti sesaat kemudian melanjutkan kalimatnya. "Apa lo pikir gue bahagia denger itu semua dari mereka? Nggak Dev. Asal lo tahu gue malah berharap semua rasa sakit lo pindah aja ke gue. Biar gue yang ngerasain penderitaan lo, biar gue yang ngerasain semua rasa sakit lo. Biar aja gue yang dicap mereka sebagai produk rusak. Karena gue selalu hampir gila tiap kali lo kambuh Dev. Gue pengen adek gue sembuh, kalau perlu gue tuker nyawa gue buat kesembuhan lo Dev. Gue sempurna? Kalimat mereka tuh gak bener, gue bukan orang sempurna seperti yang lo dan mereka kira. Gue cuma orang yang rapuh, gue orang yang cengeng. Maaf Dev kalau semua perhatian gue ke lo cuma bikin lo kesiksa. Sumpah gue gak bermaksud bikin lo kelihatan lemah dimata orang lain, semua itu gue lakuin karena gue gak mau kehilangan lo."

Revan tersenyum getir setelah mengucapkan kalimatnya. Entah sejak kapan air matanya juga sudah mengalir membasahi pipi. Rasanya Revan begitu sesak, akhirnya Revan memilih untuk meninggalkan sang adik. Dia tidak ingin dirinya yang tiba-tiba menangis membuat sang adik khawatir. Devan sendiri tak ada yang bisa dia katakan. Dirinya terlalu syok melihat Revan yang menangis dengan tatapan penuh luka. Lebih baik Revan membentak atau memukulnya daripada menangis seperti tadi.

Devan menyadari bahwa dia sudah salah mengatakan itu semua pada Revan. Tangannya mengepal, lagi-lagi dia sudah mengatakan sesuatu yang membuat perasaan Revan tersakiti. Pekerjaannya sudah selesai, dengan langkah gontai, Devan berjalan menuju tendanya sendiri.

Di sana Devan bisa melihat Raka sedang duduk bersama Ardli, entah sejak kapan. Tidak ingin bertanya kenapa mereka ada disana, Devan lebih memilih untuk membaringkan tubuhnya. Hingga Ardli mulai mengatakan sesuatu.

Ardli memulai pembicaraan. "Dev kalau lo emang punya beban, tolong ceritain. Buat gue berguna sebagai sahabat lo."

"Gue juga kurang lebih mau ngomongin sesuatu yang sama kayak Ardli. Karena gue tadi tau sumber yang bikin lo kayak gini." Raka menambahkan.

Devan bangun dari posisinya yamg berbaring. "Kalian pernah iri sama sodara kalian sendiri gak? Kayak dibandingin antara kalian sama sodara kalian sendiri."

"Udah gue duga, 3 lambe turah itu emang ngomongin hal yang kurang ajar." Raka mengomel sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "Pernah kok Dev. Banyak yang gue iri dari Bang Arjun. Lo tahu sendiri kan Bang Arjun itu kayak gimana. Semua keluarga gue selalu bandingin dia sama gue, sampe gue sadar karena celetukan si Kian. 'Halah gaada orang yang sempurna di dunia ini, kecuali Tuhan. Semua punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing kok.' Disitu gue sadar, daripada gue ngiri sama Bang Arjun mendingan gue cari kelebihan yang ada dalam diri gue."

Ardli juga ikut berpendapat. "Apalagi gue, setiap saat gue iri sama Teh Nevy. Bisa-bisanya Teh Nevy pinter, gue pas-pasan. Uang jajan Teh Nevy juga lebih gede. Gue juga suka dibanding-bandingin. Tapi meskipun kayak gituh, gue tahu Teh Nevy tetep aja sayang sama gue."

"Ya walaupun gue sulit mengakui, Bang Arjun juga mungkin sayang sama gue. Percaya Dev, si Revan itu sayang banget sama lo. Dia gak peduli sama titel perfect-nya. Yang dia peduliin adalah orang-orang yang ada disekitarnya, terutama lo keluarga dia yang kesisa satu-satunya." Raka menepuk pundak Devan.

Ardli memberikan candaannya untuk membuat Devan terhibur. "Lagian kan bener kata Kian yang sempurna itu cuma Tuhan, kalau si Revan sempurna jadi Firaun gelombang 2 dong dia."

"Gelombang 2, lo pikir tsunami apa." Raka mendebatnya.

Ardli syok mendengar debatan dari Raka. "Anjir ngeri lo Ka. Tsunami, mit amit ah."

Devan tersenyum menyaksikan keduanya. Dia kemudian berkata pelan. "Jahat banget gue udah bilang kayak gituh ke Revan."

"Em.... Gue yakin Revan pasti ngerti. Lo tahu sebaik apa kakak kembar lo itu."  Ardli menghibur Devan yang masih bersedih.

Raka menyetujuinya. "Lo bisa ngomongin baik-baik ke Revan kok Dev buat ngelurusin permasalahan kalian ini."

"Gue rasa kalian bener. Sekarang gue bakal minta maaf ke Revan." Devan mengganti wajah sedihnya dengan wajah ceria.

Namun saat Devan akan meminta maaf, suara pengumuman dari Pak Ginanjar dan guru yang lain menghentikan. Rupanya mereka harus berkumpul di depan api unggun yang sudah menyala. Tidak terasa hari sudah berubah menjadi malam. Devan memandang sendu Revan yang duduk tepat di depannya. Dia masih bisa melihat kesedihan di wajah kakaknya itu.

Acara mengungkapkan kejujuran perasaan dimulai. Teriakan heboh terdengar dari para murid. Beberapa siswa sudah ada yang berani mengungkapkan perasaan mereka. Bahkan ada siswa yang menembak salah seorang siswi. Pak Ginanjar mulai mengambil tulisan-tulisan 3 secret admirer terakhir yang akan dibacakan.

"Ka. Rakambing. Mungkin lo udah biasa denger gue manggil lo dengan sebutan itu. Tapi gue berani sumpah, kalau itu adalah panggilan sayang dari gue untuk sahabat gue ini. Gue tahu mungkin gue baru kenal lo dari SMP, gak kenal lama kayak Revan. Tapi gue rasa kita udah banyak belajar hal bareng-bareng. Hobi lo bikin gue mewek kadang bikin gue kesel tahu gak? Tapi jujur kalau itu emang bikin lo ketawa gapapa. Gue tahu lo itu selalu nyimpen semuanya sendiri. Lo gak pernah nunjukkin masalah lo. Lo selalu ketawa disaat lo jatuh. Gue tahu lo selalu ngerasa sendirian karena abang lo gak pernah ada, makanya lo datengin gue dan ngacak-ngacakin rumah gue kan? Tapi jujur kalau emang hal itu bisa ngusir kesedihan lo Ka, lo boleh datengin gue kapan aja. Gue ini bukan orang yang pinter ngehibur. Kalau emang hal yang lo lakuin bareng gue bikin kesedihan lo pergi, gue bakal nemenin lo setiap saat. Hey Ketos atau mantan ketos karena sekarang kita udah mau lengser, asal lo tahu waktu lo maksa gue jadi waketos gue sama sekali gak nyesel. Karena dari sana gue bisa ngelihat lo yang berbeda. Berani sumpah Michael Jackson aja kalah kerennya dibandingin lo waktu bicara di depan mimbar. Gue bersyukur bisa jadi sahabat lo. Tapi gue mau ngingetin sama lo, tolong mulai berbagi semua beban lo. Buat gue jadi berguna sebagai sahabat lo. Gak sesek apa lo simpen semua sendiri? Walaupun pas udah lulus nanti mungkin kita kepisah, yang harus lo tahu bahwa gue akan tetep jadi sahabat lo Ka.

-Dari gue: Orang yang selalu lo nistain."

Sang ketua OSIS yang sebentar lagi lengser itu tersenyum haru setelah mendengar ungkapan yang dia tahu dari siapa.

"Sempurna. Semua orang nganggep lo kayak gituh. Lo tuh sedingin gunung everest. Keren banget, perfect dalam segala hal. Bahkan beberapa orang nganggep lo itu kejam. Revano, gue heran padahal gue yang ketua OSIS tapi tetep lo yang lebih terkenal dari gue. Mungkin itu anggepan semua orang buat lo. Tapi bagi gue, lo tetep sahabat kecil gue yang gue tahu kalau lo selalu mewek karena adek lo jatuh. Adek lo yang jatuh, lo yang mewek heran kan? Tapi itu semua karena lo sayang sama adek kembar lo. Gue tahu lo bahagia dan ngejalanin hari bahagia bareng-bareng keluarga sampe takdir harus misahin lo dari mama sama papa lo. Gue gak bisa ngebayangin seberat apa beban hidup lo saat ini. Lo kadang lari ke gue dan ngeluh karena setiap saat masalah seakan datang lagi dan lagi ke lo. Gue tahu dibalik muka datar macem tembok lo itu, banyak banget kesedihan yang lo sembunyiin. Tapi lo kayak gituh buat adek lo kan? Kalau gue jadi lo, gue juga akan ngelakuin hal yang sama. Rev tapi gue mohon sama lo, dikala beban itu emang semakin berat buat lo, jangan lo tutupin sama topeng baik-baik aja lo. Lucu emang dengerin ini dari gue yang juga selalu nyimpen semua sendiri. Lo masih punya gue, ada Kian juga. Gue gak tahu setelah lulus nanti kita bakal kepisah atau nggak, tapi asal lo tahu sejauh apapun nanti, gue akan selalu ada buat sahabat gue dari orok ini.

-Dari orang yang lo paksa mengemban tugas lo."

Ketika Pak Ginanjar sudah selesai membacanya, Revan secara otomatis merangkul bahu Raka. Sang sahabat cukup terkejut, tapi dia bersyukur kala melihat raut sedih Revan telah menghilang.

"Dev? Makasih lo udah mau bertahan sampai saat ini. Makasih lo belum nyerah dengan keadaan yang berat ini.   Dev tolong jangan dengerin kata orang lain oke. Mereka semua salah kalau menilai diri gue adalah orang yang sempurna. Tanpa ada lo mungkin gue bisa hancur sehancur-hancurnya. Lo selalu bilang ke gue, 'Rev fokus sama hidup lo juga jangan gue terus yang diurusin!' Gue bakal fokus kalau lo baik-baik aja Dev. Gue gak mau bahagia sendiri sementara lo gak bisa menyentuh rasa bahagia itu. Kalaupun ada orang yang suka sama gue, orang itu harus nerima lo juga. Tapi gue udah sering bilang sama lo kan, kalau fokus gue saat ini adalah lo Dev.  Buat apa gue pura-pura bahagia kalau nyatanya gue gak bisa bahagia tanpa adek gue? Gue terlalu takut Dev, terlalu takut buat kehilangan lagi. Waktu mama dan papa meninggal, tangisan gue yang paling keras. Sementara lo datang ngehibur gue dan semangatin gue kalau semuanya bakal baik-baik aja. Bahwa kita berdua bisa ngelewatin semua ini. Padahal gue tahu bahwa jauh di dalam lubuk hati lo juga sedih. Sekarang izinin gue buat jadi penyemangat lo, izinin gue buat ngeyakinin lo kalau lo bisa ngelewatin semua ini Dev. Kalau lo sakit, kalau lo jatuh, kalau lo masuk ke jurang kata menyerah, gue gak peduli apapun, gue bakal jadi orang yang narik tangan lo dari sana. Kita bakal tua barengan kan? Bukannya lo udah janji? Gue ini jauh dari kata sempurna yang semua orang elu-elukan ke gue. Gue ini cuma orang cengeng, tapi karena masih ada lo Dev gue seolah punya kekuatan untuk ngehadepin ini semua. Sebisa mungkin gue bakal jadi pengganti mama sama papa. Gue ngomel karena sayang sama lo Dev. Walaupun sebenernya mungkin omelannya gue masih kalah galak dari mama dan masih kalah sadis dari papa. Tapi rasa sayang gue ke lo sama kayak sayangnya mereka. Gue sayang lo Dev. Lo satu-satunya yang gue milikin di dunia ini. Kita bakal saling nguatin satu sama lain kan? Boleh gue berharap sama Tuhan bahwa keajaiban suatu saat bakal datengin kita kan Dev?

-R. A.P

Entah mengapa semua murid yang lain merasa sangat tersentuh setelah mendengar 3 secret admirer terakhir. Apalagi saat Pak Ginanjar membacakan milik Revan. Mereka bisa merasakan bagaimana kuatnya ikatan persaudaraan mereka. Disana Revan mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya di hadapan orang lain.

Sementara itu Devan yang jarang menangis menjatuhkan air matanya setelah mendengar hal tersebut. Aedli yang berada di samping Devan langsung mengelus punggung sang sahabat. Revan selalu saja bisa membuatnya tersentuh. Berulang kali Devan ingin menyerah, tapi Revan membuatnya berpikir kembali.

Acara api unggun dan pengungkapan perasaan itupun akhirnya selesai. Semua orang sudah memasuki tenda mereka masing-masing, terkecuali Revan yang masih sibuk duduk menatap langit malam yang bertabur bintang. Ternyata bukan hanya Revan, di belakangnya Devan juga masih berdiri.

Dengan perlahan Devan duduk di samping Revan. "Rev..."

"Gaada yang perlu dimaafin Dev." Revan langsung berbicara tanpa menunggu Devan melanjutkan kalimatnya.

Devan tersenyum. "Gue gak niat minta maaf lagian."

"Terus ngapain? Gue gak mau ribut Dev." Tanya Revan heran.

Kembali senyuman menghiasi wajah Devan. "Gue mau bilang makasih sama lo."

"Makasih?" Heran Revan kembali.

Devan mengangguk. "Makasih karena lo udah sabar banget ngadepin gue. Makasih karena lo ada untuk gue. Makasih karena lo udah jadi sosok yang bisa gue kagumi. Makasih buat semua hal yang udah lo lakuin buat gue selama ini. Walau kadang gue malah gak ngehargain."

Perasaan Revan sangat tersentuh mendengar penuturan sang adik. Dirinya berbalik dan menggenggam lembut tangan Devan. "Gapapa Dev, gue ngelakuin semua itu tulus karena gue sayang sama lo. Tapi maaf mungkin gue belum bisa jadi pengganti mama sama papa yang baik buat lo. Gue malah kadang bikin lo gak nyaman. Kadang gue berharap kalau seandainya mama dan papa masih ada, mungkin lo lebih bahagia."

Devan menggeleng cepat. "Nggak Rev." Kemudian dia melanjutkan. "Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.

Mata Revan mulai berembun, tapi dia menahan air yang ingin segera mengalir itu. Ucapan sang adik membuatnya terperangah.

"Gue juga sayang sama lo Dek." Revan mengacak rambut Devan gemas.

Kali ini Devan tidak menolak, dan membalas sang kakak kembar dengan senyuman.

.

.

.

.

.

.

Sementara itu sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Revan yang dia tinggalkan di tenda.

'Lo pikir lo bakal selamet Rev? Semua perbuatan bakal ada balesannya.'

.

.

.

.

.

To Be Continue..................

Makasih buat yang udah vomment.

Jangan lupa vomment ya^^

Kalau kalian suka dengan cerita ini silahkan masukan ke reading list kalian.

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!