“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 09
'Ternyata si Pak Lurah memakai susuk jarum emas. Sungguh tak jantan!’ dengusnya dalam hati.
Laila tidak asing dengan dunia spiritual. Uyut nya adalah seorang dukun pemilik ilmu aliran semi sesat. Sering memasang susuk kepada pelanggannya – susuk pengasihan yang bertujuan untuk memikat, menjadi pusat perhatian, dan setiap tutur kata yang terlontar seolah mantra ajaib, bisa membuat terlena pendengarnya.
Maka dari itu tidak heran kalau lurah Karsa memakai susuk yang medianya berharga mahal, hanya segelintir orang berharta mampu membeli dan memasangnya.
“Terima kasih, Pak Lurah, semuanya – atas sambutan hangat ini.” Laila menunduk, bahunya sedikit membungkuk. Dia memilih duduk di bangku kayu panjang paling ujung.
“Ayo pesan apapun yang kalian mau. Tak perlu risau perihal tagihan, saya akan membayar semuanya!” seru pria berumur berkisar mendekati 50 tahun. Posturnya biasa saja, tinggi badan sekitar 165 cm, kulit kuning kecoklatan yang sudah mulai banyak dihiasi bintik-bintik kehitaman tanda penuaan.
“Terima kasih, pak Lurah! Anda sungguh baik sekali.”
Ucapan terima kasih bukan cuma dihaturkan para perangkat kelurahan dan puskesmas, tetapi juga warga yang masih mengantri giliran untuk berobat. Mereka tadi diajak makan bersama.
Di sela-sela mengunyah, Laila dikejutkan oleh tangan yang lancang menepuk pundaknya.
“Bidan Laila, perkenalkan ini putra semata wayang saya.” Karsa menepuk sepintas bahu berbalut baju dinas berwarna putih.
Laila berdiri, mengulas senyum tipis, menatap sekilas pada pemuda jangkung berkulit bersih.
“Saya Abdul, panggil saja kang Abdul.” Ia langsung mengulurkan tangan guna berkenalan dengan sosok yang sangat cantik.
“Laila.” Dia sedikit kencang menarik tangan yang sengaja digenggam terlalu erat.
“Silahkan lanjut makan lagi, Dek Laila.” Tanpa permisi, dirinya meluruhkan bokong tepat dihadapan sang bidan, terhalang meja papan.
‘Dasar mata keranjang, kau kira aku bakalan terpesona oleh senyum mirip Kuda meringkik itu!’ batinnya menggerutu, dia mulai kesal.
Laila mengernyit saat besi jimatnya tiba-tiba seperti es batu. Dia menoleh ke belakang, langsung saja tatapannya bertemu dengan netra tajam. Cepat-cepat dirinya memutuskan pandangan.
“Adik ipar. Kebetulan sekali kau juga ada di sini! Ayo bergabung. Kita sedang mengadakan jamuan menyambut Bidan baru.” Karsa melangkah lebar menghampiri sosok bersepatu boots, topi lebar bertali, hanya mengenakan kaos singlet pas badan dan terlihat basah oleh keringat dan bawahan celana jeans kusam.
“Dek Laila kenapa? Kok makannya tak lagi disentuh?”
‘Karena ada kau di hadapanku!’
“Saya sudah kenyang, Kang.” Laila menelungkupkan sendoknya, nafsu makannya menguap.
Seseorang yang jarang tersenyum terlihat menarik tipis sudut bibirnya. Dia menggeleng samar saat abang iparnya mendekat. “Terima kasih pak Lurah, lain kali saja. Kebetulan saya sudah makan, ini cuma mau pesan kopi.”
Kalimat penolakan itu memadamkan binar mata Sujar, dan hal tersebut tertangkap oleh lirikan netra Laila.
Pramudya memesan segelas kopi hitam, dan meminta diantarkan ke warungnya, lalu dia pergi dari sana tanpa berpamitan dengan siapa-siapa, termasuk Karsa.
‘Juragan Pram dan pak lurah – memiliki hubungan ipar, dari pihak siapanya? Rasanya kepalaku mau pecah memikirkan kejutan yang datang bertubi-tubi.’
Sejenak Laila memejamkan mata, kepalanya sedikit pusing. Akibat terlalu dipaksakan memikirkan hal berat yang hingga sekarang masih abu-abu.
“Dek Laila, kau baik-baik saja?”
“Saya baik-baik saja. Maaf, saya harus kembali ke puskesmas. Waktu istirahat tinggal sedikit lagi.” Ia langsung berdiri, kembali mengucapkan terima kasih atas sambutan yang diperuntukkan baginya.
Sisa waktu dihabiskan Laila melaksanakan tugas hingga jam kerjanya berakhir. Kemudian dirinya pulang melewati jalan pintas yang mana sudah ada Mia menunggu di bawah bukit.
***
Selepas Isya, sosok yang seharian ini telah bekerja keras – terlihat sedang menarik resleting jaket.
Laila berjongkok, mengikat kuat simpul tali sepatu olahraga, memeriksa tas selempang yang berisi senter, pisau, obeng, dan botol spray air merica.
“Baiklah, sudah saatnya aku bergerak! Daripada menunggu petunjuk itu datang dengan sendirinya – yang ada keduluan diri ini gila.” Dia menekan saklar, seketika lampu ruang tamu dan kamar mati, begitu juga dengan penerangan dapur.
Pintu dapur dibuka, lalu digembok. Laila melangkah dengan sangat hati-hati, saat sampai di jalan pintas – dirinya mempercepat ayunan kaki.
Malam ini tidak ada bulan, bintang pun hanya sedikit yang muncul. Sehingga perkebunan karet nyaris gelap gulita.
Laila menyusuri jalan setapak – terdapat banyak akar pohon karet yang keluar dari dalam tanah. Senter dalam genggamannya tidak bisa menyorot jauh, terlebih dirinya harus hati-hati agar tidak menginjak binatang buas, seperti Ular ataupun Lipan.
Awalnya semua baik-baik saja. Laila pun terlihat santai berjalan seorang diri di kegelapan malam hanya ditemani oleh senter. Namun, semuanya berubah kala suara tawa melengking mencoba menakuti.
Hi hi hi ....
“Apa itu?” Sorot senter tidak lagi tenang, tapi bergoyang dikarenakan jemari Laila bergetar.
Hi hi hi ....
Suara tawa terdengar semakin dekat. Laila mencoba untuk berani, tidak selaras dengan deru napas tersengal-sengal, ritme jantung menggila. Dia enggan menoleh kebelakang.
“Tenang Laila, anggap saja cuma radio rusak memutar suara tawa paling jelek di dunia,” dia mencoba men sugesti dirinya sendiri.
Alih-alih tenang, dirinya malah semakin ketakutan. Saat bersiap hendak berlari – sosok berperut berlubang, rambut acak-acakan, mata sepenuhnya putih, bibir hitam, membuka mulut memperlihatkan taring runcing berdarah dan masih tersisa kulit binatang di sela-sela barisan gigi.
AKH!
Laila berlari menyamping, rasa takutnya sudah di level tinggi, tidak lagi memperhatikan langkah, pun kala dirinya menabrak wujud terbungkus kain mori kumal.
“Uyut! Hantu Uyut!”
Wanita cantik itu berguling-guling menuruni bukit. Hebatnya – senter dalam genggaman tetap aman dan masih menyala.
Bugh!
Tubuh Laila menabrak sesuatu. Dia yang tadi memejamkan mata mulai mengerjap, berusaha duduk di atas benda aneh.
“Apa ini?” Senter dalam genggamannya diarahkan ke bawah, tepat pada wajah terbungkus kain mori, kepala diikat tali. Matanya berkelopak seperti arang, sedang menatap tajam.
“Anjing kau! Akh!” Laila melompat, kakinya menendang kuat, sehingga sosok pocong terguling hingga dasar bukit.
“Aku ingin kembali ke kota saja! Tak sanggup kalau terus-terusan seperti ini.” Dia mulai menangis sesenggukan sembari tangannya mengarahkan senter ke segala arah.
Tiba-tiba terdengar suara yang menirukan tangisannya. Rasa takutnya kala oleh penasaran, ia menoleh ke belakang dengan senter menyorot batang pohon dipeluk wujud raksasa berbulu lebat, jari tangan sebesar buah jagung.
Laila lupa bagaimana caranya menjerit – dadanya naik turun, hidung kembang kempis, dan matanya melotot sempurna.
“Gende_ ruwo!” Dia langsung berbaring dan kembali berguling-guling hingga dasar bukit.
Begitu tubuhnya mendarat di rerumputan kering, cepat-cepat ia duduk.
“Bodohnya! Aku kan mengenakan jimat – para makhluk jelek itu tak bisa mencelakai, cuma mampu menakuti.” Senter dalam genggaman dipukulkan pelan ke kepalanya. Akibat diserang rasa takut, dia kehilangan kepintaran.
Hist.
“Rasanya badanku rontok, sakit semua,” keluhnya, lalu berdiri. Tangan yang terbebas dari senter menepuk-nepuk baju dan celana hingga dedaunan kering berjatuhan.
Terpincang-pincang Laila melangkah. Dia tidak jadi pulang, malah berjalan menuju kantor kelurahan.
Saat sudah sampai di belakang bangunan kelurahan. Laila mulai mencongkel jendela kayu bagian kamar mandi. Mulutnya tersumpal ujung senter.
Klek!
Tiba-tiba pintu belakang kantor kelurahan terbuka sendiri.
.
.
Bersambung.
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka
salah satunya antisipasi untuk hal seperti ini.
bahkan kita sendiri kadang tidak tahu weton kita apa,karena ditakutkan kita akan sembarangan bicara dengan orang lain.
waspada dan berhati hati itu sangat di perlukan .
tapi di zaman digital sekarang ,orang orang malah pada pamer weton kelahirannya sendiri🤣
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk