CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Sebelum pergi ke ruangan Dimas, Velove pergi ke kamar mandi terlebih dulu untuk merapihkan penampilannya yang berantakan karena tadi sempat menangis. Setelah merasa penampilannya lebih baik dari sebelumnya, perempuan itu segera keluar dari dalam kamar mandi dan membawa langkah kakinya menuju ruangan Dimas.
Tokk… Tokkk…
“Permisi Pak.” Ucap Velove dibalik pintu tinggi itu.
Sebanyak dua kali Velove mengetuk pintu tinggi itu sampai akhirnya mendapat jawaban dari dalam ruang kerja sang atasan.
“Masuk.” Balas Dimas dari dalam sana.
Perempuan itu masuk dengan perasaan yang tidak karuan, dia cemas, takut dan juga bingung. Dia harus mulai dari mana pembicaraan ini dengan Dimas nantinya? Apa dia bisa melakukannya?
Begitu Velove sampai di depan meja kerja sang atasan, perempuan itu disuguhi pemandangan Dimas yang sedang sibuk mengecek berkas-berkas yang ada di tangannya. Lelaki itu kemudian mendongakan kepalanya dan menatap ke arah sang sekretaris.
“Ada apa?” Tanya Dimas yang kemudian kembali fokus pada berkas-berkas di tangannya.
Mendengar pertanyaan itu membuat Velove menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum dia mengeluarkan suaranya. “Jadi—eum… jadi gini, Pak,” Perempuan itu menjeda sebentar kalimatnya. “Soal… itu soal tawaran Pak Dimas yang kemarin apa masih berlaku?”
Lelaki itu sontak mengalihkan pandangannya dari berkas ke arah Velove dengan sepenuhnya ketika mendengar sang sekretaris mengatakan kalimat itu. Dimas menaikan sebelah alisnya menatap si sekretaris. “Masih, apa kamu udah buat keputusan?”
“Saya udah punya jawaban buat penawaran yang Pak Dimas kasih kemarin.”
“Jadi, bagaimana? Kamu setuju?” Tanya Dimas dengan rasa penasaran.
“Eum saya setuju Pak. Tapi, apa saya boleh minta satu permintaan?”
“Permintaan apa?”
“Itu—apa boleh saya pinjam uang dulu ke Pak Dimas? Saya bener-bener lagi butuh uangnya buat pengobatan Ibu saya di kampung.”
“Memang berapa yang kamu butuhkan?” Tanya Dimas dengan penasaran, karena menurut dia tidak mungkin Velove semudah itu untuk menyerahkan diri padanya jika nominalnya hanya sedikit.
Dengan ragu-ragu Velove mengatakan nominal yang dia butuhkan. “500—500 juta Pak…” cicitnya karena takut melihat reaksi Dimas.
“500 juta? Memang Ibu kamu sakit apa?”
“Ibu saya sakit gagal ginjal dan harus secepatnya melakukan tindakan operasi, tapi uang tabungan saya belum ada sebanyak itu. Maka dari itu saya harap Pak Dimas bisa bantu saya.”
“Kamu tahu kan 500 juta itu bukan nominal yang sedikit?”
Mendengar pertanyaan itu, Velove hanya mengangguk di tempatnya dengan kepala yang menunduk. Dia sendiri tahu kalau memang itu bukan nominal yang sedikit, itu nominal yang banyak dan dirinya tidak punya uang sebanyak itu saat ini.
“Saya bisa bantu kamu, tapi syaratnya berbeda dengan yang kemarin.” Ucap Dimas dengan seringai di wajahnya.
Velove lantas mendongakan kepalanya, menatap sang atasan yang ada di depannya dengan raut wajah kebingungan. “Syarat apa, Pak?” Tanyanya penuh rasa penasaran.
“Sebulan penuh ini kamu tinggal di apartemen saya, uang 500 juta akan saya kasih sekarang juga kalau kamu setuju dan bulan berikutnya saya akan kasih kamu uang dengan nominal yang sama.”
Satu bulan penuh ya? Velove tidak yakin dia akan sanggup melakukan hal itu. Tapi mau bagaimanapun keadaan saat ini sangat mendesak, dia butuh uang secepatnya untuk pengobatang sang Ibu dan Dimas lah harapan satu-satunya dia saat ini.
Velove mencoba untuk meyakinkan diri kalau dirinya pasti bisa, ini semua dia lakukan untuk Ibu dan juga adiknya di kampung. “Sa—saya sanggup Pak dengan syarat yang Pak Dimas berikan.”
“Kalau begitu nanti saya akan membuat kontrak kesepakatan untuk kita berdua. Dan kamu tahu kan di apartemen saya nanti kamu tidak cuma numpang tidur?”
Ya, Velove paham maksud Dimas. Lelaki itu pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan kemarin terhadap tubuhnya, tapi itu tidak akan menjadi masalah selagi Dimas tidak bertindak lebih jauh dari yang sebelumnya. Velove harap Dimas hanya akan bermain-main di dadanya dan juga menghisap ASI-nya seperti yang lelaki itu katakan kemarin.
Perempuan itu lantas menganggukkan kepalanya. “Saya paham, Pak.“ Balas Velove.
Mendengar balasan dari sang sekretaris, Dimas kemudian berucap. “Oke, kalau gitu kamu bisa ke ruangan saya lagi sore ini sebelum pulang kerja.”
“Baik, Pak. Terima kasih banyak.” Sebelum keluar dari ruangan itu, Velove menundukan kepalanya sebentar dan lalu kemudian dia membawa langkah kakinya untuk keluar dari dalam sana.
Melihat Velove yang sudah keluar dari dalam ruangannya, Dimas lantas terkekeh pelan. Dia tidak membayangkan kalau ternyata akan semudah ini mendapatkan apa yang dia mau dari sang sekretaris, memang sepertinya keberuntungan sedang berada di pihaknya saat ini.
***
Waktu pulang kerja sudah tiba, beberapa karyawan sudah ada yang pulang, tapi ada beberapa karyawan juga yang masih berada di kantor karena belum menyelesaikan tugasnya. Berbeda dengan Velove yang sudah tidak memiliki pekerjaan tapi saat ini dia masih berada di kantor, tepatnya saat ini perempuan itu sedang berada di depan pintu ruangan sang atasan.
Seperti apa yang dikatakan oleh Dimas tadi siang yang menyuruhnya untuk datang ke ruangan sebelum pulang kerja, maka di sini lah Velove sekarang. Perempuan itu sedang menyiapkan diri untuk menghadapi hal yang akan terjadi di dalam. Velove menstabilkan deru napasnya sebelum kemudian dia mengetuk pintu tinggi itu.
Tokk… tokkk…
“Permisi Pa—“
“Masuk.”
Belum sempat perempuan itu melanjutkan kalimatnya, seruan dari dalam ruangan sudah menghentikannya. Velove segera masuk ke dalam ruangan itu, lalu matanya mendapati sosok Dimas yang sedang duduk di sofa yang ada di dalam ruangan dengan selembar kertas yang ada di tangannya.
Perempuan itu lalu membawa langkahnya untuk menghampiri Dimas yang sedang duduk di atas sofa.
“Duduk.” Peringah lelaki itu pada sang sekretaris.
Mendengar perintah yang diberikan oleh Dimas, Velove kemudian mendudukan dirinya di sebelah lelaki itu. Sejenak dia dibuat terpesona oleh penampilan Dimas saat ini, dimana kemejanya sudah digulung sebatas siku dan juga dasinya yang sudah tidak terpasang dengan rapih lagi di lehernya.
Perempuan itu kemudian menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikirannya yang mulai kemana-mana dan kini Velove mulai melirik pada selembar kertas yang ada di tangan lelaki itu.
“Itu kertas apa, Pak?” Tanyanya dengan penasaran seraya menatap kertas tersebut.
Mendengar pertanyaan dari sang sekretaris, Dimas lantas menyerahkan selembar kertas itu pada Velove. “Ini kontrak perjanjian kita, kamu bisa baca dulu point-pointnya. Kalau kamu setuju, kamu bisa tanda tangan di atas materai yang ada di situ.”
Dengan dahi yang mengernyit bingung, Velove menerima selembar kertas perjanjian yang Dimas berikan padanya. Perempuan itu membaca dengan seksama point-point yang ada di sana. Di sana tertera Dimas sebagai pihak ke satu dan Velove sebagai pihak ke dua.
Point-point yang ada di dalam surat perjanjian:
Kedua belah pihak tidak boleh mengganggu urusan pribadi masing-masing.
Pihak ke dua harus mau menuruti permintaan apapun yang diinginkan oleh pihak ke satu.
Pihak ke satu akan memberikan imbalan pada pihak ke dua di awal dan di akhir bulan.
Pihak ke dua dilarang berdekatan dengan lelaki lain selama masih terikat dalam kontrak.
Sebenarnya isi surat perjanjian itu kebanyakan pointnya memberatkan di pihak Velove, tapi mau bagaimanapun memang Dimas lah yang berhak mengaturnya di sini. Seraya meyakinkan dirinya sendiri, Velove mulai meraih pulpen yang ada di atas meja dan menorehkan tanda tangannya di atas materai yang ada di sana.
Lantas setelah surat perjanjian itu Velove tanda tangani, perempuan itu kembali mengembalikan lagi surat perjanjian yang sudah ditanda tangani olehnya pada Dimas.
“Uang 500 juta akan saya transfer malam ini.” Ucap Dimas seraya mengambil surat perjanjian yang Velove sodorkan.
Lelaki itu meletakan surat tersebut di atas meja, dan mulai mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah sang sekretaris. Velove yang melihat tingkah Dimas yang mengikis jarak diantara keduanya hanya terdiam ditempat.
Tangan kanan lelaki itu mulai meraba area dadanya yang masih terbungkus oleh kemeja, lalu tangannya mulai membuka satu persatu kancing kemeja yang Velove pakai.
“ASI kamu udah dipompa?” Tanyanya yang kini sudah berhasil membuka tiga kancing teratas.
“Be—belum, Pak.” Jawab Velove dengan gugup, tubuhnya mulai meremang saat tangan Dimas mulai mengeluarkan bongkahan kembar miliknya.
“Bagus kalau begitu, kamu gak usah pake alat itu lagi selagi masih ada saya.” Kini bibir basah lelaki itu mulai melumat dan menghisap salah satu ujung bongkahan Velove.
“Shhh… i—iyhaaa Pak.”
Perempuan itu sekuat tenaga menahan suaranya, mengingat kini keduanya masih berada di dalam kantor, walaupun beberapa karyawan sudah pulang, tidak menutup kemungkinan akan ada orang yang mendengar suara miliknya.
Velove merasakan hisapan dari Dimas yang begitu kuat pada ujung bongkahannya, perempuan itu juga merasakan ASl-nya yang mulai merembes keluar dan diminum oleh sang atasan.
Sekitar sepuluh menit Dimas menghabiskan waktunya untuk menghisap ujung bongkahan kembar sebelah kanan milik Velove, lantas setelah dirasa tidak ada lagi ASl yang keluar dari sana, lelaki itu melepaskan hisapannya.
“Obat yang dari rumah sakit tadi sudah kamu minum?”
Mendengar pertanyaan dari Dimas, sontak Velove membelalakan matanya. Dia lupa menimun obat itu karena dirinya yang terlalu panik siang tadi dan tidak sempat untuk meminumnya.
“Belum, saya lupa karena tadi siang saya terlalu panik.” Balasnya.
Terdengar decakan pelan dari bibir lelaki itu. “Ck, selesai makan malam nanti langsung kamu minum.” Ucap Dimas, lalu lelaki itu kembali mendekatkan bibirnya ke ujung bongkahan Velove yang sebelah kiri, yang belum dia hisap.
Selagi bibirnya yang sedang menghisap ujung bongkahan kembar Velove, tangan Dimas tidak dibiarkan menganggur begitu saja. Tangan lelaki itu dengan lihai memilih bongkahan kembar Velove yang tidak sedang dia hisap. Hal itu tentu membuat Velove kewalahan untuk menahan suara laknat yang bisa saja keluar.
Dimas merasa sudah tidak ada lagi ASl yang keluar dari puncak dada Velove segera melepaskan hisapannya dari sana, lantas lelaki itu kembali ke posisi duduknya yang seperti di awal. Sedangkan Velove di tempatnya kini sedang membenahi penampilannya yang berantakan karena ulah sang atasan.
“Saya antar kamu ke kostan untuk mengemasi barang-barang kamu, setelah itu kita pergi ke apartemen saya.”
Seraya memasang kembali kancing kemejanya yang terbuka, Velove mendongakan kepalanya menatap Dimas yang saat ini juga tengah menatapanya. “Saya nginep di apartemen Pak Dimas mulai malam ini?”
“Ya, dan alat pemompa ASl kamu itu jangan lupa untuk dibawa.”
“Iya Pak, nggak mungkin juga saya tinggal, nanti saya sendiri yang kerepotan.”
***
Saat ini mobil hitam milik Dimas sudah terparkir di depan kostan Velove, sekarang sudah jam tujuh malam, tidak ada banyak waktu untuk Velove mengemasi barangnya dan pergi ke apartemen lelaki itu.
Perempuan itu masuk ke kamar kostannya dan meninggalkan sang atasan di dalam mobil sendirian, lelaki itu tidak bisa masuk ke dalam kostan karena memang kostannya memiliki peraturan yang cukup ketat, yaitu tidak memperbolehkan tamu laki-laki masuk.
Dengan cepat Velove memasukan pakaian dan juga barang-barang yang sekiranya penting ke dalam koper, dia tidak akan membawa banyak barang-barang malam ini, setidaknya barang yang dia bawa akan cukup untuk satu minggu agar nanti dia bisa kembali mengambilnya minggu depan di kostannya.
“Itu di depan mobilnya siapa deh, Sil?”
“Nggak tahu, tapi kayak kenal sama mobilnya.”
Saat sedang membereskan barang-barangnya, Velove dapat mendengar bisik-bisik dari luar kamar kostnya, yang dia yakini itu adalah penghuni kost yang lain. Malam hari memang penghuni kostannya akan ada karena memang mereka sudah pulang dari tempat kerja.
“Oh iya, itu kayaknya mobil yang suka nganterin si Velove.”
“Kok lo bisa tahu?”
“Gua ada beberapa kali lihat dia dianterin sama mobil itu, tapi cuma sampe depan gang aja.”
“Siapanya kira-kira? Kagak mungkin sodaranya sih, dia kan dari kampung.”
“Gadunnya kali.”
Kedua orang di luar kamar itu tertawa mengejek. Velove yang ada di dalam kamarnya menghentikan sejenak kegiatannya, mendengar obrolan di luar sana yang menyinggung dirinya membuat perempuan itu merasa ada dentaman kuat di hatinya.
Tapi setelah itu Velove segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir perasaan itu dan kembali melanjutkan mengemasi barang-barangnya agar Dimas tidak menunggu lebih lama dan dia bisa segera pergi dari sana.
Memang dia tidak terlalu dekat dengan penghuni kost yang lain, karena memang sehari-hari dirinya sibuk bekerja, lalu pulang malam yang membuat dia tidak bisa bersosialisasi dengan penghuni kost yang lain. Mungkin akan sesekali mengobrol di saat akhir pekan, itu pun tidak terlalu sering karena akhir pekan dia gunakan untuk beristirahat.
Setelah selesai mengemasi barang-barangnya, Velove segera menyeret kopernya keluar dari dalam kamar dan dia mengunci kamar tersebut sebelum pergi dari sana. Untung saja saat dia keluar dari kostan, dirinya tidak berpas-pasan dengan penghuni kost yang lain.
Dengan wajah yang muram, Velove memasukan koper miliknya ke dalam bagai mobil milik Dimas dengan sendiri, karena tidak mungkin dirinya menyuruh sang atasan untuk melakukan hal itu. Begitu sudah selesai memasukan kopernya di bagasi, Velove membawa langkah kakinya untuk naik ke kursi penumpang di sebelah Dimas.
Melihat Velove yang sudah duduk di tempatnya, Dimas mulai kembali menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan kostan Velove. Lelaki itu ternyata menyadari perubahan raut wajah sang sekretaris yang terlihat lebih muram dari sebelumnya.
“Kamu kenapa?”
Suara tiba-tiba yang menyapa indera pendengarannya membuat Velove sedikit terperanjat di tempatnya. “Eh? O—oh, saya nggak kenapa-kenapa Pak.” Bohongnya.
Dimas tentu tidak akan langsung mempercayainya, tapi lelaki itu hanya menganggukan kepalanya sekilas. “Kamu malam ini mau makan di mana?”
“Saya ikut mau Pak Dimas aja.” Balas Velove.
“Ya udah kalo gitu sebelum ke apartemen saya, kita mampir sebentar ke tempat makanan padang.”
“Iya, Pak.”
“Pompa ASl kamu nggak ketinggalan kan?” Lelaki itu kembali bertanya pada sang sekretaris yang ada di sampingnya.
“Nggak, udah saya simpen di dalem koper.” Jawab perempuan itu.
Setelah mendengar balasan dari Velove, Dimas hanya menganggukan kepalanya, lalu kembali fokus mengendarai kuda besinya. Sepertinya sekretarisnya itu tidak sedang berada dalam suasana hati yang bagus, entah apa yang perempuan itu alami saat di berada dalam kostan tadi.
Karena seingat Dimas, sebelum masuk ke dalam kostan, Velove terlihat baik-baik saja di depannya. Tapi setelah perempuan itu keluar dari sana, raut wajah yang murung terlihat jelas oleh Dimas.
Seperti yang dikatakan oleh lelaki itu sebelumnya, kini mobil hitamnya sudah masuk ke area parkir rumah masakan padang yang cukup terkenal di Jakarta. Setelah memarkirkan mobil hitamnya itu, Dimas kemudian mengajak Velove untuk turun dan memasuki bangunan restoran tersebut.