NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:743
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 KONFRONTASI DI KAMPUS

Pagi itu, Amara melangkah ke kampus dengan langkah berat. Sejak gosip pernikahannya menyebar, setiap sudut koridor terasa seperti panggung pengadilan. Mahasiswa berbisik, ada yang menunjuk, ada pula yang terang-terangan menatap penuh ejekan.

Ia menunduk, mencoba melewati mereka, sampai sebuah suara nyaring membuat langkahnya terhenti.

“Lihat siapa yang datang! Calon ibu tiri sendiri!”

Amara menoleh. Selvia berdiri di tengah kerumunan mahasiswa, senyum dingin menghiasi wajahnya. Teman-teman Selvia ikut terkekeh, menikmati pertunjukan yang akan dimulai.

“Selvia…” suara Amara bergetar. “Kita bisa bicara baik-baik.”

“Baik-baik?” Selvia mendekat, suaranya cukup keras untuk didengar semua orang. “Kau duduk di meja makan keluargaku, tidur di rumahku, lalu pura-pura jadi sahabatku? Kau kira aku akan diam?”

Kerumunan berdesis, beberapa sudah mengeluarkan ponsel, merekam setiap kata.

Amara mencoba tenang. “Aku tidak pernah berniat menyakitimu. Keadaan memaksaku, Selvia.”

“Kebohongan!” Selvia menunjuk Amara. “Kau haus harta, kau gunakan Papa sebagai jalan pintas. Kau bukan sahabatku, kau pengkhianat!”

Tawa kecil dan bisikan terdengar di sekitar mereka. Amara merasakan jantungnya berdetak keras. Ia bisa saja lari, tapi itu hanya akan membuat semua orang percaya tuduhan Selvia.

Ia menarik napas panjang, lalu berkata lantang, “Aku memang menikah dengan ayahmu. Tapi bukan karena aku mengejar harta. Aku melakukan itu untuk keluargaku. Kau boleh membenciku, Selvia, tapi jangan sebut aku pengkhianat. Aku tidak pernah menusukmu dari belakang.”

Kerumunan terdiam sejenak. Beberapa saling pandang, kaget karena Amara berani membalas.

Selvia tertawa dingin. “Kau pikir orang akan percaya? Lihat saja, semua orang di sini sudah tahu siapa dirimu.”

Di ruang dosen, gosip itu cepat menyebar. Beberapa dosen senior bahkan membicarakan Amara di depan mahasiswa. “Mahasiswi yang menikah dengan konglomerat. Kita lihat apakah dia masih serius kuliah.”

Amara tahu kabar itu tidak bisa ia hentikan. Tapi ia juga tahu, semakin ia diam, semakin orang seenaknya menindasnya.

Saat kelas presentasi, seorang dosen dengan sengaja memanggilnya lebih dulu. “Silakan, Nyonya Atmadja. Tunjukkan pada kami apakah status barumu membuatmu lebih pintar.”

Suasana kelas dipenuhi tawa kecil. Amara menahan napas, lalu maju. Tangannya bergetar saat membuka slide, tapi ia memaksa diri fokus.

Ia memaparkan materi dengan suara tenang, meski setiap kalimat seperti diuji oleh tatapan tajam. Beberapa mahasiswa awalnya mencibir, namun semakin lama, penjelasan Amara jelas dan terstruktur.

Ketika presentasi selesai, hening. Bahkan dosen yang tadi menyindir hanya bisa berdeham. “Baiklah. Cukup jelas.”

Amara kembali duduk. Untuk pertama kali, ia merasa sedikit kemenangan di tengah lautan hinaan.

Namun sore itu, saat hendak pulang, Amara mendapati mobilnya digores dengan cat semprot. Tulisan besar berwarna merah mencolok: “Perempuan Murahan”.

Tangannya bergetar. Beberapa mahasiswa tertawa dari kejauhan, ada pula yang merekam dengan ponsel.

Amara ingin menjerit, tapi ia menahan diri. Ia hanya berdiri, menatap tulisan itu lama, lalu mengambil sapu tangan dan mulai menghapus semampunya. Air mata menetes, bercampur dengan debu dan cat.

Tiba-tiba, sebuah jas hitam menutupi pandangannya. Bagas berdiri di samping mobil, wajahnya kelam. Tanpa sepatah kata, ia mengambil sapu tangan itu dari tangan Amara, lalu menyuruh sopir mengganti mobil.

“Siapa yang melakukan ini?” tanyanya datar, namun sorot matanya menyalakan ketakutan.

Amara menggeleng, suaranya pecah. “Aku… aku tidak tahu.”

Bagas menatap kerumunan mahasiswa yang masih menonton. “Kalau aku tahu ada yang berani menyentuh istriku lagi, aku akan pastikan dia menyesal seumur hidup.”

Kerumunan langsung bubar.

Amara menatap Bagas, matanya basah. Untuk pertama kali, ia merasa benar-benar dilindungi, meski situasinya tetap pahit.

Malam itu, di kamar, Amara memandang jendela dengan hati yang kacau. Kata-kata Selvia masih menusuk, tatapan teman-temannya masih terasa. Tapi bayangan Bagas berdiri di samping mobil, membelanya tanpa ragu, juga terpatri kuat di ingatannya.

Ia berbisik pada dirinya sendiri, “Kalau aku harus melalui semua ini, aku akan bertahan. Aku tidak akan membiarkan Selvia atau siapa pun menghancurkanku.”

Dan malam itu, tekad Amara semakin mengeras. Jalan di depannya penuh duri, tapi ia tidak akan menyerah.

Kerumunan mahasiswa yang tadi menonton perdebatan Amara dan Selvia makin riuh. Beberapa mulai merekam dengan kamera ponsel, berharap video itu bisa viral di media sosial. Ada yang berbisik, ada yang tertawa, tapi ada pula yang diam, terkesima dengan keberanian Amara menjawab.

“Berani juga dia,” bisik seorang mahasiswa.

“Tapi tetap saja, tetap memalukan,” sahut yang lain.

Amara menahan napas panjang. Hatinya sakit, tapi ia berdiri tegak. Ia tahu, kalau ia menyerah di depan Selvia, selamanya ia akan dicap lemah.

Selvia melipat tangan di dada, puas melihat kerumunan mendukungnya. “Ingat, Amara. Kau bukan siapa-siapa tanpa Papa. Tanpa nama Atmadja, kau hanya gadis biasa yang tak akan pernah diperhitungkan.”

Amara menatap lurus pada sahabat yang kini jadi musuhnya. “Mungkin aku gadis biasa, Selvia. Tapi justru karena itu, aku tahu caranya bertahan. Dan aku akan buktikan bahwa aku bukan sekadar nama belakang.”

Hening sejenak. Kalimat itu seperti pisau yang menebas udara. Sebagian mahasiswa menatap Amara dengan wajah berbeda—bukan lagi sekadar mencibir, tapi juga heran karena keberaniannya.

Siang itu di kelas presentasi, Amara kembali diuji. Dosen memanggilnya dengan nada menyindir, “Silakan, Nyonya Atmadja. Tunjukkan apakah status barumu memberi kecerdasan ekstra.”

Tawa memenuhi ruangan. Amara melangkah ke depan dengan dada berdebar, membuka slide yang sudah ia siapkan semalam.

“Selamat siang. Topik saya hari ini adalah desain berkelanjutan dalam arsitektur modern…”

Suara Amara semula bergetar, tapi semakin lama ia bicara, semakin mantap. Ia menunjuk contoh desain, menjelaskan detail dengan bahasa sederhana. Semua orang yang tadinya tertawa mulai diam, menyimak dengan serius.

Saat ia menutup presentasi, ruangan hening. Dosen hanya bisa berkata singkat, “Cukup jelas. Duduk kembali.”

Beberapa mahasiswa bertepuk tangan kecil. Bagi Amara, itu cukup—ia berhasil membungkam ejekan, setidaknya untuk sementara.

Sore harinya, di parkiran, Amara menemukan mobilnya dicoret cat semprot merah. Tulisan besar dan kejam menghiasinya: “Perempuan Murahan”.

Kakinya lemas. Suara tawa terdengar dari kejauhan. “Lihat, mobil istri konglomerat dapat hadiah!”

Air mata menggenang. Amara meraih sapu tangan kecil, mulai mengusap cat meski tahu tak ada gunanya. Tangannya gemetar, hatinya perih.

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar. Bagas berdiri di sampingnya, wajahnya gelap. Ia meraih sapu tangan dari tangan Amara.

“Cukup.”

Ia memberi isyarat pada sopir untuk mengganti mobil. Lalu menatap tajam ke arah kerumunan mahasiswa yang masih menonton. “Siapa pun yang berani menyentuh istri saya lagi, akan menyesal seumur hidup.”

Seketika kerumunan bubar, ketakutan oleh sorot mata Bagas yang dingin.

Amara menunduk, air matanya jatuh. “Kenapa semua orang membenciku, Bagas?”

Bagas menoleh, suaranya datar namun mantap. “Biar mereka membenci. Yang penting, kau tetap berdiri. Selama kau istriku, tidak ada yang bisa menjatuhkanmu.”

Kata-kata itu menembus dada Amara. Untuk pertama kali, ia merasa benar-benar dilindungi.

Malamnya, Amara duduk di ranjang, menatap cermin. Bayangan wajahnya tampak letih, tapi matanya berkilat dengan api baru. Ia mengingat semua ejekan, semua hinaan, lalu teringat juga bagaimana ia berhasil menjawab Selvia, bagaimana presentasinya sukses, dan bagaimana Bagas berdiri di sisinya.

Kalau semua orang ingin aku jatuh, aku akan buktikan mereka salah, bisiknya pada diri sendiri.

Ia menutup mata, membiarkan tekad itu menguat. Malam itu, Amara tidak hanya belajar bertahan—ia belajar melawan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!