NovelToon NovelToon
Istri Lugu Sang Cassanova

Istri Lugu Sang Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nelramstrong

Siapa sangka, menabrak mobil mewah bisa berujung pada pernikahan?

Zuzu, gadis lugu dengan serangkaian kartu identitas lengkap, terpaksa masuk ke dalam sandiwara gila Sean, cassanova yang ingin lolos dari desakan orangtuanya. Awalnya, itu hanya drama. Tapi dengan tingkah lucu Zuzu yang polos dan penuh semangat, orangtua Sean justru jatuh hati dan memutuskan untuk menikahkan mereka malam itu juga.

Apakah pernikahan itu hanya permainan? Atau, sebuah takdir yang telah ditulis untuk mereka?
Mampukan Zuzu beradaptasi dengan kehidupan Sean yang dikelilingi banyak wanita?

Yuk, ikuti kisah mereka dengan hal-hal random yang dilakukan Zuzu!

Happy Reading ☺️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelramstrong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keseruan Keluarga

Kelopak mata Bianca melebar begitu mendengar kabar mengejutkan tersebut. 'Sean menikah?' batinnya. Dia menatap tak percaya wajah sang CEO yang beberapa kali sempat bermalam dengannya.

Sorot mata menunjukkan kekecewaan yang dalam. Hatinya bagai teriris oleh sebilah pisau. Perih!

"Jadi Tuan Sean sudah menikah?" Bianca berusaha menunjukkan senyuman tipis meskipun terlihat kaku. Namun, sorot matanya tak bisa berbohong.

"Selamat Tuan Muda Sean, dan…" Suaranya menggantung di udara saat menoleh ke arah Zuzu yang memegang tangan Ceo-nya.

"Zuzu," jawab Zuzu, ia tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan.

Bianca menyelipkan anak rambutnya ke belakang sambil tersenyum kikuk lalu menjabat tangan wanita berkacamata itu.

"Kami menikah tadi malam. Memang gak meriah, tapi kami sudah sah menjadi suami-isteri," tutur Zuzu yang diangguki Sandrina dengan antusias.

Zuzu menoleh pada Sean, sambil merangkul lengan pria itu. "Tadi malam juga kami langsung melakukan ritual pengantin baru untuk kasih Mama cucu," lanjutnya dengan ekspresi polos.

Sean memalingkan wajah sambil memejamkan mata. "Zu, itu rahasia kita berdua!" bisik Sean, merasa malu.

Padahal, biasanya dia selalu merasa bangga menceritakan jam terbangnya di atas ranjang bersama para wanita panggilan.

Sementara Sandrina nampak tersenyum puas dengan jawaban-jawaban Zuzu. "Kamu memang menantu idaman, Zu. Tahu saja jika Mama ingin segera punya cucu," puji Sandrina sambil mencubit pipi menantunya, gemas.

Zuzu tertawa kecil, lalu meremas perutnya. Rasa lapar itu kembali mendera. "Aku lapar, Ma. Apa ikan bakarnya sudah matang? Apa kita bisa mulai makan sekarang?" Wanita itu meringis kelaparan, ekspresi wajahnya memelas.

"Ya, tentu saja. Ayo, kita makan. Abah kamu sangat pandai memancing, Zu. Dapat ikan yang besar-besar," ujar Sandrina penuh antusiasme, sambil menarik tangan menantunya.

Zuzu mengangguk, mereka berjalan bergandengan tangan, meninggalkan Sean dan Bianca yang saling terpaku di tempat.

"Sean, kamu menikah? Bagaimana mungkin?" Ekspresi wajahnya kini penuh dengan kekecewaan.

Sean menggaruk-garuk kepala yang terasa gatal. "Aku… itu... karena Mama yang minta. Lagipula aku gak menyukai dia. Aku menikah dengannya supaya Mama berhenti memaksaku berkeluarga," alibi Sean, terbata-bata.

Bianca mendekat dan memeluk lengan pria itu dengan gerakan yang manja. "Jadi, apa kita masih bisa…?" Ia menatap Sean dengan mata berbinar-binar, penuh harapan.

Sean melepaskan tangan sekretarisnya pelan. "Tentu saja. Kamu tahu sendiri aku. Aku gak pernah cukup dengan satu wanita. Aku mudah bosan," jawab Sean sambil mencolek hidung Bianca, dan tersenyum lebar, meyakinkan.

"Tapi nggak di sini," tambahnya, sembari mengerlingkan mata genit.

Bianca tersenyum lebar lalu memeluk tubuh pria itu. "Aku beneran lega sekarang. Aku pikir, kalian menikah karena saling jatuh cinta." Dia menyandarkan kepala di dada bidang Sean, sambil memejamkan mata, menikmati aroma tubuh pria itu dan suara detak jantung menenangkan.

"Menikah itu gak enak, Sean. Kamu harus menjaga perasaan istrimu. Belum lagi, dia pasti akan banyak mengatur mu. Setelah itu… dia akan meminta kamu untuk tidak dekat dengan wanita manapun. Kamu pasti akan merasa terpenjara nanti."

Sean manggut-manggut, mengerti sambil menepuk-nepuk lengan sekretarisnya. "Aku tahu. Kamu pikir aku pria lemah sampai bisa diatur oleh istriku sendiri? Aku gak akan pernah takut dengannya," jawab Sean, nada suaranya angkuh.

Kepala Zuzu tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Sean, ayo makan. Bantu aku mencabuti duri ikannya!" seru Zuzu.

Sean mendorong keras tubuh Bianca, hingga pelukan mereka terlepas dengan terpaksa. Tanpa pikir panjang ia menganggukkan kepala. "Oke. Aku akan buang duri ikannya untukmu!" Pria itu melesat pergi, bergabung dengan semua orang di luar.

Sementara Bianca, mulut wanita itu menganga. "Dasar penipu ulung. Belum juga bibirnya kering saat mengatakan jika dia nggak akan mau diatur oleh istrinya. Sekarang… dengan mudahnya dia patuh dengan permintaan istrinya." Ia menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.

Bianca menghentakkan kaki dengan kasar ke lantai, lalu berjalan keluar rumah. Di ambang pintu, dia menghentikan langkah. Terlihat dua keluarga kecil berkumpul, duduk bersila di lantai sambil tertawa bahagia.

"Cih, mereka itu beneran orang kaya bukan sih? Memangnya gak malu makan lesehan kayak gitu," cibirnya pelan, menoleh sekilas dengan tatapan menilai.

"Bikin harkat martabat jatuh saja sebagai orang kaya."

Bianca mengomel, sudah sejak lama dia bermimpi menjadi bagian dari keluarga Ceo-nya itu. Dia bahkan rela menyerahkan kehormatan, juga diperlukan layaknya boneka pelampiasan untuk mendapatkan kesempatan itu. Dan kini, dia harus mengubur mimpi itu, setelah kehadiran Zuzu berhasil merebut hati kedua orang tua Sean.

"Bu, sini, Bu! Gabung sama kita, makan ikan bakar!" Jabar memanggil Bianca, sambil mengacung-acungkan ikan yang telah matang.

Bianca tersenyum kaku lalu sedikit membungkukkan kepala. "Terima kasih, Tuan. Saya mau langsung pamit pulang saja. Mari!" Ia berjalan dengan tergesa-gesa menuju mobil yang terparkir, sambil menoleh ke arah lain, merasa malu juga kesal.

"Saya kira tadi anggota keluarganya Pak David," ujar Jabar, sambil memperhatikan kepergian mobil Bianca yang meninggalkan halaman rumah.

"Bukan, Bah. Itu sekretaris Sean di kantor," geleng David. Meskipun sedikit tidak nyaman dengan cara dia duduk, namun sebagai tuan rumah yang baik, kenyamanan tamu lebih penting.

"Oh, tukang tulis-tulis itu, ‘kan? Umi juga dulu pernah jadi sekretaris waktu SMP," timpal Jamilah sambil mencubit ikan bakar yang diberi bumbu sambal kecap.

Jabar menjawab dengan ekspresi serius. "Oh, Umi pernah jadi sekertaris waktu SMP, kok Abah tidak tahu, ya?" Pria itu, justru menggigit kepala ikan dengan susah payah.

"Ih, Abahnya tidak pernah tanya," sahut Jamilah, sambil menepuk paha suaminya dengan gerakan manja.

Jabar tertawa kecil, sambil menganggukkan kepala, membenarkan. "Pantesan aja Umi cantik, ternyata pernah jadi sekretaris. Sekertaris ‘kan rata-rata pada cantik," kata Jabar, secara tak langsung memberi pujian, membuat pipi Jamilah merah merona.

Jamilah langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan, menyembunyikan senyuman lebar yang terukir di bibirnya.

Sandrina dan David tergelak melihat tingkah pasangan suami-istri itu. Tak ingin kalah, Sandrina menimpali, "Saya juga dulu sekretaris suami saya loh, Bah."

"Oh, ya?" Jabar nampak antusias mendengar cerita Sandrina.

"Iya, mungkin karena saya sangat cantik jadi saya diangkat jadi istrinya," tutur Sandrina sambil mengedipkan sebelah mata ke arah suaminya.

Para orangtua itu bercerita dengan gembira, sementara Zuzu dan Sean. Mereka hanya mendengarkan sambil menikmati ikan bakar. Sesekali keduanya saling pandang, saat mendengar celotehan yang keluar dari bibir orangtuanya.

Namun, sesuatu tiba-tiba membuat Zuzu merasa tidak nyaman. Bibirnya mengerucut. Ia duduk dengan tegak, menoleh pada Sean sambil membetulkan kaca mata.

"Sean, bukankah wanita tadi itu sekretaris kamu di kantor? Kalian gak…" Zuzu bertanya pada suaminya, lalu menatap wajah semua orang yang kini berfokus padanya.

Sesaat hening, Sean nampak berpikir. Sementara Sandrina sudah memelototi dia tajam. Padahal dia sudah berusaha main dengan aman, namun ibunya selalu tahu apa yang dia lakukan di luar rumah.

"Tentu saja… nggak!" jawab Sean pada akhirnya sambil tertawa kaku, diikuti tawa Sandrina, sementara David hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan tingkah anak dan istrinya.

Zuzu manggut-manggut, mengerti, meskipun merasa masih ada yang mengganjal di hati. "Aku sudah selesai," kata Zuzu.

"Loh, Zu. Kamu makan terakhir, kenapa selesai duluan?" tanya Jamilah, ketika melihat putrinya bangkit berdiri.

"Bukan aku yang cepat, Umi. Kalian yang lama karena sejak tadi mengobrol," jawab Zuzu sambil mengenakan sandal jepit khusus di rumah.

"Gak apa-apa, yang penting kamu kenyang," ujar Sandrina, tersenyum lembut.

Zuzu tersenyum lebar lalu berlari menuju pintu masuk. Tak seberapa lama, Sean mengikuti sambil membawa piring miliknya. Pria itu melanjutkan makan di meja makan.

"Aku gak biasa makan lesehan seperti itu," kata Sean, sambil menarik kursi dan menjatuhkan tubuhnya.

"Memang biasanya kamu makan gimana? Berdiri?" tanya Zuzu, polos. Dia tengah mencuci tangan di wastafel.

Sean menoleh dan menghela napas berat. "Ya, gak gitu juga, Zuzu. Maksudnya, aku gak biasa duduk di lantai."

Zuzu manggut-manggut. "Ya sudah. Tapi, selanjutnya kamu harus biasa. Karena aku lebih suka makan sambil duduk lesehan seperti tadi. Lebih nikmat," jawab Zuzu dengan ceria.

Dia memutar tubuh dan ekspresinya tiba-tiba berubah murung, saat memperhatikan Sean tengah menyantap ikan menggunakan garpu dan pisau.

Pikiran Zuzu kembali pada percakapan mertua dan orang tuanya. Dia menyentuh rambut panjangnya yang sedikit berantakan. "Abah bilang, sekretaris itu cantik-cantik. Aku gak pernah jadi sekretaris, apa itu artinya aku gak cantik?"

Dia menunduk dan memperhatikan penampilannya sendiri. "Apa iya aku gak cantik seperti wanita sekretaris tadi?"

Bibir Zuzu mengerucut, dia nampak kecewa dengan penampilannya sendiri. "Pantas saja dulu aku gak pernah kepilih jadi sekretaris. Mungkin karena aku gak cantik."

"Aku selalu saja jadi seksi kebersihan," keluh Zuzu sambil meremas ujung baju, merasa kecewa dengan masa lalu yang tak ada manisnya.

Dia memiringkan kepala kanan-kiri, berusaha berpikir keras. "Kalau aku tetap seperti ini. Mungkin yang Mama khawatirkan akan terjadi. Sean akan direbut pelakor," gumamnya.

Zuzu tiba-tiba mendengus keras sambil memukul kepalan tangan ke tangan yang lain, sorot matanya penuh tekad. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan!"

"Kamu kenapa, Zu?"

Sean mengerutkan kening melihat tingkah absurd istrinya. Dia juga mengedarkan pandangan ke sekeliling, saat mendengar suara bisikan Zuzu, berpikir wanita itu tengah terlibat percakapan dengan temannya yang gaib.

Zuzu menggeleng, tanpa banyak bicara dia bergegas pergi meninggalkan dapur.

Sean mengedikkan bahu tak acuh, lalu menghabiskan makanannya. Setelah itu, dia keluar dari dapur dan bertemu David tengah mengobrol bersama Jabar di ruang tamu.

"Sean, sini!" panggil David sambil melambaikan tangan.

"Apa sih, Pa? Aku mau ke kamar," jawab Sean malas, namun dia tidak menolak saat diminta duduk.

"Mertua kamu akan pulang malam ini," tutur David.

Sean melihat ke arah Jabar yang menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.

"Kapan-kapan kamu juga main ke rumah Abah di desa, Sen. Di sana udaranya sejuk, sangat cocok untuk pengantin baru," kata Jabar sambil terkikik kecil. Pembawaan pria itu selalu terlihat ceria, tidak jauh berbeda dengan Zuzu.

"Ya, mungkin lain kali kami akan berlibur jika di kantor gak ada kerjaan," jawab Sean, berusaha ramah namun yang terjadi dia merasa kikuk sendiri.

"Aku akan pergi melihat Zuzu dan memanggilnya," tambah Sean sembari bangkit dan berjalan cepat menaiki tangga. Ia ingin menghindar percakapan yang tak penting dengan ayah mertuanya.

Tiba di depan pintu, dia baru akan memutar kenop pintu saat indra penciumannya menangkap aroma yang menyengat dari dalam kamar.

"Wanginya seperti parfum. Tapi…" Penasaran, Sean membuka pintu dengan lebar, matanya membulat saat melihat penampilan Zuzu yang berdiri di depan cermin.

"Zu, kamu kesurupan?" tanya Sean, dada kembang kempis, merasa terkejut.

Zuzu, wanita itu berbalik dan terlihat wanita itu mengenakan salah satu kemeja Sean berwarna putih yang tampak kebesaran di tubuh mungilnya. Beberapa roller rambut tergantung di rambut yang acak-acakan.

Zuzu berjalan mendekati suaminya sambil berusaha menarik roller yang tak juga terlepas. Bibirnya mengerucut, antara kesal juga sedih.

"Sean, aku juga mau cantik. Aku juga mau jadi sekretaris kamu di kantor!"

Bersambung…

1
EndHa
masih kurang kak bacany.. kek.ny bab ini pendek bgt yaa .. 🤭
Nelramstrong: bab 19 bisa dibaca ulang, ya. aku baru revisi dan tambahkan beberapa part 😁😁
total 1 replies
EndHa
menanti sean bucin dg zuzu..
Nelramstrong: sabar, ya 😁
total 1 replies
EndHa
siapa yg berani nolak perintah tuan david.. 🤣
Nelramstrong: 😅😅😅😅😅😅😅
total 1 replies
EndHa
semangat zuzu,, qm si polos yg cerdik.. tebas semua ciwi² penggoda suami.mu..
Nelramstrong: Semoga bukan dia yang tumbang 😅
total 1 replies
EndHa
oalah zu,, ikan bakar lebih menggoda yaa 🤭
Nelramstrong: Zuzu tahu aja author nya juga lagi pengen ikan bakar 😂
total 1 replies
EndHa
Haii kakak... aq ikuti kisah zuzu,, baru baca noveltoon nih,, masih bingung.. hehe
Nelramstrong: Makasih, kak 🥰
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!