NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara ancaman dan lelucon

Pintu aula berat itu terbuka, engselnya mengeluarkan suara berat yang bergema, memperlihatkan ruangan luas yang diterangi cahaya obor. Nyala api bergetar, menari di dinding batu yang dingin, memantulkan bayangan panjang para perwira yang berjajar di kedua sisi. Di ujung ruangan, Duke Orion duduk di kursi tinggi berhias ukiran perak, posisinya tegak dan tak tergoyahkan.

Di barisan depan, satu kursi kosong mencolok—kursi yang dulu ditempati Valdrosh. Sementara kursi milik Kaelric bahkan telah disingkirkan sama sekali, seakan kehilangannya masih terlalu segar untuk dihadapi tanpa menambah luka.

Rosella diantar masuk oleh dua prajurit. Tatapan semua orang menusuk ke arahnya, dingin dan penuh tuduhan. Veyrund berdiri paling depan, wajahnya memerah, nadanya pecah karena amarah.

“Pertama Valdrosh, lalu Kaelric! Dua jenderal tewas, dan setiap kali, kau ada di dekat mereka! Kau pikir ini kebetulan, Rosella?!”

Suara Veyrund memantul di antara pilar-pilar batu, membentur telinga semua yang hadir. Rosella hanya menunduk, tapi di dadanya, jantung berdebar seperti genderang perang.

Orion mengangkat satu tangan. Gerakan sederhana itu cukup untuk meredam ruangan. “Kemarahanmu wajar, Veyrund. Tapi tuduhan tanpa bukti hanya akan memperkeruh keadaan.”

Ia melirik sekilas pada Rosella sebelum kembali menatap para perwiranya. “Aku sudah memeriksa sendiri. Racun di tubuh Valdrosh adalah Nyxroot Venom. Sesuatu yang bahkan tidak beredar di wilayah ini tanpa izin khusus.”

Bisik-bisik merayap di antara jajaran perwira, seperti suara ular yang melata di lantai batu.

“Dan Kaelric .…” Orion menatap kosong ke arah kursi yang tak lagi ada, nadanya semakin dingin. “Dia mati tertembak di hutan, saat memimpin pencarian tawanan yang melarikan diri. Pelurunya menembus kepalanya—tembakan bersih, eksekusi yang disengaja.”

Veyrund terdiam, napasnya terdengar jelas, matanya tetap menatap Rosella dengan tatapan tajam.

Orion kembali melangkah ke singgasananya, suaranya berat namun terkendali. “Dua kematian, dua cara berbeda. Jadi sebelum kau memutuskan pelakunya, pikirkan ini—siapa yang cukup berani menyerang jenderal Draevenhart … dan cukup licik untuk membuat kita saling curiga?”

Keheningan menggantung di udara.

Rosella menatap Orion, terkejut oleh pembelaan yang tak ia duga. Orion melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke Veyrund.

“Kalau kau pikir aku memanggil Rosella kemari untuk diinterogasi,” ucapnya pelan namun jelas. “Kau keliru, Veyrund. Aku memanggilnya kemari … untuk membuatmu mendengar sendiri bahwa dia bukan pelakunya.”

Suasana di aula menegang. Veyrund membeku, rahangnya mengeras. Namun kali ini, kemarahannya bukan hanya pada Rosella, tapi juga pada Duke-nya sendiri.

Orion tidak menunggu tanggapan. Ia bersandar di kursinya, jemari mengetuk perlahan sandaran lengan. “Kau mengerti maksudku, Veyrund?”

Diam.

Veyrund akhirnya menarik napas tajam, hendak bicara, tapi Orion memotong, suaranya mengandung tekanan. “Kau hampir menuduh tanpa dasar di hadapan semua orang di ruangan ini. Dan yang lebih buruk, kau melakukannya di hadapan diriku.”

Veyrund mengepal, buku jarinya memutih.

“Aku tidak butuh prajurit yang mengandalkan amarah lebih dari pikirannya,” lanjut Orion. “Dia hanya seorang tawanan. Tawanan yang, jika memang bersalah, akan aku jatuhkan sendiri hukumannya. Sampai saat itu, kau akan menahan lidahmu dan menaruh curigamu pada tempat yang benar.”

Aula tenggelam dalam keheningan berat.

Orion bangkit, langkahnya mantap menuju pintu. Saat melewati Rosella, ia melambat. Suaranya turun menjadi bisikan dingin yang hanya bisa didengar olehnya.

“Kau tawanan yang terlalu penting, Rosella. Kematian cepat … itu hadiah yang tidak akan pernah kau dapatkan dariku.”

Rosella menegang.

Orion menambahkan, nadanya lembut tapi mengandung belati tersembunyi. “Aku akan memutuskan kapan dan bagaimana kau mengakhirinya… dan itu tidak akan singkat. Kita berdua punya waktu.”

Napasnya menyentuh telinga Rosella sebelum ia pergi. Pintu berat itu menutup dengan dentuman rendah, meninggalkan keheningan yang menyesakkan—dan meninggalkan Rosella dengan satu kesadaran pahit, ia bukan sekadar tahanan. Ia adalah bidak dalam permainan panjang Duke Orion.

~oo0oo~

Kamar pelayan itu sempit, cukup untuk tiga dipan kayu yang dilapisi kasur tipis berisi jerami, satu peti pakaian reyot di sudut, dan meja kecil dengan satu lilin yang sudah hampir habis. Dinding batu kasar memantulkan dingin dari luar, menusuk tulang, tapi setidaknya udara di sini tidak berbau pengap seperti ruang tahanan bawah tanah yang selalu lembab dan berbau besi karat.

Rosella duduk di tepi dipannya. Jemari kurusnya memainkan ujung celemek lusuh yang kini menjadi seragamnya—warna cokelat pudar, dengan noda yang tak akan hilang meski dicuci berkali-kali. Serat kainnya kasar, meninggalkan rasa gatal di kulit, tapi ia sudah terlalu terbiasa untuk mengeluh. Di luar, suara riuh terdengar samar, pelayan berlari sambil membawa nampan yang beradu dengan pintu, prajurit tertawa dan berbicara keras di lorong, pintu-pintu dibuka dan ditutup tergesa-gesa. Semua itu hanya menjadi latar bising yang jauh, tenggelam di tengah pikirannya yang melayang.

Sebelumnya, ia pikir takdirnya sudah jelas. Enam tahun atau lebih sebagai tawanan di barak militer Ashguard Hall, mengukur waktu lewat tetesan air dari pipa bocor, menunggu kematian datang perlahan—hingga akhirnya, di kehidupan sebelumnya, nyawanya dihabisi sebelum sempat menginjakkan kaki di Dreadholt.

Namun kali ini … belum genap satu tahun, dan segalanya telah berubah.

Sidang tadi, kata-kata Orion, tatapan dingin yang ia berikan—semuanya terasa seperti pergeseran arah yang tak bisa ia kendalikan. Apa dia akan membawaku ke Dreadholt? Dan kalau iya … untuk apa? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.

Pintu kamar pelayan terbuka dengan bunyi engsel berderit, memecah lamunannya. “Hei, kau melamun lagi,” suara ceria itu disusul kepala seorang gadis berambut coklat kemerahan yang selalu terlihat seperti menyimpan lelucon. Feya.

Rosella hanya menoleh sekilas. “Kau mau apa?”

Feya masuk sambil menutup pintu dengan punggungnya, lalu berjalan santai ke dipan seberang. “Mengecek apakah kau sudah berubah jadi patung atau belum. Dari tadi duduk diam, tatapan kosong ke dinding … Kalau terus begini, orang-orang akan mulai gosip bahwa kau sedang merencanakan kudeta sendirian.”

Rosella mengangkat alis. “Dan kalau iya?”

Feya pura-pura terkejut, kedua tangannya menutup mulut. “Kalau iya … aku mau ikut. Tapi hanya kalau kita bisa mencuri dapurnya dulu. Kau tahu, prioritas.”

Sebuah helaan napas keluar dari Rosella, setengah kesal, setengah terpaksa. “Kau bercanda di tengah sarang serigala.”

Feya mengangkat bahu, lalu duduk di tepi dipannya. “Lebih baik bercanda daripada jadi domba diam-diam. Setidaknya kalau kita mati besok, kita mati sambil tertawa.”

“Lucu sekali,” ucap Rosella datar.

“Oh, aku belum mulai,” Feya membalas cepat. “Tadi pagi aku lihat prajurit itu—yang mukanya mirip peti kayu—jatuh tergelincir gara-gara menginjak sisa bubur. Kau tahu tidak, dia marah ke siapa? Ke buburnya.”

Kali ini Rosella tak kuasa menahan sudut bibirnya yang terangkat tipis. Tawa itu kecil dan singkat, tapi cukup untuk membuat Feya tersenyum puas, seolah kemenangan kecil itu miliknya.

Untuk sesaat, bayangan Dreadholt dan tatapan dingin Orion terasa sedikit menjauh. Tapi ketenangan itu runtuh ketika dari lorong terdengar teriakan perwira.

“Semua pelayan, berkumpul di aula barat! Sekarang!”

Feya menghela napas dramatis, memutar bola matanya. “Nah, sudah dimulai lagi … apa lagi kali ini? Latihan menyajikan arak sambil berdiri di atas bara?”

Rosella tidak menjawab. Ia berdiri perlahan, merapikan celemeknya yang kusut, dan entah kenapa, firasatnya mengatakan panggilan ini bukan sekadar urusan dapur atau pekerjaan sehari-hari. Sesuatu akan berubah … dan kali ini, ia tidak yakin ingin tahu jawabannya.

Barisan pelayan mulai buyar, langkah-langkah cepat beradu dengan lantai batu, menimbulkan gema yang bergulung di sepanjang lorong. Kain celemek dan rok mereka berayun mengikuti gerakan tergesa, beberapa saling berdesakan di pintu keluar sambil berbisik-bisik tentang kemungkinan alasan panggilan mendadak ini. Aroma minyak dapur, sabun cuci, dan sedikit bau arang yang terselip di ujung pakaian mereka masih menempel di udara, seakan mengiringi langkah-langkah itu keluar dari aula.

Rosella berjalan di tengah-tengah rombongan, pandangannya lurus ke depan namun pikirannya jauh melayang. Setiap langkah terasa seperti menghitung waktu, memikirkan arah hidupnya yang kini berubah drastis. Belum genap setahun di Ashguard Hall, dan situasinya sudah berbeda jauh dari kehidupan lamanya—enam tahun lebih bertahan di barak militer, terkurung dalam rutinitas yang hambar dan kejam. Ia tak tahu apakah langkah berikutnya akan membawanya ke Dreadholt … atau justru ke tempat yang lebih buruk lagi.

Feya melangkah di sisi Rosella, sengaja menyenggol lengannya dengan siku, memecah lamunan itu. “Hei, kalau nanti kita dibawa ke Dreadholt, kau mau taruhan tidak?”

Rosella melirik sekilas. “Taruhan apa?”

Feya menyeringai lebar, wajahnya memancarkan keyakinan konyol yang entah darimana datangnya. “Kalau itu terjadi, aku akan jadi pelayan yang paling manis dan patuh di seluruh benteng … selama tiga hari.”

Lyrra, yang berjalan di belakang mereka sambil menenteng keranjang kain, langsung menimpali cepat, “Tiga hari? Itu bahkan tidak cukup untuk menghafal nama semua prajurit di sana.”

Feya mengangkat bahu santai. “Tepat sekali. Setelah tiga hari, aku akan kabur.”

Rosella menatapnya, nada suaranya datar. “Bukankah setiap tawanan dipilih dulu siapa yang akan dibawa ke Dreadholt? Lagipula, belum ada keputusan apa-apa. Mengapa kau pede sekali kalau Tuan Duke akan membawamu ke sana?”

Tanpa ragu, Feya menepuk dadanya sambil mengangkat dagu. “Karena aku cantik.”

Lyrra langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan. “Ya Tuhan .…”

Rosella hanya menggeleng, tapi sudut bibirnya sempat terangkat tipis. Meski begitu, di dalam pikirannya, kata-kata Feya terus terngiang, bercampur dengan firasat dingin yang membuatnya bertanya-tanya. Apakah Dreadholt memang menunggu di ujung jalan ini … atau sesuatu yang lebih buruk lagi?

Feya tiba-tiba nyengir lagi, matanya berbinar seolah baru menemukan ide cemerlang. “Kalau mau tahu, aku bahkan sudah punya rencana cadangan.”

Rosella melirik malas. “Oh, ini pasti ide bodoh lagi.”

“Bukan bodoh, cuma … kreatif,” protes Feya sambil melambatkan langkahnya, seakan memberi jeda dramatis. “Aku akan menyamar jadi tong arak. Diam saja di dalamnya, pura-pura jadi arak mahal. Siapa yang mau membuang arak mahal? Aku akan diangkut keluar benteng dengan penuh hormat.”

Rosella memandangnya beberapa detik tanpa ekspresi. “... dan kalau tongnya jatuh ke selokan?”

Feya langsung menjawab sambil menahan tawa. “Kalau tongnya jatuh ke selokan, pastikan mereka menyelamatkanku dulu … sebelum araknya. Prioritas, Rosella.”

Lyrra terbatuk keras sampai nyaris tersedak, lalu menunduk sambil berusaha menahan tawanya. Ia menunjuk Feya dengan ekspresi tak percaya.

“Kau ini gila … sumpah, kalau itu benar-benar terjadi, aku akan jadi orang pertama yang menendang tongnya. Dan setelah kau keluar, aku akan bilang ke semua orang kalau arak itu basi gara-gara kebanyakan drama di dalamnya.”

Feya hanya menaikkan alis, pura-pura tersinggung. “Drama itu bumbu hidup, sayang.”

Rosella menunduk sedikit, menahan tawa yang nyaris pecah. Ia tak yakin apakah Feya benar-benar bercanda … atau memang sebodoh itu dalam merencanakan kaburnya.

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!